Skip to main content

Laskar Pelangi on Blog (bag I)

HANYA DI KUCING GEJE!!

bagi yang udah nonton film laskar pelangi pasti penasaran kan dengan isi novelnya..

di sini ada komplit tinggal di copy - paste saja ke notepad atw word

selamat membaca



Andrea Hirata
Buku ini kupersembahkan untuk
Guruku Ibu Muslimah Hafsari dan Bapak Harfan Effendi Noor.
Sepuluh sahabat masa kecilku anggota Laskar Pelangi
UCAPAN TERIMA KASIH
Ucapan terima kasih kusampaikan kepada Ally, Katja Kochling, Saskia de Rooij, Basuni
Hamin, Cindy Riza Stella, Heldy Suliswan Hirata, Yan Sancin, Zaharudin, Roxane,
Resval, Gatot Indra, Olan, Hazuan Seman Said, K.A. Arizal Artan, Okin di Telkom
Jember, dan terutama untuk Mas Gangsar Sukrisno serta Mbak Suhindrati a. Shinta di
Bentang Pustaka.
ISI BUKU
Ucapan Terima Kasih
Bab 1 Sepuluh Murid baru
Bab 2 Antediluvium
Bab 3 Inisiasi
Bab 4 Perempuan-Perempuan Perkasa
Bab 5 The Tower of Babel
Bab 6 Gedong
Bab 7 Zoom Out
Bab 8 Center of Excellence
Bab 9 Penyakit Gila No. 5
Bab 10 Bodenga
Bab 11 Langit Ketujuh
Bab 12 Mahar
Bab 13 Jam Tangan Plastik Murahan
Bab 14 Laskar Pelangi dan Orang-Orang Sawang
Bab 15 Euforia Musim Hujan

Bab 16 Puisi Surga dan Kawanan Burung Pelintang Pulau
Bab 17 Ada Cinta di Toko Kelontong Bobrok Itu
Bab 18 Moran
Bab 19 Sebuah Kejahatan Terencana
Bab 20 Miang Sui
Bab 21 Rindu
Bab 22 Early Morning blue
Bab 23 Billitonite
Bab 24 Tuk BayanTula
Bab 25 Rencana B
Bab 26 Be There or Be Damned!
Bab 27 Detik-Detik Kebenaran
Bab 28 Societeit de Limpai
Bab 29 Pulau Lanun
Bab 30 Elvis Has Left the Building
Dua belas tahun kemudian
Bab 31 Zaal Batu
Bab 32 Agnostik
Bab 33 Anakronisme
Bab 34 Gotik
Glosarium
Tentang Penulis
“… and to every action there is always an equal
and opposite or contrary, reaction …”
Isaac newton, 1643-172

BAB I
SEPULUH MURID BARU
PAGI itu, waktu aku masih kecil, aku duduk di bangku panjang di depan sebuah kelas.
Sebatang pohon filicium tua yang riang meneduhiku. Ayahku duduk di sampingku,
memeluk pundakku dengan kedua lengannya dan tersenyum mengangguk-angguk pada
setiap orangtua dan anak-anaknya yang duduk berderet-deret di bangku panjang lain di
depan kami. Hari itu adalah hari yang agak penting: hari pertama masuk SD.
Di ujung bangku-bangku panjang tadi ada sebuah pintu terbuka. Kosen pintu itu
miring karena seluruh bangunan sekolah sudah doyong seolah akan roboh. Di mulut pintu
berdiri dua orang guru seperti para penyambut tamu dalam perhelatan. Mereka adalah
seorang bapak tua berwajah sabar, Bapak K.A. Harfan Efendy Noor, sang kepala sekolah
dan seorang wanita muda berjilbab, Ibu N.A. Muslimah Hafsari atau Bu Mus. Seperti
ayahku, mereka berdua juga tersenyum.
Namun, senyum Bu Mus adalah senyum getir yang dipaksakan karena tampak
jelas beliau sedang cemas. Wajahnya tegang dan gerak-geriknya gelisah. Ia berulang kali
menghitung jumlah anak-anak yang duduk di bangku panjang. Ia demikian khawatir
sehingga tak peduli pada peluh yang mengalir masuk ke pelupuk matanya. Titik-titik
keringat yang bertimbulan di seputar hidungnya menghapus bedak tepung beras yang
dikenakannya, membuat wajahnya coreng moreng seperti pameran emban bagi
permaisuri dalam Dul Muluk, sandiwara kuno kampung kami.
“Sembilan orang … baru sembilan orang Pamanda Guru, masih kurang satu…,”
katanya gusar pada bapak kepala sekolah. Pak Harfan menatapnya kosong.
Aku juga merasa cemas. Aku cemas karena melihat Bu Mus yang resah dan
karena beban perasaan ayahku menjalar ke sekujur tubuhku. Meskipun beliau begitu
ramah pagi ini tapi lengan kasarnya yang melingkari leherku mengalirkan degup jantung

yang cepat. Aku tahu beliau sedang gugup dan aku maklum bahwa tak mudah bagi
seorang pria beruisa empat puluh tujuh tahun, seorang buruh tambang yang beranak
banyak dan bergaji kecil, utnuk menyerahkan anak laki-lakinya ke sekolah. Lebih mudah
menyerahkannya pada tauke pasar pagi untuk jadi tukang parut atau pada juragan pantai
untuk menjadi kuli kopra agar dapat membantu ekonomi keluarga. Menyekolahkan anak
berarti mengikatkan diri pada biaya selama belasan tahun dan hal itu bukan perkara
gampang bagi keluarga kami.
“Kasihan ayahku ….”
Maka aku tak sampai hati memandang wajahnya.
“Barangkali sebaiknya aku pulang saja, melupakan keinginan sekolah, dan
mengikuti jejak beberapa abang dan sepupu-sepupuku, menjadi kuli ….”
Tapi agaknya bukan hanya ayahku yang gentar. Setiap wajah orangtua di depanku
mengesankan bahwa mereka tidak sedang duduk di bangku panjang itu, karena pikiran
mereka, seperti pikiran ayahku, melayang-layang ke pasar pagi atau ke keramba di tepian
laut membayangkan anak lelakinya lebih baik menjadi pesuruh disana.Paraorangtua ini
sama sekali tak yakin bahwa pendidikan anaknya yang hanya mampu mereka biayai
paling tinggi sampai SMP akan dapat mempercerah masa depan keluarga. Pagi ini
mereka terpaksa berada di sekolah ini untuk menghindarkan diri dari celaan aparat desa
karena tak menyekolahkan anak atau sebagai orang yang terjebak tuntutan zaman baru,
tuntutan memerdekakan anak dari buta huruf.
Aku mengenal para orangtua dan anak-anaknya yang duduk di depanku. Kecuali
seorang anak lelaki kecil kotor berambut keriting merah yang meronta-ronta dari
pegangan ayahnya. Ayahnya itu tak beralas kaki dan bercelana kain belacu. Aku tak
mengenal anak beranak itu.
Selebihnya adalah teman baikku.Trapanimisalnya, yang duduk di pangkuan
ibunya, atau Kucai yang duduk di samping ayahnya, atau Syahdan yang tak diantar siapa-siapa.

Kami bertetangga dan kami adalah orang-orang Melayu belitong dari sebuah
komunitas yang paling miskin di pulau itu. Adapun sekolah ini, SD Muhammadiyah, juga
sekolah kampung yang paling miskin di Belitong.Adatiga alasan mengapa para orangtua
mendaftarkan anaknya di sini. Pertama, karena sekolah Muhammadiyah tidak
menetapkan iuran dalam bentuk apa pun, para orangtua hanya menyumbang sukarela
semampu mereka. Kedua, karena firasat, anak-anak mereka dianggap memiliki karakter
yang mudah disesatkan iblis sehingga sejak usia muda harus mendapatkan pendadaran
Islam yang tangguh. Ketiga, karena anaknya memang tak diterima di sekolah mana pun.
Bu Mus yang semakin khawatir memancang pandangannya ke jalan raya di
seberang lapangan sekolah berharap kalau-kalau masih ada pendaftar baru. Kami prihatin
melihat harapan hampa itu. Maka tidk seperti suasana di SD lain yang penuh
kegembiraan ketika menerima murid angkatan baru, suasana hari pertama di SD
Muhammadiyah penuh dengan kerisauan, dan yang paling risau adalah Bu Mus dan Pak
Harfan.
Guru-guru yang sederhana ini berada dalam situasi genting karena Pengawas
Sekolah dari Depdikbud Sumsel telah memperingatkan bahwa jika SD Muhammadiyah
hanya mendapat murid baru kurang dari sepuluh orang maka sekolah paling tua di
Belitong ini harus ditutup. Karena itu sekarang Bu Mus dan Pak Harfan cemas sebab
sekolah mereka akan tamat riwayatnya, sedangkan para orangtua cemas karena biaya,
dan kami, sembilan anak-anak kecil ini yang terperangkap di tengah cemas kalau-kalau kami tak
jadi sekolah.
Tahun lalu SD Muhammadiyah hanya mendapatkan sebelas siswa, dan tahun ini
Pak Harfan pesimis dapat memenuhi target sepuluh. Maka diam-diam beliau telah
mempersiapkan sebuah pidato pembubaran sekolah di depan para orangtua murid pada
kesempatan pagi ini. Kenyataan bahwa beliau hanya memerlukan satu siswa lagi untuk
memnuhi target itu menyebabkan pidato ini akan menjadi sesuatu yang menyakitkan hati.
“Kita tunggu sampai pukul sebelas,” kata Pak Harfan pada Bu Mus dan seluruh

orangtua yang telah pasrah. Suasana hening.
Paraorangtua mungkin menganggap kekurangan satu murid sebagai pertanda
bagi anak-anaknya bahwa mereka memang sebaiknya didaftarkan pada para juragan saja.
Sedangkan aku dan agaknya juga anak-anak yang lain merasa amat pedih: pedih pada
orangtua kami yang tak mampu, pedih menyaksikan detik-detik terakhir sebuah sekolah
tua yang tutup justru pada hari pertama kami ingin sekolah, dan pedih pada niat kuat
kami untuk belajar tapi tinggal selangkah lagi harus terhenti hanya karena kekurangan
satu murid. Kami menunduk dalam-dalam.
Saat itu sudah pukkul sebelas kuranglimadan Bu Mus semakin gundah.Lima
tahun pengabdiannya di sekolah melarat yang amat ia cintai dan tiga puluh dua tahun
pengabdian tanpa pamrih pada Pak Harfan, pamannya, akan berakhir di pagi yang sendu
ini.
“Baru sembilan orang Pamanda Guru …,” ucap Bu Mus bergetar sekali lagi. Ia
sudah tak bisa berpikir jernih. Ia berulang kali mengucapkan hal yang sama yang telah
diketahui semua orang. Suaranya berat selayaknya orang yang tertekan batinnya.
Akhirnya, waktu habis karena telah pukul sebelas lewatlimadan jumlah murid
tak juga genap sepuluh. Semangat besarku untuk sekolah perlahan-lahan runtuh. Aku
melepaskan lengan ayahku dari pundakku.Saharamenangis terisak-isak mendekap
ibunya karena ia benar-benar ingin sekolah di SD Muhammadiyah. Ia memakai sepatu,
kaus kaki, jilbab, dan baju, serta telah punya buku-buku, botol air minum, dan tas
punggung yang semuanya baru.
Pak Harfan menghampiri orangtua murid dan menyalami mereka satu per satu.
Sebuah pemandangan yang pilu.Paraorangtua menepuk-nepuk bahunya untuk
membesarkan hatinya. Mata Bu Mus berkilauan karena air mata yang menggenang. Pak
Harfan berdiri di depan para orangtua, wajahnya muram. Beliau bersiap-siap memberikan
pidato terakhir. Wajahnya tampak putus asa. Namun ketika beliau akan mengucapkan

kata pertama Assalamu’alaikum seluruh hadirin terperanjat karena Tripani berteriak
sambil menunjuk ke pinggir lapangan rumput luas halaman sekolah itu.
“Harun!”
Kami serentak menoleh dan di kejauhan tampak seorang pria kurus tinggi berjalan
terseok-seok. Pakaian dan sisiran rambutnya sangat rapi. Ia berkemeja lengan panjang
putih yang dimasukkan ke dalam. Kaki dan langkahnya membentuk huruf x sehingga jika berjalan
seluruh tubuhnya bergoyang-goyang hebat. Seorang wanita gemuk setengah
baya yang berseri-seri susah payah memeganginya. Pria itu adalah Harun, pria jenaka
sahabat kami semua, yang sudah berusialimabelas tahun dan agak terbelakang
mentalnya. Ia sangat gembira dan berjalan cepat setengah berlari tak sabar menghampiri
kami. Ia tak menghiraukan ibunya yang tercepuk-cepuk kewalahan menggandengnya.
Mereka berdua hampir kehabisan napas ketika tiba di depan Pak Harfan.
“Bapak Guru …,” kata ibunya terengah-engah.
“Terimalah Harun, Pak, karena SLB hanya ada di PulauBangka, dan kami tak
punya biaya untuk menyekolahkannya kesana. Lagi pula lebih baik kutitipkan dia di
sekolah ini daripada di rumah ia hanya mengejar-ngejar anak-anak ayamku ….”
Harun tersenyum lebar memamerkan gigi-giginya yang kuning panjang-panjang.
Pak Harfan juga terseyum, beliau melirik Bu Mus sambil mengangkat bahunya.
“Genap sepuluh orang …,” katanya.
Harun telah menyelamatkan kami dan kami pun bersorak.Saharaberdiri tegak
merapikan lipatan jilbabnya dan menyandang tasnya dengan gagah, ia tak mau duduk
lagi. Bu Mus tersipu. Air mata guru muda ini surut dan ia menyeka keringat di wajahnya
yang belepotan karena bercampur dengan bedak tepung beras.

BAB II
ANTEDILUVIUM
IBU Muslimah yang beberapa menit lalu sembap, gelisah, dan coreng-moreng kini
menjelma menjadi sekuntum Crinum giganteum. Sebab tiba-tiba ia mekar sumringah dan
posturnya yang jangkung persis tangkai bunga itu. Kerudungnya juga berwarna bunga
crinum demikian pula bau bajunya, persis crinum yang mirip bau vanili. Sekarang dengan
ceria beliau mengatur tempat duduk kami.
Bu Mus mendekati setiap orangtua murid di bangku panjang tadi, berdialog
sebentar dengan ramah, dan mengabsen kami. Semua telah masuk ke dalam kelas, telah
mendapatkan teman sebangkunya masing-masing, kecuali aku dan anak laki-laki kecil
kotor berambut keriting merah yang tak kukenal tadi. Ia tak bisa tenang. Anak ini berbau
hangus seperti karet terbakar.
“Anak Pak Cik akan sebangku dengan Lintang,” kata Bu Mus pada ayahku.
Oh, itulah rupanya namanya, Lintang, sebuah nama yang aneh.
Mendengar keputusan itu Lintang meronta-ronta ingin segera masuk kelas.
Ayahnya berusaha keras menenangkannya, tapi ia memberontak, menepis pegangan
ayahnya, melonjak, dan menghambur ke dalam kelas mencari bangku kosongnya sendiri.
Di bangku itu ia seumpama balita yang dinaikkan ke atas tank, girang tak alang kepalang,
tak mau turun lagi. Ayahnya telah melepaskan belut yang licin itu, dan anaknya baru saja
meloncati nasib, merebut pendidikan.
Bu Mus menghampiri ayah Lintang. Pria itu berpotongan seperti pohon cemara
angin yang mati karena disambar petir: hitam, meranggas, kurus, dan kaku. Beliau adalah
seorang nelayan, namun pembukaan wajahnya yang mirip orang Bushman adalah raut
wajah yang lembut, baik hati, dan menyimpan harap. Beliau pasti termasuk dalam
sebagian besar warga negaraIndonesiayang menganggap bahwa pendidikan bukan hak

asasi.
Tidak seperti kebanyakan nelayan, nada bicaranya pelan. Lalu beliau bercerita
pada Bu Mus bahwa kemarin sore kawanan burung pelintang pulau mengunjungi pesisir.
Burung-burung keramat itu hinggap sebentar di puncak pohon ketapang demi menebar
pertanda bahwa laut akan diaduk badai. Cuaca cenderung semakin memburuk akhir-akhir
ini maka hasil melaut tak pernah memadai. Apalagi ia hanya semacam petani penggarap,
bukan karena ia tak punya laut, tapi karena ia tak punya perahu.
Agaknya selama turun temurun keluarga laki-laki cemara angin itu tak mampu
terangkat dari endemik kemiskinan komunitas Melayu yang menjadi nelayan. Tahun ini
beliau menginginkan perubahan dan ia memutuskan anak laki-laki tertuanya, Lintang, tak
akan menjadi seperti dirinya. Lintang akan duduk di samping pria kecil berambut ikal
yaitu aku, dan ia akan sekolah di sini lalu pulang pergi setiap hari naik sepeda. Jika
panggilan nasibnya memang harus menjadi nelayan maka biarkan jalan kerikil batu
merah empat puluh kilometer mematahkan semangatnya. Bau hangus yang kucium tadi
ternyata adalah bau sandal cunghai, yakni sandal yang dibuat dari ban mobil, yang aus
karena Lintang terlalu jauh mengayuh sepeda.
Keluarga Lintang berasal dari Tanjong Kelumpang, desa nun jauh di pinggir laut.
Menuju kesanaharus melewati empat kawasan pohon nipah, temapt berawa-rawa yang
dianggap seram di kampung kami. Selain itu disanajuga tak jarang buaya sebesar
pangkal pohon sagu melintasi jalan. Kampung pesisir itu secara geografis dapat dikatakan
sebagai wilayah paling timur diSumatra, daerah minus nun jauh masuk ke pedalaman
Pulau Belitong. Bagi Lintang,kotakecamatan, tempat sekolah kami ini, adalah
metropolitan yang harus ditempuh dengan sepeda sejak subuh. Ah! Anak sekecil itu ….
Ketika aku menyusul Lintang ke dalam kelas ia menyalamiku dengan kuat seperti
pegangan tangan calon mertua yang menerima pinangan. Energi yang berlebihan di
tubuhnya serta-merta menjalar padaku laksana tersengat listrik. Ia berbicara tak henti henti penuh
minat dengan dialek Belitong yang lucu, tipikal orang Belitong pelosok. Bola

matanya bergerak-gerak cepat dan menyala-nyala. Ia seperti pilea, bunga meriam itu,
yang jika butiran air jatuh di atas daunnya, ia melontarkan tepung sari, semarak, spontan,
mekar, dan penuh daya hidup. Di dekatnya, aku merasa seperti ditantang mengambil
ancang-ancang untuk sprint seratus meter. Sekencang apa engkau berlari? Begitulah
makna tatapannya.
Aku sendiri masih bingung. Terlalu banyak perasaan untuk ditanggung seorang
anak kecil dalam waktu demikian singkat. Cemas, senang, gugup, malu, teman baru, guru
baru … semuanya bercampur aduk. Ditambah lagi satu perasaan ngilu karena sepasang
sepatu baru yang dibelikan ibuku. Sepatu ini selalu kusembunyikan ke belakang. Aku
selalu menekuk lututku karena warna sepatu itu hitam bergaris-garis putih maka ia
tampak seperti sepatu sepak bola, jelek sekali. Bahannya pun dari plastik yang keras.
Abang-abangku sakit perut menahan tawa melihat sepatu itu waktu kami sarapan pagi
tadi. Tapi pandangan ayahku menyuruh mereka bungkam, membuat perut mereka kaku.
Kakiku sakit dan hatiku malu dibuat sepatu ini.
Sementara itu, kepala Lintang terus berputar-putar seperti burung hantu. Baginya,
penggaris kayu satu meter, vas bunga tanah liat hasil prakarya anak kelas enam di atas
meja Bu Mus, papan tulis lusuh, dan kapur tumpul yang berserakan di atas lantai kelas
yang sebagian telah menjadi tanah, adalah benda-benda yang menakjubkan.
Kemudian kulihat lagi pria cemara angin itu. Melihat anaknya demikian bergairah
ia tersenyum getir. Aku mengerti bahwa pira yang tak tahu tanggal dan bulan
kelahirannya itu gamang membayangkan kehancuran hati anaknya jika sampai drop out
saat kelas dua atau tiga SMP nanti karena alasan klasik: biaya atau tuntutan nafkah. Bagi
beliau pendidikan adalah enigma, sebuah misteri. Dari empat garis generasi yang
diingatnya, baru Lintang yang sekolah. Generasi kelima sebelumnya adalah masa
antediluvium, suatu masa yang amat lampau ketika orang-orang Melayu masih berkelana
sebagai nomad. Mereka berpakaian kulit kayu dan menyembah bulan.

