LANGIT KETUJUH
KEBODOHAN berbentuk seperti asap, uap air, kabut. Dan ia beracun. Ia berasal dari
sebuah tempat yang namanya tak pernah dikenal manusia. Jika ingin menemui
kebodohan makab erangkatlah dari tempat di mana saja di planet biru ini dengan
menggunakan tabung roket atau semacamnya, meluncur ke atas secara vertikal, jangan
eprnah sekali pun berhenti.
Gapailah gumpalan awan dalam lapisan troposfer, lalu naiklah terus menuju
stratosfer, menembus lapisan ozon, ionosfer, dan bulan-bulan di planet yang asing.
Meluncurlah terus sampai ketinggian di mana gravitasi bumi sudah tak peduli. Arungi
samudra bintang gemintang dalam suhu dingin yang mampu meledakkan benda padat.
Lintasi hujan meteor sampai tiba di eksosfer—lapisan paling luar atmosfer dengan
bentangan selebar 1.200 kilometer, dan teruslah melaju menaklukkan langit ketujuh.
Kita hanya dapat menyebutnya langit ketujuh sebagai gambaran imajiner tempat
tertinggi dari yang paling tinggi. Di tempat asing itu, tempat yang tak ‘kanpernah
memiliki nama, di atas langit ke tujuh, di situlah kebodohan bersemanyam. Rupanya
seperti kabut tipis, seperti asap cangklong, melayang-layang pelan, memabukkan .maka
apabila kita tanyakan sesuatu kepada orang-orang bodoh, mereka akan menjawab dengan
merancau, menyembunyikan ketidaktahuannya dalam omongan cepat, mencari beragam
alasan, atau membelokkan arah pertanyaan. Sebagaian yang lain diam terpaku, mulutnya
ternganga, ia diselubungi kabut dengan tatapan mata yang kosong dan jauh. Kedua jenis
reaksi ini adalah akibat keracunan asap tebal kebodohan yang mengepul di kepala
mereka.
Kita tak perlu menempuh ekspedisi gila-gilaan itu. Karena seluruh lapisan langit
dan gugusan planit itu sesungguhnya terkonstelasi di dalam kepala kita sendiri. Apa yang
ada pada pikiran kita, dalam gumpalan otak seukuran genggam, dapat menjangkau ruang
seluas jagat raya.Parapemimpi seperti Nicolaus Copernicus, Battista Della Porta, dan
Lippershey malah menciptakan jagat rayanya sendiri, di dalam imajinasinya, dengan
sistem tata suryanya sendiri, dan Lucretius, juga seoerang pemimpi, menuliskan ilmu
dalam puisi-puisi.
Tempat di atas langit ketujuh, tempat kebodohan bersemanyam, adalah metafor
dari suatu tempat di mana manusia tak bisa mempertanyakan zat-zat Allah. Setiap usaha
mempertanyakannya hanya akan berujung dengan kesimpulan yang mempertontonkan
kemahatololan sang penanya sendiri. Maka semua jangkauan akal telah berakhir di langit
ketujuh tadi. Di tempat asing tersebut, barangkali Arasy, di sana kembali metafor
kagungan Tuhan bertakhta. Di bawah takhta-Nya tergelar Lauhul Mahfuzh, muara dari
segala cabang anak-anak sungai ilmu dan kebijakan, kitab yang telah mencatat setiap
lembar daun yang akan jatuh. Ia juga menyimpan rahasia ke mana nasib akan membawa
sepuluh siswa baru perguruan Muhammadiyah tahun ini. Karena takdir dan nasib
termasuk dalam zat-Nya.
Tuhan menakdirkan orang-orang tertentu untuk memiliki hati yang terang agar
dapat memberi pencerahan pada sekelilingnya. Dan di malam yang tua dulu ketika
Copernicus dan Lucretius duduk di samping Lintang, ketika angka-angka dan huruf
menjelma menjadi kunang-kunang yang berkelap-kelip, saat itu Tuhan menyemaikan biji
zarah klecerdasan, zarah yang jatuh dari langit dan menghantam kening Lintang.
Sejak hari perkenalan dulu aku sudah terkagum-kagum pada Lintang. Anak
pengumpul kerang ini pintar sekali. Matanya menyala-nyala memancarkan inteligensi,
keingintahuan menguasai dirinya seperti orang kesurupan. Jarinya tak pernah berhenti
mengacung tanda ia bisa menjawab. Kalau melipat dia paling cepat, kalau membaca dia
paling hebat. Ketika kami masih gagap menjumlahkan angka-angka genap ia sudah
terampil mengalikan angka-angka ganjil. Kami baru saja bisa mencongak, dia sudah
pintar membagi angka desimal, menghitung akar dan menemukan pangkat, lalu, tidak
hanya menggunakan, tapi juga mampu menjelaskan hubungan keduanya dalam tabel
logaritma. Kelemahannya, aku tak yakin apakah hal ini bisa disebut kelemahan, adalah
tulisannya yang cakar ayam tak keruan, tentu karena mekanisme motorik jemarinya tak
mampu mengejar pikirannya yang berlari sederas kijang.
“13 kali 6 kali 7 tambah 83 kurang 39!” tantang Bu Mus di depan kelas.
Lalu kami tergopoh-gopoh membuka karet yang mengikat segenggam lidi, untuk
mengambil tiga belas lidi, mengelompokkannya menjadi enam tumpukan, susah payah
menjumlahkan semua tumpukan itu, hasilnya kembali disusun menjadi tujuh kelompok,
dihitung satu per satu sebagai total dua tahap perkalian, ditambah lagi 83 lidi lalu diambil
39. Otak terlalu penuh untuk mengorganisasi sinyal-sinyal agar mengambil tindakan
praktis mengurangkan dulu 39 dari 83. Menyimpang sedikit dari urutan cara berpikir
orang kebanyakan adalah kesalahan fatal yang akan mengacaukan ilmu hitung aljabar.
Rata-rata dari kami menghabiskan waktu hampir selama 7 menit. Efektif memang, tapi
tidak efisien, repot sekali.
Sementara Lintang, tidak memegang sebatang lidi pun, tidak berpikir dengan cara
orang kebanyakan, hanya memjamkan matanya sebentar, tak lebih dari 5 detik ia
bersorak.
“590!”
Tak sebiji pun meleset, meruntuhkan semangat kami yang sedang belepotan
memegangi potongan lidi, bahan belum selesai dengan operasi perkalian tahap pertama.
Aku jengkel tapi kagum. Waktu itu kami baru masuk hari pertama di kelas dua SD!
“ Superb! Anak pesisir, superb!” puji Bu Mus. Beliau pun tergoda untuk
menjangkau batas daya pikir Lintang.
“18 kali 14 kali 23 tambah 11 tambah 14 kali 16 kali 7!”
Kami berkecil hati, temangu-mangu menggenggami lidi, lalu kurang dari tujuh
detik, tanpa membuat catatan apa pun, tanpa keraguan, tanpa ketergesa-gesaan, bahkan
tanpa berkedip, Lintang berkumandang.
“651.952!”
“Purnama! Lintang, bulan purnama di atas Dermaga Olivir, indah sekali! Itulah
jawabanmu, ke mana kau bersembunyi selama ini …?”
Ibu Mus bersusah payah menahan tawanya. Ia menatap Lintang seolah telah
seumur hidup mencari murid seperti ini. Ia tak mungkin tertawa lepas, agama melarang
itu. Ia menggeleng-gelengkan kepalanya. Kami terpesona dan bertanya-tanya bagaimana
cara Lintang melakukan semua itu. Dan inilah resepnya ….
“Hafalkan luar kepala semua perkalian sesama angka ganjil, itulah yang sering
menyusahkan. Hilangkan angka satuan dari perkalian dua angka puluhan karena lebih
mudah mengalikan dengan angka berujung nol, kerjakan sisanya kemudian, dan jangan
kekenyangan kalau makan malam, itu akan membuat telingamu tuli dan otakmu tumpul!”
Polos, tapi ia telah menunjukkan kualifikasi highly cognitive complexdengan
mengembangkan sendiri teknik-teknik melokalisasi kesulitan, menganalisis, dan
memecahkannya. Ingat dia baru kelas dua SD dan ini adalah hari pertamanya. Selain itu
ia juga telah mendemonstrasikan kualitas nalar kuantitatif level tinggi. Sekarang aku
mengerti, aku sering melihatnya berkonsentrasi memandangi angka-angka. Saat itu dari
keningnya seolah terpancar seberkas sinar, mungkin itulah cahaya ilmu. Anak semuda itu
telah mampu mengontemplasikan bagaimana angka-angka saling bereaksi dalam suatu
operasi matematika. Kontemplasi-kontemplasi ini rupanya melahirkan resep ajaib tadi.
Lintang adalah pribadi yang unik. Banyak orang merasa dirinya pintar lalu
bersikap seenaknya, congkak, tidak disiplin, dan tak punya integritas. Tapi Lintang
sebaliknya. Ia tak pernah tinggi hati, karena ia merasa ilmu demikian luas untuk
disombongkan dan menggali ilmu tak akan ada habis-habisnya.
Meskipun rumahnya paling jauh tapi kalau datang ia paling pagi. Wajah manisnya
senantiasa bersinar walaupun baju, celana, dan sandal cunghai-nya buruknya minta
ampun. Namun sungguh kuasa Allah, di dalam tempurung kepalanya yang ditumbuhi
rambut gimbal awut-awutan itu tersimpan cairan otak yang encer sekali. Pada setiap
rangkaian kata yang ditulisnya secara acak-acakan tersirat kecemerlangan pemikiran
yang gilang gemilang. Di balik tubuhnya yang tak terawat, kotor, miskin, serta berbau
hangus, dia memiliki an absolutely beautiful mind. Ia adalah buah akal yang jernih, bibit
genius asli, yang lahir di sebuah tempat nun jauh di pinggir laut, dari sebuah keluarga
yang tak satu pun bisa membaca.
Lebih dari itu, seperti dulu kesan pertama yang kutangkap darinya, ia laksana
bunga meriam yang melontarkan tepung sari. Ia lucu, semarak, dan penuh vitalitas. Ia
memperlihatkan bagaimana ilmu bisa menjadi begitu menarik dan ia menebarkan hawa
positif sehingga kami ingin belajar keras dan berusaha menunjukkan yang terbaik.
Jika kami kesulitan, ia mengajari kami dengan sabar dan selalu membesarkan hati
kami. Keunggulannya tidak menimbulkan perasaan terancam bagi sekitarnya,
kecemerlangannya tidak menerbitkan iri dengki, dan kehebatannya tidak sedikit pun
mengisyaratkan sifat-sifat angkuh. Kami bangga dan jatuh hati padanya sebagai seorang
sahabat dan sebagai seorang murid yang cerdas luar biasa. Lintang yang miskin duafa
adalah mutiara, galena, kuarsa, dan topas yang paling berharga bagi kelas kami.
Lintang selalu terobsesi dengan hal-hal baru, setiap informasi adalaha sumbu ilmu
yang dapat meledakkan rasa ingin tahunya kapan saja. Kejadian ini terjadi ketika kami
kelas lima, pada hari ketika ia diselamatkan oleh Bodenga.
“Al-Qur’an kadangkala menyebut nama tempat yang harus diterjemahkan dengan
teliti ….” Demikian penjelasan Bu Mus dalam tarikh Islam, pelajaran wajib perguruan
Muhammadiyah. Jangan harap naik kelas kalau mendapat angka merah untuk ajaran ini.
“Misalnya negeri yang terdekat yang ditaklukkan tentara Persia pada tahun ….”
“620 Masehi! Persia merebut kekaisaran Heraklius yang juga berada dalam
ancaman pemberontakan Mesopotamia, Sisilia, dan Palestina. Ia juga diserbu bangsa
Avar, Slavia, danArmenia….”
Lintang memotong penuh minat, kami ternganga-nganga, Bu Mus tersenyum
senang. Beliau menyampingkan ego. Tak keberatan kuliahnya dipotong. Beliau memang
menciptakan atmosfer kelas seperti ini sejak awal. Memfasilitasi kecerdasan muridnya
adalah yang paling penting bagi beliau. Tidak semua guru memiliki kualitas seperti ini.
Bu Mus menyambung, “Negeri yang terdekat itu ….”
“Byzantium! Nama kuno untuk Konstantinopel, mendapat nama belakangan itu
dari The Great Constantine. Tujuh tahun kemudian negeri itu merebut lagi
kemerdekaannya, kemerdekaan yang diingatkan dalam kitab suci dan diingkari kaum
musyrik Arab, mengapa ia disebut negeri yang terdekat Ibunda Guru? Dan mengapa kitab
suci ditentang?”
“Sabarlah anakku, pertanyaanmu menyangkut pernjelasan tafsir surah Ar-Ruum
dan itu adalah ilmu yang telah berusia paling tidak seribu empat ratus tahun. Tafsir baru
akan ktia diskusikan nanti kalau kelas dua SMP….”
“Tak mau Ibunda, pagi ini ketika berangkat sekolah aku hampir diterkam buaya,
maka aku tak punya waktu menunggu, jelaskan di sini, sekarang juga!”
Kami bersorak dan untuk pertama kalinya kami mengerti makna adnal ardli, yaitu
tempat yang dekat atau negeri yang terdekat dalam arti harfiah dan tempat paling rendah
di bumi dalam konteks tafsir, tak lain dari Byzantium di kekaisaran Roma sebelah timur.
Kami bersorak tentu bukan karena adnal ardli, apalagi Byzantium yang merdeka, tapi
karena kagum dengan sikap Lintang menantang intelektualitasnya sendiri. Kami merasa
beruntung menjadi saksi bagaimana seseorang tumbuh dalam evolusi inteligensi. Dan
ternyata jika hati kita tulus berada di dekat orang berilmu, kita akan disinari pancaran
pencerahan, karena seperti halnya kebodohan, kepintaran pun sesungguhnya demikian
mudah menjalar.
ORANG cerdas memahami konsekuensi setiap jawaban dan menemukan bahwa
di balik sebuah jawaban tersembunyi beberapa pertanyaan baru. Pertanyaan baru tersebut
memiliki pasangan sejumlah jawaban yang kembali akan membawa pertanyaan baru
dalam deretan eksponensial. Sehingga mereka yang benar-benar cerdas kebanyakan
rendah hati, sebab mereka gamang pada akibat dari sebuah jawaban. Konsekuensikonsekuensi
itu mereka temui dalam jalur-jalur seperti labirin, jalur yang jauh menjalarjalar,
jalur yang tak dikenal di lokus-lokus antah berantah, tiada berujung. Mereka
mengarungi jalur pemikiran ini, tersesat di jauh di dalamnya, sendirian.
Godaan-godaan besar bersemayam di dalam kepala orang-orang cerdas. Di
dalamnya gaduh karena penuh dengan skeptisisme. Selesai menyerahkan tugas kepada
dosen, mereka selalu merasa tidak puas, selalu merasa bisa berbuat lebih baik dari apa
yang telah mereka presentasikan. Bahkan ketika mendapat nilai A plus tertinggi, mereka
masih saja mengutuki dirinya sepanjang malam.
Orang cerdas berdiri di dalam gelap, sehingga mereka bisa melihat sesuatu yang
tak bisa dilihat orang lian. Mereka yang tak dipahami oleh lingkungannya, terperangkap
dalam kegelapan itu. Semakin cerdas, semakin terkucil, semakin aneh mereka. Kita
menyebut mereka: orang-orang yang sulit. Orang-orang sulit ini tak berteman, dan
mereka berteriak putus asa memohon pengertyian. Ditambah sedikit saja dengan sikap
introver, maka orang-orang cerdas semacam ini tak jarang berakhir di sebuah kamar
dengan perabot berwarna teduh dan musik klasik yang terdengar lamat-lamat, itulah
ruang terapi kejiwaan. Sebagian dari mereka amat menderita.
Sebaliknya, orang-orang yang tidak cerdas hidupnya lebih bahagia. Jiwanya sehat
walafiat. Isi kepalanya damai, tenteram, sekaligus sepi, karena tak ada apa-apa di situ,
kosong. Jika ada suara memasuki telinga mereka, maka suara itu akan terpantul-pantul
sendirian di dalam sebuah ruangan yang sempit, berdengung-dengung sebentar, lalu
segera keluar kembali melalui mulut mereka.
Jika menyerahkan tugas, mereka puas sekali karena telah berhasil memenuhi
batas akhir, dan ketika mendapat nilai C, mereka tak henti-hentinya bersyukur karena
telah lulus.
Mereka hidup di dalam terang. Sebuah senter menyiramkan sinar tepat di atas
kepala mereka dan pemikiran mereka hanya sampai pada batas lingkaran cahaya senter
itu. Di luar itu adalah gelap. Mereka selalu berbicara keras-keras karena takut akan
kegelapan yang mengepung mereka. Bagi sebagian orang, ketidaktahuan adalah berkah
yang tak terkira.
Aku pernah mengenal berbagai jenis orang cerdas.Adaorang genius yang jika
menerangkan sesuatu lebih bodoh dari orang yang paling bodoh. Semakin keras ia
berusaha menjelaskan, semakin bingung kita dibuatnya. Hal ini biasanya dilakukan oleh
mereka yang sangat cerdas. Ada pula yang kurang cerdas, bahkan bodoh sebenarnya, tapi
kalau bicara ia terlihat paling pintar. Ada orang yang memiliki kecerdasan sesaat,
kekuatan menghafal yang fotografis, namun tanpa kemampuan analisis. Ada juga yang
cerdas tapi berpura-pura bodoh, dan elbih banyak lagi yang bodoh tapi berpura-pura
cerdas.
Namun, sahabatku Lintang memiliki hampir semua dimensi kecerdasan. Dia
seperti toko serba ada kepandaian. Yang paling menonjol adalah kecerdasan spasialnya,
sehingga ia sangat unggul dalam geometri multidimensional. Ia dengan cepat dapat
membayangkan wajah sebuah konstruksi suatu fungsi jika digerak-gerakkan dalam
variabel derajat. Ia mampu memecahkan kasus-kasus dekomposisi modern yang runyam
dan mengajari kami teknik menghitung luas poligon dengan cara membongkar sisisisinya
sesuai Dalil Geometri Euclidian. Ingin kukatakan bahwa ini sama sekali bukan
perkara mudah.
Ia sering membuat permainan dan mendesain visualisasi guna menerjemahkan
rumusan geometris pada tingkat kesulitan yang sangat tinggi. Tujuannya agar gampang
disimulasikan sehingga kami sekelas dapat dengan mudah memahami kerumitan
Teorema Kupu-Kupu atau Teorema Morley yang menyatakan bahwa pertemuan segitiga
yang ditarik dari trisektor segitiga bentuk apa pun akan membentuk segitiga inti yang
sama sisi. Semua itu dilengkapinya dengan bukti-bukti matematis dalam jangkauan
analisis yang melibatkan kemampuan logika yang sangat tinggi. Ini juga sama sekali
bukan urusan mudah, terutama untuk tingkat pendidikan serendah kami serta. Dan
mengingat kopra maka kuanggap apa yang dilakukan Lintang sangat luar biasa.
Lintang juga cerdas secara experientialyang membuyatnya piawai
menghubungkan setiap informasi dengan konteks yang lebih luas. Dalam kaitan ini, ia
memiliki kapasitas metadiscourseselayaknya orang-orang yang memang dilharikan
sebagai seorang genius. Artinya adalah jika dalam pelajaran biologi kami baru
mempelajari fungsi-fungsi otot sebagai subkomponen yang membentuk sistem mekanik
parsial sepotong kaki maka Liontang telah memahami sistem mekanika seluruh tubuh
dan ia mampu menjelaskan peran sepotong kaki itu dalam keseluruhan mekanika
persendian dan otot-otot yang terintegrasi.
Kecerdasannya yang lain adalah kecerdasan linguistik. Ia mudah memahami
bahasa, efektif dalam berkomunikasi, memiliki nalar verbal dan logika kualitatif. Ia juga
mempunyai descriptive power, yakni suatu kemampuan menggambarkan sesuatu dan
mengambil contoh yang tepat. Pengalamanku dengan pelajaran bahasa Inggris di harihari
pertama kelas 2 SMP nanti membuktikan hal itu.
Saat itu aku mendapat kritikan tajam dari ayahku karena nilai bahasa Inggris yang
tak kunjung membaik. Aku pun akhirnya menghadap pemegang kunci pintu ilmu filsafat
untuk mendapat satu dua resep ajaib. Aku keluhkan kesulitanku memahami tense.
“Kalau tak salah jumlahnya sampai enam belas, dan jika ia sudah berada dalam
sebuah narasi aku ekhliangan jejak dalam konteks tenseapa aku berada? Pun ketika ingin
membentuk sebuah kalimat, bingung aku menentukan tense-nya. Bahasa Inggrisku tak
maju-maju.”
“Begini,” kata Lintang sabar menghadapi ketololanku. Ketika itu ia sedang
memaku sandal cunghai-nya yang menganga seperti buaya lapar. Kupikir ia pasti
mengira bahwa aku mengalami disorientasi waktu dan akan menjelaskan makna tense
secara membosankan. Tapi petuahnya sungguh tak kuduga.
“Memikirkan struktur dan dimensi waktu dalam sebuah bahasa asing yang baru
saja kita kenal tidak lebih dari hanya akan merepotkan diri sendiri. Sadarkah kau bahasa
apa pun di dunia ini, di mana pun, mulai dari bahasa Navajo yang dipakai sebagai sandi
tak terpecahkan di perang dunia kedua, bahsa Gaelic yang amat langka, bahasa Melayu
pesisir yang berayun-ayun, sampai bahasa Mohican yang telah punah, semuanya adalah
kumpulan kalimat, dan kalimat tak lain adalah kumpulan kata=kata, paham kau sampai di
sini?”
Aku mengangguk, semua oarng tahu itu.
Lalu ia melanjutkan, “Nah, kata apa pun, pada dasarnya adalah kata benda, kata
kerja, kata sifat, dan kata keterangan, paham? Ini bukan masalah bahasa yang sulit tapi
masalah cara berpikir.”
Sekarang mulai menarik.
“Berangkatlah dari sana, pelajari bagaimana menggunakan kata benda, kata kerja,
kata sifat, dan kata keterangan dalam sebuah kalimat Inggris, itu saja, Kal. Tak lebih dari
itu!”
Belajar kata terlebih dulu, bukan belajar bahasa, itulah inti paradigma belajar
bahsa Inggris versi Lintang. Sebuah ide cemerlang yang hanya terpikirkan oleh orang-orang yang
memahami prinsip-prinsip belajar behasa. Dengan paradigma ini aku
mengalami kemajuan pesat, bukan hanya karena aku dapat mempelajari bahsa Inggris
dengan bantuan analogi bahasaIndonesia, tapi petuahnya mampu melenyapkan sugesti
kesulitan belajar bahasa asing yang umum melanda siswa-siswa daerah. Bahwa bahasa,
baik lokal maupun asing, adalah permainan kata-kata, tak lebih dari itu!
Setelah aku mampu membangun konstruksiku sendiri dalam memahami kalimat-kalimat
Inggris, kemudain Lintang menunjukkan cara meningkatkan kualitas tata
bahasaku dengan mengenalkan teori strktur dan aturan-aturan tense. Pendekatan ini diam-diam
kami sebarkan pada seluruh teman sekelas. Dan ternyata hal ini sukses besar,
sehingga dapat dikatakan Lintanglah yang telah mengakhiri masa kejahiliahan bahasa
Inggris di kelas kami.
Mungkin kami telah belajar bahasa Inggris dengan pendekatan yang keliru, tapi
cara ini efektif. Dan cara ini diajarkan oleh seseorang yang percaya bahwa setiap orang
memiliki jalan yang berbeda untuk memahami bahasa. Aku kagum dengan daya pikir
Lintang, dalam usia semuda itu ia mampu melihat elemen-elemen filosofis sebuah ilmu
lalu jmenerjemahkannya menjadi taktik-taktik praktsi untuk menguasainya. Yang lebih
istimewa, orang yang mengajariku ini bahkan tak mampu membeli buku teks wajib
bahasa Inggris.
Lintang memasuki suatu tahap kreatif yang melibatkan intuisi dan pengembangan
pemikiran divergen yang orisinal. Ia menggali rasai ngin tahunya dan tak henti mencoba-coba.
Indikasi kegeniusannya dapat dilihat dari kefasihannya dalam berbahasa numerik,
yaitu ia terampil memproses sebuah pernyataan matematis mulai dari hipotesis sampai
pada kesimpulan. Ia membuat penyangkalan berdasarkan teorema, bukan hanya
berdasarkan pembuktian kesalahan, apalagi simulasi. Dalam usia muda dia telah
memasuki area yang amat teoretis, cara berpikirnya mendobrak, mengambil risiko, tak
biasa, dan menerobos. Setiap hari kami merubungnya untuk menemukan kejutan-kejutan
pemikirannya.
Baru naik ke kelas satu SMP, ketika kami masih pusing tujuh keliling memetakan
absis dan ordinat pada produk cartesius dalam topik relasi himpunan sebagai dasar fungsi
linear, Lintang telah mengutak-atik materi-materi untuk kelas yangj auh lebih tinggi di
tingkat lanjutan atas bahkan di tingkat awal perguruan tinggi seperti implikasi,
biimplikasi, filosofi Pascal, binomialNewton, limit, diferensial, integral, teori-teori
peluang, dan vektor. Ketika kami baru saja mengenal dasar-dasar binomial ia telah
beranjak ke pengetahuan tentang aturan multinomial dan teknik eksploitasi polinomial, ia
mengobrak-abrik pertidaksamaan eksponensial, mengilustrasikan grafik-grafik sinus, dan
membuat pembuktian sifat matematis menggunakan fungsi-gunsgi trigonometri dan
aturan ruang tiga dimensi.
Suatu waktu kami belajar sistem persamaa nlinier dan tertatih-tatih menguraiuraikan
kasusnya dengan substitusi agar dapat menemukan nilai sebuah variabel, ia bosan
dan menghambur ke depan kelas, memenuhi papan tulis dengan alternatif-alternatif solusi
linier, di antaranya dengan metode eliminasi Gaus-Jordan, metode Crammer, metode
determinan, bahkan dengan nilai Eigen. Setelah itu Lintang mulai menggarap dan tampak
sangat menguasai prinsip-prinsip penyelesaian kasus nonlinier. Ia dengan amat lancar
menejlaskan persamaan multivariabel, mengeksploitasi rumus kuadrat, bahkan
menyelesaikan operasi persamaan menggunakan metode matriks! Padahal dasar-dasar
matriks paling tidak baru dikhotbahkan para guru pada kelas dua SMA. Yang lebih
menakjubkan adalah semua pengetahuan itu ia pelajari sendiri dengan membaca
bermacam-macam buku milik kepala sekolah kami jika ia mendapat giliran tugas
menyapu di ruangan beliau. Ia bersimpuh di balik pintu ayun, semacam pintu koboi,
menekuni angka-angka yang bicara, bahkan dalam buku-buku berbahasa Belanda.
Ia memperlihatkan bakat kalkulus yang amat besar dan keahliannya tidak hanya
sebatas menghitung guna menemukan solusi, tapi ia memahami filosofi operasi-operasi
matematika dalam hubungannya dengan aplikasi seperti yang dipelajari para mahasiswa
tingkat lanjut dalam subjek metodologi riset. Ia membuat hitungan yang iseng namun
cerdas mengenai berapa waktu yang dapat dihemat atau berapa tambahansuratyang
dapat diantar per hari oleh Tuan Pos jika mengubah rute antarnya. Ia membuat perkiraan
ketahanan benang gelas dalam adu layangan untuk berbagai ukuran nilon berdasarkan
perkiraan kekuatan angin, ukuran layangan, dan panjang benang. Rekomendasinya
menyebabkan kami tak pernah terkalahkan.
Prediksinya tak pernah meleset dalam menghitung waktu kuncup, bersemi, dan
mati untuk bunga red hot cat taildengan meneliti kadar pupuk, suplai air, dan sinar
matahari. Ia mengompilasi dengan cermat tabel pengamatan distribusi durasi, frekuensi
dan waktu curah hujan lalu menghitung rata-rata, variansi, dan koefisien korelasi dalam
rangka memperkirakan berapa kali Pak Harfan bolos karena bengek itu menunjukkan
pola yang konsisten terhadap fungsi hujan dan lebih ajaib lagi Lintang mampu membuat
persentase bias dugaannya.
Lintang bereksperimen merumuskan metode jembatan keledainya sendiri untuk
pelajaran-pelajaran hafalan. Biologi misalnya. Ia menciptyakan sebuah konfigurasi
belajar metabolisme dengan merancang kelompok sistem biologis mulai dari sistem alat
tubuh, pernapasan, pencernaan, gerak, sampai sistem saraf dan indra, baik untuk manusia,
vertebrata, maupun avertebrata, sehingga mudah dipahami.
Maka jika kita tanyakan padanya bagaiaman seekor cacing melakukan hajat
kecilnya, siap-siap saja menerima penjelasan yang rapi, kronologis, terperinci, dan
sangat cerdas mengenai cara kerja rambut getar di dalam sel-sel api, lalu dengan santai
saja, seumpama seekor monyet sedang mencari kutu di punggung pacarnya, ia akan
membuat analogi buang hajat cacing itu pada sistem ekskresi protozoa dengan anatomi
vakuola kontraktil yang rumit itu, bahkan jika tidak distop, ia akan dengan senang hati
menjelaskan fungsi-fungsi korteks, simpai bowman, medulla, lapisan malpigi, dan dermis
dalam sistem ekskresi manusia. Karena bagi Lintang, melalui desain jembatan keledainya
tadi, benda-benda hafalan ini dengan mudah dapat ia kuasai, satu malam saja, sekali
tepuk.
Masih dalam pelajaran biologi, terjadi perdebatan sengit di antara kami tentang
teori yang memaksakan pendapat bahwa manusia berasal dari nenek moyang semacam
lutung, kami terperangah oleh argumentasi lintang:
“Persoalannya adalah apakah Anda seorang religius, seorang darwinian, atau
sekadar seorang oportunis? Pilihan sesungguhnya hanya antara religius dan darwinian,
sebab yang tidak memilih adalah oportunis! Yaitu mereka yang berubah-ubah sikapnya
sesuai situasi mana yang akan lebih menguntungkan mereka. Lalu pilihan itu seharusnya
menentukan perilaku dalam menghargai hidup ini. Jika Anda seorang darwinian, silakan
berperilaku seolah tak ada tuntutan akhirat, karena bagi Anda kitab suci yang memaktub
bahwa manusia berasal dari Nabi Adam adalah dusta. Tapi jika Anda seorang religius
maka Anda tahu bahwa teori evolusi itu palsu, dan ketika Anda tak kunjung
mempersiapkan diri untuk dihisab nanti dalam hidup setelah mati, maka dalam hal ini
anda tak lebih dari seorang sekuler oportunis yang akan dibakar di dasar neraka!”
Itulah Lintang dengan pandangannya. Pikirannya memang telah sangat jauh
meninggalkan kami. Dan dengarlah itu, bicaranya lebih pintar dari bicara seluruh menteri
penerangan yang pernah dimiliki republik ini.
“Ayo yang lain, jangan hanya anak Tanjong keriting ini saja yang terus
menjawab,” perintah Bu Mus.
Biasanya setelah itu aku tergoda utnuk menjawab, agak ragu-ragu, canggung, dan
kurang yakin, sehingga sering sekali salah, lalu Lintang membetulkan jawabanku, dengan
semangat konstruktif penuh rasa akrab persahabatan. Lintang adalah seorang cerdas yang
rendah hati dan tak pernah segan membagi ilmu.