UMUMNYA Bu Mus mengelompokkan tempat duduk kami berdasarkan
kemiripan. Aku dan Lintang sebangku karena kami sama-sama berambut ikal.Trapani
duduk dengan Mahar karena mereka berdua paling tampan. Penampilan mereka seperti
para penaltun irama semenanjung idola orang Melayu pedalaman.Trapanitak tertarik
dengan kelas, ia mencuri-curi pandang ke jendela, melirik kepala ibunya yang muncul
sekali-sekali di antara kepala orangtua lainnya.
Tapi Borek (bacanya Bore’, “e”-nya itu seperti membaca elang, bukan seperti
menyebut “e” pada kata edan, dan “k”-nya itu bukan “k” penuh, Anda tentu paham
maksud saya) dan Kucai didudukkan berdua bukan karena mereka mirip tapi karena
sama-sama susah diatur. Baru beberapa saat di kelas Borek sudah mencoreng muka
Kucai dengan penghapus papan tulis. Tingkah ini diikutiSaharayang sengaja
menumpahkan air minum A Kiong sehingga anak Hokian itu menangis sejadi-jadinya
seperti orang ketakutan dipeluk setan. N.A. Sahara Aulia Fadillah binti K.A. Muslim
Ramdhani Fadillah, gadis kecil berkerudung itu, memang keras kepala luar biasa.
Kejadian itu menandai perseteruan mereka yang akan berlangsung akut bertahun-tahun.
Tangisan A Kiong nyaris merusak acara perkenalan yang menyenangkan pagi itu.
Sebaliknya, bagiku pagi itu adalah pagi yang tak terlupakan sampai puluhan tahun
mendatang karena pagi itu aku melihat Lintang dengan canggung menggenggam sebuah
pensil besar yang belum diserut seperti memegang sebilah belati. Ayahnya pasti telah
keliru membeli pensil karena pensil itu memiliki warna yang berbeda di kedua ujungnya.
Salah satu ujungnya berwarna merah dan ujung lainnya biru. Bukankah pensil semacam
itu dipakai para tukang jahit untuk menggaris kain? Atau para tukang sol sepatu untuk
membuat garis pola pada permukaan kulit? Sama sekali bukan untuk menulis.
Buku yang dibeli juga keliru. Buku bersampul biru tua itu bergaris tiga. Bukankah
buku semacam itu baru akan kami pakai nanti saat kelas dua untuk pelajaran menulis
rangkai indah? Hal yang tak akan pernah kulupakan adalah bahwa pagi itu aku

menyaksikan seorang anak pesisir melarat—teman sebangku—untuk pertama kalinya
memegang pensil dan buku, dan kemudian pada tahun-tahun berikutnya, setiap apa pun
yang ditulisnya merupakan buah pikiran yang gilang gemilang, karena nanti ia—seorang
anak miskin pesisir—akan menerangi nebula yang melingkupi sekolah miskin ini sebab
ia akan berkembang menjadi manusia paling genius yang pernah kujumpai seumur
hidupku.
BAB III
I N I S I A S I
TAK susah melukiskan sekolah kami, karena sekolah kami adalah salah satu dari ratusan
atau mungkin ribuan sekolah miskin di seantero negeri ini yang jika disenggol sedikit
saja oleh kambing yang senewen ingin kawin, bisa rubuh berantakan.
Kami memiliki enam kelas kecil-kecil, pagi untuk SD Muhammadiyah dan sore
untuk SMP Muhammadiyah. Maka kami, sepuluh siswa baru ini bercokol selama
sembilan tahun di sekolah yang sama dan kelas-kelas yang sama, bahkan susunan kawan
sebangku pun tak berubah selama sembilan tahun SD dan SMP itu.
Kami kekurangan guru dan sebagian besar siswa SD Muhammadiyah ke sekolah
memakai sandal. Kami bahkan tak punya seragam. Kami juga tak punya kotak P3K. Jika
kami sakit, sakit apa pun: diare, bengkak, batuk, flu, atau gatal-gatal maka guru kami
akan memberikan sebuah pil berwarna putih, berukuran besar bulat seperti kancing jas
hujan, yang rasanya sangat pahit. Jika diminum kita bisa merasa kenyang. Pada pil itu
ada tulisan besar APC. Itulah pil APC yang legendaris di kalangan rakyat pinggiran
Belitong. Obat ajaib yang bisa menyembuhkan segala rupa penyakit.
Sekolah Muhammadiyah tak pernah dikunjungi pejabat, penjual kaligrafi,
pengawas sekolah, apalagi anggota dewan. Yang rutin berkunjung hanyalah seorang pria

yang berpakaian seperti ninja. Di punggungnya tergantung sebuah tabung aluminium
besar dengan slang yang menjalar kesanakemari. Ia seperti akan berangkat ke bulan.
Pria ini adalah utusan dari dinas kesehatan yang menyemprot sarang nyamuk dengan
DDT. Ketika asap putih tebal mengepul seperti kebakaran hebat, kami pun bersoraksorak
kegirangan.
Sekolah kami tidak dijaga karena tidak ada benda berharga yang layak dicuri.
Satu-satunya benda yang menandakan bangunan itu sekolah adalah sebatang tiang
bendera dari bambu kuning dan sebuah papan tulis hijau yang tergantung miring di dekat
lonceng. Lonceng kami adalah besi bulat berlubang-lubang bekas tungku. Di papan tulis
itu terpampang gambar matahari dengan garis-garis sinar berwarna putih. Di tengahnya
tertulis:
SD MD
Sekolah Dasar Muhammadiyah
Lalu persis di bawah mathari tadi tertera huruf-huruf arab gundul yang nanti
setelah kelas dua, setelah aku pandai membaca huruf arab, aku tahu bahwa tulisan itu
berbunyi amar makruf nahi mungkar artinya :menyuruh kepada yang makruf dan
mencegah dari yang mungkar”. Itulah pedoman utama warga Muhammadiyah. Kata-kata
itu melekat dalam kalbu kami sampai dewasa nanti. Kata-kata yang begitu kami kenal
seperti kami mengenal bau alami ibu-ibu kami.
Jika dilihat dari jauh sekolah kami seolah akan tumpah karena tiang-tiang kayu
yang tua sudah tak tegak menahan atap sirap yang berat. Maka sekolah kami sangat mirip
gudang kopra. Konstruksi bangunan yang menyalahi prinsip arsitektur ini menyebabkan
tak ada daun pintu dan jendela yang bisa dikunci karena sudah tidak simetris dengan
rangka kusennya. Tapi buat apa pula dikunci?
Di dalam kelas kami tidak terdapat tempelan poster operasi kali-kalian seperti
umumnya terdapat di kelas-kelas sekolah dasar. Kami juga tidak memiliki kalender dan

tak ada gambar presiden dan wakilnya, atau gambar seekor burung aneh berekor delapan
helai yang selalu menoleh ke kanan itu. Satu-satunya tempelan disanaadalah sebuah
poster, persis di belakang meja Bu Mus untuk menutupi lubang besar di dinding papan.
Poster itu memperlihatkan gambar seorang pria berjenggot lebat, memakai jubah, dan ia
memegang sebuah gitar penuhgaya. Matanya sayu tapi meradang, seperti telah
mengalami cobaan hidup yang mahadahsyat. Dan agaknya ia memang telah bertekad
bulat melawan segala bentuk kemaksiatan di muka bumi. Di dalam gambar tersebut sang
pria tadi melongok ke langit dan banyak sekali uang-uang kertas serta logam berjatuhan
menimpa wajahnya. Di bagian bawah poster itu terdapat dua baris kalimat yang tak
kupahami. Tapi nanti setelah naik ke kelas dua dan sudah pintar membaca, aku mengerti
bunyi kedua kalimat itu adalah: RHOMA IRAMA, HUJAN DUIT!
Maka pada intinya tak ada yang baru dalam pembicaraan tentang sekolah yang
atapnya bocor, berdinding papan, berlantai tanah, atau yang kalau malam dipakai untuk
menyimpan ternak, semua itu telah dialami oleh sekolah kami. Lebih menarik
membicarakan tentang orang-orang seperti apa yang rela menghabiskan hidupnya
bertahan di sekolah semacam ini. Orang-orang itu tentu saja kepala sekolah kami Pak
K.A. Harfan Efendy Noor bin K.A. Fadillah Zein Noor dan Ibu N.A. Muslimah Hafsari
Hamid binti K.A. Abdul Hamid.
Pak Harfan, seperti halnya sekolah ini, tak susah digambarkan. Kumisnya tebal,
cabangnya tersambung pada jenggot lebat berwarna kecokelatan yang kusam dan
beruban. Hemat kata, wajahnya mirip Tom Hanks, tapi hanya Tom Hanks di dalam film
di mana ia terdampar di sebuah pulau sepi, tujuh belas bulan tidak pernah bertemu
manusia dan mulai berbicara dengan sebuah bola voli. Jika kita bertanya tentang
jenggotnya yang awut-awtuan, beliau tidak akan repot-repot berdalih tapi segera
menyodorkan sebuah buku karya Maulana Muhammad Zakariyya Al Kandhallawi Rah,
R.A. yang berjudul Keutamaan Memelihara Jenggot. Cukup membaca pengantarnya saja

Anda akan merasa malu sudah bertanya.
K.A. pada nama depan Pak Harfan berarti Ki Agus. Gelar K.A. mengalir dalam
garis laki-laki silsilah Kerajaan Belitong. Selama puluhan tahun keluarga besar yang amat
bersahaja ini berdiri pada garda depan pendidikan disana. Pak Harfan telah puluhan
tahun mengabdi di sekolah Muhammadiyah nyaris tanpa imbalan apa pun demi motif
syiar Islam. Beliau menghidupi keluarga dari sebidang kebun palawija di pekarangan
rumahnya.
Hari ini Pak Harfan mengenakan baju takwa yang dulu pasti berwarna hijau tapi
kini warnanya pudar menjadi putih. Bekas-bekas warna hijau masih kelihatan di baju itu.
Kaus dalamnya berlubang di beberapa bagian dan beliau mengenakan celana panjang
yang lusuh karena terlalu sering dicuci. Seutas ikat pinggang plastik murahan bermotif
ketupat melilit tubuhnya. Lubang ikat pinggang itu banyak berderet-deret, mungkin telah
dipakai sejak beliau berusia belasan.
Karena penampilan Pak Harfan agak seperti beruang madu maka ketika pertama
kali melihatnya kami merasa takut. Anak kecil yang tak kuat mental bisa-bisa langsung
terkena sawan. Namun, ketika beliau angkat bicara, tak dinyana, meluncurlah mutiaramutiara
nan puitis sebagai prolog penerimaan selamat datang penuh atmosfer sukacita di
sekolahnya yang sederhana. Kemudian dalam waktu yang amat singkat beliau telah
merebut hati kami. Bapak yang jahitan kerah kemejanya telah lepas itu bercerita tentang
perahu Nabi Nuh serta pasangan-pasangan binatang yang selamat dari banjir bandang.
“Mereka yang ingkar telah diingatkan bahwa air bah akan datang …,” demikian
ceritanya dengan wajah penuh penghayatan.
“Namun, kesombongan membutakan mata dan menulikan telinga mereka, hingga
mereka musnah dilamun ombak ….”
Sebuah kisah yang sangat mengesankan. Pelajaran moral pertama bagiku: jika tak
rajin sahalat maka pandai-pandailah berenang.

Cerita selanjutnya sangat memukau. Sebuah cerita peperangan besar zaman
Rasulullah di mana kekuatan dibentuk oleh iman bukan oleh jumlah tentara: perang
Badar! Tiga ratus tiga belas tentara Islam mengalahkan ribuan tentara Quraisy yang kalap
dan bersenjata lengkap.
“Ketahuilah wahai keluarga Ghudar, berangkatlah kalian ke tempat-tempat
kematian kalian dalam masa tiga hari!” Demikian Pak Harfan berteriak lantang sambil
menatap langit melalui jendela kelas kami. Beliau memekikkan firasat mimpi seorang
penduduk Mekkah, firasat kehancuran Quraisy dalam kehebatan perang Badar.
Mendengar teriakan itu rasanya aku ingin melonjak dari tempat duduk. Kami
ternganga karena suara Pak Harfan yang berat menggetarkan benang-benang halus dalam
kalbu kami. Kami menanti liku demi liku cerita dalam detik-detik menegangkan dengan
dada berkobar-kobar ingin membela perjuangan para penegak Islam. Lalu Pak Harfan
mendinginkan suasana yang berkisah tentang penderitaan dan tekanan yang dialami
seorang pria bernama Zubair bin Awam. Dulu nun di tahun 1929 tokoh ini bersusah
payah, seperti kesulitan Rasulullah ketika pertama tiba di Madinah, mendirikan sekolah
dari jerjak kayu bulat seperti kandang. Itulah sekolah pertama di Belitong. Kemudian
muncul para tokoh seperti K.A. Abdul Hamid dan Ibrahim bin Zaidin yang berkorban
habis-habisan melanjutkan sekolah kandang itu menjadi sekolah Muhammadiyah.
Sekolah ini adalah sekolah Islam pertama di Belitong, bahkan mungkin di Sumatra
Selatan.
Pak Harfan menceritakan semua itu dengan semangat perang badar sekaligus
setenang embusan angin pagi. Kami terpesona pada setiap pilihan kata dan gerak lakunya
yang memikat.Adasemacam pengaruh yang lembut dan baik terpancar darinya. Ia
mengesankan sebagai pria yang kenyang akan pahit getir perjuangan dan kesusahan
hidup, berpengetahuan seluas samudra, bijak, berani mengambil risiko, dan menikmati
daya tarik dalam mencari-cari bagaimana cara menjelaskan sesuatu agar setiap orang

mengerti.
Pak Harfan tampak amat bahagia menghadapi murid, tipikal “guru” yang
sesungguhnya, seperti dalam lingua asalnya,India, yaitu orang yang tak hanya
mentransfer sebuah pelajaran, tapi juga yang secara pribadi menjadi sahabat dan
pembimbing spiritual bagi muridnya. Beliau sering menaikturunkan intonasi, menekan
kedua ujung meja sambil mempertegas kata-kata tertentu, dan mengangkat kedua
tangannya laksana orang berdoa minta hujan.
Ketika mengajukan pertanyaan beliau berlari-lari kecil mendekati kami, menatap
kami penuh arti dengan pandangan matanya yang teduh seolah kami adalah anak-anak
Melayu yang paling berharga. Lalu membisikkan sesuatu di telinga kami, menyitir
dengan lancar ayat-ayat suci, menantang pengetahuan kami, berpantun, membelai hati
kami dengan wawasan ilmu, lalu diam, diam berpikir seperti kekasih merindu, indah
sekali.
Beliau menorehkan benang merah kebenaran hidup yang sederhana melalui katakatanya
yang ringan namun bertenaga seumpama titik-titik air hujan. Beliau
mengobarkan semangat kami utnuk belajar dan membuat kami tercengang dengan
petuahnya tentang keberanian pantang menyerah melawan kesulitan apa pun. Pak Harfan
memberi kami pelajaran pertama tentang keteguhan pendirian, tentang ketekunan,
tentang keinginan kuat untuk mencapai cita-cita. Beliau meyakinkan kami bahwa hidup
bisa demikian bahagia dalam keterbatasan jika dimaknai dengan keikhlasan berkorban
untuk sesama. Lalu beliau menyampaikan sebuah prinsip yang diam-diam menyelinap
jauh ke dalam dadaku serta memberi arah bagiku hingga dewasa, yaitu bahwa hiduplah
untuk memberi sebanyak-banyaknya, bukan untuk menerima sebanyak-banyaknya.
Kami tak berkedip menatap sang juru kisah yang ulung ini. Pria ini buruk rupa
dan buruk pula setiap apa yang disandangnya, tapi pemikirannya jernih dan kata-katanya
bercahaya. Jika ia mengucapkan sesuatu kami pun terpaku menyimaknya dan tak sabar

menunggu untaian kata berikutnya. Tiba-tiba aku merasa sangat beruntung didaftarkan
orangtuaku di sekolah miskin Muhammadiyah. Aku merasa telah terselamatkan karena
orangtuaku memilih sebuah sekolah Islam sebagai pendidikan paling dasar bagiku. Aku
merasa amat beruntung berada di sini, di tengah orang-orang yang luar biasa ini. Ada
keindahan di sekolah Islam melarat ini. Keindahan yang tak ‘kan kutukar dengan seribu
kemewahan sekolah lain.
Setiap kali Pak Harfan ingin menguji apa yang telah diceritakannya kami
berebutan mengangkat tangan, bahkan kami mengacung meskipun beliau tak bertanya,
dan kami mengacung walaupun kami tak pasti akan jawaban. Sayangnya bapak yang
penuh daya tarik ini harus mohon diri. Satu jam dengannya terasa hanya satu menit. Kami
mengikuti setiap inci langkahnya ketika meninggalkan kelas. Pandangan kami melekat
tak lepas-lepas darinya karena kami telah jatuh cinta padanya. Beliau telah membuat
kami menyayangi sekolah tua ini. Kuliah umum dari Pak Harfan di hari pertama kami
masuk SD Muhammadiyah langsung menancapkan tekad dalam hati kami untuk
membela sekolah yang hampir rubuh ini, apa pun yang terjadi.
Kelas diambil alih oleh Bu Mus. Acaranya adalah perkenalan dan akhirnya tibalah
giliran A Kiong. Tangisnya sudah reda tapi ia masih terisak. Ketika diminta ke depan
kelas ia senang bukan main. Sekarang di sela-sela isaknya ia tersenyum. Ia menggoyanggoyangkan
tubuhnya. Tangan kirinya memegang botol air yang kosong—karena isinya
tadi ditumpahkanSahara—dan tangan kanannya menggenggam kuat tutup botol itu.
“Silahkan ananda perkenalkan nama dan alamat rumah …,” pinta Bu Mus lembut
pada anak Hokian itu.
A Kiong menatap Bu Mus dengan ragu kemudian ia kembali tersenyum.
Bapaknya menyeruak di antara kerumunan orangtua lainnya, ingin menyaksikan anaknya
beraksi. Namun, meskipun berulang kali ditanya A Kiong tidak menjawab sepatah kata
pun. Ia terus tersenyum dan hanya tersenyum saja.

“Silakan ananda …,” Bu Mus meminta sekali lagi dengan sabar.
Namun sayang A Kiong hanya menjawabnya dengan kembali tersenyum. Ia
berkali-kali melirik bapaknya yang kelihatan tak sabar. Aku dapat membaca pikiran
ayahnya, “Ayolah anakku, kuatkan hatimu, sebutkan namamu! Paling tidak sebutkan
nama bapakmu ini, sekali saja! Jangan bikin malu orang Hokian!” Bapak Tionghoa
berwajah ramah ini dikenal sebagai seorang Tionghoa kebun, strata ekonomi terendah
dalam kelas sosial orang-orang Tionghoa di Belitong.
Namun, sampai waktu akan berakhir A Kiong masih tetap saja tersenyum. Bu
Mus membujuknya lagi.
“Baiklah ini kesempatan terakhir untukmu mengenalkan diri, jika belum bersedia
maka harus kembali ke tempat duduk.”
A Kiong malah semakin senang. Ia masih sama sekali tak menjawab. Ia
tersenyum lebar, matanya yang sipit menghilang. Pelajaran moral nomor dua: jangan
tanyakan nama dan alamat pada orang yang tinggal di kebun. Maka berakhirlah
perkenalan di bulan Februari yang mengesankan itu.
BAB IV
PEREMPUAN-PERMPUAN PERKASA
AKU pernah membaca kisah tentang wanita yang membelah batu karang untuk
mengalirkan air, wanita yang menenggelamkan diri belasan tahun sendirian di tengah
rimba untuk menyelamatkan beberapa keluarga orang utan, atau wanita yang berani
mengambil risiko tertular virus ganas demi menyembuhkan penyakit seorang anak yang
sama sekali tak dikenalnya nun jauh diSomalia. Di sekolah Muhammadiyah setiap hari
aku membaca keberanian berkorban semacam itu di wajah wanita muda ini.
N.A. Muslimah Hafsari Hamid binti K.A. Abdul Hamid, atau kami
memanggilnya Bu Mus, hanya memiliki selembar ijazah SKP (Sekolah Kepandaian
Putri), namun beliau bertekad melanjutkan cita-cita ayahnya—K.A. Abdul Hamid,
pelopor sekolah Muhammadiyah di Belitong—untuk terus mengobarkan pendidikan
Islam. Tekad itu memberinya kesulitan hidup yang tak terkira, karena kami kekurangan
guru—lagi pula siapa yang rela diupah beras 15 kilo setiap bulan? Maka selama enam
tahun di SD Muhammadiyah, beliau sendiri yang mengajar semua mata pelajaran—mulai
dari Menulis Indah, Bahasa Indonesia, Kewarganegaraan, Ilmu Bumi, sampai
Matematika, Geografi, Prakarya, dan Praktik Olahraga. Setelah seharian mengajar, beliau
melanjutkan bekerja menerima jahitan sampai jauh malam untuk mencari nafkah,
menopang hidup dirinya dan adik-adinya.
BU MUS adalah seroang guru yang pandai, karismatik, dan memiliki pandangan
jauh ke depan. Beliau menyusun sendiri silabus pelajaran Budi Pekerti dan mengajarkan
kepada kami sejak dini pandangan-pandangan dasar moral, demokrasi, hukum, keadilan,
dan hak-hak asasi—jauh hari sebelum orang-orang sekarang meributkan soal
materialisme versus pembangunan spiritual dalam pendidikan. Dasar-dasar moral itu
menuntun kami membuat konstruksi imajiner nilai-nilai integritas pribadi dalam konteks
Islam. Kami diajarkan menggali nilai luhur di dalam diri sendiri agar berperilaku baik
karena kesadaran pribadi. Materi pelajaran Budi Pekerti yang hanya diajarkan di sekolah
Muhammadiyah sama sekali tidak seperti kode perilaku formal yang ada dalam konteks
legalitas institusional seperti sapta prasetya atau pedoman-pedoman pengalaman lainnya.
“Shalatlah tepat waktu, biar dapat pahala lebih banyak,” demikian Bu Mus selalu
menasihati kami.
Bukankah ini kata-kata yang diilhami surah An-Nisa dan telah diucapkan ratusan
kali oleh puluhan khatib? Sering kali dianggap sambil lalu saja oleh umat. Tapi jika yang
mengucapkannya Bu Mus kata-kata itu demikian berbeda, begitu sakti, berdengungdengung
di dalam kalbu. Yang terasa kemudian adalah penyesalan mengapa telah

terlamabat shalat.
Pada kesempatan lain, karena masih kecil tentu saja, kami sering mengeluh
mengapa sekolah kami tak seperti sekolah-sekolah lain. Terutama atap sekolah yang
bocor dan sangat menyusahkan saat musim hujan. Beliau tak menanggapi keluhan itu tapi
mengeluarkan sebuah buku berbahasa Belanda dan memerplihatkan sebuah gambar.
Gambar itu adalah sebuah ruangan yang sempit, dikelilingi tembok tebal yang
suram, tinggi, gelap, dan berjeruji. Kesan di dalamnya begitu pengap, angker, penuh
kekerasan dan kesedihan.
“inilah sel Pak Karno di sebuah penjara diBandung, di sini beliau menjalani
hukuman dan setiap hari belajar, setiap waktu membaca buku. Beliau adalah salah satu
orang tercerdas yang pernah dimiliki bangsa ini.”
Beliau tak melanjutkan ceritanya.
Kami tersihir dalam senyap. Mulai saat itu kami tak pernah lagi memprotes
keadaan sekolah kami. Pernah suatu ketika hujan turun amat lebat, petir sambar
menyambar.Trapanidan Mahar memakai terindak, topi kerucut dari daun lais khas
tentara Vietkong, untuk melindungi jambul mereka. Kucai, Borek, danSaharamemakai
jas hujan kuning bergambar gerigi metal besar di punggungnya dengan tulisan “UPT Bel”
(Unit Penambangan Timah Belitong)—jas hujan jatah PN Timah milik bapaknya. Kami
sisanya hampir basah kuyup. Tapi sehari pun kami tak pernah bolos, dan kami tak pernah
mengeluh, tidak, sedikit pun kami tak pernah mengeluh.
Bagi kami Pak Harfan dan Bu Mus adalah pahlawan tanpa tanda jasa yang
sesungguhnya. Merekalah mentor, penjaga, sahabat, pengajar, dan guru spiritual. Mereka
yang pertama menjelaskan secara gamblang implikasi amar makruf nahi mungkar
sebagai pegangan moral kami sepanjang hayat. Mereka mengajari kami membuat rumahrumahan
dari perdu apit-apit, mengusap luka-luka di kaki kami, membimbing kami cara
mengambil wudu, melongok ke dalam sarung kami ketika kami disunat, mengajari kami

doa sebelum tidur, memompa ban sepeda kami, dan kadang-kadang membuatkan kami
air jeruk sambal.
Mereka adalah ksatriatampapamrih, pangeran keikhlasan, dan sumur jernih ilmu
pengetahuan di ladang yang ditinggalkan. Sumbangan mereka laksana manfaat yang
diberikan pohon filicium yang menaungi atap kelas kami. Pohon ini meneduhi kami dan
dialah saksi seluruh drama ini. Seperti guru-guru kami, filicium memberi napas
kehidupan bagi ribuan organisme dan menjadi tonggak penting mata rantai ekosistem.
BAB V
THE TOWER OF BABEL
JUMLAH orang Tionghoa di kampung kami sekitar sepertiga dari total populasi.Ada
orang Kek, ada orang Hokian, ada orang Tongsan, dan ada yang tak tahu asal usulnya.
Bisa saja mereka yang lebih dulu mendiami pulau ini daripada siapa pun. Aichang, phok,
kiaw, dan khaknai, seluruhnya adalah perangkat penambangan timah primitf yang
sekarang dianggap temuan arkeologi, bukti bahwa nenek moyang mereka telah lama
sekali berada di Pulau Belitong. Komunitas ini selalu tipikal: rendah hati ddan pekerja
keras. Meskipun jauh terpisah dari akar budayanya namun mereka senantiasa memelihara
adat istiadatnya, dan di Belitong mereka beruntung karena mereka tak perlu jauh-jauh
datang ke Jinchanying kalau hanya ingin melihat Tembok Besar Cina.
Persis bersebelahan dengan toko-toko kelontong milik warga Tionghoa ini berdiri
tembok tinggi yang panjang dan disanasini tergantung papan peringatan “DILARANG
MASUK BAGI YANG TIDAK MEMILIKI HAK”. Di atas tembok ini tidak hanya
ditancapi pecahan-pecahan kaca yang mengancam tapi juga dililitkan empat jalur kawat
berduri seperti di kampAuschwitz. Namun, tidak seperti Tembok Besar Cina yang
melindungi berbagai dinasti dari sebuan suku-suku Mongol di utara, di Belitong tembok
yang angkuh dan berkelak-kelok sepanjang kiloan meter ini adalah pengukuhan sebuah

dominasi dan perbedaan status sosial.
Di balik tembok itu terlindung sebuah kawasan yang disebut Gedong, yaitu negeri
asing yang jika berada di dalamnya orang akan merasa tak sedang berada di Belitong.
Dan di dalamsanaberdiri sekolah-sekolah PN. Sekolah PN adalah sebutan untuk sekolah
milik PN (Perusahaan Negara) Timah, sebuah perusahaan yang paling berpengaruh di
Belitong, bahkan sebuah hegemoni lebih tepatnya, karena timah adalah denyut nadi pulau
kecil itu.
Suatu sore seorang gentleman keluar dari balik tembok itu untuk berkeliling
kampung dengan sebuah Chevrolet Corvette, lalu esoknya di depan sebuah majelis ia
mencibir.
“Tak satu pun kulihat ada anak muda memegang pacul! Tak pernah kulihat orangorang
muda demikian malas seperti di sini.”
Ha? Apa dia kira kami bangsa petani? Kami adalah buruh-buruh tambang yang
bangga, padi tak tumbuh di atas tanah-tanah kami yang kaya material tambang!
LAKSANA theTowerofBabel—yakni Menara Babel, metafora tangga menuju
surga yang ditegakkan bangsa babylonia sebagai perlambang kemakmuran 5.600 tahun
lalu, yang berdiri arogan di antara Sungai Tigris dan Eufrat di tanah yang sekarang
disebut Irak—timah di Belitong adalah menara gading kemakmuran berkah Tuhan yang
menjalar sepanjang Semenanjung Malaka, tak putus-putus seperti jalian urat di punggung
tangan.
Orang Melayu yang merogohkan tangannya ke dalam lapisan dangkal aluvium,
hampir di sembarang tempat, akan mendapati lengannya berkilauan karena dilumuri
ilmenit atau timah kosong. Bermil-mil dari pesisir, Belitong tampak sebagai garis pantai
kuning berkilauan karena bijih-bijih timah dan kuarsa yang disirami cahaya matahari.
Pantulan cahaya itu adalah citra yang lebih kemilau dari riak-riak gelombang laut dan
membentuk semacam fatamorgana pelangi sebagai mercusuar yang menuntun para

nakhoda.
Tuhan memberkahi Belitong dengan timah bukan agar kapal yang berlayar ke
pulau itu tidak menyimpang ke Laut Cina Selatan, tetapi timah dialirkan-Nya kesana
untuk menjadi mercusuar bagi penduduk pulau itu sendiri. Adakah mereka telah semena mena pada
rezeki Tuhan sehingga nanti terlunta-lunta seperti di kala Tuhan menguji
bangsa Lemuria?
Kilau itu terus menyala sampai jauh malam. Eksploitasi timah besar-besaran
secara nonstop diterangi ribuan lampu dengan energi jutaan kilo watt. Jika disaksikan
dari udara di malam hari Pulau Belitong tampak seperti familia besar Ctenopore, yakni
ubur-ubur yang memancarkan cahaya terang berwarna biru dalam kegelapan latu: sendiri,
kecil, bersinar, indah, dan kaya raya. Belitong melayang-layang di antara Selat Gaspar
dan Karimata bak mutiara dalma tangkupan kerang.
Dan terberkatilah tanah yang dialiri timah karena ia seperti knautia yang dirubung
beragam jenis lebah madu. Timah selalu mengikat material ikutan, yakni harta karun tak
ternilai yang melimpah ruah: granit, zirkonium, silika, senotim, monazite, ilmenit, siderit,
hematit, clay, emas, galena, tembaga, kaolin, kuarsa, dan topas …. Semuanya berlapislapis,
meluap-luap, beribu-ribu ton di bawah rumah-rumah panggung kami. Kekayaan ini
adalah … bahan dasar kaca berkualitas paling tinggi, bijih besi dan titanium yang bernas,
… material terbaik untuk superkonduktor, timah kosong ilmenit yang digunakan
laboratorium roket NASA sebagai materi antipanas ekstrem, zirkonium sebagai bahan
dasar produk-produk tahan api, emas murni dan timah hitam yang amat mahal, bahkan
kami memiliki sumber tenaga nuklir: uranium yang kaya raya. Semua ini sangat
kontradiktif dengan kemiskinan turun temurun penduduk asli Melayu Belitong yang
hidup berserakan di atasnya. Kami seperti sekawanan tikus yang paceklik di lumbung
padi.
Belitong dalam batas kuasa eksklusif PN Timah adalahkotapraja Konstantinopel

yang makmur. PN adalah penguasa tunggal Pulau Belitungyang termasyhur di seluruh
negeri sebagai Pulau Timah. Nama itu tercetak di setiap buku geografi atau buku
Himpunan Pengetahuan Umum pustaka wajib sekolah dasar. PN amat kaya. Ia punya
jalan raya, jembatan, pelabuhan, real estate, bendungan, dok kapal, sarana
telekomunikasi, air, listrik, rumah-rumah sakit, sarana olahraga—termasuk beberapa
padanggolf, kelengkapan sarana hiburan, dan sekolah-sekolah. PN menjadikan
Belitong—sebuah pulau kecil—seumpama desa perusahaan dengan aset triliunan rupiah.
PN merupakan penghasil timah nasional terbesar yang mempekerjakan tak kurang
dari 14.000 orang. Ia menyerap hampir seluruh angkatan kerja di Belitong dan
menghasilkan devisa jutaan dolar. Lahan eksploiotasinya tak terbatas. Lahan itu disebut
kuasa penambangan dan secara ketat dimonopoli. Legitimasi ini diperoleh melalui
pembayaran royalti—lebih pas disebut upeti—miliaran rupiah kepada pemerintah. PN
mengoperasikan 16 unit emmer bager atau kapal keruk yang bergerak lamban, mengorek
isi bumi dengan 150 buah mangkuk-mangkuk baja raksasa, siang malam merambah laut,
sungai, dan rawa-rawa, bersuara mengerikan laksana kawanan dinosaurus.
Di titik tertinggi siklus komidi putar, di masa keemasan itu, penumpangnya
mabuk ketinggian dan tertidur nyenyak, melanjutkan mimpi gelap yang ditiup-tiupkan
kolonialis. Sejak zaman penjajahan, sebagai platform infrastruktur ekonomi, PN tidak
hanya memonopoli faktor produksi terpenting tapi juga mewarisi mental bobrok
feodalistis ala Belanda. Sementara seperti sering dialami oleh warga pribumi di mana pun
yang sumber daya alamnya dieksploitasi habis-habisan, sebagaian komunitas di Belitong
juga termarginalkan dalam ketidakadilan kompensasi tanah ulayah, persamaan
kesempatan, dan trickle down effects.