Aku belajar keras sepanjang malam, tapi tak pernah sedikit pun, sedetik pun bisa
melampaui Lintang. Nilaiku sedikit lebih baik dari rata-rata kelas namun jauh tertinggal
dari nilainya. Aku berada di bawah bayang-bayangnya sekian lama, sudah terlalu lama
malah. Rangking duaku abadi, tak berubah sejak caturwulan pertama kelas satu SD.
Abadi seperti lukisan ibu menggendong anak di bulan. Rival terberatku, musuh
bebuyutanku adalah temanku sebangku, yang aku sayangi.
Dapat dikatakan bahwa Bu Mus sering kewalahan menghadapi Lintang, terutama
untuk pelajaran matematika, sehingga ia sering diminta membantu. Ketika Lintang
menerangkan sebuah persoalan rumit dan membaut simbol-simbol rahasia matematika
menjadi sinar yang memberi terang bagi kami, Bu Mus memerhatikan dengan seksama
bukan hanya apa yang diucapkan Lintang tapi juga pendekatannya dalam menjelaskan.
Lalu beliau menggeleng-gelengkan kepalanya, komat-kamit, berbicara sendiri tak jelas
seperti orang menggerendeng. Belakangan aku tahu apa yang dikomat-kamitkan beliau.;
Bu Mus mengucapkan pelan-pelan kata-kata penuh kagum,
“Subhanallah….Subhanallah….”
“Yang paling membuatku terpesona,” cerita Bu Mus pada ibuku. “Adalah
kemampuannya menemukan jawaban dengan cara lain, cara yang tak pernah terpikirkan
olehku,” sambungnya sambil membetulkan jilbab.
“Lintang mampu menjawab sebuah pertanyaan matematika melalui paling tidak
tiga cara, padahal aku hanya mengajarkan satu cara. Dan ia menunjukkan padaku
bagaimaan menemukan jawaban tersebut melalui tiga cara lainnya yang tak pernah
sedikit pun aku ajarkan! Logikanya luar biasa, daya pikirnya meluap-luap. Aku sudah tak
bisa lagi mengatasi anak pesisir ini Ibunda Guru.”
Bu Mus tampak bingung sekaligus bangga memiliki murid sepandai itu.
Sebaliknya, ibuku, seperti biasa, sangat tertarik pada hal-hal yang aneh.
“Ceritakan lagi padaku kehebatannya yang lain,” pancing beliau memanasi Bu
Mus sambil memajukan posisi duduknya, mendekatkan keminangan tempat cupu-cupu
gambir dan kapur, lalu meludahkan sirih melalui jendela rumah panggung kami.
Dan tak ada yang lebih membahagiakan seorang guru selain mendapatkan seorang
murid yang pintar. Kecemerlangan Lintang membawa gairah segar di sekolah tua kami
yang mulai kehabisan napas, megap-megap melawan paradigma materialisme sistem
pendidikan zaman baru. Sekarang suasana belajar mengajar di sekolah kami menjadi
berbeda karena kehadiran Lintang, hanya tinggal menunggu kesempatqan saja baginya
untuk mengharumkan nama perguruan Muhammadiyah. Lintang dengan segala daya tarik
kecerdasannya daalah gemerincing tamborin yang nakal, bernada miring, dalam alunan
stambulgayalama. Dialah mantar dalam rima-rima gurindam yang itu-itu saja. Dia ikan
lele yang menggeliat dalam timbunan lumpur berku kemarau sekolah kami yang telah
bosan dihina. Tubuhnya yang kurus menjadi siku-siku yang mengeakkan kembali tiang
utama perguruan Muhammadiyah yang bahkan belum tentu tahun depan mendapatkan
murid baru.
Dewan guru tak henti-hentinya membicarakan nilai rapor Lintang. Angka
sembilan berjejer mulai dari pelajaran aqaid(akidah), Al-Qur’an, fikih, tarikh Islam, budi
pekerti, kemuhammadiyahan, pendidikan kewarganegaraan, ilmu bumi, dan bahasa
Inggris.
Untuk biologi, matematika dan semua variannya: ilmu ukur, aritmatika, aljabar,
dan ilmu pengetahuan alam bahkan Bu Mus berani bertanggung jawab untuk memberi
nilai sempurna: sepuluh. Kehebatan Lintang tak terbendung, kepiawaiannya mulai
kondang ke seantero kampung. Dan yang lebih mendebarkan, karena reputasinya itu,
kami dipertimbangkan untuk diundang mengikuti lomba kecerdasan antarsekolah yang
daat menaikkan gengsi sekolah setinggi rasi bintang Auriga. Sudah demikian lama kami
tak diundang dalam acara bergengsi ini karena prestasi sekolah selalu di bawah rata-rata.
Nilai terendah di rapor Lintang, yaitu delapan, hanya pada mata pelajaran
kesenian. Walaupun sudah berusaha sekuat tenaga dan mengerahkan segenap daya pikir
dia tak mampu mencapai angka sembilan karena tak memapu bersaing dengan seorang
pria muda berpenampilan eksentrik, bertubuh ceking, dan berwajah tampan yang duduk
di pojoksanasebangku denganTrapani. Nilai sembilan untuk pelajaran kesenian selalu
milik pria itu, namanya Mahar.
BAB XII
M A H A R
BAKAT laksana Area 51 di GurunNevada, tempat di mana mayat-mayat alien
disembunyikan: misterius! Jika setiap orang tahu dengan pasti apa bakatnya maka itu
adalah utopia. Sayangnya utopia tak ada dalam dunia nyata. Bakat tidak seperti alergi,
dan ia tidak otomatis timbul seperti jerawat, tapi dalam banyak kejadian ia harus
ditemukan.
Banyak orang yang berusaha mati-matian menemukan bakatnya dan banyak pula
yang menunggu seumur hidup agar bakatnya atau dirinya ditemukan, tapi lebih banyak
lagi yang merasa dirinya berbakat padahal tidak. Bakat menghinggapi orang tanpa
diundang. Bakat main bola seperti Van Basten mungkin diam-diam dimiliki sorang
tukang taksir di kantor pegadaian di Tanjong Pandan. Seorang Karl Marx yang lain bisa
saja sekarang sedang duduk menjaga wartel di sebuah kampus diBandung. Seorang
kondektur ternyata adalah John Denver, seorang salesmanternyata berpotensi menjadi
penembak jitu, atau salah seorang tukang nasi bebek diSurabayaternyata berbakat
menjadi komposer besar seperti Zuybin Mehta.
Namun, mereka sendiri tak pernah mengetahui hal itu. Si tukang taksir terlalu
sibuk melayani orang Belitong yang kehabisan uang sehingga tak punya waktu main
bola, sang penjaga wartel sepanjang hari hanya duduk memandangi struk yang menjulur-julur dari
printer Epson yang bunyinya merisaukan seperti lidah wanita dalam film
Perempuan Berambut Api, kondektur dan salesmansetiap hari mengukur jalan, dan
lingkungan si tukang nasi bebek sama sekali jauh dari sesuatu yang berhubungan dengan
musik klasik. Ia hanya tahu bahwa jika mendengarkan orkestra telinganya mampu
melacak nada demi nada yang berdenting dari setiap instrumen dan hatinya bergetar
hebat. Sayangnya sepanjang hidupnya ia tak pernah mendapat kesempatan sekali pun
memegang alat musik, dan tak juga pernah ada seorang pun yang menemukannya. Maka
ketika ia mati, bakat besar gilang gemilang pun ikut terkubur bersamanya. Seperti
mutiara yang tertelan kerang, tak pernah seorang pun melihat kilaunya.
Karena bakat sering kali harus ditemukan, maka ada orang yang berprofesi
sebagai pemandu bakat. Di Amerika orang-orang seperti ini khusus berkeliling dari satu
negara bagian ke negara baigan lain untuk mencari pemain baseballpotensial. Jika—satu
di antara sejuta kemungkinan—orang ini tak pernah menghampiri seseorang yang
sesungguhnya berbakat, maka hanya nasib yang menentukan apakah bakat seseorang
tersebut pernah ditemukan atau tidak, pelajaran moral nomor empat: Ternyata nasib yang
juga sangat misterius itu adalah seorang pemandu bakat! Hal ini paling tidak dibuktikan
oelh Forest Gump, jika ia tidak mendaftar menjadi tentara dan jika ia tidak mengikuti
kegiatan ekstrakurikuler di barak pada suatu sore maka mungkin ia tak pernah tahu kalau
ia sangat berbakat bermain tenis meja. Ritchie Blackmore juga begitu, kalau orang tuanya
membelikan papan catur untuk hadiah ulang tahun mungkin ia tak pernah tahu kalau dia
berbakat menjadi seorang gitaris classic rock.
Dan di siang yang panas menggelegak ini, ketika pelajaran seni suara, di salah
satu sudut kumuh perguran miskin Muhammadiyah, kami menjadi saksi bagaimana nasib
menemukan bakat Mahar. Mulanya Bu Mus meminta A Kiong maju ke depan kelas
untuk menyanyikan sebuah lagu, dan seperti diduga—hal ini sudah delapan belas kali
terjadi—ia akan membawakan lagu yang sama yaitu Berkibarlah Benderaku karya Ibu
Sud.
“…berkiballah bendelaku….”
“…lambang suci gagah pelwila ….”
“… bergelak-bergelak! Selentak … selentak …!”
A Kiong membawakan lagu itu dengangayamars tanpa rasa sama sekali. Ia
memandang keluar jendela dan pikirannya tertuju pada labu siam yang merambati dahan-dahan
rendah filiciumserta buah-buahnya yang gendut-gendut bergelantungan. Ia bahkan
tidak sedikit pun memandang ke arah kami. Ia mengkhianati penonton.
Telinganya tak mendengarkan suaranya sendiri karena ia agaknya mendengarkan
suara ribut burung-burung kecil prenjak saya pgaris yang berteriak-teriak beradu kencang
dengan suara kumbang-kumbang betina pantat kuning. Ia tak mengindahkan jangkauan
suaranya serta atk ambil pusing dengan notasi. Kali ini ia mengkhianati harmoni.
Kami juga tak memerhatikannya bernyanyi. Lintang sibuk dengan rumus
phytagoras, Harun tertidur pulas sambil mendengkur, Samson menggambar seorang pria
yang sedang mengangkat sebuah rumah dengan satu tangan kiri.Saharaasyik menyulam
kruistik kaligrafi tulisan Arab Kulil Haqqu Walau Kana Murronartinya: Katakan
kebenaran walaupun pahitdanTrapanimelipat-lipat sapu tangan ibunya. Sementara itu
Syahdan, aku dan Kucai sibuk mendiskusikan rencana kami menyembunyikan sandal Pak
Fahimi (guru kelas empat yang galak itu) di Masjid Al-Hikmah. Mahar adalah orang
satu-satunya yang menyimaknya. Sedangkan Bu Mus menutup wajahnya dengan kedua
tangan, beliau berusaha keras menahan kantuk dan tawa mendengar lolongan A Kiong.
Lalu giliran aku. Tak kalah membosankan, lebih membosankan malah. Setelah
dimarahi karena selalu menyanyikan lagu Potong Bebek Angsa, kini aku membuat sedikit
kemajuan dengan lagu baru Indonesia Tetap Merdekakarya C. Simanjuntak yang
diaransemen Damoro IS. Ketika aku mulai menyanyi Sahar mengangkat sebentar
wajahnya dari kruistiknya dan terang-terangan memandangku dengan jijik karena aku
menyanyikan lagu cepat-tegap itu dengan nada yang berlari-lari liar sesuka hati, kesana
kemari tanpa harmonisasi. Aku tak peduli dengan pelecehan itu dan tetap bersemangat.
“…Sorak-sorai bergembira…bergembira semua….”
“…telah bebas negeri kita…Indonesia merdeka ….”
Namun, aku menyanyi melompati beberapa oktaf secara drastis tanpa dapat
kukendalikan sehingga tak ada keselarasan nada dan tempo. Aku telah mengkhianati
keindahan.
Kali ini Bu Mus sudah tak bisal agi menahan tawanya, beliau terpingkal-pingkal
sampai berair matanya. Aku berusaha keras memperbaiki harmonisasi lagu itu tapi
semakin keras aku berusaha semakin aneh kedengarannya. Inilah yang dimaksud dengan
tidak punya bakat. Aku susah payah menyelesaikan lagu itu dan teman-temanku sama
sekali tak mengindahkan penderitaanku karena mereka juga menderita menahan kantuk,
lapar, dan haus di tengah hari yang panas ini, dan batin mereka semakin tertekan karena
mendengar suaraku.
Bu Mus menyelamatkan aku dengan buru-buru menyuruhku berhenti bernyanyi
sebelum lagu merdu itu selesai, dan sekarang beliau menunjuk Samson. Kenyataannya
semakin parah, Samson menyanyikan lagu yang berjudul Teguh Kukuh Berlapis Baja
juga karya C. Simanjuntak sesuai dengan citra tubuh raksasanya. Ia menyanyikan lagu itu
dengan sangat nyaring sambil menunduk dalam dan menghentak-hentakkan kakinya
dengan keras.
“…Teguh kukuh berlapis baja!”
“…rantai smangat mengikat padu!”
“…tegak bentengIndonesia!”
Tapi ia juga sama sekali tidak tahu konsep harmonisasi sehingga ia menjadikan
lagu itu seperti sebuah lagu lain yang belum pernah kami kenal. Ia mengkhianati C.
Simanjuntak. Maka sebelum bait pertama selesai, Bu Mus segera menyuruhnya kembali
ke tempat duduk. Samson membatu, tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya,
ia terheran-heran.
“mengapa aku dihentikan, Ibunda Guru …?”
Inilah yang dimaksud dengan tak punya bakat dan tak tahu diri.
Maka seni suara adalah mata pelajaran yang paling tidak prospektif di kelas kami.
Oleh karena itu, ia ditempatkan di bagian akhir paling siang. Fungsinya hanya untuk
menunggu waktu Zuhur, yaitu saatnya kami pulang, atua untuk sekadar hiburan bagi Bu
Mus karena dengan menyuruh kami bernyanyi beliau bisa menertawakan kami. Pada
umumnya kami memang tak bisa menyanyi. Bahkan Lintang hanya bisa menampilkan
dua buah lagu, yaitu Padamu Negeridan Topi Saya Bundar. Lagu tentang topi ini adlaah
lagu superringkas dengan bait yang dibalik-balik. Lintang menyanyikannya dengan
tergesa-gesa sehingga seperti rapalan agar tugas itu cepat selesai.
Adapun Trapani, sejak kelas satu SD tak pernah menyanyikan lagu lain selain
lagu Kasih Ibu Sepanjang Jalan. Sahar menyanyikan lagu Rayuan Pulau Kelapadengan
gaya seperti seriosa yang menurut dia sangat bagus padahal sumbangnya minta ampun.
Sedangkan Kucai—juga dari kelas satu SD—hanya menampilkan dua buah lagu yang
sama, kalau tidak lagu Rukun Islamia akan menyanyikan lagu Rukun Iman.
“Masih ada lima menit sebelum azan zuhur. Ah, masih bisa satu lagu lagi,” kata
Bu Mus sambil tersenyum simpul. Kami memandang beliau dengan benci.
“Ibunda, kenapa tak pulang saja!”
Kami sudah mengantuk, lelah, lapar, dan haus. Siang ini panas sekali. Burungburung
prenjak sayap garis semakin banyak dan tak mau kalah dengan kumbangkumbang
betina pantat kuning. Kadang-kadang mereka hinggap di jendela kelas sambil
menjerit sejadi-jadinya, menimbulkan suara bising yang memusingkan bagi perut-perut
yang keroncongan.
“Nah, sekarang giliran ….” Bu Mus memandangi kami satu per satu untuk
menjatuhkan pilihan secara acak … dan kali ini pandangannya berhenti pada Mahar.
“Ya, Mahar, silakan ke depan anakku, nyanyikan sebuah lagu sambil kita
menunggu azan zuhur.”
Bu Mus terus tersenyum mengantisipasi kekonyolan apa lagi yang akan
ditampilkan muridnya. Sebelumnya kami tak pernah mendengar Mahar bernyanyi, karena
setiap kali tiba gilirannya, azan zuhur telanjur berkumandang sehingga ia tak pernah
mendapat kesempatan tampil.
Kami tidak peduli ketika Mahar beranjak. Ia menyandang tasnya, sebuah karung
kecampang, karena ia juga sudah bersiap-siap akan pulang. Kami sibuk sendiri-sendiri.
Sahara sama sekali tak memalingkan wajah dari kruistiknya, Lintang terus menghitung,
Samson masih menggambar, dan yang lain asyik berdiskusi. Mahar melangkah ke depan
dengan tenang, anggun, tak tergesa-gesa.
Di depan kelas ia tak langsung menyanyikan lagu pilihannya, tapi menatap kami
satu per satu. Kami terheran-heran melihat tingkahnya yang ganjil, namun tatapannya
penuh arti, seperti sebuah tatapan kerinduan dari seorang penyanyi pop gaek yang
melakukan konser khusus untuk para ibu-ibu single parent, dan kaum ibu ini adalah para
penggemar setia yang sudah amat lama tak bersua dengan sang artis nostalgia.
Setelah memandangi kami cukup lama, ia memalingkan wajahnya ke arah Bu Mus
sambil tersenyum kecil dan menunduk, layaknya peserta lomba bintang radio yang
memberi hormat kepada dewan juri. Mahar merapatkan kedua tangannya di dadanya
seperti seniman India, seperti orang memohon doa. Tampak jelas jari-jari kurusnya yang
berminyak seperti lilin dan ujung-ujung kukunya yang bertaburan bekas-bekas luka kecil
sehingga seluruh kukunya hampir cacat. Sejak kelas dua SD Mahar bekerja sampingan
sebagai pesuruh tukang parut kelapa di sebuah toko sayur milik seorang Tionghoa
miskin. Tangannya berminyak karena berjam-jam meremas ampas kelapa sehingga
tampak licin, sedangkan jemari dan kukunya cacat karena disayat gigi-gigi mesin parut
yang tajam dan berputar kencang. Mesin itu mengepulkan asap hitam dan harus
dihidupkan dengan tenaga orang dewasa dengan cara menarik sebuah tuas berulangulang.
Bunyi mesin itu juga merisaukan, suatu bunyi kemelaratan, kerja keras, dan hidup
tanpa pilihan. la membantu menghidupi keluarga dengan menjadi pesuruh tukang parut
karena ayahnya telah lama sakit-sakitan.
Bu Mus membalas hormat takzimnya yang santun dengan tersenyum ganjil. “Anak
muda ini pasti tak pandai melantun tapi jelas ia menghargai seni," mungkin demikian
yang ada dalam hati Bu Mus. Tapi tetap saja beliau menahan tawa. Lalu Mahar
mengucapkan semacam prolog.
“Aku akan membawakan sebuah lagu tentang cinta Ibunda Guru, cinta yang
teraniaya lebih tepatnya ...."
Tuhanku! Kami terperangah dan Bu Mus terkejut. Prolog semacam ini tak pernah
kami lakukan, dan tema lagu pilihan Mahar sangat tak biasa. Lagu kami hanya tiga macam
yaitu: lagu nasional, lagu kasidah, dan lagu anak-anak. Lagu apakah gerangan yang
akan dibawakan anak muda berwajah manis ini? Kini kami semua memandanginya dengan heran,
Sahara melepaskan kruistiknya. Belum sempat kami mencerna ia
menyambung kalem dengangayaseperti seorang bijak berpetuah.
"Lagu ini bercerita tentang seseorang yang patah hati karena kekasih yang sangat ia
cintai direbut oleh teman baiknya sendiri ...."
Mahar tercenung syahdu, tatapan matanya kosong jauh melintasi jendela, jauh
melintasi awan-awan berarakan, hidup memang kejam ....
Bu Mus termenung ragu-ragu. Beliau menatap Mahar sambil tersenyum penuh
tanda tanya. Hati kami juga penasaran. Lalu Bu Mus mengambil sebuah keputusan
yang puitis.
"Jalan ke ladang berliku-liku, jangan lewat hutan cemara, segera nyanyikan
lagumu, biar kutahu engkau merana ...."
Mahar tersenyum dalam duka.
"Terima kasih Ibunda Guru."
Mahar bersiap-siap, kami menunggu penuh keingintahuan, dan kami semakin
takjub ketika ia membuka tasnya dan mengeluarkan sebuah alat musik: ukulele!
Suasana jadi hening dan kemudian perlahan-lahan Mahar memulai intro lagunya
dengan memainkan melodi ukulele yang mendayu-dayu, ukulele itu dipeluknya dengan
sendu, matanya terpejam, dan wajahnya syahdu penuh kesedihan yang mengharu biru,
pias menahankan rasa. Jiwanya seolah terbang tak berada di tempat itu. Lalu dengan
interludeyang halus meluncurlah syair-syair lagu menakjubkan dalam tempo pelan
penuh nuansa duka yang dinyanyikan dengan keindahan andante maestosoyang tak
terlukiskan kata-kata
"...I was dancing with my darling to the Tennesse waltz..."
"... when an old friend I happened to see..."
"... intoduced her to my love one and while they were dancing...
"... my friend stole my sweetheart from me..."
Seketika kami tersentak dalam pesona, itulah lagu Tennesse Waltzyang sangat
terkenal karya Anne Muray, dan lagu itu dibawakan Mahar dengan teknik menyanyi
seindah Patti Page yang melambungkan lagu lama itu. Ritme ukulele mengiringi vibrasi
sempurna suaranya disertai sebuah penghayatan yang luar biasa sehingga ia tampak
demikian menderita karena kehilangan seorang kekasih.
Syair demi syair lagu itu merambati dinding-dinding papan tua kelas kami,
hinggap di daun-daun kecil linariaseperti kupu-kupu cantik thistle crescent, lalu
terbang hanyut dibawa awan-awan tipis menuju ke utara. Suara Mahar terdengar pilu
merasuki relung hati setiap orang yang ada di ruangan. Intonasinya lembut membelaibelai
kalbu dan Mahar memaku hati kami dalam rasa pukau menyaksikannya menyanyi
sambil menitikkan air mata. Apa pun yang sedang kami kerjakan terhenti karena kami
telah terkesima. Kami tersihir oleh aura seni yang terpancar dari sosok anak muda
tampan yang menyanyi dari jiwanya, bukan hanya dari mulutnya, sehingga lagu itu
menjadi sebuah simfoni yang agung. Kami terbawa suasana melankolis karena Mahar
benar-benar mengembuskan napas lagu itu. Rasa kantuk, lapar, dan dahaga menjadi tak
terasa. Bahkan kumbang-kumbarrg dan kawanan burung prenjak sayap garis menjadi
senyap, berhenti menjerit-jerit demi mendengar lantunannya. Suhu udara yang panas
perlahan-lahan menjadi sejuk menghanyutkan.
Ketika Mahar bernyanyi seluruh alam diam menyimak. Kami merasakan sesuatu
tergerak di dalam hati bukan karena Mahar bernyanyi dengan tempo yang tepat, teknik
vokal yang baik, nada yang pas, interpretasi yang benar, atau chordukulele yang
sesuai, tapi karena ketika ia menyanyikan Tennesse Waltzkami ikut merasakan
kepedihan yang mendalam seperti kami sendiri telah kehilangan kekasih yang paling
dicintai. Kemampuan menggerakkan inilah barangkali yang dimaksud dengan bakat.
Siang itu, ketika sedang menunggu azan zuhur, ternyata seorang seniman besar telah
lahir di sekolah gudang kopra perguruan Muhammadiyah. Mahar mengakhiri lagunya
secara fade outdisertai linangan air mata.
“... I lost my litle darling the night they were playing the beautiful Tennesse
waltz..."
Dan kami serentak berdiri memberi standing applauseyang sangat panjang
untuknya,limamenit! Bu Mus berusaha keras menyembunyikan air mata yang
menggenang berkilauan di pelupuk mata sabarnya.
Tak dinyana, beberapa menit yang lalu, ketika Bu Mus menunjuk Mahar secara
acak untuk menyanyi, saat itulah nasib menyapanya. Itulah momen nasib yang sedang
bertindak selaku pemandu bakat. Siang ini, komidi putar Mahar mulai menggelinding
dalam velositas yang bereskalasi.
BAB XIII
JAM TANGAN PLASTIK MURAHAN
SETELAH tampil dengan lagu memukau Tennesse Waltzkami menemukan Mahar
sebagai lawan virtual rasionalitas Lintang. Ia adalah penyeimbang perahu kelas kami
yang cenderung oleng ke kiri karena tarikan otak kiri Lintang. Sebaliknya, otak sebelah
kanan Mahar meluap-luap melimpah ruah. Mereka berdua membangun tonggak artistik
daya tarik kelas kami sehingga tak pernah membosankan.
Jika Lintang memiliki level intelektualitas yang demikian tinggi maka Mahar
memperlihatkan bakat seni selevel dengan tingginya inteligensia Lintang. Mahar
memiliki harnpir setiap aspek kecerdasan seni yang tersimpan seperti persediaan
amunisi kreativitas dalam lokus-lokus di kepalanya. Kapasitas estetika yang tinggi
melahirkannya sebagai seniman serba bisa, ia seorang pelantun gurindam, sutradara
teater, penulis yang berbakat, pelukis natural, koreografer, penyanyi, pendongeng yang
ulung, dan pemain sitar yang fenomenal.
Lintang dan Mahar seperti Faraday kecil dan Warhol mungil dalam satu kelas, atau
laksana Thomas Alva Edison muda dan Rabindranath Tagore junior yang berkumpul.
Keduanya penuh inovasi dan kejutan-kejutan kreativitas dalam bidangnya masing-masing.
Tanpa mereka, kelas kami tak lebih dari sekumpulan kuli tambang melarat yang
mencoba belajar tulis rangkai indah di atas kertas bergaris tiga.
Dan di antara mereka berdua kami terjebak di tengah-tengah seperti orang-orang
dungu yang ditantangColumbusmendirikan telur. Karena Lintang dan Mahar duduk
berseberangan maka kami sering menoleh ke kiri dan ke kanan dengan cepat, persis
penonton pertandingan pingpong, terkagum-kagum pada kegeniusan mereka.
Jika tak ada guru, Lintang tampil ke depan, menggambar rangkaian teknik
bagaimana membuat perahu dari pelepah sagu. Perahu ini digerakkan baling-baling yang
disambungkan dengan motor yang diambil dari tape recorderdan ditenagai dua buah
batu baterai. Ia membuat perhitungan matematis yang canggih untuk memanipulasi gerak
mekanik motor tapedan menjelaskan kepada kami hukum-hukum pokok hidrolik.
Perhitungan matematikanya itu dapat memperkirakan dengan sangat akurat laju
kecepatan perahu berdasarkan massanya. Aku terpesona melihat perahu kecil itu
berputar-putar sendiri di dalam baskom.
Setelah itu Mahar maju, menundukkan kepala dengan takzim di depan kami seperti
seniman istana yang ingin bersenandung atas perkenan tuan raja, lalu dengan manis ia
membawakan lagu Leaving on a Jet Planedengan gitarnya dengan ketukan-ketukan
bernuansa hadrah. Di tangan orang yang tepat musik ternyata bisa menjadi demikian
indah. Mahar juga membaca beberapa bait puisi parodi tentang orang-orang Melayu yang
mendadak kaya atau tentang burung-burung putih di Pantai Tanjong Kelayang. Mahar
dengan aksesori-aksesori etniknya ibarat orang yang dititipi Engelbert Humperdink suara
emas dan diwarisi Salvador Dali sikap-sikap nyentrik. Persahabatannya dengan para
seniman lokal dan seorang penyiar radio AM yang memiliki beragam koleksi musik
memperkaya wawasan seni dan perbendaharaan lagu Mahar.
Pada kesempatan lain Lintang mempresentasikan percobaan memunculkan arus
listrik dengan mengerak-gerakkan magnet secara mekanik dan menjelaskan prinsip-prinsip kerja
dinamo. Mahar memperagakan cara membuat sketsa-sketsa kartun dan cara
menyusun alur cerita bergambar. Lintang menjelaskan aplikasi geometri dan aerodinamika dalam
mendesain layangan, Mahar menceritakan kisah yang memukau tentang bangsa-bangsa yang punah.
Pernah juga Lintang menyusun potongan-potongan kaca yang dibentuk cekung seperti parabola dan
menghadapkannya ke arah matahari agar
mendapatkan suhu yang sangat tinggi, rancangan energi matahari katanya. Sebaliknya
Mahar tak mau kalah, ia menggotong sebuah meja putar dan mendemonstrasikan seni
membuat gerabah yang indah, teknik-teknik melukis gerabah itu dan mewarnainya.
Lintang memperagakan cara kerja sekstan dan menjelaskan beberapa perhitungan
matematika geometris dengan alat itu, Mahar membaca puisi yang ditulisnya sendiri
dengan judul Doadan dibawakan secara memukau dengangayatilawatil Qur'an, belum
pernah aku melihat orang membaca puisi seperti itu.
Kadang kala mereka berkolaborasi, misalnya Mahar menginginkan sebuah gitar
elektrik yang gampang dibawa seperti tas biasa, sehingga tak merepotkan jika naik
sepeda, maka Lintang datang dengan sebuah desain produk yang belum pernah ada dalam
industri instrumen musik, yaitu desain stang gitar yang dipotong lalu dipasangi semacam
engsel sehingga terciptalah gitar yang bisa dilipat. Sungguh istimewa. Sudah banyak aku
melihat keanehan di dunia pentas—misalnya pemain biola yang ketiduran ketika sedang
manggung, panggung yang roboh, musisi yang menghancurkan alat-alat musik, pemain
gitar yang kesetrum, seorang pria midlandyang makan kelelawar, atau orang-orang
kampung yang meniru-niru Mick Jagger—tapi gitar dilipat sehingga menjadi seperti
papan catur, baru kali ini aku saksikan. Dan jika Mahar dan Lintang beraksi, kami
berkumpul di tengah-tengah kelas, bertumpuk-tumpuk kegirangan, terbuai keindahan,
dan menggumamkan subhanallah berulang-ulang, atas dua macam kepintaran mengasyikkan yang
dianugerahkan Ilahi kepada mereka.
Mahar sangat imajinatif dan tak logis—seseorang dengan bakat seni yang sangat
besar. Sesuatu yang berasal dari Mahar selalu menerbitkan inspirasi, aneh, lucu, janggal,
ganjil, dan menggoda keyakinan. Namun, mungkin karena otak sebelah kanannya benar-benar aktif
maka ia menjadi pengkhayal luar biasa. Di sisi lain ia adalah magnet, simply
irresistable!
Ia penggemar berat dongeng-dongeng yang tidak masuk akal dan segala sesuatu
yang berbau paranormal. Tanyalah padanya hikayat lama dan mitologi setempat, ia hafal
luar kepala, mulai dari dongeng naga-naga raksasa Laut Cina Selatan sampai cerita raja
berekor yang diyakininya pernah menjajah Belitong.
Ia sangat percaya bahwa alienitu benar-benar ada dan suatu ketika nanti akan turun
ke Belitong menyamar sebagai mantri suntik di klinik PN Timah, penjaga sekolah,
muazin di Masjid Al-Hikmah, atau wasit sepak bola. Dalam keadaan tertentu ia sangat
konyol misalnya ia menganggap dirinya ketua persatuan paranormal internasional yang
akan memimpin perjuangan umat manusia mengusir serbuan alien dengan kibasan daun-daun
beluntas.