BAB VI
G E D O N G
PULAU Belitong yang makmur seperti mengasingkan diri dari tanahSumatrayang
membujur dan disanamengalir kebudayaan Melayu yang tua. Pada abad ke-19, ketika
korporasi secara sistematis mengeksploitasi timah, kebudayaan bersahaja itu mulai hidup
dalam karakteristik sosiologi tertentu yang atribut-atributnya mencerminkan perbedaan
sangat mencolok seolah berdasarkan status berkasta-kasta. Kasta majemuk itu tersusun
rapi mulai dari para petinggi PN Timah yang disebut “orang staf” atau urang setap dalam
dialek lokal sampai pada para tukang pikul pipa di instalasi penambangan serta warga
suku Sawang yang menjadi buruh-buruh yuka penjahit karung timah. Salah satu atribut
diskriminasi itu adalah sekolah-sekolah PN.
Maka lahirlah kaum menak, implikasi dari institusi yang ingin memelihara citra
aristokrat. PN melimpahi orang staf dengan penghasilan dan fasilitas kesehatan,
pendidikan, promosi, transportasi, hiburan, dan logistik yang sangat diskriminatif
dibanding kompensasi yang diberikan kepada mereka yang bukan orang staf. Mereka,
kaum borjuis ini, bersemayam di kawasan eksklusif yang disebut Gedong. Mereka seperti
orang-orang kulit putih di wilayah selatan Amerika pada tahun 70-an. Feodalisme di
Belitong adalah sesuatu yang unik, karena ia merupakan konsekuensi dari adanya budaya
korporasi, bukan karena tradisi paternalistik dari silsilah, subkultur, atau privilese yang
dianugerahkan oleh penguasa seperti biasa terjadi di berbagai tempat lain.
Sepadan dengan kebun gantung yang memesona di pelataran menaraBabylonia,
sebuah taman kesayangan Tiran Nebuchadnezzar III untuk memuja Dewa Marduk,
Gedong adalah land markBelitong. Ia terisolasi tembok tinggi berkeliling dengan satu
akses keluar masuk seperti konsep cul de sacdalam konsep pemukiman modern.
Arsitektur dan desain lanskapnya bergaya sangat kolonial. Orang-orang yang tinggal di

dalamnya memiliki nama-nama yang aneh, misalnya Susilo, Cokro, Ivonne, Setiawan,
atau Kuntoro, tak ada Muas, Jamali, Sa’indun, Ramli, atau Mahader seperti nama orangorang
Melayu, dan mereka tidak pernah menggunakan bin atau binti.
Gedong lebih seperti sebuahkotasatelit yang dijaga ketat oleh para Polsus (Polisi
Khusus) Timah. Jika ada yang lancang masuk maka koboi-koboi tengik itu akan
menyergap, mengintergoasi, lalu interogasi akan ditutup dengan mengingatkan sang
tangkapan pada tulisan “DILARANG MASUK BAGI YANG TIDAK MEMILIKI HAK”
yang bertaburan secara mencolok pada berbagai akses dan fasilitas disana, sebuah power
statementtipikal kompeni.
Kawasan warisan Belanda ini menjunjung tinggi kesan menjaga jarak, dan kesan
itu diperkuat oleh jajaran pohon-pohon saga tua yang menjatuhkan butir-butir buah
semerah darah di atas kap mobil-mobil mahal yang berjejal-jejal sampai keluar garasi. Di
sana, rumah-rumah mewah besar bergayaVictoriamemiliki jendela-jendela kaca lebar
dan tinggi dengan tirai yang berlapis-lapis laksana layar bioskop. Rumah-rumah itu
ditempatkan pada kontur yang agak tinggi sehingga kelihatan seperti kastil-kastil kaum
bangsawan dengan halaman terpelihara rapi dan danau-danau buatan. Di dalamnya hidup
tenteram sebuah keluarga kecil dengan dua atau tiga anak yang selalu tampak damai,
temaram, dan sejuk.
Setiap rumah memiliki empat bangunan terpisah yang disambungkan oleh selasarselasar
panjang. Itulah rumah utama sang majikan, rumah bagi para pembantu, garasi,
dan gudang-gudang. Selasar-selasar itu mengelilingi kolam kecil yang ditumbuhi
Nymphaea caereuleaatau the blue water lilyyang sangat menawan dan di tengahnya
terdapat patung anak-anak gendut semacam Manequin Piss legenda negeri Belgia yang
menyemprotkan air mancur sepanjang waktu dari kemaluan kecilnya yang lucu.
Pot-pot kayu anggrek mahal Tainia shimadaidan Chysisdigantungkan berderetderet
di bibir atap selasar dan di bawahnya tersusun rapi bejana keramik antik bertanggatangga

berisi kaktus Chaemasereasdan Parodia scopa. Untuk urusan bunga ini ada
petugas khusus yang merawatnya. Di luar lingkar kolam didirikan sebuah kandang
berlubang kotak-kotak kecil persegi berbentuk piramida yang berseni dan ditopang oelh
sebuah pilar bergaya Romawi, itulah rumah burung merpati Inggris.
Di dalam rumah utama sang majikan terdapat ruang tamu dengan lampu-lampu
yang teduh dan perabot utama disanaadalah sebuah sofa Victorian rosewoodberwarna
merah. Jika duduk di atasnya seseorang dapat merasa dirinya seperti seorang paduka raja.
Di samping ruang tamu adalah ruang makan tempat para penghuni rumah makan malam
mengenakan busana senja yang terbaik dan bersepatu. Di meja makan mewah dengan
kayu cinnamon glaze, mereka duduk mengelilingi makanan yang namanya bahkan belum
ada terjemahannya. Pertama-tama perangsang lapar pumpkin and Gorgonzola soup, lalu
hadir caesar saladmenu utama, chicken cordon bleu, vitello alla Provenzale, atau ….
Pada bagian akhir sebagai makanan penutup adalah creamy cheesecake topped with
stawberry puree, buah-buah persik dan prem.
Mereka makan dengan tenang sembari mendengarkan musik klasik yang elegan:
Mozart: Haffner No. 35 in D Major. Mereka mematuhi table manner. Setelah
melampirkan serbet di atas pangkuannya makan malam dimulai nyaris tanpa suara dan
tak ada seorang pun yang menekan bibir meja dengan sikunya.
Sarapan pagi disajikan di ruangan yang berbeda. Ruangan ini terbuka, menghadap
ke kebun anggrek dan kolam renang dangkal yang biru. Mejanya juga berbeda yakni
terracotta tile top ovalyang lucu namun berkelas. Di pagi hari mereka senang mencicipi
omelet dan menyeruput the Earl Greyatau cappuccino, lalu mereka melemparkan remahremah
roti pada burung-burung merpati Inggris yang berebutan, rakus tapi jinak.
Halaman setiap rumah sangat luas dan tak dipagar. Kebanyakan didekorasi
dengan karya seni instalasi dari konstruksi logam yang maknanya tak mudah dicerna
orang awam. Hamparan rumput manila di halaman menyentuh lembut bibir jalan raya

dengan tinggi permukaan yang sama.Adadaya tarik tersendiri di situ. Tak ada parit,
karena semua sistem pembuangan diatur di bawah tanah. Pekarangan ditumbuhi pinang
raja, bambu Jepang, pisang kipas, dan berjenis-jenis palem yang berselang-seling di
antara taman-taman bunga umum, ornamen, galeri, angsa-angsa besar yang berkeliaran,
kafe members only, patung-patung, snooker bar, sudut-sudut tempat bermain anak-anak
berisi ayam-ayam kalkun yang dibiarkan bebas, trotoar untuk membawa anjing jalanjalan,
kolam-kolam renang, dan lapangan-lapangan golf. Tenang dan tidak berisik,
kecuali sedikit bunyi, rupanya anjing pudel sedang mengejar beberapa ekor kucing
anggora.
Namun, selain suara hewan-hewan lucu itu sore ini terdengar lamat-lamat denting
piano dari salah satu kastilVictoriayang terututp rapat berpilar-pilar itu. Floriana atau
Flo yang tomboi, salah seorang siswa sekolah PN, sedang les piano. Guru privatnya
sangat bersemangat tapi Flo sendiri terkantuk-kantuk tanpa minat. Kedua tangannya
menopang wajah murungnya sambil menguap berulang-ulang di samping sebuah
instrumen megah: grand pianomerk Steinway and sonsyang hitam, dingin, dan
berkilauan. Wajah Flo seperti kucing kebanyakan tidur dan bangun magrib-magrib.
Bapaknya—seorang Mollen Bas, kepala semua kapal keruk—duduk di sebuah
kursi besar semacam singgasana sehingga tubuh kecilnya tenggelam. Kakinya dibungkus
sepatu mahal De Carlocokelat yang elegan, tergantung berayun-ayun lucu. Ia geram
pada tingkah si tomboi dan malu pada sang guru, seorang wanita berkacamata, setengah
baya, berwajah cerdas dan hanya bisa tersenyum-senyum. Beliau tak henti-henti
memohon maaf pada wanita Jawa yang sangat santun itu atas kelakuan anaknya.
Bapak Flo adalah orang hebat, seseorang yang amat terpelajar. Ia adalah insinyur
lulusan terbaik dari Technische Universiteit Delfdi Holland dari Fakultas
Werktuiqbouwkunde, Maritieme techniek & technische materiaalwetenschappen, yang
artinya kurang lebih: jago teknik.

Ia adalah salah satu dari segelintir orang Melayu asli Belitong yang berhak tinggal
di Gedong dan orang kampung yang mampu mencapai karier tinggi di jajaran elite orang
staf karena kepintarannya. Sebagai Mollen Basbeliau sanggup mengendalikan shift
ribuan karyawan, memperbaiki kerusakan kapal keruk yang tenaga-tenaga ahli asing
sendiri sudah menyerah, dan mengendalikan aset produksi miliaran dolar. Tapi
menghadapi anak perempuan kecilnya, si tomboi gasing yang tak bisa diatur ini, beliau
hampir menyerah. Semakin keras suara bapaknya menghardik semakin lebar Flo
menguap.
Pokok perkaranya sederhana, yakni beliau telah memiliki beberapa anak laki-laki
dan Flo si bungsu, adalah anak perempuan satu-satunya. Namun anak perempuannya ini
bersikeras ingin menjadi laki-laki. Setiap hari beliau berusaha memerempuankanFlo
antara lain dengan memaksanya kursus piano. Grand pianoitu didatangkan dengan kapal
khusus dariJakarta. Guru privat yang merupakan seorang instruktur musik profesional,
juga khusus dijemput dari Tanjong Pandan. Lebih dari itu, di sela kesibukannya,
bapaknya rela menunggui Flo kursus, namun yang beliau dapat tak lebih dari uapanuapan
itu. Flo bahkan tak berminat menyentuh tuts-tuts hitam putih yang berkilat-kilat
karena pikirannya melayang ke sasana tempat ia latihan kick boxingdan angkat barbel.
Flo tak suka menerima dirinya sebagai seorang perempuan. Mungkin karena
pengharuh dari saudara-saudara kandungnya yang seluruhnya laki-laki atau karena suatu
ketidakseimbangan dalam kimia tubuhnya. Maka ia memotong rambut dengan model
lurus pendek dan ia belajar mengubah ekspresi wajah cantiknya agar merefleksikan
seringai laki-laki. Ia bercelana jeans, kaos oblong, dan membuang anting-anting yang
dibelikan ibunya. Guru privat itu memperkenalkan dengan lembut notasi do, mi, sol, si
dalam lintasan empat oktaf dan memperlihatkan posisi jari-jemari pada setiap notasi itu
sebagai dasar bagi Flo untuk berlatih fingering. Flo menguap lagi.

BAB VII
ZOOM OUT
TAK disangsikan, jika di- zoom out, kampung kami adalah kampung terkaya diIndonesia.
Inilah kampung tambang yang menghasilkan timah dengan harga segenggam lebih mahal
puluhan kali lipat dibanding segantang padi. Triliunan rupiah aset tertanam disana,
miliaran rupiah uang berputar sangat cepat seperti putaran mesin parut, dan miliaran
dolar devisa mengalir deras seperti kawanan tikus terpanggil pemain seruling ajaib Der
Rattenfanger von Hameln. Namun jika di- zoom in, kekayaan itu terperangkap di satu
tempat, ia tertimbun di dalam batas tembok-tembok tinggi Gedong.
Hanya beberapa jengkal di luar lingkaran tembok tersaji pemandangan kontras
seperti langit dan bumi. Berlebihan jika disebut daerah kumuh tapi tak keliru jika
diumpamakankotayang dilanda gerhana berkepanjangan sejak era pencerahan revolusi
industri. Disana, di luar lingkar tembok Gedong hidup komunitas Melayu Belitong yang
jika belum punya enam anak belum berhenti beranak pinak. Mereka menyalahkan
pemerintah karena tidak menyediakan hiburan yang memadai sehingga jika malam tiba
mereka tak punya kegiatan lain selain membuat anak-anak itu.
Di luar tembok feodal tadi berdirilah rumah-rumah kami, beberapa sekolah
negeri, dan satu sekolah kampung Muhammadiyah. Tak ada orang kaya disana, yang ada
hanya kerumunan toko miskin di pasar tradisional dan rumah-rumah panggung yang
renta dalam berbagai ukuran. Rumah-rumah asli Melayu ini sudah ditinggalkan zaman
keemasannya. Pemiliknya tak ingin merubuhkannya karena tak ingin berpisah dengan
kenangan masa jaya, atau karena tak punya uang.
Di antara rumah panggung itu berdesak-desakan kantor polisi, gudang-gudang
logistik PN, kantor telepon, toapekong, kantor camat, gardu listrik, KUA, masjid, kantor
pos, bangunan pemerintah—yang dibuat tanpa perencanaan yang masuk akal sehingga

menjadi bangunan kosong telantar, tandon air, warung kopi, rumah gadai yang selalu
dipenuhi pengunjung, dan rumah panjang suku Sawang.
Komunitas Tionghoa tinggal di bangunan permanen yang juga digunakan sebagai
toko. Mereka tidak memiliki pekarangan. Adapun pekarangan rumah orang Melayu
ditumbuhi jarak pagar, beluntas, beledu, kembang sepatu, dan semak belukar yang
membosankan. Pagar kayu saling-silang di parit bersemak di mana tergenang air mati
berwarna cokelat—juga sangat membosankan. Entok dan ayam kampung berkeliaran
seenaknya. Kambing yang tak dijaga melalap tanaman bunga kesayangan sehingga sering
menimbulkan keributan kecil.
Jalan raya di kampung ini panas menggelegak dan ingar-bingar oleh suara logam
yang saling beradu ketika truk-truk reyot lalu-lalang membawa berbagai peralatan teknik
eksplorasi timah. Kawasan kampung ini dapat disebut sebagai urban atau perkotaan.
Umumnya tujuh macam profesi tumpang tindih di sini: kuli PN sebagai mayoritas,
penjaga toko, pegawai negeri, pengangguran, pegawai kanotr desa, pedagang, dan
pensiunan. Sepanjang waktu mereka hilir mudik dengan sepeda. Semuanya, para
penduduk, kambing, entok, ayam, dan seluruh bangunan itu tampak berdebu, tak teratur,
tak berseni, dan kusam.
Keseharian orang pinggiran ini amat monoton. Pagi yang sunyi senyap mendadak
sontak berantakan ketika kantor pusat PN Timah membunyikan sirine, pukul 7 kurang 10.
Sirine itu memekakkan telinga dalam radius puluhan kilometer seperti peringatan
serangan Jepang dalam pengeboman Pearl Harbour.
Demi mendengar sirine itu, dari rumah-rumah panggung, jalan-jalan kecil, sudutsudut
kampung, rumah-rumah dinas permanen berdinding papan, dan gang-gang sempit
bermunculanlah para kuli PN bertopi kuning membanjiri jalan raya. Mereka berdesakan,
terburu-buru mengayuh sepeda dalam rombongan besar atau berjalan kaki, karena
sepuluh menit lagi jam kerja dimulai. Jumlah mereka ribuan.

Mereka menyerbu tempat kerja masing-masing: bengkel bubut, kilang minyak,
gudang beras, dok kapal, dan unit-unit pencucian timah. Para kuli yang bekerja shiftdi
kapal keruk melompat berjejal-jejal ke dalam bak truk terbuka seperti sapi yang akan
digiring ke penjagalan. Tepat pukul 7 kembali dibunyikan sirene kedua tanda jam resmi
masuk kerja. Lalu tiba-tiba jalan-jalan raya, kampung-kampung, dan pasar kembali
lengang, sunyi senyap. Setelah pukul 7 pagi, rumah orang Melayu Belitong hanya dihuni
kaum wanita, para pensiunan, dan anak-anak kecil yang belum sekolah. Kampung
kembali hidup pada pukul 10, yaitu ketika wanita-wanita itu memainkan orkestra
menumbuk bumbu. Suara alu yang dilantakkan ke dalam lumpang kayu bertalu-talu,
sahut-menyahut dari rumah ke rumah.
Pukul 12 sirine kembali berbunyi, kali ini adalah sebagai tanda istirahat. Dalam
sekejap jalan raya dipenuhi para kuli yang pulang sebentar. Lapar membuat mereka
tampak seperti semut-semut hitam yang sarangnya terbakar, lebih tergesa dibanding
waktu mereka berangkat pagi tadi. Pukul 2 siang sirine berdengung lagi memanggil
mereka bekerja.Parakuli ini akan kembali pulang ke peraduan setelah terdengar sirine
yang sangat panjang tepat pukul 5 sore. Demikianlah yang berlangsung selama puluhan
tahun lamanya.
TIDAK seperti di Gedong, jika makan orang urban ini tidak mengenal appetizer
sebagai perangsang selera, tak mengenal main course, ataupun dessert. Bagi mereka
semuanya adalah menu utama. Pada musim barat ketika nelayan enggan melaut, menu
utama itu adalah ikan gabus.Parakuli yang bernafsu makan besar sesuai dengan
pembakaran kalorinya itu jika makan seluruh tubuhnya seakan tumpah ke atas meja. Agar
lebih praktis tak jarang baskom kecil nasi langsung digunakan sebagai piring. Di situlah
diguyur semangkuk gangan, yaitu masakna tradisional dengan bumbu kunir. Ketika
makan emreka tak diiringi karya Mozart Haffner No. 35 in D Majortapi diiringi
rengekan anak-anaknya yang minta dibelikan baju pramuka.

Setiap subuh para istri meniup siong(potongan bambu) untuk menghidupkan
tumpukan kayu bakar. Asap mengepul masuk ke dalam rumah, menyembul keluar
melalui celah dinding papan, dan membangunkan entok yang dipelihara di bawah rumah
panggung. Asap itu membuat penghuni rumah terbatuk-batuk, namun ia amat diperlukan
guna menyalakan gemuk sapi yang dibeli bulan sebelumnya dan digantungkan berjuntaijuntai
seperti cucian di atas perapian. Gemuk sapi itulah sarapan mereka setiap pagi.
Sebelum berangkat para kuli itu tidak minum teh Earlgreyatau cappuccino, melainkan
minum air gula aren dicampur jadamuntuk menimbulkan efek tenaga kerbau yang akan
digunakan sepanjang hari.
Apabila persediaan gemuk sapi menipis dan angin barat semakin kencang, maka
menu yang disajikan sangatlah istimewa, yaitu lauk yang diasap untuk sarapan, lauk yang
diasin untuk makan siang, dan lauk yang dipepes untuk makan malam, seluruhnya terbuat
dari ikan gabus.
DI luar lingkungan urban, berpencar menuju dua arah besar adalah wilayah rural
atau pedesaan. Daerha ini memanjang dalam jarak puluhan kilometer menuju ke barat ibu
kotaKabupaten: Tanjong Pandan. Sebaliknya, ke arah selatan akan menelusuri jalur ke
pedalaman. Jalur ini berangsur-angsur berubah dari aspal menjadi jalan batu merah dan
lama-kelamaan menjadi jalan tanah setapak yang berakhir di laut.
Di sepanjang jalur pedesaan rumah penduduk berserakan, berhadap-hadapan
dipisahkan oleh jalan raya. Dulu nenek moyang mereka berladang di hutan. Belanda
menggiring mereka ke pinggir jalan raya, agar mudah dikendalikan tentu saja. Orangorang
pedesaan ini hidup bersahaja, umumnya berkebun, mengambil hasil hutan, dan
mendapat bonus musiman dari siklus buah-buahan, lebah madu, dan ikan air tawar.
Mereka mendiami tanah ulayat dan di belakang rumah mereka terhampar ribuan hektar
tanah tak bertuan, padang sabana, rawa-rawa layaknya laboratorium alam yang lengkap,
dan aliran air bening yang belum tercemar.

Kekuatan ekonomi Belitong dipimpin oleh orang staf PN dan para cukong swasta
yang mengerjakan setiap konsesi eksploitasi timah. Mereka menempati strata tertinggi
dalam lapisan yang sangat tipis. Kelas menengah tak ada, oh atau mungkin juga ada,
yaitu para camat, para kepala dinas dan pejabat-pejabat publik yang korupsi kecilkecilan,
dan aparat penegak hukum yang mendapat uang dari menggertaki cukongcukong
itu.
Sisanya berada di lapisan terendah, jumlahnya banyak dan perbedaannya amat
mencolok dibanding kelas di atasnya. Mereka adalah para pegawai kantor desa, karyawan
rendahan PN, pencari madu dan nira, para pemain organ tunggal, semua orang Sawang,
semua orang Tionghoa kebun, semua orang Melayu yang hidup di pesisir, para tenaga
honorer Pemda, dan semua guru dan kepala sekolah—baik sekolah negeri maupun
sekolah kampung—kecuali guru dan kepala sekolah PN.
BAB VIII
CENTER OF EXCELLENCE
SEKOLAH-SEKOLAH PN Timah, yaituTK,SD, dan SMP PN berada dalam kawasan
Gedong. Sekolah-sekolah ini berdiri megah di bawah naungan Aghatis berusia ratusan
tahun dan dikelilingi pagar besi tinggi berulir melambangkan kedisiplinan dan mutu
tinggi pendidikan. Sekolah PN merupakan center of excellenceatau tempat bagi semua
hal yang terbaik. Sekolah ini demikian kaya raya karena didukung sepenuhnya oleh PN
Timah, sebuah korporasi yang kelebihan duit. Institusi pendidikan yang sangat modern
ini lebih tepat disebut percontohan bagaimana seharusnya generasi muda dibina.
Gedung-gedung sekolah PN didesain dengan arsitektur yang tak kalah indahnya
dengan rumah bergayaVictoriadi sekitarnya. Ruangan kelasnya dicat warna-warni
dengan tempelan gambar kartun yang edukatif, poster operasi dasar matematika, tabel

pemetaan unsur kimia, peta dunia, jam dinding, termometer, foto para ilmuwan dan
penjelajah yang memberi inspirasi, dan ada kapstok topi. Di setiap kelas ada patung
anatomi tubuh yang lengkap, globe yang besar, white board, dan alat peraga konstelasi
planet-planet.
Di dalam kelas-kelas itu puluhan siswa brilian bersaing ketat dalam standar mutu
yang sanggat tinggi. Sekolah-sekolah ini memiliki perpustakaan, kantin, guru BP,
laboratorium, perlengkapan kesenian, kegiatan ekstrakurikuler yang bermutu, fasilitas
hiburan, dan sarana olahraga—termasuk sebuah kolam renang yang masih disebut dalam
bahasa Belanda: zwembad. Di depan pintu masuk kolam renang ini tentu saja terpampang
peringatan tegas “DILARANG MASUK BAGI YANG TIDAK MEMILIKI HAK”. Di
setiap kelas ada kotak P3K berisi obat-obat pertolongan pertama. Kalau ada siswanya
yang sakit maka ia akan langsung mendapatkan pertolongan cepat secara profesional atau
segera dijemput oleh mobil ambulans yang meraung-raung.
Mereka memiliki petugas-petugas kebersihan khusus, guru-guru yang bergaji
mahal, dan para penjaga sekolah yang berseragam seperti polisi lalu lintas dan selalu
meniup-niup peluit. Tali merah bergulung-gulung keren sekali di bahu seragamnya itu.
“Jumlah gurunya banyak.”
Demikian ujar Bang Amran Isnaini bin Muntazis Ilham—yang pernah sekolah di
sana—persis pada malam sebelum esoknya aku masuk pertama kali di SD
Muhammadiyah itu.
Aku termenung.
“Setiap pelajaran ada gurunya masing-masing, walaupun kau baru kelas satu.”
Maka pada malam itu aku tak bsia tidur akibat pusing menghitung berapa banyak
jumlah guru di sekolah PN, tentu saja juga selain karena rasa senang akan masuk sekolah
besok.
Murid PN umumnya anak-anak orang luar Belitong yang bapaknya menjadi

petinggi di PN. Sekolah ini juga menerima anak kampung seperti Bang Amran, tapi tentu
saja yang orangtuanya sudah menjadi orang staf. Mereka semua bersih-bersih, rapi, kaya,
necis, dan pintar-pintar luar biasa. Mereka selalu mengharumkan nama Belitong dalam
lomba-lomba kecerdasan, bahkan sampai tingkat nasional. Sekolah PN sering dikunjungi
para pejabat, pengawas sekolah, atau sekolah lain untuk melakukan semacam
benchmarking, melihat bagaimana seharusnya ilmu pengetahuan ditransfer dan
bagaimana anak-anak kecil dididik secara ilmiah.
Pendaftaran hari pertama di sekolah PN adalah sebuah perayaan penuh sukacita.
Puluhan mobil mewah berderet di depan sekolah dan ratusan anak orang kaya mendaftar.
Adabazar dan pertunjukan seni para siswa. Setiap kelas bisa menampung hampir
sebanyak 40 siswa dan paling tidak ada 4 kelas untuk setiap tingkat. SD PN tidak akan
membagi satu pun siswanya kepada sekolah-sekolah lain yang kekurangan murid karena
sekolah itu memiliki sumber daya yang melimpah ruah untuk mengakomodasi berapa
pun jumlah siswa baru. Lebih dari itu, bersekolah di PN adalah sebuah kehormatan,
hingga tak seorang pun yang berhak sekolah di situ sudi dilungsurkan ke sekolah lain.
Ketika mendaftar badan mereka langsung diukur untuk tiga macam seragam
harian dan dua macam pakaian olah raga. Mereka juga langsung mendapat kartu
perpustakaan dan bertumpuk-tumpuk buku acuan wajib. Seragamnya untuk hari Senin
adalah baju biru bermotif bunga rambat yang indah. Sepatu yang dikenakan berhak dan
berwarna hitam mengilat. Sangat gagah ketika ber- marching bandmelintasi kampung.
Melihat mereka aku segera teringat pada sekawanan anak kecil yang lucu, putih, dan
bersayap, yang turun dari awan—seperti yang biasa kita lihat pada gambar-gambar buku
komik. Setiap pagi para murid PN dijemput oleh bus-bus sekolah berwarna biru.
Kepala sekolahnya adalah seorang pejabat penting, Ibu Frischa namanya. Caranya
ber- make upjelas memperlihatkan dirinya sedang bertempur mati-matian melawan usia
dan tampak jelas pula, dalam pertempuran itu, beliau telah kalah. Ia seorang wanita keras

yang terpelajar, progresif, ambisius, dan sering habis-habisan menghina sekolah
kampung. Gerak geriknya diatur sedemikian rupa sebagai penegasan kelas sosialnya. Di
dekatnya siapa pun akan merasa terintimidasi.
Kalau sempat berbicara dengan beliau, maka ia sama seperti orang Melayu yang
baru belajar memasak, bumbunya cukup tiga macam: pembicaraan tentang fasilitasfasilitas
sekolah PN, anggaran ekstrakurikuler jutaan rupiah, dan tentang murid-muridnya
yang telah menajdi dokter, insinyur, ahli ekonomi, pengusaha, dan orang-orang sukses di
kotaatau bahkan di luar negeri. Bagi kami yang waktu itu masih kecil, masih
berpandangan hitam putih, beliau adalah seorang tokoh antagonis.
Yang dimaksud dengan sekolah kampung tentu saja adalah perguruan
Muhammadiyah dan beberapa sekolah swasta miskin lainnya di Belitong. Selain sekolah
miskin itu memang terdapat pula beberapa sekolah negeri di kampung kami. Namun
kondisi sekolah negeri tentu lebih baik karena mereka disokong oleh negara. Sementara
sekolah kampung adalah sekolah swadaya yang kelelahan menyokong dirinya sendiri.
BAB IX
PENYAKIT GILA NO 5
FILICIUM decipiensbiasa ditanam botanikus untuk mengundang burung. Daunnya lebat
tak kenal musim. Bentuk daunnya cekung sehingga dapat menampung embun untuk
burung-burung kecil minum. Dahannya pun mungil, menarik hati burung segala ukuran.
Lebih dari itu, dalam jarak 50 meter dari pohon ini, di belakang sekolah kami, berdiri
kekar menjulang awan sebatang pohon tua ganitri ( Elaeocarpus sphaericus schum).
Tingginya hampir 20 meter, dua kali lebih tinggi dari filicium. Konfigurasi ini
menguntungkan bagi burung-burung kecil cantik nan aduhai yang diciptakan untuk selalu
menjaga jarak dengan manusia (sepertinya setiap makhluk yang merasa dirinya cantik

memang cenderung menjaga jarak), yaitu red breasted hanging parrotsatau tak lain
serindit Melayu.
Sebelum menyerbu filicium, serindit Melayu terlebih dulu melakukan pengawasan
dari dahan-dahan tinggi ganitri sambil jungkir balik seperti pemain trapeze. Melongok-longok ke
sana kemari apakah ada saingan atau musuh. Buah ganitri yang biru mampu
menyamarkan kehadiran mereka. Kemampuan burung ini berakrobat menyebabkan ahli
ornitologi Inggris menambahkan nama hangingpada nama gaulnya itu. Jika keadaan
sudah aman kawanan ini akan menukik tajam menuju dahan-dahan filiciumdan tanpa
ampun, dengan paruhnya yang mampu memutuskan kawat, secepat kilat, unggas mungil
rakus ini menjarah buah-buah kecil filiciumdengan kepala waspada menoleh ke kiri dan
kanan. Pelajaran moral nomor tiga: jika Anda cantik, hidup Anda tak tenang.
Seumpama suku-suku Badui di Jazirah Arab yang menggantungkan hidup pada
oasis maka filiciumtua yang menaungi atap kelas kami ini adalah mata air bagi kami.
Hari-hari kami terorientasi pada pohon itu. Ia saksi bagi drama masa kecil kami. Di
dahannya kami membuat rumah-rumahan. Di balik daunnya kami bersembunyi jika bolos
pelajaran kewarganegaraan. Di batang pohonnya kami menuliskan janji setia
persahabatan dan mengukir nama-nama kecil kami dengan pisau lipat. Di akarnya yang
menonjol kami duduk berkeliling mendengar kisah Bu Mus tentang petualangan Hang
Jebat, dan di bawah keteduhan daunnya yang rindang kami bermain lompat kodok,
berlatih sandiwara Romeo dan Juliet, tertawa, menangis, bernyanyi, belajar, dan
bertengkar.
Setelah serindit Melayu terbang melesat pergi seperti anak panah Winetou
menembus langit maka hadirlah beberapa keluarga jalak kerbau. Penampilan burung ini
sangat tak istimewa. Karena tak istimewa maka tak ada yang memerhatikannya. Mereka
santai saja bertamu ke haribaan dedaunan filicium, menikmati setiap gigitan buah
kecilnya, buang hajat sesuka hatinya .... Bahkan ketika mulutnya penuh, mereka pun akan
membersihkan paruhnya dengan menggosok-gosokkannya pada kulit filiciumyang

seperti handuk kering. Mereka kemudian akan turun ke tanah, buncit, penuh daging, bulat
beringsut-ingsut laksana seorang MC. Tak peduli pada dunia. Sebaliknya, kami pun tak
tertarik menggodanya. Interaksi kami dengan jalak kerbau adalah dingin dan
individualistis.
Demikian pula hubungan kami dengan burung ungkut-ungkut yang mematuki ulat
di kulit filicium. Menurutku ungkut-ungkut mendapat nama lokal yang tidak adil.
Bayangkan, nama bukunya adalah coppersmith barbet. Nyatanya ia tak lebih dari burung
biru pucat membosankan dengan bunyi yang lebih membosankan kut...kut...kut... namun
kehadirannya sangat kami tunggu karena ia selalu mengunjungi pohon filiciumsekitar
pukul 10 pagi. Pada jam ini kami mendapat pelajaran kewarganegaraan yang jauh lebih
membosankan. Suara kut-kut-kut persis di luar jendela kelas kami jelas lebih menghibur
dibanding materi pelajaran bergaya indoktrinasi itu.
Setelah ungkut-ungkut berlalu hinggaplah kawanan cinenen kelabu yang mencari
serangga sisa garapan ungkut-ungkut. Tak pernah kulihat mereka hadir bersamaan karena
peringai coppersmithyang tak pernah mau kalah. Lalu silih berganti sampai menjelang
sore berkunjung burung-burung madu sepah, pipit, jalak biasa, gelatik batu, dan burung
matahari yang berjingkat-jingkat riang dari dahan ke dahan.
Demikian harmonisnya ekosistem yang terpusat pada sebatang pohon filicium
anggota familia Acaciaini. Seperti para guru yang mengabdi di bawahnya, pohon ini tak
henti-hentinya menyokong kehidupan sekian banyak spesies. Padam usim hujan ia
semakin semarak. Puluhan jenis kupu-kupu, belalang sembah, bunglon, lintah, jamur
telur beracun, kumbang, capung, ulat bulu, dan ular daun saling berebutan tempat.
Drama, opera, dan orkestra yang manggung di dahan-dahan filiciumsepanjang
hari tak kalah seru dengan panggung sandiwara yang dilakoni sepuluh homo sapiens di
sebuah kelas di bawahnya. Seperti episode pagi ini misalnya.
“Aku mau ikut ke pasar, Cai,” Syahdan memohon kepada Kucai, ketika kami

dibagi kelompok dalam pelajaran pekerjaan tangan dan harus membli kertas kajang di
pasar.
“Tapi sandal dan bajuku buruk begini”, katanya lagi dengan polos dan tahu diri
sambil melipat karung kecampang yang dipakainya sebagai tas sekolah.
“Jangan kau bikin malu aku, Dan, apa kata anak-anak SD PN nanti?” jawab Kucai
sok gengsi padahal satu pun ia tak kenal anak-anak kaya itu. Mengesankan dirinya kenal
dengan anak-anak sekolah PN dikiranya mampu menaikkan martabatnya di mata kami.
Maka sepatuku yang seperti sepatu bola itu kupinjamkan padanya. Borek rela
menukar dulu bajunya dengan baju Syahdan. Lalu Syahdan pun, yang memang
berpembawaan ceria, kali ini terlihat sangat gembira. Ia tak peduli kalau baju Borek
kebesaran dan sebenarnya tak lebih bagus dari bajunya. Ada pula kemungkinan Borek
kurapan, aku pernah melihat kurap itu ketika kami ramai-ramai mandi di dam tempo hari.
Seperti Lintang, Syahdan yang miskin juga anak seorang nelayan. Tapi bukan
maksudku mencela dia, karena kenyataannya secara ekonomi kami, sepuluh kawan
sekelas ini, memang semuanya orang susah. Ayahku, contohnya, hanya pegawai
rendahan di PN Timah. Beliau bekerja selama 25 tahun mencedok tailing, yaitu material
buangan dalam instalasi pencucian timah yang disebut wasserij. Selain bergaji rendah,
beliau juga rentan pada risiko kontaminasi radio aktif dari monazite dan senotim.
Penghasilan ayahku lebih rendah dibandingkan penghasilan ayah Syahdan yang bekerja
di bagan dan gudang kopra, penghasilan sampingan Syahdan sendiri sebagai tukang
dempul perahu, serta ibunya yang menggerus pohon karet jika digabungkan sekaligus.
Masalahnya di mata Syahdan, gedung sekolah, bagan ikan, dan gudang kopra tempat
kelapa-kelapa busuk itu bersemedi adalah sama saja. Ia tidak punya sense of fashionsama
sekali dan di lingkungannya tidak ada yang mengingatkannya bahwa sekolah berbeda
dengan keramba.
Sebangku dengan Syahdan adalah A Kiong, sebuah anomali. Tak tahu apa yang
rasuki kepala bapaknya, yaitu A Liong, seorang Kong Hu Cu sejati, waktu
mendaftarkan anak laki-laki satu-satunya itu ke sekolah Islam puritan dan miskin ini.
Mungkin karena keluarga Hokian itu, yang menghidupi keluarga dari sebidang kebun
sawi, juga amat miskin.
Tapi jika melihat A Kiong, siapa pun akan maklum kenapa nasibnya berakhir di
SD kampung ini. Ia memang memiliki penampilan akan ditolak di mana-mana. Wajahnya
seperti baru keluar dari bengkel ketok magic, alias menyerupai Frankenstein. Mukanya
lbar dan berbentuk kotak, rambutnya serupa landak, matanya tertarik ke atas seperti
sebilah pedang dan ia hampir tidak punya alis. Seluruh giginya tonggos dan hanya tinggal
setengah akibat digerogoti phyritedan markacitedari air minum. Guru mana pun yang
melihat wajahnya akan tertekan jiwanya, membayangkan betapa susahnya menjejalkan
ilmu ke dalam kepala aluminiumnya itu.
Dia sangat naif dan tak peduli seperti jalak kerbau. Jika kitam engatakan bahwa
dunia akan kiamat besok maka ia pasti akan bergegas pulang untuk menjual satu-satunya
ayam yang ia miliki, bahkan meskipun sang ayam sedang mengeram. Dunia baginya
hitam putih dan hidup adalah sekeping jembatan papan lurus yang harus dititi. Namun,
meskipun wajahnya horor, hatinya baik luar biasa. Ia penolong dan ramah, kecuali pada
Sahara.
Tapi tak dinyana, sekian lama waktu berlalu, rupanya kepala kalengnya cepat juga
menangkap ilmu. Justru pria beraut manis manja yang duduk di depannya dan
berpenampilan layaknya orangpintar serta selalu mengangguk-angguk kalau menerima
pelajaran, ternyata lemotbukan main, namanya Kucai.
Kucai sedikit tak beruntung. Kekurangan gizi yang parah ketika kecil mungkin
menyebabkan ia menderita miopia alias rabun jauh. Selian itu pandangan matanya tidak
fokus, melenceng sekitar 20 derajat. Maka jika ia memandang lurus ke depan artinya
yang ia lihat adalah benda di samping benda yang ada persis di depannya dan demikian

sebaliknya, sehingga saat berbicara dengan seseorang ia tidak memandang lawan
bicaranya tapi ia menoleh ke samping. Namun, Kucai adalah orang paling optimis yang
pernah aku jumpai. Kekurangannya secara fisik tak sedikit pun membuatnya minder.
Sebaliknya, ia memiliki kepribadian populis, oportunis, bermulut besar, banyak teori, dan
sok tahu.
Kucai memiliki networkyang luas. Ia pintar bermain kata-kata. Kalau hanya
perkara perselisihan peneng sepeda dengan aparat desa, informasi di mana bisa menjual
beras jatah PN, atau bagaimana cara mendapatkan karcis pasar malam separuh harga,
serahkan saja padanya, ia bisa memberi solusi total. Kelemahannya adalah nilai-nilai
ulangannya tidak pernah melampaui angka enam karena ia termasuk murid yang agak
kurang pintar, bodoh yang diperhalus.
Maka jika digabungkan sifat populis, sok tahu, dan oportunis dengan otaknya
yang lemot—Kucai memiliki semua kualitas untuk menjadi seorang politisi.
Kenyataannya memang begitu. Seperti kebanyakan politisi jika ia bicara tatapan matanya
dan gayanya sangat meyakinkan walaupun dungunya minta ampun. Kualitas
kepolitisiannya itu mungkin menurun dari bapaknya. Beliau adalah seorang pensiunan
tukang bagi beras di PN Timah dan telah bertahun-tahun menjabat sebagai ketua Badan
Amil masjid kampung.
Kucai juga bertahun-tahun menjadi ketua kelas kami namun bagi kami ketua
kelas adalah jabatan yang paling tidak menyenangkan. Jabatan itu menyebalkan antara
lain karena harus mengingatkan anggota kelas agar jangan berisik padahal diri sendiri tak
bisa diam. Ini menyebabkan tak ada dari kami yang ingin menjadi ketua kelas, apalagi
kelas kami ini sudah terkenal susah dikendalikan. Berulang kali Kucai menolak diangkat
kembali menduduki jabatan itu, namun setiap kali Bu Mus mengingatkan betapa
mulianya menjadi seorang pemimpin, Kucai pun luluh dan dengan terpaksa bersedia
menjabat lagi.