Aku ingat kejadian ini, suatu ketika untuk nilai rapor akhir kelas enam, Bu Mus
yang berpendirian progresif dan terbuka terhadap ide-ide baru, membebaskan kami berekspresi.
Kami diminta menyetor sebuah master piece, karya yang berhak mendapat
tempat terhormat, dipajang di ruang kepala sekolah. Maka esoknya kami membawa celengan bebek
dari tanah liat dan asbak dari cetakan lilin. Sebagian lainnya membawa
replika rumah panggung Melayu dari bahan perdu apit-apit dan simpai dari jalinan rotan
untuk mengikat sapu lidi.Trapanimenyetorkan peta Pulau Belitong yang dibuat dari
serbuk kayu. Syahdan membuat karya yang persis sama tapi bahannya bubur koran, jelek
sekali dan busuk baunya.
Harun menyetorkan tiga buah botol bekas kecap, itu saja, botol kecap! Tak lebih
tak kurang. Aku sendiri hanya mampu membuat tirai dari biji-biji buah berang yang
dikombinasikan dengan tali rapiah yang digulung kecil-kecil. Setiap tiga buah biji berang
berarti satu ketupat kecil tali rapiah berwarna-warni. Sebuah karya norak yang sangat
tidak berseni.
Tapi masih mending. A Kiong membuat lampion tanpa perhitungan akal sehat.
Ketika dinyalakan lampion itu terbakar berkobar-kobar sehingga dengan terpaksa, demi
keamanan, Samson melemparkan benda itu keluar jendela. Padahal A Kiong tak tidur
barang sepicing pun membuatnya. Karena karya kami sangat tidak memuaskan, kami
semua mendapat nilai tak lebih dari angka 6,5. Sungguh tak sebanding dengan jerih
payah yang dikeluarkan.
Amat berbeda dengan Mahar. Ia datang membawa sebuah bingkai besar yang
ditutupi selembar kain hitam. Kami sangka ia membuat sebuah lukisan. Tapi setelah kain
itu pelan-pelan dilucuti, sangat mengejutkan! Di baliknya muncul semacam cetakan
tenggelam di atas batu apung. Cetakan kerangka seekor makhluk purbakala yang sangat
janggal dan mengesankan sangat buas.
Makhluk ini bukan acanthopholis, sauropodomorphas, kera anthropoid, dinosaurus
atau saurus-saurus semacamnya, dan bukan pula makhluk-makhluk prasejarah seperti
yang telah kita kenal. Sebaliknya, Mahar membuat sebuah cetakan fosil kelelawar
raksasa semacam Palaeochiropterxy tupaiodontapi dengan bentuk yang dimodifikasi
sehingga tampak ganjil dan mengerikan. Anatomi makhluk itu tentu tak pernah
teridentifikasi oleh para ahli karena ia hanya ada di kepala Mahar, di dalam imajinasi
seorang seniman.
Fosil di atas batu apung tipis itu dibuat begitu orisinal sehingga mengesankan
seperti temuan paleontologi yang autentik. Ia menggunakan semacam lapisan karbon
untuk memperkuat kesan purba pada setiap detail fosil itu. Lalu karyanya dibingkai
dengan potongan-potongan balak lapuk yang sudut-sudutnya diikat tali pohon jawi agar
kesan purbanya benar-benar terasa.
"Inilah seni, Bung!" khotbahnya di hadapan kami yang terkesima. Gayanya seperti
pesulap sehabis membuka genggaman tangan untuk memperlihatkan burung merpati.
Dan ia mendapat angka sembilan, tak ada lawannya. Angka itu adalah nilai
kesenian tertinggi yang pernah dianugerahkan Bu Mus sepanjang karier mengajarnya.
Bahkan Lintang sekalipun tak berkutik.
Imajinasi Mahar meloncat-loncat liar amat mengesankan. Sesungguhnya, seperti
Lintang, ia juga sangat cerdas, dan aku belum pernah menjumpai seseorang dengan
kecerdasan dalam genre seperti ini. Ia tak pernah kehabisan ide. Kreativitasnya tak
terduga, unik, tak biasa, memberontak, segar, dan menerobos. Misalnya, ia melatih kera
peliharaannya sedemikian rupa sehingga mampu berperilaku layaknya seorang instruktur.
Maka dalam sebuah penampilan, keranya itu memerintahkannya untuk melakukan
sesuatu yang dalam pertunjukan biasa hal itu seharusnya dilakukan sang kera. Sang kera
dengangayaseorang instruktur menyuruh Mahar bernyanyi, menari-nari, dan berakrobat.
Mahar telah menjungkirbalikkan paradigma seni sirkus, yang menurutku merupakan
sebuah terobosan yang sangat genius.
Pada kesempatan lain Mahar bergabung dengan grup rebana Masjid Al-Hikmah
dan mengolaborasikan permainan sitar di dalamnya. Jika grup ini mendapat tawaran
mengisi acara di sebuah hajatan perkawinan, para undangan lebih senang menonton
mereka daripada menyalami kedua mempelai.
Mahar pula yang membentuk sekaligus menyutradarai grup teater kecil SD
Muhammadiyah. Penampilan favorit kami adalah cerita perang Uhud dalam episode Siti
Hindun. Dikisahkan bahwa wanita pemarah ini mengupah seorang budak untuk
membunuh Hamzah sebagai balas dendam atas kematian suaminya. Setelah Hamzah mati
wanita itu membelah dadanya dan memakan hati panglima besar itu. A Kiong
memerankan Hamzah, danSaharasangat menikmati perannya sebagai Siti Hindun. Juga
karena inisiatif Mahar, akhirnya kami membentuk sebuah grup band. Alat-alat musik
kami adalah electoneyang dimainkanSahara, standing bassyang dibetot tanpa ampun
oleh Samson, sebuah drum, tiga buah tabla, serta dua buah rebana yang dipinjam dari
badan amil Masjid Al-Hikmah.
Pemain rebana adalah aku dan A Kiong. Mahar menambahkan kendang dan
seruling yang dimainkan secara sekaligus olehTrapanimelalui bantuan sebuah kawat
agar seruling tersebut dapat dijangkau mulutnya tanpa meninggalkan kendang itu. Maka
pada aransemen tertentuTrapanileluasa menggunakan tangan kanannya untuk menabuh
kendang sementara jemari tangan kirinya menutup-nutup enam lubang seruling. Sebuah
pemandangan spektakuler seperti sirkus musik. Setiap wanita muda dipastikan bertekuk
lutut, terbius seperti orang mabuk sehabis kebanyakan makan jengkol jika melihat
Trapaniyang tampan berimprovisasi.Trapaniadalah salah satu daya tarik terbesar band
kami. Hanya ada sedikit masalah, yaitu ia mogok tampil jika ibunya tidak ikut menonton.
Insiden sempat terjadi pada awal pembentukan bandini karena Harun bersikeras
menjadi drumer padahal ia sama sekali buta nada dan tak paham konsep tempo.
. "Dengarkan musiknya, Bang, ikuti iramanya," kata Mahar sabar.
"Drum itu tak bisa kauperlakukan semena-mena."
Setelah dimarahi seperti itu biasanya Harun tersenyum kecil dan memperhalus
tabuhannya. Tapi itu tak berlangsung lama. Beberapa saat kemudian, meskipun kami
sedang membawakan irama bertempo pelan nan syahdu, misalnya lagu Semenanjung Tak
Seindah Wajahyang syairnya bercerita tentang seorang pria Melayu duafa meratapratap
karena ditipu kekasihnya, Harun kembali menghantam drum itu sekuat tenaganya seperti
memainkan lagu rockDeep Purple yang berjudul Burn. Dan ia sendiri tak pernah tahu
kapan harus berhenti. la hanya tertawa riang dan menghantam drum itu sejadi-jadinya.
Mahar tetap sabar menghadapi Harun dan berusaha menuntunnya pelan-pelan,
namun akhirnya kesabaran Mahar habis ketika kami membawakan lagu Light My Fire
milik The Doors. Di sepanjang lagu yang inspiratif itu Harun menghajar hithat, tenor
drum, simbal, serta menginjak-injak pedal bass drumsejadi-jadinya. Dengan stik drum ia
menghajar apa saja dalam jangkauannya, persis drumer Tarantula melakukan end fill
untuk menutup lagu rockdangdut Wakuncar.
"Dengar kata adikmu ini, Abangda Harun, kalau Abang bermain drum seperti itu
bisa-bisa Jim Morrison melompat dari liang kuburnya!"
Diperlukan waktu berhari-hari dan permen asam jawa hampir setengah kilo untuk
membujuk Harun agar mau melepaskan jabatan sebagai drumer dan menerima promosi
jabatan baru sebagai tukang pikul drum itu ke mana pun kami tampil.
Mahar adalah penata musik setiap lagu yang kami bawakan dan racun pada setiap
aransemennya menyengat ketika ia memainkan melodi dengan sitarnya. Ia
berimprovisasi, berdiri di tengah pertunjukan, dan dengan wajah demikian syahdu ia
mengekspresikan setiap denting senar sitar yang bercerita tentang daun-daun pohon
bintang yang melayang jatuh di permukaan Sungai Lenggang yang tenang lalu hanyut
sampai jauh ke muara, tentang angin selatan yang meniup punggung Gunung Selumar,
berbelok dalam kesenyapan Hutan Jangkang, lalu menyelinap diam-diam ke
perkampungan. Ah, indahnya, pria muda ini memiliki konsep yang jelas bagaimana
seharusnya sebuah sitar berbunyi.
Mahar adalah arrangerberbakat dengan musikalitas yang nakal. Ia piawai memilih
lagu dan mengadaptasikan karakter lagu tersebut ke dalam instrumen-instrumen kami
yang sederhana. Misalnya pada lagu Owner of a Lonely Heartkarya group rock Yess.
Mahar mengawali komposisinya dengan intro permainan solo tablayang menghentak
bertalu-talu dalam tempo tinggi. Ia mengajari Syahdan menyelipkan-nyelipkan wana
tabuhan Afrika danpadangpasir pada fondasi tabuhangayasuku Sawang. Sangat eksotis.
Gebrakan solo Syahdan seumpama garam bagi mereka yang darah tinggi:
berbahaya, beracun, dan memicu adrenalin. Syahdan mengudara sendirian dengan
letupan-letupan yang menggairahkan sampai beberapa bar. Lalu Syahdan menurunkan
sedikit tempo bahana tabla-nya dan pada momen itu, kami—para pemain rebana dan dua
pemain tablalainnya-pelan-pelan masuk secara elegan mendampingi suara tabla
Syahdan yang surut, namun tak lama kemudian kembali bereskalasi menjadi tempo yang
semakin cepat, semakin garang, semakin ganas memuncak. Kami menghantam tabuh-tabuhan ini
sekuat tenaga dengan tempo secepat-cepatnya beserta semangat Spartan,
para penonton menahan napas karena berada dalam tekanan puncak ekstase, lalu tepat
pada puncak kehebohan, suara alat-alat perkusi ini secara mendadak kami hentikan, tiga
detik yang diam, lengang, sunyi, dan senyap. Ketika penonton mulai melepaskan
kembali napas panjangnya dengan penuh kenyamanan perlahan-lahan hadirlah
dentingan sitar Mahar menyambut perasaan damai itu. Mahar melantunkan dawai sitar
sendirian dalam nada-nada minor nan syahdu bergelombang seperti buluh perindu.
Pilihan nada ini demikian indah hingga terdengar laksana aliran sungai-sungai di bawah
taman surga. Dada terasa lapang seperti memandang laut lepas landai tak bertepi di
sebuah sore yang jingga.
Pada bagian ini biasanya penonton menghambur ke bibir panggung. Lalu Mahar
meningkahi sitar dengan intonasi naik turun dalam jangkauan hampir empat oktaf.
DengangayaIndiaklasik, Mahar berimprovisasi. Ia memainkan sitar dengan sepenuh
jiwa seolah esok ia telah punya janji pasti dengan malaikat maut. Matanya terpejam
mengikuti alur skala minor yang menyentuh langsung bagian terindah dari alam bawah
sadar manusia yang mampu menikmati sari pati manisnya musik. Jemarinya yang kurus
panjang mengaduk-aduk senar sitar dengan teknik yang memukau. Ia menyerahkan
segenap jiwa raganya, terbang dalam daya bius melodi musik.
Suara sitar itu menyayat-nyayat, berderai-derai seperti hati yang sepi, meraungraung
seperti jiwa yang tersesat karena khianat cinta, merintih seperti arwah yang tak
diterima bumi. Rendah, tinggi, pelan, kencang, berbisik laksana awan, marah laksana
topan, memekakkan laksana ledakan gunung berapi, lalu diam tenang laksana danau di
tengah rimba raya. Semakin lama semakin keras dan semakin cepat, kembali
memuncak, semakin lama semakin tinggi dan pada titik nadirnyaTrapaniserta-merta
menyambut dengan sorak melengking melalui tiupan seruling, panjang, satu not,
menjerit-jerit nyaring pada tingkat nada tertinggi yang dapat dicapai seruling bambu
tradisonal itu.
Mereka berdua bertanding, berlomba-lomba meninggikan nada dan mengeraskan
suara instrumen masing-masing. Mereka seperti seteru lama yang menanggungkan
dendam membara, seruling clan sitar saling menggertak, menghardik, dan membentak
galak ... namun dengan harmoni yang terpelihara rapi. Tiba-tiba, amat mengejutkan,
sama sekali tak terduga, secara mendadak mereka break!Tiga detik diam. Setelah itu
serta-merta datang menyerbu, menyalak galak, menghambur masuk bertalu-talu seluruh
suara alat musik: drum, standing bass, seluruh tabla, sitar, seruling, seluruh rebana,
dan electonesekeras-kerasnya. Tepat pada puncak bahana seluruh alat musik secara
mendadak kami breaklagi, satu detik diam, napas penonton tertahan, lalu pada detik
kedua Mahar meloncat seperti tupai, merebut mikrofon dan langsung menjerit-jerit
menyanyikan lagu Owner of a Lonely Heartdalam nada tinggi yang terkendali.Para
penonton histeris dalam sensasi, kemudian tubuh mereka terpatah-patah mengikuti
hentakan-hentakan staccatoyang dinamis sepanjang lagu itu.
Inilah musik, kawan. Musik yang dibawakan dengan sepenuh kalbu. Mahar
menekankan konsep akustik dalam komposisi ini, misalnya dengan mengambilgaya
piano grandpada electonedengan tambahan sedikit efek sustain. Keseluruhan komposisi
dan konsep ini ternyata menghasilkan interpretasi yang unik terhadap lagu Owner of a
Lonely Heart. Kami yakin sedikit banyak kami telah berhasil menangkap semangat lagu
itu, termasuk esensi pesannya, yaitu hati yang sepi lebih baik dari hati yang patah, seperti
dimaksudkan orang-orang hebat dalam grup Yess.
Maka tak ayal lagu rockmodern tersebut adalah master piecepenampilan kami
selain sebuah lagu Melayu berjudul Patah Kemudikarya Ibu Hajah Dahlia Kasim.
Mahar juga adalah seorang seniman idealis. Pernah sebuah parpol ingin
memanfaatkan grup kami yang mulai kondang untuk menarikmassamelalui iming-iming
uang dan berbagai mainan anak-anak, Mahar menolak mentah-mentah.
"Orang-orang itu sudah terkenal dengan tabiatnya menghamburkan janji yang
tak'kan ditepatinya," demikian Mahar berorasi di tengah-tengah kami yang duduk melingkar di
bawah filicium. Jarinya menunjuk-nunjuk langit seperti seorang koordinator
demonstrasi.
"Kita tidak akan pernah menjadi bagian dari segerombolan penipu! Sekolah kita
adalah sekolah Islam bermartabat, kita tidak akan menjual kehormatan kita demi sebuah
jam tangan plastik murahan!"
Mahar demikian berapi-api dan kami bersorak-sorai mendukung pendiriannya. Dan
mungkin karena kecewa kepada para pemimpin bangsa maka Mahar memberi sebuah
nama yang sangat memberi inspirasi untuk band kami, yaitu: Republik Dangdut.
Mahar adalah Jules Verne kami. la penuh ide gila yang tak terpikirkan orang lain,
walaupun tak jarang idenya itu absurd dan lucu. Salah satu contohnya adalah ketika ketua
RT punya masalah dengan televisinya. TV hitam putih satu-satunya hanya ada di rumah
beliau dan tidak bisa dikeluarkan dari kamarnya yang sempit karena kabel antenanya
sangat pendek dan ia kesulitan mendapatkan kabel untuk memperpanjangnya. Kabel itu
tersambung pada antena di puncak pohon randu. Keadaan mendesak sebab malam itu ada
pertandingan final badminton All England antara Svend Pri melawan Iie Sumirat. Begitu
banyak penonton akan hadir, tapi ruangan TV sangat sempit. Sejak sore Pak Ketua RT
tak enak hati karena banyak handai taulan yang akan bertamu tapi tak 'kansemua
mendapat kesempatan menonton pertandingan seru itu.
Ketika beliau berkeluh kesah pada kepala sekolah kami, maka Mahar yang sudah
kondang akal dan taktiknya segera dipanggil dan ia muncul dengan ide ajaib ini:
"Gambar TV itu bisa dipantul-pantulkan melalui kaca, Ayahanda Guru," kata
Mahar berbinar-binar dengan ekspresi lugunya.
Pak Harfan melonjak girang seperti akan meneriakkan "eureka!" Maka digotonglah
dua buah lemari pakaian berkaca besar ke rumah ketua. Lemari pertama diletakkan di
ruang tamu dengan posisi frontal terhadap layar TV dan ruangan itu paling tidak
menampung 17 orang. Sedangkan lemari kedua ditempatkan di beranda. Lemari kaca
kedua diposisikan sedemikian rupa sehingga :dapat menangkap gambar TV dari lemari
kaca pertama.Adasekitar 20 orang menonton TV melalui lemari kaca di beranda.
Tak ada satu pun penonton yang tak kebagian melihat aksi Iie Sumirat. Penonton
merasa puas dan benar-benar menonton dari layar kaca dalam arti sesungguhnya.
Meskipun Svend Pri yang kidal di layar TV menjadi normal di kaca yang pertama dan
kembali menjadi kidal pada layar lemari kaca kedua. Menurutku inilah ide paling
revolusioner, paling lucu, dan paling hebat yang pernah terjadi pada dunia penyiaran.
Aku rasa yang dapat menandingi ide kreatif ini hanya penemuan remote control
beberapa waktu kemudian.
Kepada majelis penonton TV yang terhormat Pak Harfan berulang kali
menyampaikan bahwa semua itu adalah ide Mahar, dan bahwa Mahar itu adalah
muridnya. Murid yang dibanggakannya habis-habisan.
Sayangnya, seperti banyak dialami seniman hebat lainnya, mereka jarang sekali
mendapat perhatian dan penghargaan yang memadai.Gayahidup dan pemikiran mereka
yang mengawang-awang sering kali disalahartikan. Misalnya Mahar, kami sering
menganggapnya manusia aneh, pembual, dan tukang khayal yang tidak dapat
membedakan antara realitas dan lamunan.
Keadaan ini diperparah lagi dengan ketidakmampuan kami mengapresiasi karyakarya
seninya. Sehingga beberapa karya hebatnya malah mendapat cemoohan. Kenyataannya
adalah kami tidak mampu menjangkau daya imajinasi dan pesan-pesan abstrak
yang ia sampaikan melalui karya-karya tersebut. Kami selalu membesar-besarkan kekurangannya,
ketika sebuah pertunjukan gagal total, tapi jika berhasil kami jarang ingin memujinya. Mungkin
karena masih kecil, maka kami sering tidak adil padanya.
BAB XIV
LASKAR PELANGI DAN ORANG-ORANG SAWANG
PAPILIO blumei, kupu-kupu tropis yang menawan berwarna hitam bergaris biru-hijau itu
mengunjungi pucuk filicium. Kehadiran mereka semakin cantik karena kehadiran kupu-kupu
kuning berbintik metalik yang disebut pure clouded yellow. Mereka dan lidah atap
sirap cokelat yang rapuh menyajikan komposisi warna kontras di atas sekolah
Muhammadiyah. Dua jenis bidadari taman itu melayanglayang tanpa bobot bersukacita.
Tak lama kemudian, seperti tumpah dari langit, ikut bergabung kupu-kupu lain, danube
clouded yellow.
Hanya para ahli yang dapat membedakan pure clouded yellowdengan danube
clouded yellow, berturut-turut nama latin mereka adalah Colias croceadan Colias
myrmidone. Di mata awam kecantikan mereka sama: absolut, dan hanya dapat
dibayangkan melalui keindahan namanya. Keduanya adalah si kuning berawan yang
memesona laksana DanauDanubeyang melintasi Eropa: sejuk, elegan, dan misterius.
Berbeda dengan tabiat unggas yang cenderung agresif dan eksibisionis, makhlukmakhluk
bisu berumur pendek ini bahkan tak tahu kalau dirinya cantik. Meskipun
jumlahnya ratusan, tapi kepak sayapnya senyap dan mulut mungil indahnya diam dalam
kerupawanan yang melebihi taman lotus. Melihat mereka rasanya aku ingin menulis
puisi.
Saat ratusan pasang danube clouded yellowberpatroli melingkari lingkaran daundaun
filicium, maka mereka menjelma menjadi pasir kuning di Dermaga Olivir. Sayapsayap
yang menyala itu adalah fatamorgana pantulan cahaya matahari, berkilauan di
atas.butiran-butiran ilmenit yang terangkat abrasi. Sebuah daya tarik Belitong yang lain,
pesona pantai dan kekayaan material tambang yang menggoda.
Kupu-kupu clouded yellowdan Papilio blumeisaling bercengkrama dengan
harmonis seperti sebuah reuni besar bidadari penghuni berbagai surga dari agama yang
berbeda-beda. Jika diperhatikan dengan saksama, setiap gerakan mereka, sekecil apa pun,
seolah digerakkan oleh semacam mesin,keserasian. Mereka adalah orkestra warna
dengan insting sebagai konduktornya. Dan agaknya dulu memang telah diatur jauh-jauh
hari sebelum mereka bermetamorfosis, telah tercatat di Lauhul Mahfuzh saat mereka
masih meringkuk berbedak-bedak tebal dalam gulungan-gulungan daun pisang, bahwa
sore ini mereka akan menari-nari di pucuk-pucuk filicium, bersenda gurau, untuk
memberiku pelajaran tentang keagungan Tuhan.
Kupu-kupu ini sering melakukan reuni setelah hujan lebat. Sayangnya sore ini,
pemandangan seperti butiranbutiran cat berwarna-warni yang dihamburkan dari langit itu
serentak bubar dan harmoni ekosistem hancur berantakan karena serbuan sepuluh sosok
Homo sapiens. Makhluk brutal ini memanjati dahan-dahan filicium, bersoraksorai, dan
bergelantungan mengklaim dahannya masingmasing. Kawanan itu dipimpin oleh setan
kecil bernama Kucai. Berada pada posisi puncak rantai makanan seolah melegitimasi
kecenderungan Homo sapiensuntuk merusak tatanan alam.
Kucai mengangkangi dahan tertinggi, sedangkanSahara, satu-satunya betina dalam
kawanan itu, bersilang kaki di atas dahan terendah. Pengaturan semacam itu tentu bukan
karena budaya patriarki begitu kental dalam komunitas Melayu, tapi semata-mata karena
pakaianSaharatidak memungkinkan ia berada di atas kami. Ia adalah muslimah yang
menjaga aurat rapat-rapat.
Kepentingan kami tak kalah mendesak dibanding keperluan kaum unggas, fungi,
dan makhluk lainnya terhadap filiciumkarena dari dahan-dahannya kami dapat dengan
leluasa memandang pelangi.
Kami sangat menyukai pelangi. Bagi kami pelangi adalah lukisan alam, sketsa
Tuhan yang mengandung daya tarik mencengangkan. Tak tahu siapa di antara kami
yang pertama kali memulai hobi ini, tapi jika musim hujan tiba kami tak sabar
menunggu kehadiran lukisan langit menakjubkan itu. Karena kegemaran kolektif
terhadap pelangi maka Bu Mus menamai kelompok kami Laskar Pelangi.
Sore ini, setelah hujan lebat sepanjang hari, terbentang pelangi sempurna,
setengah lingkaran penuh, terang benderang dengan enam lapis warna. Ujung kanannya
berangkat dari Muara Genting seperti pantulan permadani cermin sedangkan ujung
kirinya tertanam di kerimbunan hutan pinus di lereng Gunung Selumar. Pelangi yang
menghunjam di daratan ini melengkung laksana jutaan bidadari berkebaya warna-warni
terjun menukik ke sebuah danau terpencil, bersembunyi malu karena kecantikannya.
Kini filiciummenjadi gaduh karena kami bertengkar bertentangan pendapat
tentang panorama ajaib yang terbentang melingkupi Belitong Timur. Berbagai versi
cerita mengenai pelangi menjadi debat kusir. Dongeng yang paling seru tentu saja
dikisahkan oleh Mahar. Ketika kami mendesaknya ia sempat ragu-ragu. Pandangan
matanya mengisyaratkan bahwa: kalian tidak akan bisa menjaga informasi yang sangat
penting ini!
Dia diam demi membuat pertimbangan serius, namun akhirnya ia menyerah,
bukan kepada kami yang memohon tapi kepada hasratnya sendiri yang tak terkekang
untuk membual.
"Tahukah kalian ...," katanya sambil memandang jauh.
"Pelangi sebenarnya adalah sebuah lorong waktu!" Kami terdiam, suasana jadi
bisu, terlena khayalan Mahar. -
"Jika kita berhasil melintasi pelangi maka kita akan bertemu dengan orang-orang
Belitong tempo dulu dan nenek moyang orang-orang Sawang."
Wajahnya tampak menyesal seperti baru saja membongkar sebuah rahasia
keluarga yang terdalam dan telah disimpan tujuh turunan. Lalu dengan nada terpaksa ia
melanjutkan, "Tapi jangan sampai kalian bertemu dengan orang Belitong primitif dan
leluhur Sawang itu, karena mereka itu adalah kaum kanibal ...!!"
Sekarang wajahnya pasrah. A Kiong menutup mulutnya dengan tangan dan
hampir saja tertungging dari dahan karena melepaskan pegangan. Sejak kelas satu SD,
A Kiong adalah pengikut setia Mahar. Ia percaya-dengan sepenuh jiwa-apa pun yang
dikatakan Mahar. Ia memposisikan Mahar sebagai seorang suhu dan penasihat
spriritual. Mereka berdua telah menasbihkan diri sendiri dalam sebuah sekte ketololan
kolektif.
Demi mendengar kisah Mahar, Syahdan yang bertengger persis di belakang
pendongeng itu dengan gerakan sangat takzim, tanpa diketahui Mahar, menyilangkan
jari di atas keningnya dan mengesek-gesekkannya beberapa kali. Mahar tidak mengerti
apa yang sedang terjadi di belakangnya. Sakit perut kami menahan tawa melihat
kelakuan Syahdan. Baginya Mahar sudah tak waras.
Lintang menepuk-nepuk punggung Mahar, menghargai ceritanya yang
menakjubkan, tapi ia tersenyum simpul dan pura-pura batuk untuk menyamarkan
tawanya. Kami terus memandangi keindahan pelangi tapi kali ini kami tak lagi berdebat.
Kami diam sampai matahari membenamkan diri. Azan magrib menggema dipantulkan
tiang-tiang tinggi rumah panggung orang Melayu, sahut-menyahut dari masjid ke masjid.
Sang lorong waktu perlahan hilang ditelan malam. Kami diajari tak bicara jika azan
berkumandang.
"Diam dan simaklah panggilan menuju kemenangan itu ...," pesan orangtua kami.
KAMI orang-orang Melayu adalah pribadi-pribadi sederhana yang memperoleh
kebijakan hidup dari para guru mengaji dan orang-orang tua di surau-surau sehabis salat
magrib. Kebijakan itu disarikan dari hikayat para nabi, kisah Hang Tuah, dan rima-rima
gurindam. Ras kami adalah ras yang tua. Malayatau Melayu telah dikenal Albert Buffon
sejak lampau ketika ia mengidentifikasi ras-ras besar Kaukasia, Negroid, dan Mongoloid.
Meskipun banyak antropolog berpendapat bahwa ras Melayu Belitong tidak sama dengan
ras Malay versi Buffon-dengan kata lain kami sebenarnya bukan orang Melayu—tapi
kami tak membesarbesarkan pendapat itu. Pertama karena orang-orang Belitong tak
paham akan hal itu dan kedua karena kami tak memiliki semangat primordialisme. Bagi
kami, orang-orang sepanjang pesisir selat Malaka sampai keMalaysiaadalah Melayuatas
dasar ketergila-gilaan mereka pada irama semenanjung, dentaman rebana, dan
pantun yang sambut: menyambut-bukan atas dasar bahasa, warna kulit, kepercayaan, atau
struktur bangun tulang-belulang. Kami adalah ras egalitarian.
Aku melamun merenungkan cerita Mahar. Aku tak tertarik dengan lorong waktu,
tapi terpancang pada ceritanya tentang orang-orang Belitong tempo dulu. Minggu lalu
ketika sedang memperbaiki sound systemdi masjid, demi melihat kabel centang perenang
yang dianggapnya benda ajaib zaman baru, muazin kami yang telah berusia 70 tahun
menceritakan sesuatu yang membuatku terkesiap.
Cerita itu adalah tentang kakek beliau yang sempat bercerita kepadanya bahwa
orangtua kakeknya itu, berarti mbah buyut atau datuk muazin kami, hidup berkelompok
mengembara di sepanjang pesisir Belitong. Mereka berpakaian kulit kayu dan mencari
makan dengan cara menombak binatang atau menjeratnya dengan akar-akar pohon.
Mereka tidur di dahan-dahan pohon santigi untuk menghindari terkaman binatang buas.
Kala bulan purnama mereka menyalakan api dan memuja bulan serta bintang gemintang.
Aku merinding memikirkan betapa masih dekatnya komunitas kami dengan kebudayaan
primitif.
"Kita telah lama bersekutu dengan orang-orang Sawang. Mereka adalah pelaut
ulung yang hidup di perahu. Suku itu berkelana dari pulau ke pulau. Di Teluk Balok
leluhur kita menukar pelanduk, rotan, buah pinang, dan damar dengan garam buatan
wanita-wanita Sawang ...," cerita muazin itu.
Seperti ikan yang hidup dalam akuarium, senantiasa lupa akan air, begitulah
kami. Sekian lama hidup berdampingan dengan orang Sawang kami tak menyadari
bahwa mereka sesungguhnya sebuah fenomena antropologi. Dibanding orang
Melayu penampilan mereka amat berbeda. Mereka seperti orang-orang Aborigin.
Kulit gelap, rahang tegas, mata dalam, pandangan tajam, bidang kening yang
sempit, struktur tengkorak seperti suku Teuton, dan berambut kasat lurus seperti
sikat.
PN Timah mempekerjakan suku maskulin ini sebagai buruh yuka, yaitu
penjahit karung timah, pekerjaan strata terendah di gudang beras. Dan mereka
bahagia dengan sistem pembayaran setiap hari Senin. Sulit dikatakan uang itu akan
bertahan sampai Rabu. Tak ada kepelitan mengalir dalam pembuluh darah arang
Sawang. Mereka membelanjakan uang seperti tak ada lagi hari esok dan berutang
seperti akan hidup selamanya.