Suatu hari dalam pelajaran bdui pekerti kemuhamadiyahan, Bu Mus menjelaskan
tentang karakter yang dituntut Islam dari seorang amir. Amir dapat berarti seorang
pemimpin. Beliau menyitir perkataan Khalifah Umar bin Khatab.
“Barangsiapa yang kami tunjuk sebagai amir dan telah kami tetapkan gajinya
untuk itu, maka apa pun yang ia terima selain gajinya itu adalah penipuan!”
Rupanya Bu Mus geram dengan korupsi yang merajalela di negeri ini dan beliau
menyambung dengan lantang.
“Kata-kata itu mengajarkan arti penting memegang amanah sebagai pemimpin
dan Al-Qur’an mengingatkan bahwa kepemimpinan seseorang akan
dipertanggungjawabkan nanti di akhirat ....”
Kami terpesona mendengarnya, namun Kucai gemetar. Mendapati dirinya sebagai
seorang pemimpin kelas ia gamang pada pertanggungjawaban setelah mati nanti, apalagi
sebagai seorang politisi ia menganggap bahwa menjadi ketua kelas itu tidak ada
keuntungannya sama sekali. Tidak adil! Lagi pula ia sudah muak mengurusi kami. Kami
terkejut karena serta-merta ia berdiri dan berdalih secara diplomatis.
“Ibunda Guru, Ibunda mesti tahu bahwa anak-anak kuli ini kelakuannya seperti
setan. Sama sekali tak bisa disuruh diam, terutama Borek, kalau tak ada guru ulahnya
ibarat pasien rumah sakit jiwa yang buas. Aku sudah tak tahan, Ibunda, aku menuntut
pemungutan suara yang demokratis untuk memilih ketua kelas baru. Aku juga tak
sanggup mempertanggungjawabkan kepemimpinanku dipadangMasyar nanti, anak-anak
kumal ini yang tak bisa diatur ini hanya akan memberatkan hisabku!”
Kucai tampak sangat emosional. Tangannya menunjuk-nunjuk ke atas dan
napasnya tersengal setelah menghamburkan unek-unek yang mungkin telah dipendamnya
bertahun-tahun. Ia menatap Bu Mus dengan mata nanar tapi pandangannya ke arah
gambar R.H. Oma Irama Hujan Duit.
Kami semua menahan tawa melihat pemandangan itu tapi Kucai sedang sangat
serius, kami tak ingin melukai hatinya.
Bu Mus juga terkejut. Tak pernah sebelumnya beliau menerima tanggapan
selugas itu dari muridnya, tapi beliau meklum pada beban yang dipikul Kucai. Beliau
ingin bersikap seimbang maka beliau segera menyuruh kami menuliskan nama ketua
kelas baru yang kami inginkan di selembar kertas, melipatnya, dan menyerahkannya
kepada beliau. Kami menulis pilihan kami dengan bersungguh-sungguh dan saling
berahasiakan pilihan itu dengan sangat ketat.
Kucai senang sekali. Wajahnya berseri-seri. Ia merasa telah mendapatkan
keadilan dan menganggap bahwa bebannya sebagai ketua kelas akan segera berakhir.
Suasana menjadi tegang menunggu detik-detik penghitungan suara. Kami gugup
mengantisipasi siapa yang akan menjadi ketua kelas baru.
Sembilan gulungan kertas telah berada dalam genggaman Bu Mus. Beliau sendiri
kelihatan gugup. Beliau membuka gulungan pertama.
“Borek!” teriak Bu Mus.
Borek pucat dan Kucai melonjak girang. Terang-terangan ia menunjukkan bahwa
ia sendiri yang telah memilih Borek, kawan sebangkunya yang ia anggap pasien rumah
sakit jiwa yang buas. Bu Mus melanjutkan.
“Kucai!”
Kali ini Borek yang melonjak dan Kucai terdiam. Kertas ketiga.
“Kucai!”
Kucai tersenyum pahit. Kertas keempat.
“Kucai!”
Kertas kelima.
“Kucai!”
Kucai pucat pasi. Demikian seterusnya sampai kertas kesembilan. Kucai terpuruk.
Ia jengkel sekali kepada Borek yang tubuhnya menggigil menahan tawa. Ia memandang

Borek dengan tajam tapi matanya mengawasi Trapani.
Karena Harun tak bisa menulis maka jumlah kertas hanya sembilan tapi Bu Mus
tetap menghargai hak asasi politiknya. Ketika Bu Mus mengalihkan pandangan kepada
Harun, Harun mengeluarkan senyum khas dengan gigi-gigi panjgannya dan berteriak
pasti.
“Kucai ...!”
Kucai terkulai lemas. Hari ini kami mendapat pelajaran penting tentang
demokrasi, yaitu bahwa ternyata prinsip-prinsipnya tidak efektif untuk suksesi jabatan
kering. Bu Mus menghampirinya dengan lembut sambil tersenyum jenaka.
“Memegang amanah sebagai pemimpin memang berat tapi jangan khawatir orang
yang akan mendoakan. Tidakkah Ananda sering mendengar di berbagai upacara petugas
sering mengucap doa: Ya, Allah lindungilah para pemimpin kami? Jarang sekali kita
mendengar doa: Ya Allah lindungilah anak-anak buah kami ....”
DUDUK di pojok sana adalah Trapani. Namanya diambil dari nama sebuah kota
pantai di Sisilia. Nyatanya ia memang seelok kota pantai itu. Ia memesona seumpama
bondol peking. Si rapi jali ini adalah maskot kelas kami. Seorang perfeksionis berwajah
seindah rembulan. Ia tipe pria yang langsung disukai wanita melalui sekali pandang.
Jambul, baju, celana, ikat pinggang, kaus kaki, dan sepatunya selalu bersih, serasi
warnanya, dan licin. Ia tak bicara jika tak perlu dan jika angkat bicara ia akan
menggunakan kata-kata yang dipilih dengan baik. Baunya pun harum. Ia seorang pemuda
santun harapan bangsa yang memenuhi semua syarat Dasa Dharma Pramuka. Citacitanya
ingin jadi guru yang mengajar di daerah terpencil untuk memajukan pendidikan
orang Melayu pedalaman, sungguh mulia. Seluruh kehidupannya seolah terinspirasi lagu
Wajib Belajarkarya R.N. Sutarmas.
Ia sangat berbakti kepada orangtua, khususnya ibunya. Sebaliknya, ia juga
diperhatikan ibunya layaknya anak emas. Mungkin karena ia satu-satunya laki-laki di

antaralimasaudara perempuan lainnya. Ayahnya adalah seorang operator vessel boarddi
kantor telepon PN sekaligus tukang sirine. Meskipun rumahnya dekat dengan sekolah
tapi sampai kelas tiga ia masih diantar jemput ibunya. Ibu adlaah pusat gravitasi
hidupnya.
Trapaniagak pendiam, otaknya lumayan, dan selalu menduduki peringkat ketiga.
Aku sering cemburu karena aku kebajiran salam dari sepupu-sepupuku untuk
disampaikan pada laki-laki muda flamboyan ini. Dia tak pernah menanggapi salam-salam
itu. Di sisi lain kami juga sering jengkel padaTrapanikarena setiap kali kami punya
“acara”, misalnya menyangkutkan sepeda Pak Fahimi—guru kelas empat yang tak
bermutu dan selalu menggertak murid—di dahan pohon gayam,Trapaniharus minta izin
dulu pada ibunya.
Lalu adaSahara, satu-satunya hawa di kelas kami. Dia secantik grey cheeked
green, atau burung punai lenguak. Ia ramping, berjilbab, dan sedikit lebih beruntung.
Bapaknya seorang Taikong, yaitu atasan para Kepala Parit, orang-orang lapangan di PN.
Sifatnya yang utama: penuh perhatian dan kepala batu. Maka tak ada yang berani bikin
gara-gara dengannya karena ia tak pernah segan mencakar. Jika marah ia akan mengaum
dan kedua alisnya bertemu.Saharasangat temperamental, tapi ia pintar. Peringkatnya
bersaing ketat denganTrapani. Kebalikan dair A Kiong,Saharasangat skeptis, susah
diyakinkan, dan tak mudah dibaut terkesan. Sifat lainSaharayang amat menonjol adalah
kejujurannya yang luar biasa dan benar-benar menghargai kebenaran. Ia pantang
berbohong. Walaupun diancam akan dicampakkan ke dalam lautan api yang berkobarkobar,
tak satu pun dusta akan keluar dari mulutnya.
Musuh abadiSaharaadalah A Kiong. Mereka bertengkar hebat, berbaikan, lalu
bertengkar lagi. Sepertinya mereka sengaja dipertemukan nasib untuk selalu berselisih.
Mereka saling memprotes dan berbeda pendapat untuk hal-hal sepele.Sahara
menganggap apa pun yang dilakukan A Kiong selalu salha, dan demikian pula

sebaliknya. Kadang-kadang perseteruan mereka itu lucu dan membuka wawasan.
Milsanya ketika kami berkumpul danTrapanibercerita tentang bagusnya buku
Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk, karya legendaris Buya Hamka.
“Aku juga sudah pernah membaca buku itu, maaf aku tak suka, terlalu banyak
nama dan tempat, susah aku mengingatnya.” Demikian komentar A Kiong mencari
penyakit.
Saharayang sangat menghargai buku tertusuk hatinya dan menyalak tanpa
ampun, “Masya Allah! Dengar anak muda, mana bisa kauhargai karya sastra bermutu,
nanti jika Buya menulis lagi buku berjudul Si Kancil Anak Nakal Suka Mencuri Timun
barulah buku seperti itu cocok buatmu ….”
Kami semua tertawa sampai berguling-guling.
A Kiong tersinggung, tapi ia kehabisan kata, maka ditelannya saja ejekan itu
mentah-mentah, pahit memang. Apa boleh buat, ia tak bisa mengonter cemoohan
secerdas itu.
Sebaliknya,Saharasangat lembut jika berhadapan dengan Harun. Harun adalah
seorang pria santun, pendiam, dan murah senyum. Ia juga merupakan teman yang
menyenangkan. Model rambutnya seperti Chairil Anwar dan pakaiannya selalu rapi.
Masalah pakaian itu benar-benar diperhatikan oleh ibunya. Ia lebih kelihatan seperti
pejabat kantoran di PN daripada anak sekolahan. Bagian belakang bajunya, yang
disetrika dengan lipatan berpola kotak-kotak—lagi mode ketika itu—tampak serasi di
punggung Harun.
Harun memiliki hobi mengunyah permen asam jawa dan sama sekali tidak bisa
menangkap pelajaran membaca atau menulis. Jika Bu Mus menjelaskan pelajaran, ia
duduk tenang dan terus-menerus tersenyum. Pada setiap mata pelajaran, pelajaran apa
pun, ia akan mengacung sekali dan menanyakan pertanyaan yang sama, setiap hari,
sepanjang tahun, “Ibunda Guru, kapan kita akan libur lebaran?”

“Sebentar lagi Anakku, sebentar lagi …,” jawab Bu Mus sabar, berulang-ulang,
puluhan kali, sepanjang tahun, lalu Harun pun bertepuk tangan.
Jika istirahat siangSaharadan Harun duduk berdua di bawah pohon filicium.
Mereka memiliki kaitan emosi yang unik, seperti persahabatan Tupai dan Kura-Kura.
Harun dengan bersemangat menceritakan kucingnya yang berbelang tiga baru saja
melahirkan tiga ekor anak yang semuanya berbelang tiga pada tanggal tiga kemarin.
Saharaselalu sabar mendengarkan cerita itu walaupun Harun menceritakannya setiap
hari, berulang-ulang, puluhan kali, sepanjang tahun, dari kelas satu SD sampai kelas tiga
SMP.Saharatetap setia mendengarkan.
Jika kami naik kelas harun juga ikut naik kelas meskipun ia tak punya rapor.
Pengecualian dari sistem, demikian orang-orang pintar diJakartamenyebut kasus seperti
ini. Aku sering memandangi wajahnya lama-lama untuk menebak apa yang ada di dalam
pikirannya. Dia hanya tersenyum menanggapi tingkahku. Harun adalah anak kecil yang
terperangkap dalam tubuh orang dewasa.
Pria kedelapan adalah Borek. Pada awalnya dia adalah murid biasa, kelakuan dan
prestasi sekolahnya sangat biasa, rata-rata air. Tapi pertemuan tak sengajanya dengan
sebuah kaleng bekas minyak penumbuh bulu yang kiranya berasal dari sebuah negeri nun
jauh di Jazirah Arabsanatelah mengubah total arah hidupnya. Gambar di kaleng itu
memperlihatkan seorang pria bercelana dalam merah, berbadang tinggi besar, berotot
kawat tulang besi, dan berbulu laksana seekor gorila jantan. Ia menemukan kaleng itu di
dapur seorang pedagang kaki lima spesialis penumbuh segala jenis rambut.
Sejak itu Borek tidak tertarik lagi dengan hal lain dalam hidup ini selain sesuatu
yang berhubungan dengan upaya membesarkan ototnya. Karena latihan keras, ia berhasil,
dan mendapat julukan Samson. Sebuah gelar ningrat yang disandangnya dengan penuh
rasa bangga. Agak aneh memang, tapi paling tidak sejak usia muda Borek sudah menjadi
dirinya sendiri dan sudah tau pasti ingin menjadi apa dia nanti, l.alu secara konsisten ia

berusaha mencapainya. Ia melompati suatu tahap pencarian identitas yang tak jarang
mengombang-ambingkan orang sampai tua. Bahkan sering sekali mereka yang tak
kunjung menemukan identitas menjalani hidup sebagai orang lain. Borek lebih baik dari
mereka.
Samson demikian terobsesi dengan body buildingdan tergila-gila dengan citra
cowokmacho, dan pada suatu hari aku termakan hasutannya.
AKU tak mengerti dari mana ia mendapat sebuah pengetahuan rahasia untuk
membesarkan otot dada.
“Jangan bilang siapa-siapa …!” katanya berbisik. Ia menoleh ke kiri dan kanan,
seakan takut ada yang memerhatikan dan mencuri idenya. Lalu ia menarik tanganku,
kami pun berlari menuju belakang sekolah, sembunyi di ruangan bekas gardu listrik. Dari
dalam tasnya ia mengeluarkan sebuah bola tenis yang dibelah dua.
“Kalau i9ngin dadamu menonjol seperti dadaku, inilah rahasianya!” Kembali ia
berbisik walaupun ia tahu di sana tak mungkin ada siapa-siapa. Agaknya bola tenis itu
mengandung sebuah keajaiban.
“Pasti sebuah penemuan yang hebat, rupanya bola tenis inilah rahasia keindahan
tubuhnya,” pikirku. Tapi akan diapakan aku ini?
“Buka bajumu!” perintahnya. “Biar kujadikan kau pria sejati pujaan kaum
Hawa….”
Wajahnya menunjukkan bahwa ia tak habis pikir mengapa semua laki-laki di luar
sanatidak melakukan metode praktisnya ini, jalan pintas menuju kesempurnaan
penampilan seorang lelaki. Sesungguhnya aku ragu tapi tak punya pilihan lain. Pintu
gardu sudah ditutup.
“Cepatlah!”
Aku semakin ragu.
Namun, belum sempat aku berpikir jauh tiba-tiba ia merangsek maju ke arahku

dan dengan keras menekankan bola tenis itu ke dadaku. Aku terjajar ke belakang sampai
hampir jatuh. Aku tak berdaya. Dengan leluasa dan sekuat tenaga ia membenamkan
benda sialan itu ke kulit dadaku karena sekarang punggungku terhalang oleh tumpukan
balok. Badannya jauh lebih besar, tenaganya seperti kuli, alisnya sampai bertemu karena
ia mengerahkan segenap kekuatannya, emmbuatku meronta-ronta.
Aku paham, belahan bola tenis ini dimaksudkan bekerja seperti sebuah benda
aneh bertangkai kayu dan berujung karet yang dipakai orang untuk menguras lubang WC.
Bola tenis itu adalah alat bekam yang akan menarik otot sehingga menonjol dan bidang.
Itu idenya. Sekarang tekanan tenaga Samson dan daya isap bola tenis itu mulai bereaksi
menyiksaku.
Yang akurasakan adalah seluruh isi dadaku: jantung, hati, paru-paru, limpa,
berikut isi perut dan darahku seperti terisap oleh bola tenis itu. Bahkan mataku rasanya
akan meloncat. Aku tercekat, tak sanggup mengeluarkan kata-kata. Aku memberi isyarat
agar ia melepaskan pembekam itu.
“Belum waktunya, harus seslesai hitung nama dan orangtua, baru ada
khasiatnya!”
Hitung nama dan orangtua? Aduh! Celaka!
Hitung nama dan orangtua adalah inovasi konyol kami sendiri, yaitu
mebngerjakan sesuatu dalam durasi menyebut nama sekaligus nama orang tua, misalnya
Trapani Ihsan Jamari bin Zainuddin Ilham Jamari atau Harun Ardhli Ramadhan bin
Syamsul Hazana Ramadhan. Aku sudah tak sanggup menanggungkan benda yang
menyedot dadaku ini selama menyebut nama sepuluh teman sekelas apalagi dengan nama
orangtuanya. Nama orang Melayu tak pernah singkat.
Samson tak peduli, ia tetap menekan belahan bola tenis itu tanpa perasaan. Ini
adalah adu kekuatan antara David yang kecil dan Goliath sang raksasa. Aku terperangkap
seperti ikan kepuyu di dalam bubu. Aku mulai sesak napas. Tubuhku rasanya akan

meledak. Isapan bola tenis itu laksana sengatan lebah tanah kuning yang paling berbisa
dan tubuhku mulai terasa menciut. Kakiku mengais-ngais putus asa seperti banteng
bernafsu menanduk matador. Namun, pada detik paling gawat itu rupanya Tuhan
menyelamatkanku karena tanpa diduga salah satu balok di belakangku jatuh sehingga
sekarang aku memiliki ruang utnuk mengambil ancang-ancang. Tanpa menyia-nyiakan
kesempatan, kuambil seluruh tenaga terakhir yang tersisa lalu dengan sekali jurus
kutendang selangkang Samson, tepat di belahan pelirnya, sekuat-kuatnya, persis pegulat
Jepang Antonio Inoki menghantam Muhammad Ali di lokasi tak sopan itu pada
pertarungan absurd tahun ’76.
Samson melolong-lolong seperti kumbang terperangkap dalam stoples. Aku
melompat kabur pontang-panting. Belahan bola tenis inovasi genius dunia body building
itu pun terpental ke udara dan jatuh berguling-guling lesu di atas tumpukan jerami.
Sempat aku menoleh ke belakang dan melihat Samson masih berputar-putar memegangi
selangkangnya, lalu manusia Herucles itu pun tumbang berdebam di atas tanah.
Di dadaku melingkar tnada bulat merah kehitam-hitaman, sebuah jejak
kemahatololan.
Ketika ibuku bertanya tentang tanda itu aku tak berkutik, karena pelajaran Budi
Pekerti Kemuhammadiyahan setiap Jumat pagi tak membolehkan aku membohongi
orangtua, apalagi ibu. Maka dengan amat sangat terpaksa kutelanjangi kebodohanku
sendiri. Abang-abang dan ayahku tertawa sampai menggigil dan saat itulah untuk
pertama kalinya aku mendengar teori canggih ibuku tentang penyakit gila.
“Gila itu ada 44 macam,” kata ibuku seperti seorang psikiater ahli sambil
mengunyah gambir dan sirih.
“Semakin kecil nomornya semakin parah gilanya,” beliau menggeleng-gelengkan
kepalanya dan menatapku seeperti sedang menghadapi seorang pasien rumah sakit jiwa.
“Maka orang-orang yang sudah tidak berpakaian dan lupa diri di jalan-jalan,

itulah gila no.1, dan gila yang kau buat dengan bola tenis itu sudah bisa masuk no. 5.
Cukup serius! Hati-hati, kalau tak pakai akal sehat dalam setiap kelakuanmu maka angka
itu bisa segera mengecil.”
Bukan bermaksud berpolemik dengan temuan para ahli jiwa. Kami mengerti
bahwa teori ini tentu saja hanya untuk mengingatkan anak-anaknya agar jangan bertindak
keterlaluan. Tapi begitulah teori penyakit gila versi ibuku dan bagiku teori itu efektif.
Aku malu sudah bertindak konyol.
Aku tak yakin apakah Samson benar-benar menerapkan teknik sinting itu untuk
memperbesar otot-ototnya, ataukah ia hanya ingin membodohi aku. Yang kutahu pasti
adalah selama tiga hari berikutnya ia ke sekolah dengan berjalan terkangkang-kangkang
seperti orang pengkor, badannya yangb esar membuat ia tampak seperti kingkong.
PADA sebuah pagi yang lain, pukul sepuluh, seharusnya burung kut-kut sudah
datang. Tapi pagi ini senyap. Aku tersenyum sendiri melamunkan seifat-sifat kawan
sekelasku. Lalu aku memandangi guruku Bu Mus, seseorang yang bersedia menerima
kami apa adanya dengan sepenuh hatinya, segenap jiwanya. Ia paham betul kemiskinan
dan posisi kami yang rentan sehingga tak pernah membuat kebijakan apa pun yang
mengandung implikasi biaya. Ia selalu membesarkan hati kami. Kupandangi juga
sembilan teman sekelasku, orang-orang muda yang luar biasa. Sebagian mereka ke
sekolah hanya memakai sandal, sementara yang bersepatu selalu tampak kebesaran
sepatunya. Orantua kami yang tak mampu memang sengaja membeli sepatu dua nomor
lebih besar agar dapat dipakai dalam dua tahun ajaran.
Ada keindahan yang unik dalam interaksi masing-masing sifat para sahabatku.
Tersembunyi daya tarik pada cara mereka mengartikan sekstan untuk mengukur diri
sendiri, menilai kemampuan orang tua, melihat arah masa depan, dan memersepsi
pandangan lingkungan terhadap mereka. Kadang kala pemikiran mereka kontradiktif
terhadap pendapat umum laksana gurun bertemu pantai atau ibarat hujan ketika matahari

sedang terik. Tak jarang mereka seperti kelelawar yang tersasar masuk ke kamar,
menabrak-nabrak kaca ingin keluar dan frustasi. Mereka juga seperti seekor parkit yang
terkurung di dalam gua, kebingungan dengan gema suaranya sendiri.
Sejak kecil aku tertarik untuk menjadi pengamat kehidupan dan sekarang aku
menemukan kenyataan yang memesona dalam sosiologi lingkungan kami yang ironis. Di
sini ada sekolahku yang sederhana, para sahabatku yang melarat, orang Melayu yang
terabaikan, juga ada orang staf dan sekolah PN mereka yang glamor, serta PN Timah
yang gemah ripah dengan Gedong, tembok feodalistisnya. Semua elemen itu adalah
perpustakaan berjalan yang memberiku pengetahuan baru setiap hari.
Pengetahuan terbesar terutama kudapat dari sekolahku, karena perguruan
Muhammadiyah bukanlah center of excellence, tapi ia merupakan pusat marginalitas
sehingga ia adalah sebuah universitas kehidupan. Di sekolah ini aku memahami arti
keikhlasan, perjuangan, dan integritas. Lebih dari itu, perintis peruguran ini mewariskan
pelajaran yang amat berharga tentang ide-ide besar Islam yang mulia, keberanian untuk
merealisasi ide itu meskipun tak putus-putus dirundung kesulitan, dan konsep menjalani
hidup dengan gagasan memberi manfaat sebesar-besarnya untuk orang lain melalui
pengorbanan tanpa pamrih.
Maka sejak waktu virtual tercipta dalam definisi hipotesis manusia tatkala nebula
mengeras dalam teori lubang hitam, di antara titik-titik kurunnya yang merentang panjang
tak tahu akan berhenti sampai kapan, aku pada titik ini, di tempat ini, merasa bersyukur
menjadi orang Melayu Belitong yang sempat menjadi murid Muhammadiyah. Dan
sembilan teman sekelasku memberiku hari-hari yang lebih dari cukup untuk suatu ketika
di masa depan nanti kuceritakan pada setiap orang bahwa masa kecilku amat bahagia.
Kebahagiaan yang spesifik karena kami hidup dengan persepsi tentang kesenangan
sekolah dan persahabatan yang kami terjemahkan sendiri.
Kami adalah sepuluh umpan nasib dan kami seumpama kerang-kerang halus yang

melekat erat satu sama lain dihantam deburan ombak ilmu. Kami seperti anak-anak
bebek. Tak terpisahkan dalam susah dan senang. Induknya adalah Bu Mus. Sekali lagi
kulihat wajah mereka, Harun yang murah senyum,Trapaniyang rupawan, Syahdan yang
lilipu, Kucai yang sok gengsi,Saharayang ketus, A Kiong yang polos, dan pria
kedelapan—yaitu Samson—yang duduk seperti patung Ganesha.
Lalu siapa pria yang kesembilan dan kesepuluh? Lintang dan Mahar. Pelajaran
apa yang mereka tawarkan? Mereka adalah pria-pria muda yang sangat istimewa.
Memerlukan bab tersendiri untuk menceritakannya. Sampai di sini, aku sudah merasa
menjadi seorang anak kecil yang sangat beruntung.
BAB X
BODENGA
PAGI ini Lintang terlambat masuk kelas. Kami tercengang mendengar ceritanya.
“Aku tak bisa melintas. Seekor buaya sebesar pohon kelapa tak mau beranjak,
menghalang di tengah jalan. Tak ada siapa-siapa yang bisa kumintai bantuan. Aku hanya
berdiri mematung, berbicara dengan diriku sendiri.”
Limabelas meter.
“Buaya sebesar itu tak ‘kanmampu menyerangku dalam jarak ini, ia lamban, pasti
kalah langkah. Kalau cukup waktu aku dapat menghitung hubungan massa, jarak, dan
tenaga, baik aku maupun buaya itu, sehingga aku dapat memperkirakan kecepatannya
menyambarku dan peluangku untuk lolos. Ilmu menyebabkan aku berani maju beberapa
langkah lagi. Apalagi fisika tidak mempertimbangkan psy war, kalau aku maju ia pasti
akan terintimidasi dan masuk lagi ke dalam air.
“Aku maju sedikit, membunyikan lonceng sepeda, bertepuk tangan, berdeham-deham,
membuat bunyi-bunyian agar dia merayap pergi. Tapi ia bergeming. Ukurannya

dan teritip yang tumbuh di punggungnya memperlihatkan dia penguasa rawa ini. Dan
sekarang saatnya mandi matahari. Secara fisik dan psikologis binatang atau secara apa
pun, buaya ini akan menang. Ilmu tak berlaku di sini.
“Tapi lebih dari setengah perjalanan sudah, aku tak ‘kankembali pulang gara-gara
buaya bodoh ini. Tak ada kata bolos dalam kamusku, dan hari ini ada tarikh Islam, mata
pelajaran yang menarik. Ingin kudebatkan kisah ayat-ayat suci yang memastikan
kemenanganByzantiumtujuh tahun sebelum kejadian. Sudah siang, aku maju sedikit,
aku pasti terlambat tiba di sekolah.”
Dua belas meter
“Aku hanya sendirian. Jika ada orang lain aku berani lebih frontal. Tahukah
hewan ini pentingnya pendidikan? Aku tak berani lebih dekat. Ia menganga dan bersuara
rendah, suara dari perut yang menggetarkan seperti sendawa seekor singa atau seperti
suara orang menggeser sebuah lemari yang sangat besar. Aku diam menunggu. Tak ada
jalur alternatif dan kekuatan jelas tak berimbang. Aku mulai frustasi. Suasana sunyi
senyap. Yang ada hanya aku, seekor buaya ganas yang egois, dan intaian maut.”
Kami prihatin dan tegang mendengar kisah perjuangan Lintang menuju sekolah.
“Tiba-tiba dari arah samping kudengar riak air. Aku terkejut dan takut.
Menyeruak di antara lumut kumpai, membelah genangan setinggi dada, seorang laki-laki
seram naik dari rawa. Ia berjalan menghampiriku, kakinya bengkok seperti huruf O,”
lanjutnya.
“Siapa laki-laki itu Lintang?” tanyaSaharatercekat.
“Bodenga ….”
“Ooh …,” kami serentak menutup mulut dengan tangan. Menakutkan sekali. Tak
ada yang berani berkomentar. Tegang menunggu kelanjutan cerita Lintang.
“Aku lebih takut padanya daripada buaya mana pun. Pria ini tak mau dikenal
orang tapi sepanjang pesisir Belitong Timur, siapa tak kenal dia?

“Dia melewatiku seperti aku tak ada dan dia melangkah tanpa ragu mendekati
binatang buas itu. Dia menyentuhnya! Menepuk-nepuk lembut kulitnya sambil
menggumamkan sesuatu. Ganjil sekali, buaya itu seperti takluk, mengibas-ngibaskan
ekornya laksana seekor anjing yang ingin mengambil hati tuannya, lalu mendadak sontak,
dengan sebuah lompatan dahsyat seperti terbang reptil zaman Cretaceous itu terjun ke
rawa menimbulkan suara laksana tujuh pohon kelapa tumbang sekaligus.
Lintang menarik napas.
“Aku terkesima dan tadi telah salah hitung. Jika binatang purba itu mengejarku
maka orang-orang hanya akan menemukan sepeda reyot ini. Fisika sialan. Memprediksi
perilaku hewan yang telah bertahan hidup jutaan tahun adalah tindakan bodoh nan
sombong.
“Dari permukaan air yang bening jelas kulihat binatang itu menggoyangkan ekor
panjangnya untuk mengambil tenaga dorong sehingga badannya yang hidrodinamis
menghujam mengerikan ke dasar air.
“bodenga berbalik ke arahku. Seperti selalu, ekspresinya dingin dan jelas tak
menginginkan ucapan terima kasih. Kenyataannya aku tak berani menatapnya, nyaliku
runtuh. Dengan sekali sentak ia bisa menenggelamkanku sekaligus sepeda ini ke dalam
rawa. Aku mengenal reputasi laki-laki liar ini. Tapi aku merasa beruntung karena aku
telah menjadi segelintir orang yang pernah secara langsung menyaksikan kehebatan ilmu
buaya Bodenga.”
AKU termenung mendengar cerita Lintang. Aku memang tidak pernah
menyaksikan langsung Bodenga beraksi tapi aku mengenal Bodenga lebih dari Lintang
mengenalnya. Bagiku Bodenga adalah guru firasat dan semua hal yang berhubungan
dengan perasaan gamang, pilu, dan sedih.
Tak seorang pun ingin menjadi sahabat Bodenga. Wajahnya carut-marut, berusia
empat puluhan. Ia menyelimuti dirinya dengan dahan-dahan kelapa dan tidur melingkar

seperti tupai di bawah pohon nifah selama dua hari dua malam. Jika lapar ia terjun ke
sumur tua di kantor polisi lama, menyelam, menangkap belut yang terperangkap di
bawahsanadan langsung memakannya ketika masih di dalam air.
Ia makhluk yang merdeka. Ia seperti angin. Ia bukan Melayu, bukan Tionghoa,
dan bukan pula Sawang, bukan siapa-siapa. Tak ada yang tahu asal usulnya. Ia tak
memiliki agama dan tak bsia bicara. Ia bukan pengemis bukan pula penjahat. Namanya
tak terdaftar di kantor desa. Dan telinganya sudah tak bisa mendengar karena ia pernah
menyelami dasar Sungai Lenggang untuk mengambil bijih-bijih timah, demikian dalam
hingga telinganya mengeluarkan darah, setelah itu menjadi tuli.
Bodenga kini sebatang kara. Satu-satunya ekluarga yang pernah diketahui orang
adalah ayahnya yang buntung kaki kanannya. Orang bilang karena tumbal ilmu buaya.
Ayahnya itu seorang dukun buaya terkenal. Serbuan Islam yang tak terbendung ke
seantero kampung membuat orang menjauhi mereka, karena mereka menolak
meninggalkan penyembahan buaya sebagai Tuhan.
Ayahnya telah mati karena melilit tubuhnya sendiri kuat-kuat dari mata kaki
sampai ke leher dengan akar jawi lalu menerjunkan diri ke Sungai Mirang. Ia sengaja
mengumpankan tubuhnya pada buaya-buaya ganas di sana. Masyarakat hanya
menemukan potongan kaki buntungnya. Kini Bodenga lebih banyak menghabiskan waktu
memandangi aliran Sungai Mirang, sendirian sampai jauh malam.
Pada suatu sore warga kampung berduyun-duyun menuju lapangan basket
Sekolah Nasional. Karena baru saja ditangkap seekor buaya yang diyakini telah
menyambar seorang wanita yang sedang mencuci pakaian di Manggar. Karena aku masih
kecil maka aku tak dapat menembus kerumunan orang yang mengelilingi buaya itu, aku
hanya dapat melihatnya dari sela-sela kaki pengunjung yang rapat berselang-seling.
Mulut buaya besar itu dibuka dan disangga dengan sepotong kayu bakar.
Ketika perutnya dibelah, ditemukan rambut, baju, jam tangan, dan kalung. Saat

itulah aku melihat Bodenga mendesak maju di antara pengunjung. Lalu ia bersimpuh di
samping sang buaya. Wajahnya pucat pasi. Ia memberi isyarat kepada orang-orang,
memohon agar berhenti mencincang binatang itu. Orang-orang mundur dan melepaskan
kayu bakar yang menyangga mulut buaya tersebut. Mereka paham bahwa penganut ilmu
buaya percaya jika mati mereka akan menjadi buaya. Dan mereka maklum bahwa bagi
Bodenga buaya ini adalah ayahnya karena salah satu kaki buaya ini buntung.
Bodenga menagnsi. Suaranya pedih memilukan.
“Baya … Baya … Baya …,” panggilnya lirih. Beberapa orang menangis
sesenggukan. Aku menyaksikan dari sela-sela kaki pengunjung air matanya mengalir
membasahi pipinya yang rusak berbintik-bintik hitam. Air mataku juga mengalir tak
mampu kutahan. Buaya ini satu-satunya cinta dalam hidupnya yang terbuang, dalam
dunianya yang sunyi senyap.
Ia mengucapkan ratapan yang tak jelas dari mulutnya yang gagu. Ia mengikat
sang buaya, membawanya ke sungai, menyeret bangkai ayahnya itu sepanjang pinggiran
sungai menuju ke muara. Bodenga tak pernah kembali lagi.
Bodenga dalam fragmen sore itu menciptakan cetak biru rasa belas kasihan dan
kesedihan di alam bawah sadarku. Mungkin aku masih terlalu kecil utnuk menyaksikan
tragedi sepedih itu. Ia mewakili sesuatu yang gelap di kepalaku. Pada tahun-tahun
mendatang bayangannya sering mengunjungiku. Jika aku dihadapkan pada situasi yang
menyedihkan maka perlahan-lahan ia akan hadir, mewakili semua citra kepedihan di
dalam otakku. Maka sore itu sesungguhnya Bodenga telah mengajariku ilmu firasat. Ia
juga yang pertama kali memeprlihatkan padaku bahwa nasib bisa memperlakukan
manusia dengan sangat buruk, dan cinta bisa menjadi demikian buta.
Lintang memang tak memiliki pengalaman emosional dengan Bodenga seperti
yang aku alami, tapi bukan baru sekali itu ia dihadang buaya dalam perjalanan ke
sekolah. Dapat dikatakan tak jarang Lintang mempertaruhkan nyawa demi menempuh