Karena kekacauan persoalan manajemen keuangan ini, orang Sawang tak
jarang menjadi korban stereotip di kalangan mayoritas Melayu. Setiap perilaku
minus tak ayal langsung diasosiasikan dengan mereka. Diskredit ini adalah refleksi
sikap diskriminatif sebagian orang Melayu yang takut direbut pekerjaannya karena
malas bekerja kasar. Sejarah menunjukkan bahwa orang-orang Sawang memiliki
integritas, mereka hidup eksklusif dalam komunitasnya sendiri, tak usil dengan
urusan orang lain, memiliki etos kerja tinggi, jujur, dan tak pernah berurusan dengan
hukum. Lebih dari itu, mereka tak pernah lari dari utang-utangnya.
Orang Sawang senang sekali memarginalkan diri sendiri. Itulah sifat alamiah
mereka. Bagi mereka hidup ini hanya terdiri atas mandor yang mau membayar
mereka setiap minggu dan pekerjaan kasar yang tak sanggup dikerjakan suku lain.
Mereka tak memahami konsep aristokrasi karena kultur mereka tak mengenal power
distance. Orang yang tak memaklumi hal ini akan menganggap mereka tak tahu tata
krama. Satu-satunya manusia terhormat di antara mereka adalah sang kepala suku,
seorang shamansekaligus dukun, dan jabatan itu sama sekali bukan hereditas.
PN memukimkan orang Sawang di Sebuah rumah panjang yang bersekatsekat.
Di situ hidup 30 kepala keluarga.Tak ada catatan pasti dari mana mereka
berasal. Mungkinkah mereka belum terpetakan oleh para antropolog? Tahukah para
pembuat kebijakan bahwa tingkat kelahiran mereka amat rendah sedangkan
mortalitasnya begitu tinggi sehingga di rumah panjang hanya tertinggal beberapa
keluarga yang berdarah murni Sawang? Akankah bahasa mereka yang indah hilang
ditelan zaman?
BAB XV
EUFORIA MUSIM HUJAN
TAMBANG hitam terbentang cekung di atas permukaan air berwarna cokelat yang
bergelora. Ujung tambang yang diikat dengan sepotong kayu bercabang tersangkut ke
sebuah dahan karet tua yang rapuh di tengah aliran sungai. Tadi Samson yang telah
melemparkannya dengan gugup. Hampir tujuh belas meter jarak antara tepian sungai
dan dahan karet tempat kayu satu meter itu tersangkut. Berarti lebar sungai ini paling
tidak tiga puluh meter dan dalamnya hanya Tuhan yang tahu. Alirannya meluncur deras
tergesa-gesa, tipikal sungai di Belitong yang berawal dan berakhir di laut. Bagian
membujur permukaan sungai tampak berkilat-kilat disinari cahaya matahari.
Sekarang ujung tambang satunya dipegangi A Kiong yang pucat pasi pada posisi
melintang. Ia memanjat pohon kepang rindang yang berseberangan dengan pohon karet
tadi dan menambatkan tali pada salah satu cabangnya. Badanku gemetar ketika aku
melintas menuju pohon karet dengan cara menggeser-geserkan genggaman tanganku
yang mencekik tambang erat-erat. Aku bergelantungan seperti tentara latihan perang.
Kadang-kadang kakiku terlepas dari tambang dan menyentuh permukaan air yang
meliuk-liuk, membuat darahku dingin berdesir. Kulihat samar bayanganku di atas air
yang keruh. Kalau aku terjatuh maka aku akan ditemukan tersangkut di akar-akar pohon
bakau dekat jembatan Lenggang,limapuluh kilometer dari sini.
SEMUA susah payah melawan larangan orangtua itu hanyalah untuk memetik
buah-buah karet dan demi sedikit taruhan harga diri dalam arena tarak. Atau barangkali
perbuatan bodoh itu justru digerakkan oleh keinginan untuk membongkar rahasia buah
karet yang misterius. Kekuatan kulit buah karet tak bisa diramalkan dari bentuk dan
warnanya. Pada rahasia itulah tersimpan daya tarik permainan mengadu kekuatan
kulitnya. Permainan kuno nan legendaris itu disebut tarak. Cuma ada satu hal yang agak
berlaku umum, yaitu pohon-pohon karet yang buahnya sekeras batu selalu berada di
tempat-tempat yang jauh di dalam hutan dan memerlukan nyali lebih, atau sikap nekat
yang tolol, untuk mengambilnya.
Di dalam tarak, dua buah karet ditumpuk kemudian dipukul dengan telapak
tangan. Buah yang tak pecah adalah pemenangnya. Inilah permainan pembukaan musim
hujan di kampung kami, semacam pemanasan untuk menghadapi permainan-permainan
lainnya yang jauh lebih seru pada saat air bah tumpah dari langit.
SEIRING dengan semakin gencarnya hujan mengguyur kampung-kampung orang
Melayu Belitong, aura tarakperlahan-lahan redup. Jika taraksudah tak dimainkan maka
` itulah akhir bulan September, begitulah tanda alam yang dibaca secara primitif. Wilayahwilayah
tropis di muka bumi akan mengalami mendung seharian dan hujan
berkepajangan. Sementara di Baratsana, orang-orang menjalani hari-hari yang kelabu
menjelang musim salju. Pada sepanjang bulan berakhiran "-ber", seisi dunia tampak lebih
murung, maka tidak mengherankan di beberapa bagian barat angka statistik bunuh diri
meningkat.
Aku melongok keluar jendela, RRI mengumandangkan sebuah lagu lama sebelum
siaran berita, Rayuan Pulau Kelapa. Alunan nada Hawaian yang tak lekang dimakan
waktu mendayu-dayu membuat mata mengantuk. Sebuah siang yang syahdu, sesyahdu
Howling Wolfsaat menyanyikan lagu blues How Long Baby, How Long.
Tapi suasana agak berbeda bagi kami. Acara sedih di bulan-bulan penghujung
tahun ini adalah urusan orang dewasa. Bagi kami hujan yang pertama adalah berkah dari
langit yang disambut dengan sukacita tak terkira-kira. Dan tak pernah kulihat di wilayah
lain, hujan turun sedemikian lebat seperti di Belitong.
Tujuh puluh persen daratan di Belitong adalah rain forestalias hutan hujan. Pulau
kecil itu berada pada titik pertemuan Laut Cina Selatan di sisi barat dan Laut Jawa di sisi
timur. Adapun di sisi utara dan selatan ia diapit oleh Selat Karimata dan Selat Gaspar.
Letaknya yang terlindung daratan luas Pulau Jawa danKalimantanmelindungi pantainya
dari gelombang ekstrem musim barat, namun uapan jutaan kubik air selama musim
kemarau dari samudra berkeliling itu akan tumpah seharian selama berbulan-bulan pada
musim hujan. Maka hujan di Belitong tak pernah sebentar dan tak pernah kecil.
Hujan di Belitong selalu lama dan sejadi-jadinya seperti air bah tumpah ruah dari
langit, dan semakin lebat hujan itu, semakin gempar guruh menggelegar, semakin
kencang angin mengaduk-aduk kampung, semakin dahsyat petir sambar-menyambar,
semakin giranglah hati kami. Kami biarkan hujan yang deras mengguyur tubuh kami
yang kumal. Ancaman dibabat rotan oleh orangtua kami anggap sepi. Ancaman tersebut
tak sebanding dengan daya tarik luar biasa air hujan, binatang-binatang aneh yang
muncul dari dasar parit, mobil-mobil proyek timah yang terbenam, dan bau air hujan
yang menyejukkan rongga dada.
Kami akan berhenti sendiri setelah bibir membiru dan jemari tak terasa karena
kedinginan. Seluruh dunia tak bisa mencegah kami. Kami adalah para duta besar yang
berkuasa penuh saat musim hujan. Para orangtua hanya menggerutu, frustrasi merasa
dirinya tak dianggap. Kami berlarian, bermain sepak bola, membuat candi dari pasir, berpura-pura
menjadi biawak, berenang di lumpur, memanggil-manggil pesawat terbang
yang melintas, dan berteriak keras-keras tak keruan kepada hujan, langit, dan halilintar
seperti orang lupa diri.
Tapi lebih dari itu, yang paling seru adalah permainan tanpa nama yang melibatkan
pelepah-pelepah pohon pinang hantu. Satu atau dua orang duduk di atas pelepah selebar
sajadah, kemudian dua atau tiga orang lainnya menarik pelepah itu dengan kencang.
Maka terjadilah pemandangan seperti orang main ski es, tapi secara manual karena
ditarik tenaga manusia.
Penumpang yang duduk di depan memegangi pelepah seperti penunggang unta
sedangkan penumpang di belakang memeluknya erat-erat agar tidak tergelincir. Mereka
yang bertubuh paling besar, yaitu Samson, Trapani, dan A Kiong menduduki jabatan
penarik pelepah dan mereka amat bangga dengan jabatan itu.
Puncak permainan ini adalah momen ketika para penarik pelepah yang bertenaga
sekuat kuda beban berbelok mendadak serta dengan sengaja menambah kekuatannya di
belokan itu. Maka penumpangnya akan melaju sangat kencang, terseret sejajar ke arah
samping, meluncur mulus tapi deras sekali di atas permukaan lumpur yang licin, lalu
menikung tajam dalam kecepatan tinggi.
Aku rasakan tingkungan itu membanting tubuhku tanpa dapat kukendalikan dan
sempat kulihat cipratan air bercampur lumpur yang besar menghempas dari sisi kanan
pelepah mengotori para penonton: Sahara, Harun, Kucai, Mahar, dan Lintang. Mereka
gembira luar biasa menerima cipratan air kotor itu, semakin kotor airnya semakin senang
mereka. Mereka bertepuk tangan girang menyemangati kami. Sementara Syahdan yang
duduk di belakangku memegang tubuhku kuat-kuat sambil bersorak-sorai.
Syahdan bertindak selaku co-pilot, dan aku pilotnya. Kami meluncur menyamping
dengan tubuh rebah persis seperti gerakan laki-laki gondrong pengendara sepeda motor
tong setan di sirkus atau lebih keren lagi seperti gerakan speed raceryang merendahkan
tubuhnya untuk mengambil belokan maut. Sebuah gaya rebah yang penuh aksi. Pada saat
menikung itu aku merasakan sensasi tertinggi dari permainan tradisional yang asyik ini.
Namun, cerita tidak selesai sampai di situ. Karena sudut belokan tersebut tidak
masuk akal maka tikungan tersebut tak `kan pernah bisa diselesaikan. Para penarik
bertabrakan sesama dirinya sendiri, terjatuh-jatuh jumpalitan, terbanting-banting tak tentu
arah, sementara aku dan Syahdan terpental dari pelepah, terhempas, terguling-guling, lalu
kami berdua terkapar di dalam parit.
Kepalaku terasa berat, kuraba-raba dan benjolan kecilkecil bermunculan. Air
masuk melalui hidungku, suaraku jadi aneh, seperti robot, dan ada rasa pening di bagian
kepala sebelah kanan yang menjalar ke mata. Rasa itu hanya sebentar, biasa kita alami
kalau air memasuki hidung. Aku tersedak-sedak kecil seperti kambing batuk. Lalu aku
mencari-cari Syahdan. Ia terbanting agak jauh dariku. Tubuhnya telentang, tergeletak tak
berdaya, air menggenangi setengah tubuhnya di dalam parit. Ia tak bergerak.
Kami menghambur ke arah Syahdan. Aduh! Gawat, apakah ia pingsan? Atau gegar
otak? Atau malah mati? Karena ia tak bernapas sama sekali dan tadi ia terpelanting
seperti tong jatuh dari truk. Di sudut bibirnya dan dari lubang hidungnya kulihat darah
mengalir, pelan dan pekat. Kami merubung tubuhnya yang diam seperti mayat. Sahara
mulai terisak-isak, wajahnya pias. Aku memandangi wajah temanku yang lain, semuanya
pucat pasi. A Kiong gemetar hebat, Trapani memanggil-manggil ibunya, aku sangat
cemas.
Aku menampar-nampar pipinya.
"Dan! Dan ...!" Aku pegang urat di lehernya, seperti pernah kulihat dalam film
Little House on The Prairie. Namun sayang sebenarnya aku sendiri tak mengerti apa
yang kupegang, karena itu aku tak merasakan apa-apa. Samson, Kucai, dan Trapani turut
menggoyang-goyang tubuh Syahdan, berusaha menyadarkannya. Tapi Syahdan diam
kaku tak bereaksi. Bibirnya pucat dan tubuhnya dingin seperti es. Sahara menangis keras,
diikuti oleh A Kiong.
"Syahdan ... Syahdan .., bangun Dan ...," ratap Sahara pedih dan ketakutan.
Kami semakin panik, tak tahu harus berbuat apa. Aku terus-menerus memanggilmanggil
nama Syahdan, tapi ia diam saja, kaku, tak bernyawa, Syahdan telah mati.
Kasihan sekali Syahdan, anak nelayan melarat yang mungil ini harus mengalami nasib
tragis seperti ini.
Kami menggigil ketakutan dad Samson memberi isyarat agar mengangkat Syahdan.
Ketika kami angkat tubuhnya telah keras seperti sepotong balok es. Aku memegang
bagian kepalanya. Kami gotong tubuh kecilnya sambil berlari. Sahara dan A Kiong
meraung-raung. Kami benar-benar panik, namun dalam kegentingan yang memuncak
tiba-tiba di gumpalan bulat kepala keriting yang kupeluk kulihat deretan gigi-gigi hitam
keropos dan runcing-runcing seperti dimakan kutu meringis ke arahku, kemudian kudengar pelan
suara tertawa terkekeh-kekeh.
Ha! Rupanya co-pilot-ku ini hanya berpura-pura tewas! Sekian lama ia
membekukan tubuhnya dan berusaha menahan napas agar kami menyangka ia mati.
Kurang ajar betul, lalu kami membalas penipuannya dengan melemparkannya kembali ke
dalam parit kotor tadi. Dia senang bukan main. Ia terpingkal-pingkal melihat kami
kebingungan. Kami pun ikut tertawa. Sahara menghapus tangisnya dengan lengannya
yang kotor. Makin lama tawa kami makin keras. Kulirik lagi Syahdan, ia meringis
kesakitan tapi tawanya keras sekali sampai-sampai keluar air matanya. Air matanya itu
bercampur dengan air hujan.
Anehnya, justru peristiwa terjatuh, terhempas, dan terguling-guling yang
menciderai, lalu disusul dengan tertawa keras saling mengejek itulah yang kami anggap
sebagai daya tarik terbesar permainan pelepah pinang. Tak jarang kami mengulanginya
berkali-kali dan peristiwa jatuh seperti itu bukan lagi karena sudut tikungan, kecepatan,
dan massa yang melanggar hukum fisika, tapi memang karena ketololan yang disengaja
yang secara tidak sadar digerakkan oleh spirit euforia musim hujan. Pesta musim hujan
adalah sebuah perhelatan meriah yang diselenggarakan oleh alam bagi kami anak-anak
Melayu tak mampu.
BAB XVI
PUISI SURGA DAN KAWANA BURUNG PELINTANG PULAU
NAH, seluruh kejadian ini terjadi pada bulan Agustus saat aku berada di kelas dua
SMP. Kemarau masih belum mau pergi. Pohon-pohon angsana menjadi gundul, bambu-bambu
kuning meranggas. Jalan berbatu-batu kecil merah, setiap dihempas kendaraan,
mengembuskan debu yang melekat pada sirip-sirip daun jendela kayu. Kota kecilku
kering dan bau karat.
Warga Tionghoa semakin rajin menekuni kebiasaannya: mandi saat tengah hari,
menyisir rambutnya yang masih basah ke belakang, lalu memotongi ujung-ujung
kukunya dengan antip. Hanya mereka yang tampak sedikit bersih pada bulan-bulan
seperti ini. Adapun warga suku Sawang termangu-mangu memeluk tiang-tiang rumah
panjang mereka, terlalu panas untuk tidur di bawah atap seng tak berplafon dan terlalu
lelah untuk kembali bekerja, dilematis.
Orang-orang Melayu semakin kumal. Sesekali anak-anaknya melewati jalan
raya membawa balok-balok es dan botol sirop Capilano. Hawa pengap tak ‘kan
menguap sampai malam. Sebaliknya, menjelang dini hari suhu akan turun drastis,
dingin tak terkira, menguji iman umat Nabi Muhammad untuk beranjak dari tempat
tidur dan shalat subuh di masjid.
Perubahan ekstrem suhu adalah konsekuensi geografis pulau kecil yang
dikelilingi samudra. Karena itu kemarau di kampung kami menjadi sangat tidak
menyenangkan. Kepekatan oksigen menyebabkan tubuh cepat lelah dan mata mudah
mengantuk. Namun, ada suka di mana-mana. Anda tentu paham maksud saya. Bulan ini
amat semarak karena banyak perayaan berkenaan dengan hari besar negeri ini. Agustus,
semuanya serba menggairahkan!
Begitu banyak kegiatan yang kami rencanakan setiap bulan Agustus, antara lain
berkemah! Ketika anak-anak SMP PN dengan bus birunya berekreasi ke Tanjong
Pendam, mengunjungi kebun binatang atau museum di Tanjong Pandan, bahkan
verloop* bersama orangtuanya ke Jakarta. Kami, SMP Muhammadiyah, pergi ke Pantai
Pangkalan Punai. Jauhnya kira-kira 60 km, ditempuh naik sepeda. Semacam liburan
murah yang asyik luar biasa.
Meskipun setiap tahun kami mengunjungi Pangkalan Punai, aku tak pernah
bosan dengan tempat ini. Setiap kali berdiri di bibir pantai aku selalu merasa terkejut,
persis seperti pasukan Alexander Agung pertama kali menemukan India. Jika laut
berakhir di puluhan hektar daratan landai yang dipenuhi bebatuan sebesar rumah dan
pohon-pohon rimba yang rindang merapat ke tepi paling akhir ombak pasang
mengempas, maka kita akan menemukan keindahan pantai dengan cita rasa yang
berbeda. Itulah kesan utama yang dapat kukatakan mengenai Pangkalan Punai.
Tak jauh dari pantai mengalirlah anak-anak sungai berair payau dan di sanalah
para penduduk lokal tinggal di dalam rumah panggung tinggi-tinggi dengan formasi
berkeliling. Mereka juga orang-orang Melayu, orang Melayu yang menjadi nelayan.
Berarti rumah-rumah ini tepatnya terkurung oleh hutan lalu di tengahnya mengalir
anak-anak sungai dan posisinya cenderung menjorok ke pinggir laut. Sebuah komposisi
lanskap hasil karaya tangan Tuhan. Keindahan seperti digambarkan dalam buku-buku
komik Hans Christian andersen.
Namun, pemandangan semakin cantik jika kita mendaki bukit kecil di sisi barat
daya Pangkalan. Saat sore menjelang, aku senang berlama-lama duduk sendiri di
punggung bukit ini. Mendengar sayup-sayup suara anak-anak nelayan—laki-laki dan
perempuan—menendang-nendang pelampung, bermain bola tanpa tiang gawang nun di
bawah sana. Teriakan mereka terasa damai. Sekitar pukul empat sore, sinar matahari
akan mengguyur barisan pohon cemara angin yang tumbuh lebat di undakan bukit yang
lebih tinggi di sisi timur laut. Sinar yang terhalang pepohonan cemara angin itu
membentuk segitiga gelap raksasa, persis di tempat aku duduk. Sebaliknya, di sisi lain,
sinarnya ayang kontras menghunjam ke atas permukaan pantai yang dangkal, sehingga
dari kejauhan dapat kulihat pasir putih dasar laut.
Jika aku menoleh ke belakang, maka aku dapat menyaksikan pemandangan
padang sabana. Ribuan burung pipit menggelayuti rumput-rumput tinggi, menjerit-jerit
tak karuan, berebutan tempat tidur. Di sebelah sabana itu adalah ratusan pohon kelapa
bersaling-silang dan di antara celah-celahnya aku melihat batu-batu raksasa khas
Pangkalan Punai. Batu-batu raksasa yang membatasi tepian Laut Cina Selatan yang biru
berkilauan dan luas tak terbatas. Seluruh bagian ini disirami sinar matahari dan aliran
sungai payau tampak sampai jauh berkelok-kelok seperti cucuran perak yang dicairkan.
Sebaliknya, jika aku melemparkan pandangan lurus ke bawah, ke arah formasi
rumah panggung yang berkeliling tadi, maka sinar matahari yang mulai jingga jatuh
persis di atas atap-atap daun nanga’ yang menyembul-nyembul di antara rindangnya
dedaunan pohon santigi. Asap mengepul dari tungku-tungku yang membakar serabut
kelapa untuk mengusir serangga magrib. Asap itu, diiringi suara azan magrib, merayap
menembus celah-celah atap daun, hanyut pelan-pelan menaungi kampung seperti hantu,
lamat-lamat merambati dahan-dahan pohon bintang yang berbuah manis, lalu hilang
tersapu semilir angin, ditelan samudra luas. Dari balik jendela-jendela kecil rumah
panggung yang berserakan di bawah sana sinar lampu minyak yang lembut dan
kuntum-kuntum api pelita menari-nari sepi.
Pesona hakiki Pangkalan Punai membayangiku menit demi menit sampai
terbawa-bawa mimpi. Mimpi ini kemudian kutulis menjadi sebuah puisi karena, sebagai
bagian dari program berkemah, kami harus menyerahkan tugas untuk pelajaran
kesenian berupa karangan, lukisan, atau pekerjaan tangan dari bahan-bahan yang
didapat di pinggir pantai. Inilah puisiku.
Aku Bermimpi Melihat Surga
Sungguh, malam ketiga di Pangkalan Punai aku mimpi melihat surga
Ternyata surga tidak megah, hanya sebuah istana kecil di tengah hutan
Tidak ada bidadari seperti disebut di kitab-kitab suci
Aku meniti jembatan kecil
Seorang wanita berwajah jernih menyambutku
“Inilah surga” katanya.
Ia tersenyum, kerling matanya mengajakku menengadah
Seketika aku terkesiap oleh pantulan sinar matahari senja
Menyirami kubah-kubah istana
Mengapa sinar matahari berwarna perak, jingga, dan biru?
Sebuah keindahan yang asing
Di istana surga
Dahan-dahan pohon ara menjalar ke dalam kamar-kamar sunyi yang bertingkattingkat
Gelas-gelas kristal berdenting dialiri air zamzam
Menebarkan rasa kesejukan
Bunga petunia ditanam di dalam pot-pot kayu
Pot-pot itu digantungkan pada kosen-kosen jendela tua berwarna biru
Di beranda, lampu-lampu kecil disembunyikan di balik tilam, indah sekali
Sinarnya memancarkan kedamaian
Tembus membelah perdu-perdu di halaman
Surga begitu sepi
Tapi aku ingin tetap di sini
Karena kuingat janjimu Tuhan
Kalau aku datang dengan berjalan
ENGKAU akan menjemputku dengan berlari-lari
Dengan puisi ini, untuk pertama kalinya aku mendapat nilai kesenian yang
sedikit lebih baik dari nilai Mahar, tapi hal itu hanya terjadi sekali itu saja. Puisiku ini
membuktikan bahwa karya seni yang baik, setidaknya baik bagi Bu Mus, adalah karya
seni yang jujur. Namun, aku punya cerita yang panjang dan kurasa cukup penting
mengapa kali ini Mahar tidak mendapatkan nilai kesenian tertinggi seperti baisanya.
Semua itu gara-gara sekawanan burung hebat nan misterius yang dinamai orang-orang
Belitong sebagai burung pelintang pulau.
Nama burung pelintang pulau selalu menarik perhatian siapa saja, di mana saja,
terutama di pesisir. Sebagian orang malah menganggap burung ini semacam makhluk
gaib. Nama burung ini mampu menggetarkan nurani orang-orang pesisir sehubungan
dengan nilai-nilai mitos dan pesan yang dibawanya.
Burung pelintang pulau amat asing. Para pencinta burung lokal dan orang-orang
pesisir hanya memiliki pengetahuan yang amat minim mengenai burung ini. Di mana
habitatnya, bagaimana rupa dan ukuran aslinya, dan apa makanannya, selalu jadi
polemik. Hanya segelintir orang yang sedang beruntung saja pernah melihatnya
langsung. Burung ini tak pernah tertangkap hidup-hidup. Kerahasiaan bruung ini adalah
konsekuensi dari kebiasaannya.
Nama pelintang pulau adalah cerminan kebiasaan burung ini terbang sangat
kencang dan jauh tinggi melintang (melintasi) pulau demi pulau. Mereka hanya singgah
sebentar dan selalu hinggap di puncak tertinggi dari pohon-pohon yang tingginya
puluhan meter seperti pohon medang dan tanjung. Singgahnya pun tak pernah lama,
tidak untuk makan apa pun. Mereka sangat liar, tidak mungkin bisa didekati.
Setelah hinggap sebentar dengan kawanan lima atau enam ekor mereka terburuburu
terbang dengan kencang ke arah yang sama sekali tak dapat diduga. Banyak
orangy ang percaya bahwa mereka hidup di pulau-pulau kecil yang tak dihuni manusia.
Sementara mitos lain mengatakan bahwa burung-burung ini hanya hinggap sekali saja
pada sebuah kanopi di setiap pulau. Merekam enghabiskan sebagian besar hidupnya
terbang tinggi di angkasa, melintas dari satu pulau ke pulau lain yang berjumlah
puluhan di perairan Belitong.
Orang-orang Melayu pesisir percaya bahwa jika burung ini singgah di kampung
maka pertanda di laut sedang terjadi badai hebat atau angin puting beliung. Sering
sekali kehadirannya membatalkan niat nelayan yang akan melaut. Tapi ada penjelasan
logis untuk pesan ini, yaitu jika mereka memang tinggal di pulau terpencil maka badai
laut akan menyapu pulau tersebut dan saat itulah mereka menghindar menuju pesisir
lain.
Burung yangkonon sangat cantik dengan dominasi warna biru dan kuning ini
berukuran seperti burung bayan. Tapi aku agak kurang setuju dengan pendapat itu. Aku
setuju dengan warnanya, tapi ukurannya pasti jauh lebih besar, karena saksi mata
melihatnya bertengger puluhan meter darinya sehingga akan tampak lebih kecil.
Perkiraanku burung itu paling tidak berpenampilan seperti burung rawe yang beringas
atau peregam segagah rajawali. Demikianlah burugn pelintang pulau, semakin misterius
keberadaannya, semakin legendaris ceritanya. Mungkinkah burung ini belum terpetakan
oleh para ahli ornitologi?
Namun, burung apa pun itu, ketika melakukan semacam penelitian untuk
membuat tugas kesenian yang ia putuskan berupa lukisan, Mahar mengaku melihat
burung pelintang pulau nun jauh tinggi berayun-ayun di pucuk-pucuk meranti. Ia
pontang-panting menuju tenda untuk memberitahukan apa yang baru saja dilihatnya,
dan kami pun menghambur masuk ke hutan untuk menyaksikan salah satu spesies
paling langka kekayaan fauna pulau Belitong itu. Sayangnya yang kami saksikan hanya
dahan-dahan yang kosong, beberapa ekor anak lutung yang masih berwarna kuning, dan
langit hampa yang luas menyilaukan. Mahar menjebak dirinya sendiri. Maka, seperti
biasa, mengalirlah ejekan untuk Mahar.
“Kalau makan buah bintang kebanyakan, manisnya memang dapat membaut
orang mabuk, Har, pandangan kabur, dan mulut melantur,” Samson menarik pelatuk
dan penghujatan pun dimulai.
“Sungguh Son, yang kulihat tadi burung pelintang pulau kawanan lima ekor.”
“Dalam laut dapat kukira, dalamnya dusta siapa sangka,” dengan rima pantun
yang sederhana Kucai menohok Mahar tanpa perasaan.
Keputusasaan terpancar di wajah Mahar yang tanpa dosa, matanya mencari-cari
dari dahan ke dahan. Aku iba melihatnya, dengan cara apa aku dapat membelanya?
Tanpa saksi yang menguatkan, posisinya tak berdaya.
Kulihat dalam-dalam mata Mahar dan aku yakin yang baru saja dilihatnya
memang burung-burung keramat itu. Ah! Beruntung sekali. Sayangnya upaya Mahar
meyakinkan kami sia-sia karena reputasinya sendiri yang senang membual. Itulah
susahnya jadi pembual, sekali mengajukan kebenaran hakiki di antara seribu macam
dusta, orang hanya akan menganggap kebenaran itu sebagai salah satu dari buah
kebohongan lainnya.
“Mungkin yang kau lihat tadi burung ayam-ayam yang sengaja hinggap di dahan
tepat di atasmu utnuk mengencingi jambulmu itu,” cela Kucai.
Tawa kami meledak menusuk perasaan Mahar. Burung ayam-ayaman tidak
eksklusif, terdapat di mana-mana, dan senang bercanda di sepanjang saluran
pembuangan pasar ikan. Perut-perut ikan adalah caviar bagi mereka. Burung itu selalu
digunakan orang Melayu sebagai perlambang untuk menghina. Belum reda tawa kami
Sahara berusaha menyadarkan kesesatan Mahar
“Jangan kaucampuradukkan imajinasi dan dusta, kawan. Tak tahukah engkau,
kebohongan adalah pantangan kita, larangan itu bertalu-talu disebutkan dalam buku
Budi Pekerti Muhammadiyah.”
Trapani mencoba sedikit berlogika, “Barangkali kau salah lihat Har, keluarga
Lintang saja yang sudah empat turunan tinggal di pesisir tak pernah sekalipun melihat
burung itu apa lagi kita yangb aru berkemah dua hari.”
Masuk akal juga, tapi nasib orang siapa tahu?
Situasi makin kacau ketika sore itu berita kunjungan burung pelintang pulau
menyebar ke kampung dan beberapa nelayan batal melaut. Ibu Mus tak enak hati tapi
tak mengerti bagaimana menetralisasi suasana. Mahar semakin terpojok dan merasa
bersalah. Namun percaya atau tidak, malamnya angin bertiup sangat kencang
mengobrak-abrik tenda kami. Beberapa batang pohon cemara tumbang. Di laut kami
melihat petir menyambar-nyambar dengan dahsyat dan awan hitam di atasnya
berugulung-gulung mengerikan. Kami lari terbirit-birit mencari perlindungan ke rumah
penduduk.
“Mungkin yang kau lihat tadi sore benar-bear burung pelintang pulau, Har,”
kata Syahdan gemetar.
Mahar diam saja. Aku tahu kata “mungkin” itu tidak tepat. Bagaimanapun juga
badai ini sedikit banyak memihak ceritanya, mengurangi rasa bersalahnya, dan dapat
menghindarkannya dari cap pembual, apalagi esoknya para nelayan berterima kasih
padanya. Namun, ternyata temannya masih meragukannya dengan menggunakan kata
“mungkin”, padahal tenda kami sudah hancur lebur diaduk-aduk badai. Rasa
tersinggungnya tidak berkurang sedikit pun. Pada tingkat ini dia sudah merasa dirinya
seorang persona non grata, orang yang tak disukai.
Demikianlah dari waktu ke waktu kami selalu memperlakukan Mahar tanpa
perasaan. Kami lebih melihatnya sebagai seorang bohemian yang aneh. Kami dibutakan
tabiat orang pada umumnya, yaitu menganggap diri paling baik, tidak mau mengakui
keunggulan orang, dan mencari-cari kekurangan orang lain untuk menutupi
ketidakbecusan diri sendiri.
Kami jarang sekali ingin secarao bjektif membuka mata melihat bakat seni hebat
yang dimiliki Mahar dan bagaimaan bakat itu berkembang secara alami dengan
menakjubkan. Namun, tak mengapa, lihatlah sebentar lagi, seluruh ketidakadilan
selama beberapa tahun ini akan segara dibalas tuntas olehnya dengan setimpal. Cerita
akan semakin seru!
Besoknya Mahar membuat lukisan berjudul “Kawanan Burung Pelintang
Pulau”. Sebuah tema yang menarik. Lukisan itu berupa lima ekor burung yang tak jelas
bentuknya melaju secepat kilat menembus celah-celah pucuk pohon meranti. Latar
belakangnya adalah gumpalana awan kelam yang memancing badai hebat. Hamparan
laut dilukis biru gelap dan permukaannya berkilat-kilat memantulkan cahaya halilintar
di atasnya.
Kelima ekor burung itu hanya ditampakkan berupa serpihan-serpihan warna
hijau dan kuning dengan ilustrasi tak jelas, seperti sesuatu yang berkelebat sangat cepat.
Jika dilihat sepintas, memang masih terlihat samar-samar seperti lima kawanan burung
tapi kesan seluruhnya adalah seperti sambaran petir berwarna-warni. Sebuah lukisan
penuh daya mitos yang menggettarkan.
Dengan kekuatan imajinasinya Mahar berusaha mengabadikan sifat-sifat
misterius burung ini. Yang ada dalam pemikiran di balik lukisannya bukanlah bentuk
anatomis burung pelintang pulau tapi representasi sebuah legenda magis, sifat-sifat
alami burung pelintang pulau yang fenomenal, keterbatasan pengetahuan kita tentang
mereka, karakternya yang suka menjauhi manusia, dan mitos-mitos ganjil yang
menggerayangi setiap kepala orang pesisir.
Lukisan Mahar sesungguhnya merupakan swebuah karya hebat yang memiliki
nyawa, mengandung ribuan kisah, menentang keyakinan, dan mampu menggugah
perasaan. Namun, Mahar tetaplah anak kecil dengan keterbatasan kosa kata untuk
menjelaskan maksudnya. Ia kesulitan menemukan orang yang dapat memahaminya, dan
lebih dari itu, ia juga seniman yang bekerja berdasarkan suasana hati. Maka ketika
Samson, Syahdan, dan Sahara berpendapat bahwa bentuk burung yang tak jelas karena
Mahar sebenarnya tak pernah melihatnya, Mahar kembali tenggelam dalam sarkasme,
mood-nya rusak berantakan.
Inilah kenyataan pahit dunia nyata. Begitu banyak seniman bagus yang hidup di
antara orang-orang buta seni. Lingkungan umumnya tak memahami mereka dan lebih
parah lagi, tanpa beban berani memberi komentar seenak udelnya. Ketika Mahar sudah
berpikir dalam tataran imajinasi, simbol, dan substansi, Samson, Syahdan, dan Sahara
masih berpikir harfiah. Kasihan Mahar, seniman besar kami yang sering dilecehkan.
Karena kecewa sebab karyanya dianggap tak jujur, Mahar setengah hati
menyerahkan karyanya kepada Bu Mus sehingga terlambat. Inilah yang menyebabkan
nilai Mahar agak berkurang sedikit. Yaitu karena melanggar tata tertib batas
penyerahan tugas, bukan karena pertimbangan artistik. Ironis memang.
“Kali ini Ibunda tidak memberimu nilai terbaik untuk mendidikmu sendiri,” kata
Bu Mus dengan bijak pada Mahar yang cuek saja.
“Bukan karena karyamu tidak bermutu, tapi dalam bekerja apa pun kita harus
memiliki disiplin.”
Aku rasa pandangan ini cukup adil. Sebaliknya, aku dan kami sekelas tidak
menganggap keunggulanku dalam nilai kesenian sebagai momentum lahirnya seniman
baru di kelas kami. Seniman besar kami tetap Mahar, the one and only.
Adapun Mahar yang nyentrik sama sekali tidak peduli. Ia tak ambil pusing
mengenai bagaimana karya-karya seninya dinilai dalam skala angka-angka, apalagi
sekarang ia sedang sibuk. Ia sedang berusaha keras memikirkan konsep seni untuk
karnaval 17 Agustus.
BAB XVII
ADA CINTA DI TOKO KELONTONG BOBROK ITU
MEMANG menyenangkan menginjak remaja. Di sekolah, mata pelajaran mulai terasa
bermanfaat. Misalnya pelajaran membuat telur asin, menyemai biji sawi, membedah
perut kodok, keterampilan menyulam, menata janur, membuat pupuk dari kotoran
hewan, dan praktek memasak. Konon di Jepang pada tingkat ini para siswa telah belajar
semikonduktor, sudah bisa menjelaskan perbedaan antara istilah analog dan digital,
sudah belajar membuat animasi, belajar software development, serta praktik merakit
robot.
Tak mengapa, lebih dari itu kami mulai terbata-bata berbahasa Inggris: good
this, good that, excuse me, I beg your pardon, dan I am fine thank you. Tugas yang
paling menyenangkan adalah belajar menerjemahkan lagu. Lagu lama Have I Told You
Lately That I Love Youternyata mengandung arti yang aduhai. Dengarlah lagu penuh
pesona cinta ini. Bermacam-macam vokalis kelas satu telah membawakannya termasuk
pria midlandbersuara serak: Mr. Rod Stewart. Tapi sedapat mungkin dengarlah versi
Kenny Rogers dalam album Vote For Love Volume 1. Lagu cantik itu ada di trek
pertama.
Syair lagu itu kira-kira bercerita tentang seorang anak muda yang benci sekali
jika disuruh gurunya membeli kapur tulis, sampai pada suatu hari ketika ia berangkat
dengan jengkel untuk membeli kapur tersebut, tanpa disadarinya, nasib telah
menunggunya di pasar ikan dan menyergapnya tanpa ampun.
Membeli kapur adalah salah satu tugas kelas yang paling tidak menyenangkan.
Pekerjaan lain yang amat kami benci adalah menyiram bunga. Beragam familia pakis
mulai dari kembang tanduk rusa sampai puluhan pot suplir kesayangan Bu Mus serta
rupa-rupa kaktus topi uskup, Parodia, dan Mammillariaharus diperlakukan dengan
sopan seperti porselen mahal dari Tiongkok. Belum lagi deretan panjang pot amarilis,
kalimatis, azalea, nanas sabrang, Calathea, Stromanthe, Abutilon, kalmus, damar
kamar, dan anggrek Dendrobiumdengan berbagai variannya. Berlaku semena-mena
terhadap bunga-bunga ini merupakan pelanggaran serius.
“Ini adalah bagian dari pendidikan!” pesan Bu Mus serius.
Masalahnya adalah mengambil air dari dalam sumur di belakang sekolah
merupakan pekerjaan kuli kasar. Selain harus mengisi penuh dua buah kaleng cat 15
kilogram dan pontang-panting memikulnya, sumur tua yang angker itu sangat
mengerikan. Sumur itu hitam, berlumut, gelap, dan menakutkan. Diameternya kecil,
dasarnya tak kelihatan saking dalamnya, seolah tersambung ke dunia lain, ke sarang
makhluk jadi-jadian. Beban hidup terasa berat sekali jika pagi-pagi sekali harus
menimba air dan menunduk ke dalam sumur itu.
Hanya ketika menyirami bunga stripped canna beautyaku merasa sedikit
terhibur. Ah, indahnya bunga yang semula tumbuh liar di bukit-bukit lembap di Brazil
ini. Masih dalam familia Apocynaceae maka agak sedikit mirip dengan alamanda tapi
strip-strip putih pada bunganya yang berwarna kuning adalah daya tarik tersendiri yang
tak dimiliki jenis cannalain. Daun hijaunya yang menjulur gemuk-gemuk kontras
dengan gradasi warna kuntum bunga sepanjang musim, menghadirkan pesona
keindahan purba. Orang Parsi menyebutnya bunga surga. Jika ia merekah maka dunia
tersenyum. Ia adalah bunga yang emosional, maka menyiramnya harus berhati-hati.
Tidak semua orang dapat menumbuhkannya. Konon hanya mereka yang bertangan
dingin, berhati lembut putih bersih yang mampu membiakkannya, ialah Bu Muslimah,
guru kami.
Kami memiliki beberapa pot stripped canna beautydan sepakat
menempatkannya pada posisi yang terhormat di antara tanaman-tanaman kerdil nan
cantik Peperomia, daun picisan, sekulen, dan Ardisia. Ketika tiba musim bersemi
bersamaan, maka tersaji sebuah pemandangan seperti kue lapis di dalam nampan.
Aku selalu tergesa-gesa menyirami bunga biar tugas itu cepat selesai, namun
jika tiba pada bagian cannaitu dan para tetangganya tadi, aku berusaha setenangtenangnya.
Aku menikmati suatu lamunan, menduga-duga apa yang dibayangkan orang
jika berada di tengah-tengah surga kecil ini. Apakah mereka merasa sedang berada di
taman Jurassic?
Aku melihat sekeliling kebun bunga kecil kami. Letaknya persis di depan kantor
kepala sekolah. Ada jalan kecil dari batu-batu persegi empat menuju kebun ini. Di sisi
kiri kanan jalan itu melimpah ruah Monstera, Nolina, Violces, kacang polong, cemara
udang, keladi, begonia, dan aster yang tumbuh tinggi-tinggi serta tak perlu disiram.
Bunga-bunga ini tak teratur, kaya raya akan nektar, berdesak-desakan dengan bunga
berwarna menyala yang tak dikenal, bermacam-macam rumput liar, kerasak, dan semak
ilalang.
Secara umum kebun bunga kami mengensankan taman yang dirawat sekaligus
kebun yang tak terpelihara, dan hal ini justru secara tak sengaja menghadirkan paduan
yang menarik hati. Latar belakang kebun itu adalah sekolah kami yang doyong, seperti
bangunan kosong tak dihuni yang dilupakan zaman. Semuanya memperkuat kesan
sebuah paradiso liar, keeksotisan tropika.
Lalu erambat pada tiang lonceng adalah dahan jalar labu air. Seperti tangan
raksasa ia menggerayangi dinding papan pelepak sekolah kami, tak terbendung
menujangkau-jangkau atap sirap yang terlepas dari pakunya. Sebagian dahannya
merambati pohon jambu mawar dan dlima yang meneduhi atap kantor itu. Cabangcabang
buah muda labu air terkulai di depan jendela kantor sehingga dapat dijangkau
tangan. Burung-burugn gelatik rajin bergelantungan di situ. Sepanjang pagi tempat itu
riuh rendah oleh suara kumbang dan lebah madu. Jika aku memusatkan pendengaran
pada dengungan ribuan lebah madu itu, lama-kelamaan tubuhku seakan kehilangan
daya berat, mengapung di udara. Itulah kebun sekolah muhammadiyah, indah dalam
ketidakteraturan, seperti lukisan Kandinsky. Kalau bukan gara-gara sumur sarang jin
yang horor itu, pekerjaan menyiram bunga seharusnya bisa menjadi tugas yang
menyenangkan.
Namun, tugas memebli kapur adalah pekerjaan yang jauh lebih horor. Toko
Sinar Harapan, pemasok kapur satu-satunya di Belitong Timur, amat jauh letaknya.
Sesampainya di sana—di sebuah toko yang sesak di kawasan kumuh pasar ikan yang
becek—jika perut tidak kuat, siapa pun akan muntah karena bau lobak asin, tauco,
kanji, kerupuk udang, ikan teri, asam jawa, air tahu, terasi, kembang kol, pedak cumi,
jengkol, dan kacang merah yang ditelantarkan di dalam baskom-baskom karatan di
depan toko.
Jika berani masuk ke dalam toko, bau itu akan bercampur dengan bau plastik
bungkus mainan anak-anak, aroma kapur barus yang membuat mata berair, bau cat
minyak, bau gaharu, bau sabun colek, bau obat nyamuk, bau ban dalam sepeda yang
bergelantungan di sembarang tempat di seantero toko, dan bau tembakau lapuk di atas
rak-rak besi yang telah bertahun-tahun tak laku dijual.
Dagangan yang tak laku ini tidak dibuang karena pemiliknya menderita suatu
gejala psikologis yang disebut hoarding, sakit gila no. 28, yaitu hobi aneh
mengumpulkan barang-barang rongsokan tak berguna tapi sayang dibuang. Seluruh
akumulasi bau tengik itu masih ditambah lagi dengan aroma keringat kuli-kuli panggul
yang petantang-petenteng membawa gancu, ingar-bingar dengan bahasanya sendiri, dan
lalu-lalang seenaknya memanggul karung tepung terigu.
Belum seberapa, pusat bau busuk yang sesungguhnya berada di los pasar ikan
yang bersebelahan langsung dengan Toko Sinar Harapan. Di sini ikan hiu dan pari
dsangkutkan pada cantolan paku dengan cara menusukkan banar mulai dari insang
sampai ke mulut binatang malang itu, sebuah pemandangan yang mengerikan. Bau amis
darah menyebar ke seluruh sudut pasar. Perut-perut ikan dibiarkan bertumpuk-tumpuk
di sepanjang meja, berjejal tumpah berserakan di lantai yang tak pernah dibersihkan.
Dan bau yang paling parah berasal dari makhluk-makhluk laut hampir busuk yang
disimpan dalam peti-peti terbuka dengan es seadanya.
Pagi itu giliran aku dan Syahdan berangkat ke toko bobrok itu. Kami naik
sepeda dan membuat perjanjian yang bersungguh-sungguh, bahwa saat berangkat ia
akan memboncengku. Ia akan mengayuh sepeda setengah jalan sampai ke sebuh
kuburan Tionghoa. Lalu aku akan menggantikannya mengayuh sampai ke pasar. Nanti
pulangnya berlaku atruan yagn sama. Suatu pengaturan tidak masuk akal yang dibuat
oleh orang-orang frustrasi. Ditambah lagi satu syarat cerewt lainnya, yaitu setiap jalan
menanjak kami harus turun dari sepeda lalu sepeda dituntun bergantian dengan umlah
langkah yang diperhitungkan secara teliti.
Tubuh Syahdan yang kecil terlonjak-lonjak di atas batang sepeda laki punya Pak
Harfan saat ia bersusah payah mengayuh pedal. Sepeda itu terlalu besar untuknya
sehingga tampak seperti kendaraana yang tak bisa ia kuasai, apalagi dibebani tubuhku
di tempat duduk belakang. Namun, ia bertekad terus mengayuh sekuat tenaga. Siapa
pun yang melihat pemandangan itu pasti prihatin sekaligus tertawa. Tapi suasana hatiku
sedang tidak peka untuk segala bentuk komedi. Aku duduk di belakang, tak acuh pada
kesusahannya.
“Turun dulu, tuan raja ...,” Syahdan menggodaku ketika sepeda kami menanjak.
Ia ngos-ngosan, tapi tersenyum lebar dan membungkuk laksana seorangp enjilat.
Syahdan selalu riang menerima tugas apa pun, termasuk menyiram bunga, asalkan
dirinya dapat menghindarkan diri dari pelajaran di kelas. Baginya acara pembelian
kapur ini adalah vakansi kecil-kecilan sambil melihat beragam kegiatan di pasar dan
kesempatan mengobrol dengan beberapa wanita muda pujaannya. Aku turun dengan
malas, dingin, tak tertarik dengan kelakarnya, dan tak punya waktu untuk bertoleransi
pada penderitaan pria kecil ini.
Kami sampai di sebuah Toapekong. Di depannya ada bangunan rendah
berbentuk seperti kue bulan dan di tengah bangunan itu tertempel foto hitam putih
wajah serius seorang nyonya yang disimpan dalam bidang yang ditutupi kaca. Lelehan
lilin merah berserakan di sekitarnya. Itulah kuburan yang kumaksud taid dalam
perjanjian kami, maka tibalah giliranku mengayuh sepeda.
Aku naiki sepeda itu tanpa selera, setengah hati, dan sejak gelindingan roda
yang pertama aku sudah memarahi diriku sendiri, menyesali tugas ini, toko busuk itu,
dan pengaturan bodoh yang kami baut. Aku menggerutu karena rantai sepeda reyot itu
terlalu kencang sehingga berat untuk aku mengayuhnya. Aku juga mengeluh karena
hukum yang tak pernah memihak orang kecil: sadel yang terlalu tinggi, parak oruptor
yang bebas berkeliaran seperti ayam hutan, Syahdan yang berat meskipun badannya
kecil, dunia yang tak pernah adil, dan baut dinamo sepeda yangl onggar sehingga girnya
menempel di ban akibatnya semakin berat mengayuhnya dan menyalakan lampu
sepeda di siang bolong ini persis kendaraan pembawa jenazah.
Syahdan duduk dengan penuh nikmat di tempat duduk belakang sambil
menyiul-nyiulkan lagu Semalam di Malaysia. Ia tak ambil pusing mendegar ocehanku,
peluh hampir masuk ke dalam kelopak matanya tapi wajahnya riang gembira tak alang
kepalang.
Lalu kami memasuki wilayah bangunan permanen yang berderet-deret,
berhadapan satu sama lain hampir beradu atap. Inilah jejeran toko kelontong dengan
konsep menjual semua jenis barang. Sepeda kami meliuk-liuk di antara truk-truk
raksasa yang diparkir seenaknya di depan warung-warung kopi. Di sana hiruk pikuk
para karyawan rendahan PN Timah, pengangguran, bromocorah, pensiunan, pemulung
besi, polisi pamong praja, kuli panggul, sopir mobil omprengan, para penjaga malam,
dan pegawai negeri. Pembicaraan mereka selalu seru, tapi selalu tentang satu topik,
yaitu memaki-maki pemerintah.
Setelah deretan warung kopi lalu berdiri hitam berminyak-minyak beberapa
bengkel sepeda dan tenda-tenda pedagang kaki lima. Kelompok ini berada di sela-sela
mobil omprengan dan para pedagang dadakan dari kampung yang menjual berbagai
hasil bumi dalam keranjang-keranjang pempang. Pedagang kampung ini menjual
beragam jenis rebung, umbi-umbian, pinang, sirih, kayu bakar, madu pahit, jeruk nipis,
gaharu, dan pelanduk yang telah diasap. Bagian akhirp asar ini adalah meja-meja tua
panjang, parit-parit kecil yang mampet, dan tong-tong besar untuk menampung jeroan
ikan, sapi, dan ayam. Baunya membuat perut mual. Inilah pasar ikan.
Pasar ini sengaja ditempatkan di tepi seungai dengan maksud seluruh
limbahnya, termasuk limbah pasar ikan, dapat dengan mudah dilungsurkan ke sungai.
Tapi pasar ini berada di dataran rendah. Akibatnya jika laut pasang tinggi sungai akan
menghanyutkan kembali gunungan sampah organik itu menuju lorong-lorong sempit
pasar. Lalu ketika air surut sampah itu tersangkut pada kaki-kaki meja, tumpukan
kaleng, pagar-pagar yang telah patah, pangkal-pangkal pohon seri, dan tiang-tiang kayu
yang centang perenang. Demikianlah pasar kami, hasil karya perencanaan kota yang
canggih dari para arsitek Melayu yang paling kampungan. Tidak dekaden tapi kacau
balau bukan main.
Toko Sinar Harapan terletak sangat strategis di tengah pusaran bau busuk. Ia
berada di antara para pedagang kaki lima, bengkel sepeda, mobil-mobil omprengan, dan
pasar ikan.
Pembelian sekotak kapur adalah transaksi yang tak penting sehingga pembelinya
harus menunggu sampai juragan toko selesai melayani sekelompok pria dan wanita
yang menutup kepalanya dengan sarung dan berpakaian dengan dominasi warna
kuning, hijau, dan merah. Di sekujur tubuh wanita-wanita ini bertaburan perhiasan
emas—asli maupun imitasi, perak, dan kuningan yang sangat mencolok.
Mereka tidak tertarik untuk berbasa-basi dengan orang-orang Melayu di
sekelilingnya. Mereka hanya berbicara sesama mereka sendiri atau sedikit bicara
dengan Bang Sad atau “bangsat”. Itulah panggilan untuk Bang Arsyad, orang Melayu,
tangan kanan A Miauw sang juragan Toko Sinar Harapan, karena kadang-kadang tabiat
Bang Sad tak jauh dari namanya. Pria-pria bersarung ini berbicara sangat cepat dengan
nada yang beresklasi harmonis naik turun dalam bandyang lebar, maka akan terdengar
persis pola akumulatif suara ombak menghempas pantai, suatu lingua yang sangat
cantik.
A Miauw sendiri adalah sesosok teror. Pira yang sok mendapat hoki ini sangat
berlagak bagai bos. Tubuhnya gendut dan ia selalu memakai kaus kutang, celana
pendek, dan sandal jepit. Di tangannya tak pernah lepas sebuah buku kecil panjang
bersampul otif batik, buku utang. Pensil terselip di daun telinganya yang berdaging
seperti bakso dan di atas mejanya ada sempoa besar yang jika dimainkan bunyinya
mampu merisaukan pikiran.
Tokoknya lebih cocok jika disebut gudang rabat. Ratusan jenis barang
bertumpuk-tumpuk mencapai plafon di dalam ruangan kecil yang sesak. Selain berbagai
jenis sayur, buah, dan makanan di dalma baskom-baskom karatan tadi, toko ini juga
menjual sajadah, asinan kedondong dalma stopelas-stoples tua, pita mesin tik, dan cat
besi dengan bonus kalender wanita berpakaian seadanya.Di dalam sebuah bufet kaca
panjang dipajang bedak kerang pemutih wajah murahan, tawas, mercon, peluru senapan
angin, racun tikus, kembang api, dan antena TV. Jika kita terburu-buru membeli obat
diare cap kupu-kupu, maka jangan harap A Miauw dapat segera menemukannya.
Kadang-kadang ia sendiri tak tahu di mana puyer itu disimpan. Ia seperti tertimbun
dagangan dan tenggelam di tengah pusaran barang-barang kelontong.
“ Kiak-kiak!”
A Miauw memanggil tak sabar, dan Bang Sad tergopoh-gopoh menghampirinya.
“ Magai di Manggara masempo linna?”
Orang-orang bersarung keberatan ketika mengamati harga kaus lampu
petromaks. Di Manggar lebih murah kata mereka.
“ Kito lui, ba? Ngape de Manggar harge e lebe mura?”
Bang Sad menyampaikan keluhan itu pada juragannya dalam bahasa Kek
campur Melayu.
Aku sudah muak di dalam toko bau ini tapi sedikit terhibur dengan percakapan
tersebut. Aku baru saja menyaksikan bagaimana kompleksitas perbedaan budaya dalam
komunitas kami didemonstrasikan. Tiga orang pria dari akar etnik yang sama sekali
berbeda berkomunikasi dengan tiga macam bahasa ibu masing-masing, campur aduk.
Orang-orang yang berjiwa penuh prasangka akan menduga A Miauw sengaja
merekayasa konfigurasi komunikasi seperti itu untuk keuntungannya sendiri, namun
mari kugambarkan sedikit kepribadian A Miauw. Ia memang pria congkak dengan
intonasi bicara tak enak didengar, wajahnya juga seperti orang yang selalu ingin
memerintah, kata-katanya tidak bersahabat, dan badannya bau tengik bawang putih,
tapi ia adalah seorang Kong Hu Cu yang taat dan dalam hal berniaga ia jujur tak ada
bandingannya.
Maka dalam harmoni masyarakat kami, warga Tionghoa adalah pedagang yang
efisien. Adapun para produsen berada di negeri antah berantah, mereka hanya kami
kenal melalui tulisan made in... yang tertera di buntut-buntut panci. Orang-orang
Melayu adalah kaum konsumen yang semakin miskin justru semakin konsumtif.
Sedangkan orang-orang pulau berkerudung tadi adalah para pembuka lapangan kerja
musiman bagi warga suku Sawang yang memanggil belanjaan mereka.
“ Segere! Siun! Siun!” hardik tiga orang Sawang, kuli panggul, yang numpang
lewat, membyuarkan lamunanku. Mereka adalah kawan yang telah lama kukenal.
Dolen, Baset, dan Kunyit, begitulah nama mereka. Agaknya urusan A Miauw dengan
orang-orang berkerudung itu telah selesai dan sekarang masuklah ia ke transaksi kapur.
“Aya...ya..., Muhammadiyah! Kapur tulis!” keluh A Miauw menarik napas
panjang, seolah kami hanya akan merusak hokinya.
Acara pembelian kapur adalah rutin dan sama. Setelah menunggu sekian lama
sampai hampir pingsan di dalam toko bau itu, A Miauw akan berteriak nyaring
memerintahkan seseorang mengambil sekotak kapur. Lalu dari ruang belakang akan
terdengar teriakan jawaban dari seseorang—yang selalu kuduga seorang gadis kecil—
yang juga berbicara nyaring, lantang, dan cepat seperti kicauan burung murai batu.
Kotak kapur dikeluarkan melalui sebuah lubang kecil persegi empat seperti
kandang burung merpati. Yang terlihat hanya sebuah tangan halus, sebelah kanan, yang
sangat putih bersih, menjulurkan kotak kapur melalui lubang itu. Wajah pemilik tangan
ini adlaah misterius, sang burung murai batu tadi, tersembunyi di balik dinding papan
yang membatasi ruangan tengah toko dengan gudang barang dagangan di belakang.
Sang misteri ini tidak pernah bicara sepatah kata pun padaku. Ia menjulurkan kotak
kapur dengan tergesa-gesa dan menarik tangannya cepat-cepat seperti orang
mengumpankan daging ke kandang macan. Demikianlah berlangsung bertahun-tahun,
prosedurnya tetap, itu-itu saja, tak berubah.
Jika tangannya menjulur tak kulihat ada cincin di jari-jemarinya yang lentik,
halus, panjang-panjang, dan ramping, namun siuk a, gelang giok indah berwarna hijau
tampak berkarakter dan melingkar garang pada pergelangan tangannya yang ditumbuhi
bulu-bulu halus. Dalam hatiku, jika kau berani macam-macam pastilah jemarinya
secepat patukan bangau menusuk kedua bola mataku dengan gerakan kuntau yang tak
terlihat. Mungkin pula gelang giok yang selalu membuatku segan itu diwarisinya dari
kakeknya, seorang suhu sakti, yang mendapatkan gelang itu dari mulut seekor naga
setelah naga itu dibinasaan dalam pertarunagan dahsyat untuk merebut hati neneknya.
Ah! Kiranya aku terlalu banyak nonton film shaolin.
Namun, tahukah Anda? Di balik kesan yang garang itu, di ujung jari-jemari
lentik si misterius ini tertanam paras-paras kuku nan indah luar biasa, terawat amat
baik, dan sangat memesona, jauh lebih memesona dibanding gelang giok tadi. Tak
pernah kulihat kuku orang Melayu seindah itu, apalagi kuku orang Sawang. Ia tak
pernah memakai kuteks. Aliran urat-urat halus berwarna merah tersembunyi samarsamar
di dalam kukunya yang saking halus dan putihnya sampai tampak transparan.
Ujung-ujung kuku itu dipotong dengan presisi yang mengagumkan dalam bentuk
seperti bulan sabit sehingga membentuk harmoni pada kelima jarinya.
Permukaan kulit di seputar kukunya sangat rapi, menandakan perawtan intensif
dengan merendamnya lama-lama di dalam bejana yang berisi air hangat dan pucukpucuk
daun kenanga. Ketika memanjang, kuku-kuku itu bergerak maju ke depan
dengan bentuk menunduk dan menguncup, semakin indah seperti batu-batu kecubung
dari Martapura, atau lebih tepatnya seperti batu kinyang air muda kebiru-biruan yang
tersembunyi di kedalaman dasar Sungai Mirang. Amat berbeda dengan kuku Sahar
yang jika memanjang ia akan melebar dan makin lama semakin menganga, persis
seperti mata pacul.
Dan yang tercantik dari yang paling cantik adalah kuku jari manisnya. Ia
memperlihatkan seni perawatan kuku tingkat itnggi melalui potongan pendek natural
dengan tepian kuku berwarna kulit yang klasik. Tak berlebihan jika kukatakan bahwa
paras kuku jari manis nona misterius ini laksana batu merah delima yang terindah di
antara tumpukan harta karun raja brana yang tak ternilai harganya.
Aku sudah terlalu sering mendapatkan tugas membeli kapur yang
menjengkelkan ini, sudah puluhan kali. Satu-satunya penghiburan dari tugas horor ini
adalah kesempatan menyaksikan sekilas kuku-kuku itu lalu menertawakan bagaimana
kontrasnya kuku-kuku zamrud khatulistiwa tersebut dibanding potongan-potongan kecil
terasi busuk di seantero toko bobrok ini. Karena terlalu sering, aku jadi hafal jadwal si
nona misterius memotong kukunya setiap hari Jumat, lima minggu sekali.
Demikianlah berlangsung selama beberapa tahun. Aku tak pernah seklai pun
melihat wajah non aini dan ia pun sama sekali tak berminat melihat bagaimana rupaku.
Bahkan setiap kuucapkan kamsia setelah kuterima kotak kapurnya, ia juga tidak
menjawab. Diam seribu bahasa. Non penuh rahasia ini seperti pengejawantahan
makhluk asing dari negeri antah berantah, dan ia dengan sangat konsisten menjaga
jarak denganku. Tidak ada basa basi, tak ada ngobrol-ngobrol, tak ada buang-buang
waktu untuk soal remeh-temeh, yang ada hanya bisnis!
Kadangkala aku penasaran ingin melihat bagaimana wajah pemilik kuku-kuku
nirwana itu. Apakah wajahnya seindah kuku-kukunya? Apakah jari-jari tangan kirinya
seindah jari-jari tangan kanannya? Atau ... apakah dia Cuma punya satu tangan?
Jangan-jangan dia tidak punya wajah! Tapi semua pikiran itu hanya di dalam hatiku
saja. Tak ada niat sedikit pun untuk mengintip wajahnya. Mendapat kesempatan
memandangi kuku-kukunya saja pun cukuplah untuk membuatku bahagia. Kawan, aku
tidak termasuk dalam golongan pria-pria yang kurang ajar.
Biasanya setelah mengambil kapur, ikami langsung pulang, A Miauw akan
mencatat di buku utang dan nanti akan dilunasi Pak Harfan setiap akhir bulan. Kami tak
berurusan dengan masalah keuangan, dan ketika kami berlalu, si juragan itu tak sedikit
pun melirik kami. Ia menjentikkan dengan keras biji-biji sempoe seolah mengingatkan
“Utang kalian sudah menumpuk!”
Bagi A Miauw kami adalah pelanggan yang tidak menguntungkan, alias hanya
merepotkan saja. Kalau sekali-kali Syahdan mendekatinya untuk meminjam pompa
sepeda, ia akan meminjamkan pompa itu sambil mengomel meledak-ledak. Aku benci
sekali melihat kaus kutangnya itu.
Sekarang sudah hampir tengah hari, udara s emakin panas. Berada di tengah
toko ini serasa direbus dalam panci sayur lodeh yang mendidih. Cuaca mendung tapi
gerahnya tak terkira. Aku sudah tak tahan dan mau muntah. Untungnya A Miauw,
seperti biasa, menjerit memerintahkan nona misterius agar menjulurkan kapur di kotak
merpati. Dengan pandangan matanya yang sok kuasa A Miauw memberiku isyarat
untuk mengambil kapur itu.
Aku berjalan cepat melintas iakrung-karung bawang putih tengik sambil
menutup hidung. Aku bergegas agar tugas penuh siksaan ini segera selesai. Namun,
tinggal beberapa langkah mencapai kotak merpati sekejap angin semilir yang sejuk
berembus meniup telingaku—hanya sekejap saja. Saat itu tak kusadari bahwa sang
nasib yang gaib menyelinap ke dalam toko bobrok itu, mengepungku, dan menyergapku
tanpa ampun, karena tepat pada momen itu kudengar si nona berteriak keras
mengejutkan:
“Haiyaaaaa.... !!!”