pendidikan, namun tak sehari pun ia pernah bolos. Delapan puluh kilometer pulang pergi
ditempuhnya dengan sepeda setiap hari. Tak pernah mengeluh. Jika kegiatan sekolah
berlangsung sampai sore, ia akan tiba malam hari di rumahnya. Sering aku merasa ngeri
membayangkan perjalanannya.
Kesulitan itu belum termasuk jalan yang tergenang air, ban sepeda yang bocor,
dan musim hujan berkepanjangan dengan petir yang menyambar-nyambar. Suatu hari
rantai sepedanya putus dan tak bisa disambung lagi karena sudah terlalu pendek sebab
terlalu sering putus, tapi ia tak menyerah. Dituntunnya sepeda itu puluhan kilometer, dan
sampai di sekolah kami sudah bersiap-siap akan pulang. Saat itu adalah pelajaran seni
suara dan dia begitu bahagia karena masih sempat menyanyikan lagu Padamu Negeridi
depan kelas. Kami termenung mendengarkan ia bernyanyi dengan sepenuh jiwa, tak
tampak kelelahan di matanya yang berbinar jenaka. Setelah itu ia pulang dengan
menuntun sepedanya lagi sejauh empat puluh kilometer.
Pada musim hujan lebat yang bisa mengubah jalan menjadi sungai, menggenangi
daratan dengan air setinggi dada, membuat guruh dan halilintar membabat pohon kelapa
hingga tumbang bergelimpangan terbelah dua, pada musim panas yang begitu terik
hingga alam memuai ingin meledak, pada musim badai yang membuat hasil laut nihil
hingga berbulan-bulan semua orang tak punya uang sepeser pun, pada musim buaya
berkembang biak sehingga mereka menjadi semakin ganas, pada musim angin barat
putting beliung, pada musim demam, pada musim sampar—sehari pun Lintang tak
pernah bolos.
Dulu ayahnya pernah mengira putranya itu akan takluk pada minggu-minggu
pertama sekolah dan prasangka itu terbukti keliru. Hari demi hari semangat Lintang
bukan semakin pudar tapi malah meroket karena ia sangat mencintai sekolah, mencintai
teman-temannya, menyukai persahabatan kami yang mengasyikkan, dan mulai
kecanduan pada daya tarik rahasia-rahasia ilmu. Jika tiba di rumah ia tak langsung

beristirahat melainkan segera bergabung degan anak-anak seusia di kampungnya untuk
bekerja sebagai kuli kopra. Itulah penghasilan sampingan keluarganya dan juga sebagai
kompensasi terbebasnya dia dari pekerjaan di laut serta ganjaran yang ia dapat dari
“kemewahan” bersekolah.
Ayahnya, yang seperti orang Bushmanitu, sekarang menganggap keputusan
menyekolahkan Lintang adalah keputusan yang tepat, paling tidak ia senang melihat
semangat anaknya menggelegak. Ia berharap suatu waktu di masa depan nanti Lintang
mampu menyekolahkan lima orang adik-adiknya yang lahir setahun sekali sehingga
berderet-deret rapat seperti pagar, dan lebih dari itu ia berharap Lintang dapat
mengeluarkan mereka dari lingkaran kemiskinan yang telah lama mengikat mereka
hingga sulit bernapas.
Maka ia sekuat tenaga mendukung pendidikan Lintang dengan cara-caranya
sendiri, sejauh kemampuannya. Ketika kelas satu dulu pernah Lintang menanyakan
kepada ayahnya sebuah persoalan perkerjaan rumah kali-kalian sederhana dalam mata
pelajaran berhitung.
“Kemarilah Ayahanda … berapa empat kali empat?”
Ayahnya yang buta huruf hilir mudik. Memandang jauh ke laut luas melalui
jendela, lalu ketika Lintang lengah ia diam-diam menyelinap keluar melalui pintu
belakang. Ia meloncat dari rumah panggungnya dan tanpa diketahui Lintang ia berlari
sekencang-kencangnya menerabas ilalang. Laki-laki cemara angin itu berlari pontangpanting
sederas pelanduk untuk minta bantuan orang-orang di kantor desa. Lalu secepat
kilat pula ia menyelinap ke dalam rumah dan tiba-tiba sudah berada di depan Lintang.
“Em … emm… empat belasss … bujangku … tak diragukan lagi empat belasss ..
tak lebih tak kurang …,” jawab beliau sembari tersengal-sengal kehabisan napas tapi juga
tersenyum lebar riang gembira. Lintang menatap mata ayahnya dalam-dalam, rasa ngilu
menyelinap dalam hatinya yang masih belia, rasa ngilu yang mengikrarkan nazar aku

harus jadi manusia pintar, karena Lintang tahu jawaban itu bukan datang dari ayahnya.
Ayahnya bahkan telah salah mengutip jawaban pegawai kantor desa. Enam belas,
itulah seharusnya jwabannya, tapi yang diingat ayahnya selalu hanya angka empat belas,
yaitu jumlah nyawa yang ditanggungnya setiap hari.
Setelah itu Lintang tak pernah lagi minta bantuan ayahnya. Mereka tak pernah
membahas kejadian itu. Ayahnya diam-diam maklum dan mendukung Lintang dengan
cara lain, yakni memberikan padanya sebuah sepeda laki bermerk Rally Robinson, made
in England. Sepeda laki adalah sebutan orang Melayu untuk sepeda yang biasa dipakai
kaum lelaki. Berbeda dengan sepeda bini, sepeda laki lebih tinggi, ukurannya panjang,
sadelnya lebar, keriningannya lebih maskulin, dan di bagian tengahnya terdapat batang
besi besar yang tersambung antara sadel dan setang. Sepeda ini adalah harta warisan
keluarga turun-temurun dan benda satu-satunya yang paoling berharga di rumah mereka.
Lintang menaiki sepeda itu dengan terseok-seok. Kakinya yang pendek menyebabkan ia
tidak bisa duduk di sadel, melainkan di atas batang sepeda, dengan ujung-ujung jari kaki
menjangkau-jangkau pedal. Ia akan beringsut-ingsut dan terlonjak-lonjak hebat di atas
batangan besi itu sambil menggigit bibirnya, mengumpulkan tenaga. Demikian
perjuangannya mengayuh sepeda ke pulang dan pergi ke sekolah, delapan puluh
kilometer setiap hari.
Ibu Lintang, seperti halnya Bu Mus dan Sahara adalah seorang N.A. Itu adalah
singkatan dari Nyi Ayu, yakni sebuah gelar bangsawan kerajaan lama Belitong khusus
bagi wanita dari ayah seorang K.A. atau Ki Agus. Adat istiadat menyarankan agar gelar
itu diputus pada seorang wanita sehingga Lintang dan adik-adik perempuannya tak
menyandang K.A. atau N.A. di depan nama-nama mereka. Meskipun begitu, tak jarang
pria-pria keturunan N.A. menggunakangelar K.A., dan hal itu bukanlah persoalan karena
gelar-gelar itu adalah identitas kebanggaan sebagai orang Melayu Belitong asli.
Jika benar kecerdasan bersifat genetik maka kecerdasan Lintang pasti mengalir

dari keturunan nenek moyang ibunya. Meskipun buta huruf dan kurang beruntung karena
waktu kecil terkena polio sehingga salah satu kakinya tak bertenaga, tapi ibu Lintang
berada dalam garis langsung silsilah K.A. Cakraningrat Depati Muhammad Rahat,
seseorang bangsawan cerdas anggota keluarga Sultan Nangkup. Sultan ini adalah utusan
Kerajaan Mataram yang membangun keningratan di tanah Belitong. Beliau membentuk
pemerintahan dan menciptakan klan K.A. dan N.A. itu. Anak cucunya tidak diwarisi
kekuasaan dan kekayaan tapi kebijakan, syariat Islam, dan kecendekiawanan. Maka
Lintang sesungguhnya adalah pewaris darah orang-orang pintar masa lampau.
Meskipun tak bisa membaca, ibu Lintang senang sekali melihat barisan huruf dan
angka di dalam buku Lintang. Beliau tak peduli, atau tak tahu, jika melihat sebuah buku
secara terbalik. Di beranda rumahnya beliau merasa takjub mengamati rangkaian kata dan
terkagum-kagum bagaimana baca-tulis dapat mengubah masa depan seseorang.
Beranda itu sendiri merupakan bagian dari gubuk panggung dengan tiang-tiang
tinggi untuk berjaga-jaga jika laut pasang hingga meluap jauh ke pesisir. Adapun gubuk
ini merupakan bagian dari pemukiman komunitas orang Melayu Belitong yang hidup di
sepanjang pesisir, mengikuti kebiasaan leluhur mereka para penggawa dan kerabat
kerajaan. Oleh karena itu, dalam lingkungan Lintang banyak bersemayam keluarga-keluarga K.A.
dan N.A.
Gubuk itu beratap daun sagu dan berdinding lelakdari kulit pohon meranti. Apa
pun yang dilakukan orang di dalam gubuk itu dapat dilihat dari luar karena dinding kulit
kayu yang telah berusia puluhan tahun merekah pecah seperti lumpur musim kemarau.
Ruangan di dalamnya sempit dan berbentuk memanjang dengan dua pintu di depan dan
belakang. Seluruh pintu dan jendela tidak memiliki kunci, jika malam mereka ditutup
dengan cara diikatkan pada kusennya. Benda di dalma rumah itu ada enam macam:
beberapa helai tikar lais dan bantal, sajadah dan Al-Qur’an, sebuah lemari kaca kecil
yang sudah tidak ada lagi kacanya, tungku dan alat-alat dapur, tumpukan cucian, dan

enam ekor kucing yang dipasangi kelintingan sehinga rumah itu bersuara gemerincing
sepanjang hari.
Di luar bangunan sempit memanjang tadi ada semacam pelataran yang digunakan
oleh empat orang tua untuk menjalin pukat. Bagian ini hanya ditutupi beberapa keping
papan yang disandarkan saja pada dahan-dahan kapuk yang menjulur-julur, bahkan untuk
memaku papan-papan itu pun keluarga ini tak punya uang. Empat orang tua itu adalah
bapak dan ibu dari bapak dan ibu Lintang. Semuanya sudah sepuh dan kulit mereka
keriput sehingga dapat dikumpulkan dan digenggam. Jika tidak sedang menjalin pukat,
keempat orang itu duduk menekuri sebuah tampah memunguti kutu-kutu dan ulat-ulat
lentik di antara bulir-bulir beras kelas tiga yang mampu mereka beli, berjam-jam lamanya
karena demikian banyak kutu dan ulat pada beras buruk itu.
Selain empat orang itu ikut pula dalam keluarga ini dua orang adik laki-laki ayah
Lintang, yaitu seorang pria muday ang kerjanya hanya melamun saja sepanjang hari
karena agak terganggu jiwanya dan seorang bujang lapuk yang tak dapat bekerja keras
karena menderita burut akibat persoalan kandung kemih. Maka ditambahlimaadik
perempuan Lintang, Lintang sendiri, dan kedua orangtuanya, seluruhnya berjumlah
empat belas orang. Mereka hidup bersama, berdesak-desakan di dalam rumah sempit
memanjang itu.
Empat orangtua yang sudah sepuh, dua adik laki-laki yang tak dapat diharapkan,
semua ini membuat keempat belas itu kelangsungan hidupnya dipanggul sendiri oleh
ayah Lintang. Setiap hari beliau menunggu tetangganya yang memiliki perahu atau
juragan pukat harimau memintanya untuk membantu mereka di laut. Beliau tidak
mendapatkan persentasi dari berapa pun hasil tangkapan, tapi memperoleh upah atas
kekuatan fisiknya. Beliau adalah orang yang mencari nafkah dengan menjual tenaga.
Tambahan penghasilan sesekali beliau dapat dari Lintang yang sudah bisa menjadi kuli
kopra dan anak-anak perempuannya yang mengumpulkan kerang saat angin teduh musim

selatan.
Lintang hanya dapat belajar setelah agak larut karena rumahnya gaduh, sulit
menemukan tempat kosong, dan karena harus berebut lampu minyak. Namun sekali ia
memegang buku, terbanglah ia meninggalkan gubuk doyong berdinding kulit itu. Belajar
adalah hiburan yang membuatnya lupa pada seluruh penat dan kesulitan hidup. Buku
baginya adalah obat dan sumur kehidupan yang airnya selalu memberi kekuatan baru
agar ia mampu mengayuh sepeda menantang angin setiap hari. Jika berhdapan dengan
buku ia akan terisap oleh setiap kalimat ilmu yang dibacanya, ia tergoda oleh sayap-sayap
kata yang diucapkan oleh para cerdik cendekia, ia melirik maksud tersembunyi dari
sebuah rumus, sesuatu yang mungkin tak kasat mata bagi orang lain.
Lalu pada suatu ketika, saat hari sudah jauh malam, di bawah temaram sinar
lampu minyak, ditemani deburan ombak pasang, dengan wajah mungil dan matanya yang
berbinar-biran, jari-jari kurus Lintang membentang lembar demi lembar buku lusuh
stensilan berjudul Astronomi dan Ilmu Ukur. Dalam sekejap ia tenggelam dilamun katakata
ajaib pembangkangan Galileo Galilei terhadap kosmologi Aristoteles, ia dimabuk
rasa takjub pada gagasan gila para astronom zaman kuno yang terobsesi ingin mengukurb
erapa jarak bumi ke Andromeda dan nebula-nebula Triangulum. Lintang menahan napas
ketika membaca bahwa gravitasi dapat membelokkan cahaya saat mempelajari tentang
analisis spektral yang dikembangkan untuk studi bintang gemintang, dan juga saat tahu
mengenai teori Edwin Hubble yang menyatakan bahwa alam hidup mengembang
semakin membesar. Lintang terkesima pada bintang yang mati jutaan tahun silam dan ia
terkagum-kagum pada pengembaraan benda-benda langit di sudut-sudut gelap kosmos
yang mungkin hanya pernah dikunjungi oleh pemikiran-pemikiran Nicolaus Copernicus
dan Isaac Newton.
Ketika sampai pada Bab Ilmu Ukur ia tersenyum riang karena nalarnya demikian
ringan mengikuti logika matematis pada simulasi ruang berbagai dimensi. Ia dengan

cepat segera menguasai dekomposisi tetrahedral yang rumit luar biasa, aksioma arah, dan
teorema Phytagorean. Semua materi ini sangat jauh melampaui tingkat usia dan
pendidikannya. Ia merenungkan ilmu yang amat menarik ini. Ia melamun dalam lingkar
temaram lampu minyak. Dan tepat ketika itu, dalam kesepian malam yang mencekam,
lamunannya sirna karena ia terkejut menyaksikan keanehan di atas lembar-lembar buram
yang dibacanya. Ia terheran-heran menyaksikan angka-angka tua yang samar di lembaran
itu seakan bergerak-gerak hidup, menggeliat, berkelap-kelip, lalu menjelma menjadi
kunang-kunang yang ramai beterbangan memasuki pori-pori kepalanya. Ia tak sadar
bahwa saat itu arwah para pendiri geometri sedang tersenyum padanya dan Copernicus
serta Lucretius sedang duduk di sisi kiri dan kanannya. Di sebuah rumah panggung
sempiot, di sebuah keluarga Melayu pedalaman yang sangat miskin, nun jauh di pinggir
laut, seorang genius alami telah lahir.
Esoknya di sekolah Lintang heran melihat kami yang kebingungan dengan
persoalan jurusan tiga angka.
“Apa, sih yang dipusingkan orang-orang kampung ini dengan arah angin itu?”
Demikian suara dari dalam hatinya.
Seperti juga kebodohan yang sering tak disadari, beberapa orang juga tak
menyadari bahwa dirinya telah terpilih, telah ditakdirkan Tuhan untuk ditunangkan
dengan ilmu.

Comments

Post a Comment

Bagi Yang Mau Memberi Komentar Tinggal Poskan Komentar di Kotak Komentar..

Yang tak punya url bisa dikosongkan..
tapi tolong di diisi oke Name-nya

Komentar anda saya tunggu :d

Popular posts from this blog

Proses Transportasi dan Struktur Sedimen

Source : Sam Boggs Jr :  Proses Transportasi dan Struktur Sedimen Proses Transportasi dan Struktur Sedimen Bangunan biologi seperti karang-karang, tumpukan cangkang dan karpet mikroba diciptakan di dalam tempat yang tidak ada transportasi material. Sama halnya, pengendapan mineral evaporit di dalam danau, laguna dan di sepanjang garis pantai yang tidak melibatkan semua pergerakan zat particulate (substansi yang terdiri dari partikel-partikel). Namun bagaimanapun, hampir semua endapan sedimen lainnya diciptakan oleh transportasi material. Pergerakan material kemungkinan murni disebabkan oleh gravitasi, tapi yang lebih umum adalah karena hasil dari aliran air, udara, es atau campuran padat ( dense mixtures ) sedimen dan air. Interaksi material sedimen dengan media transportasi menghasilkan berkembangnya struktur sedimen, beberapa struktur sedimen berkaitan dengan pembentukan bentuk lapisan ( bedform ) dalam aliran sedangkan yang lain adalah erosi. Struktur sedimen ini terawetkan dal

Pengertian Medan Magnet

6.1 Pengertian Medan Magnet Pada saat ini banyak peralatan yang bekerja dengan memanfaatkan medan magnet. Peralatan tersebut antara lain motor listrik, pemercepat partikel (akselerator), spektrometer massa, reaktor fusi, dan mikroskop elektron. Motor listrik merupakan alat yang paling sering dijumpai, karena penggunaannya sangat luas, mulai dari motor mainan anak, tape recorder, mesin jahit, hingga sebagai alat penggerak mesin-mesin pabrik. Medan magnet yang berubah terhadap waktu akan menimbulkan gaya gerak listrik (ggl) induksi. Fenomena ini merupakan aspek penting medan magnet yang digunakan sebagai prinsip kerja generator listrik. Pengertian ggl induksi juga penting untuk memahami dasar kerja induktor dan transfomator yang sering dijumpai dalam rangkaian arus bolak-balik. Proses reproduksi suara (audio) dan gambar (video) serta penyimpanan data pada komputer elektronik juga memanfaatkan fenomena ggl induksi ini. Suatu medan magnet dikatakan ada dalam suatu ruang, apabila muatan lis

Gunung Singgalang

Sejarah Pembentukan singkat gunung singgalang : Gunung Singgalang sendiri termasuk ke dalam jenis gunung berapi yang tidak aktif. Yang artinya gunung singgalang sudah terjadi erupsi lebih dari duaribu tahun yang lalu. Gunung berapi adalah gunung yang terbentuk jika magma dari perut bumi naik ke permukaan. Gunung berapi dapat dikelompokkan menurut tingkat kedasyatan letusan, apakah itu dasyat ataupun tenang.  Gunung berapi dapat berbentuk kerucut, kubah, berpuncak datar, atau seperti menara, tergantung pada jenis letusan dan sifat-sifat fisik magma yang disemburkan. Gunung Singgalang termasuk gunungapi berbentuk kerucut (stratovulkano) tetapi karena gunung singgalang sudah lama meletus sehingga puncaknya tererosi dan membentuk puncak yang relatif datar. Telaga dewi yang terdapat di puncak singgalang merupakan kawah hasil erupsi singgalang ketika 2000 tahun silam. Morfologi daerah gunung atau bentuk roman muka bumi  Didaerah G. Singgalang ini mempunyai morfologi sepe