Bersamaan dengan teriakan itu terdengar suara puluhan batangan kapur jatuh di
atas lantai ubin.
Rupanya si kuku cantik sembrono sehingga ia menjatuhkan kotak kapur
sebelum aku sempat mengambilnya. Maka kapur-kapur itu sekarang berserakan di
lantai.
“Ah...,” keluhku.
Agaknya aku harus merangkak-rangkak, memunguti kapur-kapur itu di sela-sela
karung buah kemiri, meskipun kulitnya telah dikelupas, tapi buahnya masih basah
sehingga berbau memusingkan kepala. Kuperlukan bantuan Syahdan, namun kulihat ia
sedang berbicara dengan putri tukang hok lo panatau martabak terang bulan seperti
orang menceritakan dirinya sedang banyak uang karena baru saja selesai menjual 15
ekor sapi. Aku tak mau mengganggu saat-saat gombalnya itu.
Maka apa boleh buat, kupunguti susah payah kapur-kapur itu. Sebagian kapur
itu jatuh di bawah daun pintu terbuka yang dibatasi oleh tirai yang amat rapat, terbuat
dari rangkaian keong-keong kecil. Aku tahu di balik tirai itu, sang nona itu juga
memunguti kapur karena kudengar gerutuannya.
“Haiyaaa ... haiyaaa ....”
Ketika aku sampai pada kapur-kapur yang berserakan persis di bawah tirai itu,
hatiku berkata pasti nona ini akan segera menutup pintu agar aku tidak punya
kesempatan sedikit pun untuk melihat dia lebih dari melihat kukunya, namun yang
terjadi kemudian sungguh di luar dugaan. Kejadiannya sangat mengejutkan, karena
amat cepat, tanpa disangka sama sekali, si nona misterius justru tiba-tiba membuka tirai
dan tindakan cerobohnya itu membuat wajah kami sama-sama terperanjat hampir
bersentuhan!!! Kami beradu pandang dekat sekali ... dan suasana seketika menjadi
hening .... Mata kami bertatapan dengan perasaan yang tak dapat kulukiskan dengan
kata-kata. Kapur-kapur yang telah ia kumpulkan terlepas dari genggamannya, jatuh
berserakan, sedangkan kapur-kapur yang ada di genggamanku terasa dingin membeku
seperti aku sedang mencengkeram batangan-batangan es lilin.
Saat itu kau merasa jarum detik seluruh jam yang ada dunia ini berhenti
berdetak. Semua gerakan alam tersentak diam dipotret Tuhan dengan kamera raksasa
dari langit, blitz-nya membutakan, flash!!! Menyilaukan dan membekukan. Aku terpana
dan merasa seperti melayang, mati suri, dan mau pingsan dalam ekstase. Aku tahu A
Miauw pasti sedang berteriak-teriak tapi aku tak mendengar sepatah kata pun dan aku
tahu persis bau busuk toko itu semkin menjadi-jadi dalam udara pengap di bawah atap
seng, tapi pancaindraku telah mati. Aliran darah di sekujur tubuhku menjadi dingin,
jantungku berhenti berdetak sebentar kemudian berdegup kencang sekali dengan ritme
yang kacau seperti kode morse yang meletup-letupkan pesan SOS. Lebih dari itu aku
menduga bahwa dia, si misterius berkuku seindah pelangi, yang tertegun seperti patung
persis di depan hidungku ini, agaknya juga dilanda perasaan yang sama.
“ Siun! Siun! Segere...!” teriak kuli-kuli Sawang, terdengar samar, menggema
jauh berulang-ulang seperti didengungkan di dalma gua yang panjang dan dalam,
mereka memintaku minggir.
Tapi kami berdua masih terpaku pandang tanpa mampu berkata apa pun, lidahku
terasa kelu, mulutku terkunci rapat—lebih tepatnya ternganga. Tak ada satu kata pun
yang dapat terlaksana. Aku tak sanggup beranjak. Wanita ini memiliki aura yang
melumpuhkan. Tatapan matanya itu mencengkeram hatiku.
Ia memiliki struktur wajah lonjong dengan air muka yang sangat menawan.
Hidungnya kecil dan bangir. Garis wajahnya tirus dengan tatapan mata kharismatik
menyejukkan seklaigus menguatkan hati, seperti tatapan wanita-wanita yang telah
menjadi ibu suri. Jika menerima nasihat dari wanita bermata semacam ini, semangat
pria mana pun akan berkobar.
Bajunya ketat dan bagus seperti akan berangkat kondangan, dengan dasar biru
dan motif kembang portlandicakecil-kecil berwarna hijau muda menyala. Kerah baju
itu memiliki kancing sebesar jari kelingking, tinggi sampai ke leher, merefleksikan
keanggunan seorang wanita yang menjaga integritasnya dengan keras. Alisnya indah
alami dan jarak antara alis dengan batas rambut di keningnya membentuk proporsi yang
cantik memesona. Ia adalah lukisan Monalisa yang ditenggelamkan dalam danau yang
dangkal dan dipandangi melalui terang cahaya bulan.
Seperti kebanyakan ras Mongoloid, tulang pipinya tidak menonjol, tapi bidang
wajahnya, bangun bahunya, jenjang lehernya, potongan rambutnya, dan jatuh dagunya
yang elegan menciptakan keseluruhan kesan dirinya benar-benar mirip Michelle Yeoh,
bintang film Malaysia yang cantik itu. Maka terkuaklah rahasia yang tertutup rapi
selama bertahun-tahun. Sang pemilik kuku-kuku indah itu ternyata seorang wanita
muda cantik jelita dengan aura yang tak dapat dilukiskan dengan cara apa pun.
Kejadian ini membaut pipinya yang putih bersih tiba-tiba memerah dan matanya
yang sipit bening seperti ingin menghamburkan air mata. Aku tahu bahwa selain sejuta
perasaan tadi yang mungkin sama-sama melanda kami, ia juga merasakan malu tak
terkira. Ia bangkit dengan cepat dan membanting pintu tanpa ampun. Ia tak peduli
dengan kapur-kapur itu dan tak peduli padaku yang masih hilang dalam tempat dan
waktu.
Suara keras bantingan pintu itu membuatku siuman dari sebuah pesona yang
memabukkan dan menyadarkan aku bahwa aku telah jatuh cinta. Aku limbung,
kepalaku pening dan pandangan mataku berkunang-kunang karena syok berat.
Beberapa waktu berlalu aku masih terduduk terbengong-bengong bertumpu di atas
lututku yang gemetar. Aku mencoba mengatur napas dan darahku berdesir menyelusuri
seluruh tubuhku yang berkeringat dingin. Aku baru saja dihantam secara dahsyat oleh
cinta pertama pada pandangan yang paling pertama. Sebuah perasaan hebat luar biasa
yang mungkin dirasakan manusia.
Aku berupaya keras bangun dan ketika aku menoleh ke belakang, orang-orang
di sekelilingku, Syahdan yang menghampiriku, A Miauw yang menunjuk-nunjuk,
orang-orang bersarung yang pergi beriringan, dan kuli-kuli Sawang yang terhuyunghuyung
karena beban pikulannya, mereka semuanya, seolah bergerak seperti dalam
slow motion, demikian indah, demikian anggun. Bahkan para uli panggul yang
memilikul karung jengkol tiba-tiba bergerak penuh wibawa, santun, lembut, dan
berseni, seolah mereka sedang memperagakan busana Armani yang sangat mahal di
atas catwalk.
Aku tak peduli lagi dengan kotak kapur yang isinya tinggal setengah. Aku
berbalik meninggalkan toko dan merasa kehilangan seluruh bobot tubuh dan beban
hidupku. Langkahku ringan laksana orang suci yang mampu berjalan di atas air. A ku
menghampiri sepeda reyot Pak Harfan yang sekarang terlihat seperti sepeda keranjang
baru. Aku dihinggapi semacam perasasaan bahagia yang aneh, sebuah rasa bahagia
bentuk lain yang belum pernah kualami sebelumnya. Rasa bahagia ini melebihi ketika
aku mendapat hadiah radio transistor 2- banddari ibuku sebagai upah mau disunat
tempo hari.
Ketika mempersiapkan sepeda untuk pulang, aku mencuri pandang ke dalam
toko. Kulihat dengan jelas Michele Yeoh mengintipku dari balik tirai keong itu. Ia
berlindung, tapi sama sekali tak menyembunyikan persaaannya. Aku kembali melayang
menembus bintang gemerlapan, menari-nari di atas awan, menyanyikan lagu nostalgia
Have I Told You Lately That I Love You. Aku menoleh lagi ke belakang, di situ, di
antara tumpukan kemiri basah yang tengik, kaleng-kaleng minyak tanah, dan karungkarung
pedak cumi aku telah menemukan cinta.
Kutatap Syahdan dengan senyum terbaik yang aku memiliki—ia membalas
dengan pandangan aneh—lalu kuangkat tubuhnya yang ekcil untuk mendudukkannya di
atas sepeda. Aku ingin, degnan gemira, mengayuh sepeda itu, membonceng Syahdan,
mengantarnya ke tempat-tempat di mana saja di jagad raya ini yang ia inginkan. Oh,
inilah rupanya yang disebut mabuk kepayang!
Dalam perjalanan pulang aku dengan sengaja melanggar perjanjian. Setelah
kuburan Tionghoa aku tak meminta Syahdan menggantikanku. Karena aku sedang
bersukacita. Seluruh energi positif kosmis telah memberiku kekuatan ajaib. Semua
terasa adil kalau sedang jatuh cinta. Cinta memang sering membuat perhitungan
menjadi kacau. Sepanjang perjalanan aku bersiul dengan lagu yang tak jelas. Lagu
tanpa harmoni; lagu yang belum pernah tercipta, karena yang menyanyi bukan mulutku,
tapi hatiku. Jika sedang tak bersiul di telingaku tak henti-henti berkumandang lagu All I
Have to Do is Dream.
Seusai pelajarn aku dan Syahdan dipanggil Bu Mus untuk
mempertanggungjawabkan kapur yang kurang. Aku diam meatung, tak mau berdusta,
tak mau menjawab apa pun yang ditanyakan, dan tak mau membantah apa pun yang
dituduhkan. Aku siap menerima hukuman seberat apa pun—termasuk jikalau harus
mengambil ember yang kemarin dijatuhkan Trapani di sumur horor itu. Saat itu yang
ada di pikiranku hanyalah Michele Yeoh, Michele Yeoh, dan Michele Yeoh, serta
detik-detik ketika cinta menyergapku tadi. Hukuman yang kejam hanya akan
menambah sentimentil suasana romantis di mana aku rela masuk sumur maut dunia lain
sebagai pahlawan cinta pertama .... Ah! Cinta ...
Benar saja hukumannya seperti kuduga. Sebelum turun ke dalam sumur sempat
kulihat Bu Mus menginterogasi Syahdan yang mengangkat-angkat bahunya yang kecil,
menggeleng-gelengkan kepalanya, dan menyilangkan jarinya di kening.
“Hari! Ia menuduhku sudah sinting ...?”
KEBODOHAN berbentuk seperti asap, uap air, kabut. Dan ia beracun. Ia berasal dari
sebuah tempat yang namanya tak pernah dikenal manusia. Jika ingin menemui
kebodohan makab erangkatlah dari tempat di mana saja di planet biru ini dengan
menggunakan tabung roket atau semacamnya, meluncur ke atas secara vertikal, jangan
eprnah sekali pun berhenti.
Gapailah gumpalan awan dalam lapisan troposfer, lalu naiklah terus menuju
stratosfer, menembus lapisan ozon, ionosfer, dan bulan-bulan di planet yang asing.
Meluncurlah terus sampai ketinggian di mana gravitasi bumi sudah tak peduli. Arungi
samudra bintang gemintang dalam suhu dingin yang mampu meledakkan benda padat.
Lintasi hujan meteor sampai tiba di eksosfer—lapisan paling luar atmosfer dengan
bentangan selebar 1.200 kilometer, dan teruslah melaju menaklukkan langit ketujuh.
Kita hanya dapat menyebutnya langit ketujuh sebagai gambaran imajiner tempat
tertinggi dari yang paling tinggi. Di tempat asing itu, tempat yang tak ‘kanpernah
memiliki nama, di atas langit ke tujuh, di situlah kebodohan bersemanyam. Rupanya
seperti kabut tipis, seperti asap cangklong, melayang-layang pelan, memabukkan .maka
apabila kita tanyakan sesuatu kepada orang-orang bodoh, mereka akan menjawab dengan
merancau, menyembunyikan ketidaktahuannya dalam omongan cepat, mencari beragam
alasan, atau membelokkan arah pertanyaan. Sebagaian yang lain diam terpaku, mulutnya
ternganga, ia diselubungi kabut dengan tatapan mata yang kosong dan jauh. Kedua jenis
reaksi ini adalah akibat keracunan asap tebal kebodohan yang mengepul di kepala
mereka.
Kita tak perlu menempuh ekspedisi gila-gilaan itu. Karena seluruh lapisan langit
dan gugusan planit itu sesungguhnya terkonstelasi di dalam kepala kita sendiri. Apa yang
ada pada pikiran kita, dalam gumpalan otak seukuran genggam, dapat menjangkau ruang
seluas jagat raya.Parapemimpi seperti Nicolaus Copernicus, Battista Della Porta, dan
Lippershey malah menciptakan jagat rayanya sendiri, di dalam imajinasinya, dengan
sistem tata suryanya sendiri, dan Lucretius, juga seoerang pemimpi, menuliskan ilmu
dalam puisi-puisi.
Tempat di atas langit ketujuh, tempat kebodohan bersemanyam, adalah metafor
dari suatu tempat di mana manusia tak bisa mempertanyakan zat-zat Allah. Setiap usaha
mempertanyakannya hanya akan berujung dengan kesimpulan yang mempertontonkan
kemahatololan sang penanya sendiri. Maka semua jangkauan akal telah berakhir di langit
ketujuh tadi. Di tempat asing tersebut, barangkali Arasy, di sana kembali metafor
kagungan Tuhan bertakhta. Di bawah takhta-Nya tergelar Lauhul Mahfuzh, muara dari
segala cabang anak-anak sungai ilmu dan kebijakan, kitab yang telah mencatat setiap
lembar daun yang akan jatuh. Ia juga menyimpan rahasia ke mana nasib akan membawa
sepuluh siswa baru perguruan Muhammadiyah tahun ini. Karena takdir dan nasib
termasuk dalam zat-Nya.
Tuhan menakdirkan orang-orang tertentu untuk memiliki hati yang terang agar
dapat memberi pencerahan pada sekelilingnya. Dan di malam yang tua dulu ketika
Copernicus dan Lucretius duduk di samping Lintang, ketika angka-angka dan huruf
menjelma menjadi kunang-kunang yang berkelap-kelip, saat itu Tuhan menyemaikan biji
zarah klecerdasan, zarah yang jatuh dari langit dan menghantam kening Lintang.
Sejak hari perkenalan dulu aku sudah terkagum-kagum pada Lintang. Anak
pengumpul kerang ini pintar sekali. Matanya menyala-nyala memancarkan inteligensi,
keingintahuan menguasai dirinya seperti orang kesurupan. Jarinya tak pernah berhenti
mengacung tanda ia bisa menjawab. Kalau melipat dia paling cepat, kalau membaca dia
paling hebat. Ketika kami masih gagap menjumlahkan angka-angka genap ia sudah
terampil mengalikan angka-angka ganjil. Kami baru saja bisa mencongak, dia sudah
pintar membagi angka desimal, menghitung akar dan menemukan pangkat, lalu, tidak
hanya menggunakan, tapi juga mampu menjelaskan hubungan keduanya dalam tabel
logaritma. Kelemahannya, aku tak yakin apakah hal ini bisa disebut kelemahan, adalah
tulisannya yang cakar ayam tak keruan, tentu karena mekanisme motorik jemarinya tak
mampu mengejar pikirannya yang berlari sederas kijang.
“13 kali 6 kali 7 tambah 83 kurang 39!” tantang Bu Mus di depan kelas.
Lalu kami tergopoh-gopoh membuka karet yang mengikat segenggam lidi, untuk
mengambil tiga belas lidi, mengelompokkannya menjadi enam tumpukan, susah payah
menjumlahkan semua tumpukan itu, hasilnya kembali disusun menjadi tujuh kelompok,
dihitung satu per satu sebagai total dua tahap perkalian, ditambah lagi 83 lidi lalu diambil
39. Otak terlalu penuh untuk mengorganisasi sinyal-sinyal agar mengambil tindakan
praktis mengurangkan dulu 39 dari 83. Menyimpang sedikit dari urutan cara berpikir
orang kebanyakan adalah kesalahan fatal yang akan mengacaukan ilmu hitung aljabar.
Rata-rata dari kami menghabiskan waktu hampir selama 7 menit. Efektif memang, tapi
tidak efisien, repot sekali.
Sementara Lintang, tidak memegang sebatang lidi pun, tidak berpikir dengan cara
orang kebanyakan, hanya memjamkan matanya sebentar, tak lebih dari 5 detik ia
bersorak.
“590!”
Tak sebiji pun meleset, meruntuhkan semangat kami yang sedang belepotan
memegangi potongan lidi, bahan belum selesai dengan operasi perkalian tahap pertama.
Aku jengkel tapi kagum. Waktu itu kami baru masuk hari pertama di kelas dua SD!
“ Superb! Anak pesisir, superb!” puji Bu Mus. Beliau pun tergoda untuk
menjangkau batas daya pikir Lintang.
“18 kali 14 kali 23 tambah 11 tambah 14 kali 16 kali 7!”
Kami berkecil hati, temangu-mangu menggenggami lidi, lalu kurang dari tujuh
detik, tanpa membuat catatan apa pun, tanpa keraguan, tanpa ketergesa-gesaan, bahkan
tanpa berkedip, Lintang berkumandang.
“651.952!”
“Purnama! Lintang, bulan purnama di atas Dermaga Olivir, indah sekali! Itulah
jawabanmu, ke mana kau bersembunyi selama ini …?”
Ibu Mus bersusah payah menahan tawanya. Ia menatap Lintang seolah telah
seumur hidup mencari murid seperti ini. Ia tak mungkin tertawa lepas, agama melarang
itu. Ia menggeleng-gelengkan kepalanya. Kami terpesona dan bertanya-tanya bagaimana
cara Lintang melakukan semua itu. Dan inilah resepnya ….
“Hafalkan luar kepala semua perkalian sesama angka ganjil, itulah yang sering
menyusahkan. Hilangkan angka satuan dari perkalian dua angka puluhan karena lebih
mudah mengalikan dengan angka berujung nol, kerjakan sisanya kemudian, dan jangan
kekenyangan kalau makan malam, itu akan membuat telingamu tuli dan otakmu tumpul!”
Polos, tapi ia telah menunjukkan kualifikasi highly cognitive complexdengan
mengembangkan sendiri teknik-teknik melokalisasi kesulitan, menganalisis, dan
memecahkannya. Ingat dia baru kelas dua SD dan ini adalah hari pertamanya. Selain itu
ia juga telah mendemonstrasikan kualitas nalar kuantitatif level tinggi. Sekarang aku
mengerti, aku sering melihatnya berkonsentrasi memandangi angka-angka. Saat itu dari
keningnya seolah terpancar seberkas sinar, mungkin itulah cahaya ilmu. Anak semuda itu
telah mampu mengontemplasikan bagaimana angka-angka saling bereaksi dalam suatu
operasi matematika. Kontemplasi-kontemplasi ini rupanya melahirkan resep ajaib tadi.
Lintang adalah pribadi yang unik. Banyak orang merasa dirinya pintar lalu
bersikap seenaknya, congkak, tidak disiplin, dan tak punya integritas. Tapi Lintang
sebaliknya. Ia tak pernah tinggi hati, karena ia merasa ilmu demikian luas untuk
disombongkan dan menggali ilmu tak akan ada habis-habisnya.
Meskipun rumahnya paling jauh tapi kalau datang ia paling pagi. Wajah manisnya
senantiasa bersinar walaupun baju, celana, dan sandal cunghai-nya buruknya minta
ampun. Namun sungguh kuasa Allah, di dalam tempurung kepalanya yang ditumbuhi
rambut gimbal awut-awutan itu tersimpan cairan otak yang encer sekali. Pada setiap
rangkaian kata yang ditulisnya secara acak-acakan tersirat kecemerlangan pemikiran
yang gilang gemilang. Di balik tubuhnya yang tak terawat, kotor, miskin, serta berbau
hangus, dia memiliki an absolutely beautiful mind. Ia adalah buah akal yang jernih, bibit
genius asli, yang lahir di sebuah tempat nun jauh di pinggir laut, dari sebuah keluarga
yang tak satu pun bisa membaca.
Lebih dari itu, seperti dulu kesan pertama yang kutangkap darinya, ia laksana
bunga meriam yang melontarkan tepung sari. Ia lucu, semarak, dan penuh vitalitas. Ia
memperlihatkan bagaimana ilmu bisa menjadi begitu menarik dan ia menebarkan hawa
positif sehingga kami ingin belajar keras dan berusaha menunjukkan yang terbaik.
Jika kami kesulitan, ia mengajari kami dengan sabar dan selalu membesarkan hati
kami. Keunggulannya tidak menimbulkan perasaan terancam bagi sekitarnya,
kecemerlangannya tidak menerbitkan iri dengki, dan kehebatannya tidak sedikit pun
mengisyaratkan sifat-sifat angkuh. Kami bangga dan jatuh hati padanya sebagai seorang
sahabat dan sebagai seorang murid yang cerdas luar biasa. Lintang yang miskin duafa
adalah mutiara, galena, kuarsa, dan topas yang paling berharga bagi kelas kami.
Lintang selalu terobsesi dengan hal-hal baru, setiap informasi adalaha sumbu ilmu
yang dapat meledakkan rasa ingin tahunya kapan saja. Kejadian ini terjadi ketika kami
kelas lima, pada hari ketika ia diselamatkan oleh Bodenga.
“Al-Qur’an kadangkala menyebut nama tempat yang harus diterjemahkan dengan
teliti ….” Demikian penjelasan Bu Mus dalam tarikh Islam, pelajaran wajib perguruan
Muhammadiyah. Jangan harap naik kelas kalau mendapat angka merah untuk ajaran ini.
“Misalnya negeri yang terdekat yang ditaklukkan tentara Persia pada tahun ….”
“620 Masehi! Persia merebut kekaisaran Heraklius yang juga berada dalam
ancaman pemberontakan Mesopotamia, Sisilia, dan Palestina. Ia juga diserbu bangsa
Avar, Slavia, danArmenia….”
Lintang memotong penuh minat, kami ternganga-nganga, Bu Mus tersenyum
senang. Beliau menyampingkan ego. Tak keberatan kuliahnya dipotong. Beliau memang
menciptakan atmosfer kelas seperti ini sejak awal. Memfasilitasi kecerdasan muridnya
adalah yang paling penting bagi beliau. Tidak semua guru memiliki kualitas seperti ini.
Bu Mus menyambung, “Negeri yang terdekat itu ….”
“Byzantium! Nama kuno untuk Konstantinopel, mendapat nama belakangan itu
dari The Great Constantine. Tujuh tahun kemudian negeri itu merebut lagi
kemerdekaannya, kemerdekaan yang diingatkan dalam kitab suci dan diingkari kaum
musyrik Arab, mengapa ia disebut negeri yang terdekat Ibunda Guru? Dan mengapa kitab
suci ditentang?”
“Sabarlah anakku, pertanyaanmu menyangkut pernjelasan tafsir surah Ar-Ruum
dan itu adalah ilmu yang telah berusia paling tidak seribu empat ratus tahun. Tafsir baru
akan ktia diskusikan nanti kalau kelas dua SMP….”
“Tak mau Ibunda, pagi ini ketika berangkat sekolah aku hampir diterkam buaya,
maka aku tak punya waktu menunggu, jelaskan di sini, sekarang juga!”
Kami bersorak dan untuk pertama kalinya kami mengerti makna adnal ardli, yaitu
tempat yang dekat atau negeri yang terdekat dalam arti harfiah dan tempat paling rendah
di bumi dalam konteks tafsir, tak lain dari Byzantium di kekaisaran Roma sebelah timur.
Kami bersorak tentu bukan karena adnal ardli, apalagi Byzantium yang merdeka, tapi
karena kagum dengan sikap Lintang menantang intelektualitasnya sendiri. Kami merasa
beruntung menjadi saksi bagaimana seseorang tumbuh dalam evolusi inteligensi. Dan
ternyata jika hati kita tulus berada di dekat orang berilmu, kita akan disinari pancaran
pencerahan, karena seperti halnya kebodohan, kepintaran pun sesungguhnya demikian
mudah menjalar.
ORANG cerdas memahami konsekuensi setiap jawaban dan menemukan bahwa
di balik sebuah jawaban tersembunyi beberapa pertanyaan baru. Pertanyaan baru tersebut
memiliki pasangan sejumlah jawaban yang kembali akan membawa pertanyaan baru
dalam deretan eksponensial. Sehingga mereka yang benar-benar cerdas kebanyakan
rendah hati, sebab mereka gamang pada akibat dari sebuah jawaban. Konsekuensikonsekuensi
itu mereka temui dalam jalur-jalur seperti labirin, jalur yang jauh menjalarjalar,
jalur yang tak dikenal di lokus-lokus antah berantah, tiada berujung. Mereka
mengarungi jalur pemikiran ini, tersesat di jauh di dalamnya, sendirian.
Godaan-godaan besar bersemayam di dalam kepala orang-orang cerdas. Di
dalamnya gaduh karena penuh dengan skeptisisme. Selesai menyerahkan tugas kepada
dosen, mereka selalu merasa tidak puas, selalu merasa bisa berbuat lebih baik dari apa
yang telah mereka presentasikan. Bahkan ketika mendapat nilai A plus tertinggi, mereka
masih saja mengutuki dirinya sepanjang malam.
Orang cerdas berdiri di dalam gelap, sehingga mereka bisa melihat sesuatu yang
tak bisa dilihat orang lian. Mereka yang tak dipahami oleh lingkungannya, terperangkap
dalam kegelapan itu. Semakin cerdas, semakin terkucil, semakin aneh mereka. Kita
menyebut mereka: orang-orang yang sulit. Orang-orang sulit ini tak berteman, dan
mereka berteriak putus asa memohon pengertyian. Ditambah sedikit saja dengan sikap
introver, maka orang-orang cerdas semacam ini tak jarang berakhir di sebuah kamar
dengan perabot berwarna teduh dan musik klasik yang terdengar lamat-lamat, itulah
ruang terapi kejiwaan. Sebagian dari mereka amat menderita.
Sebaliknya, orang-orang yang tidak cerdas hidupnya lebih bahagia. Jiwanya sehat
walafiat. Isi kepalanya damai, tenteram, sekaligus sepi, karena tak ada apa-apa di situ,
kosong. Jika ada suara memasuki telinga mereka, maka suara itu akan terpantul-pantul
sendirian di dalam sebuah ruangan yang sempit, berdengung-dengung sebentar, lalu
segera keluar kembali melalui mulut mereka.
Jika menyerahkan tugas, mereka puas sekali karena telah berhasil memenuhi
batas akhir, dan ketika mendapat nilai C, mereka tak henti-hentinya bersyukur karena
telah lulus.
Mereka hidup di dalam terang. Sebuah senter menyiramkan sinar tepat di atas
kepala mereka dan pemikiran mereka hanya sampai pada batas lingkaran cahaya senter
itu. Di luar itu adalah gelap. Mereka selalu berbicara keras-keras karena takut akan
kegelapan yang mengepung mereka. Bagi sebagian orang, ketidaktahuan adalah berkah
yang tak terkira.
Aku pernah mengenal berbagai jenis orang cerdas.Adaorang genius yang jika
menerangkan sesuatu lebih bodoh dari orang yang paling bodoh. Semakin keras ia
berusaha menjelaskan, semakin bingung kita dibuatnya. Hal ini biasanya dilakukan oleh
mereka yang sangat cerdas. Ada pula yang kurang cerdas, bahkan bodoh sebenarnya, tapi
kalau bicara ia terlihat paling pintar. Ada orang yang memiliki kecerdasan sesaat,
kekuatan menghafal yang fotografis, namun tanpa kemampuan analisis. Ada juga yang
cerdas tapi berpura-pura bodoh, dan elbih banyak lagi yang bodoh tapi berpura-pura
cerdas.
Namun, sahabatku Lintang memiliki hampir semua dimensi kecerdasan. Dia
seperti toko serba ada kepandaian. Yang paling menonjol adalah kecerdasan spasialnya,
sehingga ia sangat unggul dalam geometri multidimensional. Ia dengan cepat dapat
membayangkan wajah sebuah konstruksi suatu fungsi jika digerak-gerakkan dalam
variabel derajat. Ia mampu memecahkan kasus-kasus dekomposisi modern yang runyam
dan mengajari kami teknik menghitung luas poligon dengan cara membongkar sisisisinya
sesuai Dalil Geometri Euclidian. Ingin kukatakan bahwa ini sama sekali bukan
perkara mudah.
Ia sering membuat permainan dan mendesain visualisasi guna menerjemahkan
rumusan geometris pada tingkat kesulitan yang sangat tinggi. Tujuannya agar gampang
disimulasikan sehingga kami sekelas dapat dengan mudah memahami kerumitan
Teorema Kupu-Kupu atau Teorema Morley yang menyatakan bahwa pertemuan segitiga
yang ditarik dari trisektor segitiga bentuk apa pun akan membentuk segitiga inti yang
sama sisi. Semua itu dilengkapinya dengan bukti-bukti matematis dalam jangkauan
analisis yang melibatkan kemampuan logika yang sangat tinggi. Ini juga sama sekali
bukan urusan mudah, terutama untuk tingkat pendidikan serendah kami serta. Dan
mengingat kopra maka kuanggap apa yang dilakukan Lintang sangat luar biasa.
Lintang juga cerdas secara experientialyang membuyatnya piawai
menghubungkan setiap informasi dengan konteks yang lebih luas. Dalam kaitan ini, ia
memiliki kapasitas metadiscourseselayaknya orang-orang yang memang dilharikan
sebagai seorang genius. Artinya adalah jika dalam pelajaran biologi kami baru
mempelajari fungsi-fungsi otot sebagai subkomponen yang membentuk sistem mekanik
parsial sepotong kaki maka Liontang telah memahami sistem mekanika seluruh tubuh
dan ia mampu menjelaskan peran sepotong kaki itu dalam keseluruhan mekanika
persendian dan otot-otot yang terintegrasi.
Kecerdasannya yang lain adalah kecerdasan linguistik. Ia mudah memahami
bahasa, efektif dalam berkomunikasi, memiliki nalar verbal dan logika kualitatif. Ia juga
mempunyai descriptive power, yakni suatu kemampuan menggambarkan sesuatu dan
mengambil contoh yang tepat. Pengalamanku dengan pelajaran bahasa Inggris di harihari
pertama kelas 2 SMP nanti membuktikan hal itu.
Saat itu aku mendapat kritikan tajam dari ayahku karena nilai bahasa Inggris yang
tak kunjung membaik. Aku pun akhirnya menghadap pemegang kunci pintu ilmu filsafat
untuk mendapat satu dua resep ajaib. Aku keluhkan kesulitanku memahami tense.
“Kalau tak salah jumlahnya sampai enam belas, dan jika ia sudah berada dalam
sebuah narasi aku ekhliangan jejak dalam konteks tenseapa aku berada? Pun ketika ingin
membentuk sebuah kalimat, bingung aku menentukan tense-nya. Bahasa Inggrisku tak
maju-maju.”
“Begini,” kata Lintang sabar menghadapi ketololanku. Ketika itu ia sedang
memaku sandal cunghai-nya yang menganga seperti buaya lapar. Kupikir ia pasti
mengira bahwa aku mengalami disorientasi waktu dan akan menjelaskan makna tense
secara membosankan. Tapi petuahnya sungguh tak kuduga.
“Memikirkan struktur dan dimensi waktu dalam sebuah bahasa asing yang baru
saja kita kenal tidak lebih dari hanya akan merepotkan diri sendiri. Sadarkah kau bahasa
apa pun di dunia ini, di mana pun, mulai dari bahasa Navajo yang dipakai sebagai sandi
tak terpecahkan di perang dunia kedua, bahsa Gaelic yang amat langka, bahasa Melayu
pesisir yang berayun-ayun, sampai bahasa Mohican yang telah punah, semuanya adalah
kumpulan kalimat, dan kalimat tak lain adalah kumpulan kata=kata, paham kau sampai di
sini?”
Aku mengangguk, semua oarng tahu itu.
Lalu ia melanjutkan, “Nah, kata apa pun, pada dasarnya adalah kata benda, kata
kerja, kata sifat, dan kata keterangan, paham? Ini bukan masalah bahasa yang sulit tapi
masalah cara berpikir.”
Sekarang mulai menarik.
“Berangkatlah dari sana, pelajari bagaimana menggunakan kata benda, kata kerja,
kata sifat, dan kata keterangan dalam sebuah kalimat Inggris, itu saja, Kal. Tak lebih dari
itu!”
Belajar kata terlebih dulu, bukan belajar bahasa, itulah inti paradigma belajar
bahsa Inggris versi Lintang. Sebuah ide cemerlang yang hanya terpikirkan oleh orang-orang yang
memahami prinsip-prinsip belajar behasa. Dengan paradigma ini aku
mengalami kemajuan pesat, bukan hanya karena aku dapat mempelajari bahsa Inggris
dengan bantuan analogi bahasaIndonesia, tapi petuahnya mampu melenyapkan sugesti
kesulitan belajar bahasa asing yang umum melanda siswa-siswa daerah. Bahwa bahasa,
baik lokal maupun asing, adalah permainan kata-kata, tak lebih dari itu!
Setelah aku mampu membangun konstruksiku sendiri dalam memahami kalimat-kalimat
Inggris, kemudain Lintang menunjukkan cara meningkatkan kualitas tata
bahasaku dengan mengenalkan teori strktur dan aturan-aturan tense. Pendekatan ini diam-diam
kami sebarkan pada seluruh teman sekelas. Dan ternyata hal ini sukses besar,
sehingga dapat dikatakan Lintanglah yang telah mengakhiri masa kejahiliahan bahasa
Inggris di kelas kami.
Mungkin kami telah belajar bahasa Inggris dengan pendekatan yang keliru, tapi
cara ini efektif. Dan cara ini diajarkan oleh seseorang yang percaya bahwa setiap orang
memiliki jalan yang berbeda untuk memahami bahasa. Aku kagum dengan daya pikir
Lintang, dalam usia semuda itu ia mampu melihat elemen-elemen filosofis sebuah ilmu
lalu jmenerjemahkannya menjadi taktik-taktik praktsi untuk menguasainya. Yang lebih
istimewa, orang yang mengajariku ini bahkan tak mampu membeli buku teks wajib
bahasa Inggris.
Lintang memasuki suatu tahap kreatif yang melibatkan intuisi dan pengembangan
pemikiran divergen yang orisinal. Ia menggali rasai ngin tahunya dan tak henti mencoba-coba.
Indikasi kegeniusannya dapat dilihat dari kefasihannya dalam berbahasa numerik,
yaitu ia terampil memproses sebuah pernyataan matematis mulai dari hipotesis sampai
pada kesimpulan. Ia membuat penyangkalan berdasarkan teorema, bukan hanya
berdasarkan pembuktian kesalahan, apalagi simulasi. Dalam usia muda dia telah
memasuki area yang amat teoretis, cara berpikirnya mendobrak, mengambil risiko, tak
biasa, dan menerobos. Setiap hari kami merubungnya untuk menemukan kejutan-kejutan
pemikirannya.
Baru naik ke kelas satu SMP, ketika kami masih pusing tujuh keliling memetakan
absis dan ordinat pada produk cartesius dalam topik relasi himpunan sebagai dasar fungsi
linear, Lintang telah mengutak-atik materi-materi untuk kelas yangj auh lebih tinggi di
tingkat lanjutan atas bahkan di tingkat awal perguruan tinggi seperti implikasi,
biimplikasi, filosofi Pascal, binomialNewton, limit, diferensial, integral, teori-teori
peluang, dan vektor. Ketika kami baru saja mengenal dasar-dasar binomial ia telah
beranjak ke pengetahuan tentang aturan multinomial dan teknik eksploitasi polinomial, ia
mengobrak-abrik pertidaksamaan eksponensial, mengilustrasikan grafik-grafik sinus, dan
membuat pembuktian sifat matematis menggunakan fungsi-gunsgi trigonometri dan
aturan ruang tiga dimensi.
Suatu waktu kami belajar sistem persamaa nlinier dan tertatih-tatih menguraiuraikan
kasusnya dengan substitusi agar dapat menemukan nilai sebuah variabel, ia bosan
dan menghambur ke depan kelas, memenuhi papan tulis dengan alternatif-alternatif solusi
linier, di antaranya dengan metode eliminasi Gaus-Jordan, metode Crammer, metode
determinan, bahkan dengan nilai Eigen. Setelah itu Lintang mulai menggarap dan tampak
sangat menguasai prinsip-prinsip penyelesaian kasus nonlinier. Ia dengan amat lancar
menejlaskan persamaan multivariabel, mengeksploitasi rumus kuadrat, bahkan
menyelesaikan operasi persamaan menggunakan metode matriks! Padahal dasar-dasar
matriks paling tidak baru dikhotbahkan para guru pada kelas dua SMA. Yang lebih
menakjubkan adalah semua pengetahuan itu ia pelajari sendiri dengan membaca
bermacam-macam buku milik kepala sekolah kami jika ia mendapat giliran tugas
menyapu di ruangan beliau. Ia bersimpuh di balik pintu ayun, semacam pintu koboi,
menekuni angka-angka yang bicara, bahkan dalam buku-buku berbahasa Belanda.
Ia memperlihatkan bakat kalkulus yang amat besar dan keahliannya tidak hanya
sebatas menghitung guna menemukan solusi, tapi ia memahami filosofi operasi-operasi
matematika dalam hubungannya dengan aplikasi seperti yang dipelajari para mahasiswa
tingkat lanjut dalam subjek metodologi riset. Ia membuat hitungan yang iseng namun
cerdas mengenai berapa waktu yang dapat dihemat atau berapa tambahansuratyang
dapat diantar per hari oleh Tuan Pos jika mengubah rute antarnya. Ia membuat perkiraan
ketahanan benang gelas dalam adu layangan untuk berbagai ukuran nilon berdasarkan
perkiraan kekuatan angin, ukuran layangan, dan panjang benang. Rekomendasinya
menyebabkan kami tak pernah terkalahkan.
Prediksinya tak pernah meleset dalam menghitung waktu kuncup, bersemi, dan
mati untuk bunga red hot cat taildengan meneliti kadar pupuk, suplai air, dan sinar
matahari. Ia mengompilasi dengan cermat tabel pengamatan distribusi durasi, frekuensi
dan waktu curah hujan lalu menghitung rata-rata, variansi, dan koefisien korelasi dalam
rangka memperkirakan berapa kali Pak Harfan bolos karena bengek itu menunjukkan
pola yang konsisten terhadap fungsi hujan dan lebih ajaib lagi Lintang mampu membuat
persentase bias dugaannya.
Lintang bereksperimen merumuskan metode jembatan keledainya sendiri untuk
pelajaran-pelajaran hafalan. Biologi misalnya. Ia menciptyakan sebuah konfigurasi
belajar metabolisme dengan merancang kelompok sistem biologis mulai dari sistem alat
tubuh, pernapasan, pencernaan, gerak, sampai sistem saraf dan indra, baik untuk manusia,
vertebrata, maupun avertebrata, sehingga mudah dipahami.
Maka jika kita tanyakan padanya bagaiaman seekor cacing melakukan hajat
kecilnya, siap-siap saja menerima penjelasan yang rapi, kronologis, terperinci, dan
sangat cerdas mengenai cara kerja rambut getar di dalam sel-sel api, lalu dengan santai
saja, seumpama seekor monyet sedang mencari kutu di punggung pacarnya, ia akan
membuat analogi buang hajat cacing itu pada sistem ekskresi protozoa dengan anatomi
vakuola kontraktil yang rumit itu, bahkan jika tidak distop, ia akan dengan senang hati
menjelaskan fungsi-fungsi korteks, simpai bowman, medulla, lapisan malpigi, dan dermis
dalam sistem ekskresi manusia. Karena bagi Lintang, melalui desain jembatan keledainya
tadi, benda-benda hafalan ini dengan mudah dapat ia kuasai, satu malam saja, sekali
tepuk.
Masih dalam pelajaran biologi, terjadi perdebatan sengit di antara kami tentang
teori yang memaksakan pendapat bahwa manusia berasal dari nenek moyang semacam
lutung, kami terperangah oleh argumentasi lintang:
“Persoalannya adalah apakah Anda seorang religius, seorang darwinian, atau
sekadar seorang oportunis? Pilihan sesungguhnya hanya antara religius dan darwinian,
sebab yang tidak memilih adalah oportunis! Yaitu mereka yang berubah-ubah sikapnya
sesuai situasi mana yang akan lebih menguntungkan mereka. Lalu pilihan itu seharusnya
menentukan perilaku dalam menghargai hidup ini. Jika Anda seorang darwinian, silakan
berperilaku seolah tak ada tuntutan akhirat, karena bagi Anda kitab suci yang memaktub
bahwa manusia berasal dari Nabi Adam adalah dusta. Tapi jika Anda seorang religius
maka Anda tahu bahwa teori evolusi itu palsu, dan ketika Anda tak kunjung
mempersiapkan diri untuk dihisab nanti dalam hidup setelah mati, maka dalam hal ini
anda tak lebih dari seorang sekuler oportunis yang akan dibakar di dasar neraka!”
Itulah Lintang dengan pandangannya. Pikirannya memang telah sangat jauh
meninggalkan kami. Dan dengarlah itu, bicaranya lebih pintar dari bicara seluruh menteri
penerangan yang pernah dimiliki republik ini.
“Ayo yang lain, jangan hanya anak Tanjong keriting ini saja yang terus
menjawab,” perintah Bu Mus.
Biasanya setelah itu aku tergoda utnuk menjawab, agak ragu-ragu, canggung, dan
kurang yakin, sehingga sering sekali salah, lalu Lintang membetulkan jawabanku, dengan
semangat konstruktif penuh rasa akrab persahabatan. Lintang adalah seorang cerdas yang
rendah hati dan tak pernah segan membagi ilmu.
Aku belajar keras sepanjang malam, tapi tak pernah sedikit pun, sedetik pun bisa
melampaui Lintang. Nilaiku sedikit lebih baik dari rata-rata kelas namun jauh tertinggal
dari nilainya. Aku berada di bawah bayang-bayangnya sekian lama, sudah terlalu lama
malah. Rangking duaku abadi, tak berubah sejak caturwulan pertama kelas satu SD.
Abadi seperti lukisan ibu menggendong anak di bulan. Rival terberatku, musuh
bebuyutanku adalah temanku sebangku, yang aku sayangi.
Dapat dikatakan bahwa Bu Mus sering kewalahan menghadapi Lintang, terutama
untuk pelajaran matematika, sehingga ia sering diminta membantu. Ketika Lintang
menerangkan sebuah persoalan rumit dan membaut simbol-simbol rahasia matematika
menjadi sinar yang memberi terang bagi kami, Bu Mus memerhatikan dengan seksama
bukan hanya apa yang diucapkan Lintang tapi juga pendekatannya dalam menjelaskan.
Lalu beliau menggeleng-gelengkan kepalanya, komat-kamit, berbicara sendiri tak jelas
seperti orang menggerendeng. Belakangan aku tahu apa yang dikomat-kamitkan beliau.;
Bu Mus mengucapkan pelan-pelan kata-kata penuh kagum,
“Subhanallah….Subhanallah….”
“Yang paling membuatku terpesona,” cerita Bu Mus pada ibuku. “Adalah
kemampuannya menemukan jawaban dengan cara lain, cara yang tak pernah terpikirkan
olehku,” sambungnya sambil membetulkan jilbab.
“Lintang mampu menjawab sebuah pertanyaan matematika melalui paling tidak
tiga cara, padahal aku hanya mengajarkan satu cara. Dan ia menunjukkan padaku
bagaimaan menemukan jawaban tersebut melalui tiga cara lainnya yang tak pernah
sedikit pun aku ajarkan! Logikanya luar biasa, daya pikirnya meluap-luap. Aku sudah tak
bisa lagi mengatasi anak pesisir ini Ibunda Guru.”
Bu Mus tampak bingung sekaligus bangga memiliki murid sepandai itu.
Sebaliknya, ibuku, seperti biasa, sangat tertarik pada hal-hal yang aneh.
“Ceritakan lagi padaku kehebatannya yang lain,” pancing beliau memanasi Bu
Mus sambil memajukan posisi duduknya, mendekatkan keminangan tempat cupu-cupu
gambir dan kapur, lalu meludahkan sirih melalui jendela rumah panggung kami.
Dan tak ada yang lebih membahagiakan seorang guru selain mendapatkan seorang
murid yang pintar. Kecemerlangan Lintang membawa gairah segar di sekolah tua kami
yang mulai kehabisan napas, megap-megap melawan paradigma materialisme sistem
pendidikan zaman baru. Sekarang suasana belajar mengajar di sekolah kami menjadi
berbeda karena kehadiran Lintang, hanya tinggal menunggu kesempatqan saja baginya
untuk mengharumkan nama perguruan Muhammadiyah. Lintang dengan segala daya tarik
kecerdasannya daalah gemerincing tamborin yang nakal, bernada miring, dalam alunan
stambulgayalama. Dialah mantar dalam rima-rima gurindam yang itu-itu saja. Dia ikan
lele yang menggeliat dalam timbunan lumpur berku kemarau sekolah kami yang telah
bosan dihina. Tubuhnya yang kurus menjadi siku-siku yang mengeakkan kembali tiang
utama perguruan Muhammadiyah yang bahkan belum tentu tahun depan mendapatkan
murid baru.
Dewan guru tak henti-hentinya membicarakan nilai rapor Lintang. Angka
sembilan berjejer mulai dari pelajaran aqaid(akidah), Al-Qur’an, fikih, tarikh Islam, budi
pekerti, kemuhammadiyahan, pendidikan kewarganegaraan, ilmu bumi, dan bahasa
Inggris.
Untuk biologi, matematika dan semua variannya: ilmu ukur, aritmatika, aljabar,
dan ilmu pengetahuan alam bahkan Bu Mus berani bertanggung jawab untuk memberi
nilai sempurna: sepuluh. Kehebatan Lintang tak terbendung, kepiawaiannya mulai
kondang ke seantero kampung. Dan yang lebih mendebarkan, karena reputasinya itu,
kami dipertimbangkan untuk diundang mengikuti lomba kecerdasan antarsekolah yang
daat menaikkan gengsi sekolah setinggi rasi bintang Auriga. Sudah demikian lama kami
tak diundang dalam acara bergengsi ini karena prestasi sekolah selalu di bawah rata-rata.
Nilai terendah di rapor Lintang, yaitu delapan, hanya pada mata pelajaran
kesenian. Walaupun sudah berusaha sekuat tenaga dan mengerahkan segenap daya pikir
dia tak mampu mencapai angka sembilan karena tak memapu bersaing dengan seorang
pria muda berpenampilan eksentrik, bertubuh ceking, dan berwajah tampan yang duduk
di pojoksanasebangku denganTrapani. Nilai sembilan untuk pelajaran kesenian selalu
milik pria itu, namanya Mahar.
BAB XII
M A H A R
BAKAT laksana Area 51 di GurunNevada, tempat di mana mayat-mayat alien
disembunyikan: misterius! Jika setiap orang tahu dengan pasti apa bakatnya maka itu
adalah utopia. Sayangnya utopia tak ada dalam dunia nyata. Bakat tidak seperti alergi,
dan ia tidak otomatis timbul seperti jerawat, tapi dalam banyak kejadian ia harus
ditemukan.
Banyak orang yang berusaha mati-matian menemukan bakatnya dan banyak pula
yang menunggu seumur hidup agar bakatnya atau dirinya ditemukan, tapi lebih banyak
lagi yang merasa dirinya berbakat padahal tidak. Bakat menghinggapi orang tanpa
diundang. Bakat main bola seperti Van Basten mungkin diam-diam dimiliki sorang
tukang taksir di kantor pegadaian di Tanjong Pandan. Seorang Karl Marx yang lain bisa
saja sekarang sedang duduk menjaga wartel di sebuah kampus diBandung. Seorang
kondektur ternyata adalah John Denver, seorang salesmanternyata berpotensi menjadi
penembak jitu, atau salah seorang tukang nasi bebek diSurabayaternyata berbakat
menjadi komposer besar seperti Zuybin Mehta.
Namun, mereka sendiri tak pernah mengetahui hal itu. Si tukang taksir terlalu
sibuk melayani orang Belitong yang kehabisan uang sehingga tak punya waktu main
bola, sang penjaga wartel sepanjang hari hanya duduk memandangi struk yang menjulur-julur dari
printer Epson yang bunyinya merisaukan seperti lidah wanita dalam film
Perempuan Berambut Api, kondektur dan salesmansetiap hari mengukur jalan, dan
lingkungan si tukang nasi bebek sama sekali jauh dari sesuatu yang berhubungan dengan
musik klasik. Ia hanya tahu bahwa jika mendengarkan orkestra telinganya mampu
melacak nada demi nada yang berdenting dari setiap instrumen dan hatinya bergetar
hebat. Sayangnya sepanjang hidupnya ia tak pernah mendapat kesempatan sekali pun
memegang alat musik, dan tak juga pernah ada seorang pun yang menemukannya. Maka
ketika ia mati, bakat besar gilang gemilang pun ikut terkubur bersamanya. Seperti
mutiara yang tertelan kerang, tak pernah seorang pun melihat kilaunya.
Karena bakat sering kali harus ditemukan, maka ada orang yang berprofesi
sebagai pemandu bakat. Di Amerika orang-orang seperti ini khusus berkeliling dari satu
negara bagian ke negara baigan lain untuk mencari pemain baseballpotensial. Jika—satu
di antara sejuta kemungkinan—orang ini tak pernah menghampiri seseorang yang
sesungguhnya berbakat, maka hanya nasib yang menentukan apakah bakat seseorang
tersebut pernah ditemukan atau tidak, pelajaran moral nomor empat: Ternyata nasib yang
juga sangat misterius itu adalah seorang pemandu bakat! Hal ini paling tidak dibuktikan
oelh Forest Gump, jika ia tidak mendaftar menjadi tentara dan jika ia tidak mengikuti
kegiatan ekstrakurikuler di barak pada suatu sore maka mungkin ia tak pernah tahu kalau
ia sangat berbakat bermain tenis meja. Ritchie Blackmore juga begitu, kalau orang tuanya
membelikan papan catur untuk hadiah ulang tahun mungkin ia tak pernah tahu kalau dia
berbakat menjadi seorang gitaris classic rock.
Dan di siang yang panas menggelegak ini, ketika pelajaran seni suara, di salah
satu sudut kumuh perguran miskin Muhammadiyah, kami menjadi saksi bagaimana nasib
menemukan bakat Mahar. Mulanya Bu Mus meminta A Kiong maju ke depan kelas
untuk menyanyikan sebuah lagu, dan seperti diduga—hal ini sudah delapan belas kali
terjadi—ia akan membawakan lagu yang sama yaitu Berkibarlah Benderaku karya Ibu
Sud.
“…berkiballah bendelaku….”
“…lambang suci gagah pelwila ….”
“… bergelak-bergelak! Selentak … selentak …!”
A Kiong membawakan lagu itu dengangayamars tanpa rasa sama sekali. Ia
memandang keluar jendela dan pikirannya tertuju pada labu siam yang merambati dahan-dahan
rendah filiciumserta buah-buahnya yang gendut-gendut bergelantungan. Ia bahkan
tidak sedikit pun memandang ke arah kami. Ia mengkhianati penonton.
Telinganya tak mendengarkan suaranya sendiri karena ia agaknya mendengarkan
suara ribut burung-burung kecil prenjak saya pgaris yang berteriak-teriak beradu kencang
dengan suara kumbang-kumbang betina pantat kuning. Ia tak mengindahkan jangkauan
suaranya serta atk ambil pusing dengan notasi. Kali ini ia mengkhianati harmoni.
Kami juga tak memerhatikannya bernyanyi. Lintang sibuk dengan rumus
phytagoras, Harun tertidur pulas sambil mendengkur, Samson menggambar seorang pria
yang sedang mengangkat sebuah rumah dengan satu tangan kiri.Saharaasyik menyulam
kruistik kaligrafi tulisan Arab Kulil Haqqu Walau Kana Murronartinya: Katakan
kebenaran walaupun pahitdanTrapanimelipat-lipat sapu tangan ibunya. Sementara itu
Syahdan, aku dan Kucai sibuk mendiskusikan rencana kami menyembunyikan sandal Pak
Fahimi (guru kelas empat yang galak itu) di Masjid Al-Hikmah. Mahar adalah orang
satu-satunya yang menyimaknya. Sedangkan Bu Mus menutup wajahnya dengan kedua
tangan, beliau berusaha keras menahan kantuk dan tawa mendengar lolongan A Kiong.
Lalu giliran aku. Tak kalah membosankan, lebih membosankan malah. Setelah
dimarahi karena selalu menyanyikan lagu Potong Bebek Angsa, kini aku membuat sedikit
kemajuan dengan lagu baru Indonesia Tetap Merdekakarya C. Simanjuntak yang
diaransemen Damoro IS. Ketika aku mulai menyanyi Sahar mengangkat sebentar
wajahnya dari kruistiknya dan terang-terangan memandangku dengan jijik karena aku
menyanyikan lagu cepat-tegap itu dengan nada yang berlari-lari liar sesuka hati, kesana
kemari tanpa harmonisasi. Aku tak peduli dengan pelecehan itu dan tetap bersemangat.
“…Sorak-sorai bergembira…bergembira semua….”
“…telah bebas negeri kita…Indonesia merdeka ….”
Namun, aku menyanyi melompati beberapa oktaf secara drastis tanpa dapat
kukendalikan sehingga tak ada keselarasan nada dan tempo. Aku telah mengkhianati
keindahan.
Kali ini Bu Mus sudah tak bisal agi menahan tawanya, beliau terpingkal-pingkal
sampai berair matanya. Aku berusaha keras memperbaiki harmonisasi lagu itu tapi
semakin keras aku berusaha semakin aneh kedengarannya. Inilah yang dimaksud dengan
tidak punya bakat. Aku susah payah menyelesaikan lagu itu dan teman-temanku sama
sekali tak mengindahkan penderitaanku karena mereka juga menderita menahan kantuk,
lapar, dan haus di tengah hari yang panas ini, dan batin mereka semakin tertekan karena
mendengar suaraku.
Bu Mus menyelamatkan aku dengan buru-buru menyuruhku berhenti bernyanyi
sebelum lagu merdu itu selesai, dan sekarang beliau menunjuk Samson. Kenyataannya
semakin parah, Samson menyanyikan lagu yang berjudul Teguh Kukuh Berlapis Baja
juga karya C. Simanjuntak sesuai dengan citra tubuh raksasanya. Ia menyanyikan lagu itu
dengan sangat nyaring sambil menunduk dalam dan menghentak-hentakkan kakinya
dengan keras.
“…Teguh kukuh berlapis baja!”
“…rantai smangat mengikat padu!”
“…tegak bentengIndonesia!”
Tapi ia juga sama sekali tidak tahu konsep harmonisasi sehingga ia menjadikan
lagu itu seperti sebuah lagu lain yang belum pernah kami kenal. Ia mengkhianati C.
Simanjuntak. Maka sebelum bait pertama selesai, Bu Mus segera menyuruhnya kembali
ke tempat duduk. Samson membatu, tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya,
ia terheran-heran.
“mengapa aku dihentikan, Ibunda Guru …?”
Inilah yang dimaksud dengan tak punya bakat dan tak tahu diri.
Maka seni suara adalah mata pelajaran yang paling tidak prospektif di kelas kami.
Oleh karena itu, ia ditempatkan di bagian akhir paling siang. Fungsinya hanya untuk
menunggu waktu Zuhur, yaitu saatnya kami pulang, atua untuk sekadar hiburan bagi Bu
Mus karena dengan menyuruh kami bernyanyi beliau bisa menertawakan kami. Pada
umumnya kami memang tak bisa menyanyi. Bahkan Lintang hanya bisa menampilkan
dua buah lagu, yaitu Padamu Negeridan Topi Saya Bundar. Lagu tentang topi ini adlaah
lagu superringkas dengan bait yang dibalik-balik. Lintang menyanyikannya dengan
tergesa-gesa sehingga seperti rapalan agar tugas itu cepat selesai.
Adapun Trapani, sejak kelas satu SD tak pernah menyanyikan lagu lain selain
lagu Kasih Ibu Sepanjang Jalan. Sahar menyanyikan lagu Rayuan Pulau Kelapadengan
gaya seperti seriosa yang menurut dia sangat bagus padahal sumbangnya minta ampun.
Sedangkan Kucai—juga dari kelas satu SD—hanya menampilkan dua buah lagu yang
sama, kalau tidak lagu Rukun Islamia akan menyanyikan lagu Rukun Iman.
“Masih ada lima menit sebelum azan zuhur. Ah, masih bisa satu lagu lagi,” kata
Bu Mus sambil tersenyum simpul. Kami memandang beliau dengan benci.
“Ibunda, kenapa tak pulang saja!”
Kami sudah mengantuk, lelah, lapar, dan haus. Siang ini panas sekali. Burungburung
prenjak sayap garis semakin banyak dan tak mau kalah dengan kumbangkumbang
betina pantat kuning. Kadang-kadang mereka hinggap di jendela kelas sambil
menjerit sejadi-jadinya, menimbulkan suara bising yang memusingkan bagi perut-perut
yang keroncongan.
“Nah, sekarang giliran ….” Bu Mus memandangi kami satu per satu untuk
menjatuhkan pilihan secara acak … dan kali ini pandangannya berhenti pada Mahar.
“Ya, Mahar, silakan ke depan anakku, nyanyikan sebuah lagu sambil kita
menunggu azan zuhur.”
Bu Mus terus tersenyum mengantisipasi kekonyolan apa lagi yang akan
ditampilkan muridnya. Sebelumnya kami tak pernah mendengar Mahar bernyanyi, karena
setiap kali tiba gilirannya, azan zuhur telanjur berkumandang sehingga ia tak pernah
mendapat kesempatan tampil.
Kami tidak peduli ketika Mahar beranjak. Ia menyandang tasnya, sebuah karung
kecampang, karena ia juga sudah bersiap-siap akan pulang. Kami sibuk sendiri-sendiri.
Sahara sama sekali tak memalingkan wajah dari kruistiknya, Lintang terus menghitung,
Samson masih menggambar, dan yang lain asyik berdiskusi. Mahar melangkah ke depan
dengan tenang, anggun, tak tergesa-gesa.
Di depan kelas ia tak langsung menyanyikan lagu pilihannya, tapi menatap kami
satu per satu. Kami terheran-heran melihat tingkahnya yang ganjil, namun tatapannya
penuh arti, seperti sebuah tatapan kerinduan dari seorang penyanyi pop gaek yang
melakukan konser khusus untuk para ibu-ibu single parent, dan kaum ibu ini adalah para
penggemar setia yang sudah amat lama tak bersua dengan sang artis nostalgia.
Setelah memandangi kami cukup lama, ia memalingkan wajahnya ke arah Bu Mus
sambil tersenyum kecil dan menunduk, layaknya peserta lomba bintang radio yang
memberi hormat kepada dewan juri. Mahar merapatkan kedua tangannya di dadanya
seperti seniman India, seperti orang memohon doa. Tampak jelas jari-jari kurusnya yang
berminyak seperti lilin dan ujung-ujung kukunya yang bertaburan bekas-bekas luka kecil
sehingga seluruh kukunya hampir cacat. Sejak kelas dua SD Mahar bekerja sampingan
sebagai pesuruh tukang parut kelapa di sebuah toko sayur milik seorang Tionghoa
miskin. Tangannya berminyak karena berjam-jam meremas ampas kelapa sehingga
tampak licin, sedangkan jemari dan kukunya cacat karena disayat gigi-gigi mesin parut
yang tajam dan berputar kencang. Mesin itu mengepulkan asap hitam dan harus
dihidupkan dengan tenaga orang dewasa dengan cara menarik sebuah tuas berulangulang.
Bunyi mesin itu juga merisaukan, suatu bunyi kemelaratan, kerja keras, dan hidup
tanpa pilihan. la membantu menghidupi keluarga dengan menjadi pesuruh tukang parut
karena ayahnya telah lama sakit-sakitan.
Bu Mus membalas hormat takzimnya yang santun dengan tersenyum ganjil. “Anak
muda ini pasti tak pandai melantun tapi jelas ia menghargai seni," mungkin demikian
yang ada dalam hati Bu Mus. Tapi tetap saja beliau menahan tawa. Lalu Mahar
mengucapkan semacam prolog.
“Aku akan membawakan sebuah lagu tentang cinta Ibunda Guru, cinta yang
teraniaya lebih tepatnya ...."
Tuhanku! Kami terperangah dan Bu Mus terkejut. Prolog semacam ini tak pernah
kami lakukan, dan tema lagu pilihan Mahar sangat tak biasa. Lagu kami hanya tiga macam
yaitu: lagu nasional, lagu kasidah, dan lagu anak-anak. Lagu apakah gerangan yang
akan dibawakan anak muda berwajah manis ini? Kini kami semua memandanginya dengan heran,
Sahara melepaskan kruistiknya. Belum sempat kami mencerna ia
menyambung kalem dengangayaseperti seorang bijak berpetuah.
"Lagu ini bercerita tentang seseorang yang patah hati karena kekasih yang sangat ia
cintai direbut oleh teman baiknya sendiri ...."
Mahar tercenung syahdu, tatapan matanya kosong jauh melintasi jendela, jauh
melintasi awan-awan berarakan, hidup memang kejam ....
Bu Mus termenung ragu-ragu. Beliau menatap Mahar sambil tersenyum penuh
tanda tanya. Hati kami juga penasaran. Lalu Bu Mus mengambil sebuah keputusan
yang puitis.
"Jalan ke ladang berliku-liku, jangan lewat hutan cemara, segera nyanyikan
lagumu, biar kutahu engkau merana ...."
Mahar tersenyum dalam duka.
"Terima kasih Ibunda Guru."
Mahar bersiap-siap, kami menunggu penuh keingintahuan, dan kami semakin
takjub ketika ia membuka tasnya dan mengeluarkan sebuah alat musik: ukulele!
Suasana jadi hening dan kemudian perlahan-lahan Mahar memulai intro lagunya
dengan memainkan melodi ukulele yang mendayu-dayu, ukulele itu dipeluknya dengan
sendu, matanya terpejam, dan wajahnya syahdu penuh kesedihan yang mengharu biru,
pias menahankan rasa. Jiwanya seolah terbang tak berada di tempat itu. Lalu dengan
interludeyang halus meluncurlah syair-syair lagu menakjubkan dalam tempo pelan
penuh nuansa duka yang dinyanyikan dengan keindahan andante maestosoyang tak
terlukiskan kata-kata
"...I was dancing with my darling to the Tennesse waltz..."
"... when an old friend I happened to see..."
"... intoduced her to my love one and while they were dancing...
"... my friend stole my sweetheart from me..."
Seketika kami tersentak dalam pesona, itulah lagu Tennesse Waltzyang sangat
terkenal karya Anne Muray, dan lagu itu dibawakan Mahar dengan teknik menyanyi
seindah Patti Page yang melambungkan lagu lama itu. Ritme ukulele mengiringi vibrasi
sempurna suaranya disertai sebuah penghayatan yang luar biasa sehingga ia tampak
demikian menderita karena kehilangan seorang kekasih.
Syair demi syair lagu itu merambati dinding-dinding papan tua kelas kami,
hinggap di daun-daun kecil linariaseperti kupu-kupu cantik thistle crescent, lalu
terbang hanyut dibawa awan-awan tipis menuju ke utara. Suara Mahar terdengar pilu
merasuki relung hati setiap orang yang ada di ruangan. Intonasinya lembut membelaibelai
kalbu dan Mahar memaku hati kami dalam rasa pukau menyaksikannya menyanyi
sambil menitikkan air mata. Apa pun yang sedang kami kerjakan terhenti karena kami
telah terkesima. Kami tersihir oleh aura seni yang terpancar dari sosok anak muda
tampan yang menyanyi dari jiwanya, bukan hanya dari mulutnya, sehingga lagu itu
menjadi sebuah simfoni yang agung. Kami terbawa suasana melankolis karena Mahar
benar-benar mengembuskan napas lagu itu. Rasa kantuk, lapar, dan dahaga menjadi tak
terasa. Bahkan kumbang-kumbarrg dan kawanan burung prenjak sayap garis menjadi
senyap, berhenti menjerit-jerit demi mendengar lantunannya. Suhu udara yang panas
perlahan-lahan menjadi sejuk menghanyutkan.
Ketika Mahar bernyanyi seluruh alam diam menyimak. Kami merasakan sesuatu
tergerak di dalam hati bukan karena Mahar bernyanyi dengan tempo yang tepat, teknik
vokal yang baik, nada yang pas, interpretasi yang benar, atau chordukulele yang
sesuai, tapi karena ketika ia menyanyikan Tennesse Waltzkami ikut merasakan
kepedihan yang mendalam seperti kami sendiri telah kehilangan kekasih yang paling
dicintai. Kemampuan menggerakkan inilah barangkali yang dimaksud dengan bakat.
Siang itu, ketika sedang menunggu azan zuhur, ternyata seorang seniman besar telah
lahir di sekolah gudang kopra perguruan Muhammadiyah. Mahar mengakhiri lagunya
secara fade outdisertai linangan air mata.
“... I lost my litle darling the night they were playing the beautiful Tennesse
waltz..."
Dan kami serentak berdiri memberi standing applauseyang sangat panjang
untuknya,limamenit! Bu Mus berusaha keras menyembunyikan air mata yang
menggenang berkilauan di pelupuk mata sabarnya.
Tak dinyana, beberapa menit yang lalu, ketika Bu Mus menunjuk Mahar secara
acak untuk menyanyi, saat itulah nasib menyapanya. Itulah momen nasib yang sedang
bertindak selaku pemandu bakat. Siang ini, komidi putar Mahar mulai menggelinding
dalam velositas yang bereskalasi.
BAB XIII
JAM TANGAN PLASTIK MURAHAN
SETELAH tampil dengan lagu memukau Tennesse Waltzkami menemukan Mahar
sebagai lawan virtual rasionalitas Lintang. Ia adalah penyeimbang perahu kelas kami
yang cenderung oleng ke kiri karena tarikan otak kiri Lintang. Sebaliknya, otak sebelah
kanan Mahar meluap-luap melimpah ruah. Mereka berdua membangun tonggak artistik
daya tarik kelas kami sehingga tak pernah membosankan.
Jika Lintang memiliki level intelektualitas yang demikian tinggi maka Mahar
memperlihatkan bakat seni selevel dengan tingginya inteligensia Lintang. Mahar
memiliki harnpir setiap aspek kecerdasan seni yang tersimpan seperti persediaan
amunisi kreativitas dalam lokus-lokus di kepalanya. Kapasitas estetika yang tinggi
melahirkannya sebagai seniman serba bisa, ia seorang pelantun gurindam, sutradara
teater, penulis yang berbakat, pelukis natural, koreografer, penyanyi, pendongeng yang
ulung, dan pemain sitar yang fenomenal.
Lintang dan Mahar seperti Faraday kecil dan Warhol mungil dalam satu kelas, atau
laksana Thomas Alva Edison muda dan Rabindranath Tagore junior yang berkumpul.
Keduanya penuh inovasi dan kejutan-kejutan kreativitas dalam bidangnya masing-masing.
Tanpa mereka, kelas kami tak lebih dari sekumpulan kuli tambang melarat yang
mencoba belajar tulis rangkai indah di atas kertas bergaris tiga.
Dan di antara mereka berdua kami terjebak di tengah-tengah seperti orang-orang
dungu yang ditantangColumbusmendirikan telur. Karena Lintang dan Mahar duduk
berseberangan maka kami sering menoleh ke kiri dan ke kanan dengan cepat, persis
penonton pertandingan pingpong, terkagum-kagum pada kegeniusan mereka.
Jika tak ada guru, Lintang tampil ke depan, menggambar rangkaian teknik
bagaimana membuat perahu dari pelepah sagu. Perahu ini digerakkan baling-baling yang
disambungkan dengan motor yang diambil dari tape recorderdan ditenagai dua buah
batu baterai. Ia membuat perhitungan matematis yang canggih untuk memanipulasi gerak
mekanik motor tapedan menjelaskan kepada kami hukum-hukum pokok hidrolik.
Perhitungan matematikanya itu dapat memperkirakan dengan sangat akurat laju
kecepatan perahu berdasarkan massanya. Aku terpesona melihat perahu kecil itu
berputar-putar sendiri di dalam baskom.
Setelah itu Mahar maju, menundukkan kepala dengan takzim di depan kami seperti
seniman istana yang ingin bersenandung atas perkenan tuan raja, lalu dengan manis ia
membawakan lagu Leaving on a Jet Planedengan gitarnya dengan ketukan-ketukan
bernuansa hadrah. Di tangan orang yang tepat musik ternyata bisa menjadi demikian
indah. Mahar juga membaca beberapa bait puisi parodi tentang orang-orang Melayu yang
mendadak kaya atau tentang burung-burung putih di Pantai Tanjong Kelayang. Mahar
dengan aksesori-aksesori etniknya ibarat orang yang dititipi Engelbert Humperdink suara
emas dan diwarisi Salvador Dali sikap-sikap nyentrik. Persahabatannya dengan para
seniman lokal dan seorang penyiar radio AM yang memiliki beragam koleksi musik
memperkaya wawasan seni dan perbendaharaan lagu Mahar.
Pada kesempatan lain Lintang mempresentasikan percobaan memunculkan arus
listrik dengan mengerak-gerakkan magnet secara mekanik dan menjelaskan prinsip-prinsip kerja
dinamo. Mahar memperagakan cara membuat sketsa-sketsa kartun dan cara
menyusun alur cerita bergambar. Lintang menjelaskan aplikasi geometri dan aerodinamika dalam
mendesain layangan, Mahar menceritakan kisah yang memukau tentang bangsa-bangsa yang punah.
Pernah juga Lintang menyusun potongan-potongan kaca yang dibentuk cekung seperti parabola dan
menghadapkannya ke arah matahari agar
mendapatkan suhu yang sangat tinggi, rancangan energi matahari katanya. Sebaliknya
Mahar tak mau kalah, ia menggotong sebuah meja putar dan mendemonstrasikan seni
membuat gerabah yang indah, teknik-teknik melukis gerabah itu dan mewarnainya.
Lintang memperagakan cara kerja sekstan dan menjelaskan beberapa perhitungan
matematika geometris dengan alat itu, Mahar membaca puisi yang ditulisnya sendiri
dengan judul Doadan dibawakan secara memukau dengangayatilawatil Qur'an, belum
pernah aku melihat orang membaca puisi seperti itu.
Kadang kala mereka berkolaborasi, misalnya Mahar menginginkan sebuah gitar
elektrik yang gampang dibawa seperti tas biasa, sehingga tak merepotkan jika naik
sepeda, maka Lintang datang dengan sebuah desain produk yang belum pernah ada dalam
industri instrumen musik, yaitu desain stang gitar yang dipotong lalu dipasangi semacam
engsel sehingga terciptalah gitar yang bisa dilipat. Sungguh istimewa. Sudah banyak aku
melihat keanehan di dunia pentas—misalnya pemain biola yang ketiduran ketika sedang
manggung, panggung yang roboh, musisi yang menghancurkan alat-alat musik, pemain
gitar yang kesetrum, seorang pria midlandyang makan kelelawar, atau orang-orang
kampung yang meniru-niru Mick Jagger—tapi gitar dilipat sehingga menjadi seperti
papan catur, baru kali ini aku saksikan. Dan jika Mahar dan Lintang beraksi, kami
berkumpul di tengah-tengah kelas, bertumpuk-tumpuk kegirangan, terbuai keindahan,
dan menggumamkan subhanallah berulang-ulang, atas dua macam kepintaran mengasyikkan yang
dianugerahkan Ilahi kepada mereka.
Mahar sangat imajinatif dan tak logis—seseorang dengan bakat seni yang sangat
besar. Sesuatu yang berasal dari Mahar selalu menerbitkan inspirasi, aneh, lucu, janggal,
ganjil, dan menggoda keyakinan. Namun, mungkin karena otak sebelah kanannya benar-benar aktif
maka ia menjadi pengkhayal luar biasa. Di sisi lain ia adalah magnet, simply
irresistable!
Ia penggemar berat dongeng-dongeng yang tidak masuk akal dan segala sesuatu
yang berbau paranormal. Tanyalah padanya hikayat lama dan mitologi setempat, ia hafal
luar kepala, mulai dari dongeng naga-naga raksasa Laut Cina Selatan sampai cerita raja
berekor yang diyakininya pernah menjajah Belitong.
Ia sangat percaya bahwa alienitu benar-benar ada dan suatu ketika nanti akan turun
ke Belitong menyamar sebagai mantri suntik di klinik PN Timah, penjaga sekolah,
muazin di Masjid Al-Hikmah, atau wasit sepak bola. Dalam keadaan tertentu ia sangat
konyol misalnya ia menganggap dirinya ketua persatuan paranormal internasional yang
akan memimpin perjuangan umat manusia mengusir serbuan alien dengan kibasan daun-daun
beluntas.
Aku ingat kejadian ini, suatu ketika untuk nilai rapor akhir kelas enam, Bu Mus
yang berpendirian progresif dan terbuka terhadap ide-ide baru, membebaskan kami berekspresi.
Kami diminta menyetor sebuah master piece, karya yang berhak mendapat
tempat terhormat, dipajang di ruang kepala sekolah. Maka esoknya kami membawa celengan bebek
dari tanah liat dan asbak dari cetakan lilin. Sebagian lainnya membawa
replika rumah panggung Melayu dari bahan perdu apit-apit dan simpai dari jalinan rotan
untuk mengikat sapu lidi.Trapanimenyetorkan peta Pulau Belitong yang dibuat dari
serbuk kayu. Syahdan membuat karya yang persis sama tapi bahannya bubur koran, jelek
sekali dan busuk baunya.
Harun menyetorkan tiga buah botol bekas kecap, itu saja, botol kecap! Tak lebih
tak kurang. Aku sendiri hanya mampu membuat tirai dari biji-biji buah berang yang
dikombinasikan dengan tali rapiah yang digulung kecil-kecil. Setiap tiga buah biji berang
berarti satu ketupat kecil tali rapiah berwarna-warni. Sebuah karya norak yang sangat
tidak berseni.
Tapi masih mending. A Kiong membuat lampion tanpa perhitungan akal sehat.
Ketika dinyalakan lampion itu terbakar berkobar-kobar sehingga dengan terpaksa, demi
keamanan, Samson melemparkan benda itu keluar jendela. Padahal A Kiong tak tidur
barang sepicing pun membuatnya. Karena karya kami sangat tidak memuaskan, kami
semua mendapat nilai tak lebih dari angka 6,5. Sungguh tak sebanding dengan jerih
payah yang dikeluarkan.
Amat berbeda dengan Mahar. Ia datang membawa sebuah bingkai besar yang
ditutupi selembar kain hitam. Kami sangka ia membuat sebuah lukisan. Tapi setelah kain
itu pelan-pelan dilucuti, sangat mengejutkan! Di baliknya muncul semacam cetakan
tenggelam di atas batu apung. Cetakan kerangka seekor makhluk purbakala yang sangat
janggal dan mengesankan sangat buas.
Makhluk ini bukan acanthopholis, sauropodomorphas, kera anthropoid, dinosaurus
atau saurus-saurus semacamnya, dan bukan pula makhluk-makhluk prasejarah seperti
yang telah kita kenal. Sebaliknya, Mahar membuat sebuah cetakan fosil kelelawar
raksasa semacam Palaeochiropterxy tupaiodontapi dengan bentuk yang dimodifikasi
sehingga tampak ganjil dan mengerikan. Anatomi makhluk itu tentu tak pernah
teridentifikasi oleh para ahli karena ia hanya ada di kepala Mahar, di dalam imajinasi
seorang seniman.
Fosil di atas batu apung tipis itu dibuat begitu orisinal sehingga mengesankan
seperti temuan paleontologi yang autentik. Ia menggunakan semacam lapisan karbon
untuk memperkuat kesan purba pada setiap detail fosil itu. Lalu karyanya dibingkai
dengan potongan-potongan balak lapuk yang sudut-sudutnya diikat tali pohon jawi agar
kesan purbanya benar-benar terasa.
"Inilah seni, Bung!" khotbahnya di hadapan kami yang terkesima. Gayanya seperti
pesulap sehabis membuka genggaman tangan untuk memperlihatkan burung merpati.
Dan ia mendapat angka sembilan, tak ada lawannya. Angka itu adalah nilai
kesenian tertinggi yang pernah dianugerahkan Bu Mus sepanjang karier mengajarnya.
Bahkan Lintang sekalipun tak berkutik.
Imajinasi Mahar meloncat-loncat liar amat mengesankan. Sesungguhnya, seperti
Lintang, ia juga sangat cerdas, dan aku belum pernah menjumpai seseorang dengan
kecerdasan dalam genre seperti ini. Ia tak pernah kehabisan ide. Kreativitasnya tak
terduga, unik, tak biasa, memberontak, segar, dan menerobos. Misalnya, ia melatih kera
peliharaannya sedemikian rupa sehingga mampu berperilaku layaknya seorang instruktur.
Maka dalam sebuah penampilan, keranya itu memerintahkannya untuk melakukan
sesuatu yang dalam pertunjukan biasa hal itu seharusnya dilakukan sang kera. Sang kera
dengangayaseorang instruktur menyuruh Mahar bernyanyi, menari-nari, dan berakrobat.
Mahar telah menjungkirbalikkan paradigma seni sirkus, yang menurutku merupakan
sebuah terobosan yang sangat genius.
Pada kesempatan lain Mahar bergabung dengan grup rebana Masjid Al-Hikmah
dan mengolaborasikan permainan sitar di dalamnya. Jika grup ini mendapat tawaran
mengisi acara di sebuah hajatan perkawinan, para undangan lebih senang menonton
mereka daripada menyalami kedua mempelai.
Mahar pula yang membentuk sekaligus menyutradarai grup teater kecil SD
Muhammadiyah. Penampilan favorit kami adalah cerita perang Uhud dalam episode Siti
Hindun. Dikisahkan bahwa wanita pemarah ini mengupah seorang budak untuk
membunuh Hamzah sebagai balas dendam atas kematian suaminya. Setelah Hamzah mati
wanita itu membelah dadanya dan memakan hati panglima besar itu. A Kiong
memerankan Hamzah, danSaharasangat menikmati perannya sebagai Siti Hindun. Juga
karena inisiatif Mahar, akhirnya kami membentuk sebuah grup band. Alat-alat musik
kami adalah electoneyang dimainkanSahara, standing bassyang dibetot tanpa ampun
oleh Samson, sebuah drum, tiga buah tabla, serta dua buah rebana yang dipinjam dari
badan amil Masjid Al-Hikmah.
Pemain rebana adalah aku dan A Kiong. Mahar menambahkan kendang dan
seruling yang dimainkan secara sekaligus olehTrapanimelalui bantuan sebuah kawat
agar seruling tersebut dapat dijangkau mulutnya tanpa meninggalkan kendang itu. Maka
pada aransemen tertentuTrapanileluasa menggunakan tangan kanannya untuk menabuh
kendang sementara jemari tangan kirinya menutup-nutup enam lubang seruling. Sebuah
pemandangan spektakuler seperti sirkus musik. Setiap wanita muda dipastikan bertekuk
lutut, terbius seperti orang mabuk sehabis kebanyakan makan jengkol jika melihat
Trapaniyang tampan berimprovisasi.Trapaniadalah salah satu daya tarik terbesar band
kami. Hanya ada sedikit masalah, yaitu ia mogok tampil jika ibunya tidak ikut menonton.
Insiden sempat terjadi pada awal pembentukan bandini karena Harun bersikeras
menjadi drumer padahal ia sama sekali buta nada dan tak paham konsep tempo.
. "Dengarkan musiknya, Bang, ikuti iramanya," kata Mahar sabar.
"Drum itu tak bisa kauperlakukan semena-mena."
Setelah dimarahi seperti itu biasanya Harun tersenyum kecil dan memperhalus
tabuhannya. Tapi itu tak berlangsung lama. Beberapa saat kemudian, meskipun kami
sedang membawakan irama bertempo pelan nan syahdu, misalnya lagu Semenanjung Tak
Seindah Wajahyang syairnya bercerita tentang seorang pria Melayu duafa meratapratap
karena ditipu kekasihnya, Harun kembali menghantam drum itu sekuat tenaganya seperti
memainkan lagu rockDeep Purple yang berjudul Burn. Dan ia sendiri tak pernah tahu
kapan harus berhenti. la hanya tertawa riang dan menghantam drum itu sejadi-jadinya.
Mahar tetap sabar menghadapi Harun dan berusaha menuntunnya pelan-pelan,
namun akhirnya kesabaran Mahar habis ketika kami membawakan lagu Light My Fire
milik The Doors. Di sepanjang lagu yang inspiratif itu Harun menghajar hithat, tenor
drum, simbal, serta menginjak-injak pedal bass drumsejadi-jadinya. Dengan stik drum ia
menghajar apa saja dalam jangkauannya, persis drumer Tarantula melakukan end fill
untuk menutup lagu rockdangdut Wakuncar.
"Dengar kata adikmu ini, Abangda Harun, kalau Abang bermain drum seperti itu
bisa-bisa Jim Morrison melompat dari liang kuburnya!"
Diperlukan waktu berhari-hari dan permen asam jawa hampir setengah kilo untuk
membujuk Harun agar mau melepaskan jabatan sebagai drumer dan menerima promosi
jabatan baru sebagai tukang pikul drum itu ke mana pun kami tampil.
Mahar adalah penata musik setiap lagu yang kami bawakan dan racun pada setiap
aransemennya menyengat ketika ia memainkan melodi dengan sitarnya. Ia
berimprovisasi, berdiri di tengah pertunjukan, dan dengan wajah demikian syahdu ia
mengekspresikan setiap denting senar sitar yang bercerita tentang daun-daun pohon
bintang yang melayang jatuh di permukaan Sungai Lenggang yang tenang lalu hanyut
sampai jauh ke muara, tentang angin selatan yang meniup punggung Gunung Selumar,
berbelok dalam kesenyapan Hutan Jangkang, lalu menyelinap diam-diam ke
perkampungan. Ah, indahnya, pria muda ini memiliki konsep yang jelas bagaimana
seharusnya sebuah sitar berbunyi.
Mahar adalah arrangerberbakat dengan musikalitas yang nakal. Ia piawai memilih
lagu dan mengadaptasikan karakter lagu tersebut ke dalam instrumen-instrumen kami
yang sederhana. Misalnya pada lagu Owner of a Lonely Heartkarya group rock Yess.
Mahar mengawali komposisinya dengan intro permainan solo tablayang menghentak
bertalu-talu dalam tempo tinggi. Ia mengajari Syahdan menyelipkan-nyelipkan wana
tabuhan Afrika danpadangpasir pada fondasi tabuhangayasuku Sawang. Sangat eksotis.
Gebrakan solo Syahdan seumpama garam bagi mereka yang darah tinggi:
berbahaya, beracun, dan memicu adrenalin. Syahdan mengudara sendirian dengan
letupan-letupan yang menggairahkan sampai beberapa bar. Lalu Syahdan menurunkan
sedikit tempo bahana tabla-nya dan pada momen itu, kami—para pemain rebana dan dua
pemain tablalainnya-pelan-pelan masuk secara elegan mendampingi suara tabla
Syahdan yang surut, namun tak lama kemudian kembali bereskalasi menjadi tempo yang
semakin cepat, semakin garang, semakin ganas memuncak. Kami menghantam tabuh-tabuhan ini
sekuat tenaga dengan tempo secepat-cepatnya beserta semangat Spartan,
para penonton menahan napas karena berada dalam tekanan puncak ekstase, lalu tepat
pada puncak kehebohan, suara alat-alat perkusi ini secara mendadak kami hentikan, tiga
detik yang diam, lengang, sunyi, dan senyap. Ketika penonton mulai melepaskan
kembali napas panjangnya dengan penuh kenyamanan perlahan-lahan hadirlah
dentingan sitar Mahar menyambut perasaan damai itu. Mahar melantunkan dawai sitar
sendirian dalam nada-nada minor nan syahdu bergelombang seperti buluh perindu.
Pilihan nada ini demikian indah hingga terdengar laksana aliran sungai-sungai di bawah
taman surga. Dada terasa lapang seperti memandang laut lepas landai tak bertepi di
sebuah sore yang jingga.
Pada bagian ini biasanya penonton menghambur ke bibir panggung. Lalu Mahar
meningkahi sitar dengan intonasi naik turun dalam jangkauan hampir empat oktaf.
DengangayaIndiaklasik, Mahar berimprovisasi. Ia memainkan sitar dengan sepenuh
jiwa seolah esok ia telah punya janji pasti dengan malaikat maut. Matanya terpejam
mengikuti alur skala minor yang menyentuh langsung bagian terindah dari alam bawah
sadar manusia yang mampu menikmati sari pati manisnya musik. Jemarinya yang kurus
panjang mengaduk-aduk senar sitar dengan teknik yang memukau. Ia menyerahkan
segenap jiwa raganya, terbang dalam daya bius melodi musik.
Suara sitar itu menyayat-nyayat, berderai-derai seperti hati yang sepi, meraungraung
seperti jiwa yang tersesat karena khianat cinta, merintih seperti arwah yang tak
diterima bumi. Rendah, tinggi, pelan, kencang, berbisik laksana awan, marah laksana
topan, memekakkan laksana ledakan gunung berapi, lalu diam tenang laksana danau di
tengah rimba raya. Semakin lama semakin keras dan semakin cepat, kembali
memuncak, semakin lama semakin tinggi dan pada titik nadirnyaTrapaniserta-merta
menyambut dengan sorak melengking melalui tiupan seruling, panjang, satu not,
menjerit-jerit nyaring pada tingkat nada tertinggi yang dapat dicapai seruling bambu
tradisonal itu.
Mereka berdua bertanding, berlomba-lomba meninggikan nada dan mengeraskan
suara instrumen masing-masing. Mereka seperti seteru lama yang menanggungkan
dendam membara, seruling clan sitar saling menggertak, menghardik, dan membentak
galak ... namun dengan harmoni yang terpelihara rapi. Tiba-tiba, amat mengejutkan,
sama sekali tak terduga, secara mendadak mereka break!Tiga detik diam. Setelah itu
serta-merta datang menyerbu, menyalak galak, menghambur masuk bertalu-talu seluruh
suara alat musik: drum, standing bass, seluruh tabla, sitar, seruling, seluruh rebana,
dan electonesekeras-kerasnya. Tepat pada puncak bahana seluruh alat musik secara
mendadak kami breaklagi, satu detik diam, napas penonton tertahan, lalu pada detik
kedua Mahar meloncat seperti tupai, merebut mikrofon dan langsung menjerit-jerit
menyanyikan lagu Owner of a Lonely Heartdalam nada tinggi yang terkendali.Para
penonton histeris dalam sensasi, kemudian tubuh mereka terpatah-patah mengikuti
hentakan-hentakan staccatoyang dinamis sepanjang lagu itu.
Inilah musik, kawan. Musik yang dibawakan dengan sepenuh kalbu. Mahar
menekankan konsep akustik dalam komposisi ini, misalnya dengan mengambilgaya
piano grandpada electonedengan tambahan sedikit efek sustain. Keseluruhan komposisi
dan konsep ini ternyata menghasilkan interpretasi yang unik terhadap lagu Owner of a
Lonely Heart. Kami yakin sedikit banyak kami telah berhasil menangkap semangat lagu
itu, termasuk esensi pesannya, yaitu hati yang sepi lebih baik dari hati yang patah, seperti
dimaksudkan orang-orang hebat dalam grup Yess.
Maka tak ayal lagu rockmodern tersebut adalah master piecepenampilan kami
selain sebuah lagu Melayu berjudul Patah Kemudikarya Ibu Hajah Dahlia Kasim.
Mahar juga adalah seorang seniman idealis. Pernah sebuah parpol ingin
memanfaatkan grup kami yang mulai kondang untuk menarikmassamelalui iming-iming
uang dan berbagai mainan anak-anak, Mahar menolak mentah-mentah.
"Orang-orang itu sudah terkenal dengan tabiatnya menghamburkan janji yang
tak'kan ditepatinya," demikian Mahar berorasi di tengah-tengah kami yang duduk melingkar di
bawah filicium. Jarinya menunjuk-nunjuk langit seperti seorang koordinator
demonstrasi.
"Kita tidak akan pernah menjadi bagian dari segerombolan penipu! Sekolah kita
adalah sekolah Islam bermartabat, kita tidak akan menjual kehormatan kita demi sebuah
jam tangan plastik murahan!"
Mahar demikian berapi-api dan kami bersorak-sorai mendukung pendiriannya. Dan
mungkin karena kecewa kepada para pemimpin bangsa maka Mahar memberi sebuah
nama yang sangat memberi inspirasi untuk band kami, yaitu: Republik Dangdut.
Mahar adalah Jules Verne kami. la penuh ide gila yang tak terpikirkan orang lain,
walaupun tak jarang idenya itu absurd dan lucu. Salah satu contohnya adalah ketika ketua
RT punya masalah dengan televisinya. TV hitam putih satu-satunya hanya ada di rumah
beliau dan tidak bisa dikeluarkan dari kamarnya yang sempit karena kabel antenanya
sangat pendek dan ia kesulitan mendapatkan kabel untuk memperpanjangnya. Kabel itu
tersambung pada antena di puncak pohon randu. Keadaan mendesak sebab malam itu ada
pertandingan final badminton All England antara Svend Pri melawan Iie Sumirat. Begitu
banyak penonton akan hadir, tapi ruangan TV sangat sempit. Sejak sore Pak Ketua RT
tak enak hati karena banyak handai taulan yang akan bertamu tapi tak 'kansemua
mendapat kesempatan menonton pertandingan seru itu.
Ketika beliau berkeluh kesah pada kepala sekolah kami, maka Mahar yang sudah
kondang akal dan taktiknya segera dipanggil dan ia muncul dengan ide ajaib ini:
"Gambar TV itu bisa dipantul-pantulkan melalui kaca, Ayahanda Guru," kata
Mahar berbinar-binar dengan ekspresi lugunya.
Pak Harfan melonjak girang seperti akan meneriakkan "eureka!" Maka digotonglah
dua buah lemari pakaian berkaca besar ke rumah ketua. Lemari pertama diletakkan di
ruang tamu dengan posisi frontal terhadap layar TV dan ruangan itu paling tidak
menampung 17 orang. Sedangkan lemari kedua ditempatkan di beranda. Lemari kaca
kedua diposisikan sedemikian rupa sehingga :dapat menangkap gambar TV dari lemari
kaca pertama.Adasekitar 20 orang menonton TV melalui lemari kaca di beranda.
Tak ada satu pun penonton yang tak kebagian melihat aksi Iie Sumirat. Penonton
merasa puas dan benar-benar menonton dari layar kaca dalam arti sesungguhnya.
Meskipun Svend Pri yang kidal di layar TV menjadi normal di kaca yang pertama dan
kembali menjadi kidal pada layar lemari kaca kedua. Menurutku inilah ide paling
revolusioner, paling lucu, dan paling hebat yang pernah terjadi pada dunia penyiaran.
Aku rasa yang dapat menandingi ide kreatif ini hanya penemuan remote control
beberapa waktu kemudian.
Kepada majelis penonton TV yang terhormat Pak Harfan berulang kali
menyampaikan bahwa semua itu adalah ide Mahar, dan bahwa Mahar itu adalah
muridnya. Murid yang dibanggakannya habis-habisan.
Sayangnya, seperti banyak dialami seniman hebat lainnya, mereka jarang sekali
mendapat perhatian dan penghargaan yang memadai.Gayahidup dan pemikiran mereka
yang mengawang-awang sering kali disalahartikan. Misalnya Mahar, kami sering
menganggapnya manusia aneh, pembual, dan tukang khayal yang tidak dapat
membedakan antara realitas dan lamunan.
Keadaan ini diperparah lagi dengan ketidakmampuan kami mengapresiasi karyakarya
seninya. Sehingga beberapa karya hebatnya malah mendapat cemoohan. Kenyataannya
adalah kami tidak mampu menjangkau daya imajinasi dan pesan-pesan abstrak
yang ia sampaikan melalui karya-karya tersebut. Kami selalu membesar-besarkan kekurangannya,
ketika sebuah pertunjukan gagal total, tapi jika berhasil kami jarang ingin memujinya. Mungkin
karena masih kecil, maka kami sering tidak adil padanya.
BAB XIV
LASKAR PELANGI DAN ORANG-ORANG SAWANG
PAPILIO blumei, kupu-kupu tropis yang menawan berwarna hitam bergaris biru-hijau itu
mengunjungi pucuk filicium. Kehadiran mereka semakin cantik karena kehadiran kupu-kupu
kuning berbintik metalik yang disebut pure clouded yellow. Mereka dan lidah atap
sirap cokelat yang rapuh menyajikan komposisi warna kontras di atas sekolah
Muhammadiyah. Dua jenis bidadari taman itu melayanglayang tanpa bobot bersukacita.
Tak lama kemudian, seperti tumpah dari langit, ikut bergabung kupu-kupu lain, danube
clouded yellow.
Hanya para ahli yang dapat membedakan pure clouded yellowdengan danube
clouded yellow, berturut-turut nama latin mereka adalah Colias croceadan Colias
myrmidone. Di mata awam kecantikan mereka sama: absolut, dan hanya dapat
dibayangkan melalui keindahan namanya. Keduanya adalah si kuning berawan yang
memesona laksana DanauDanubeyang melintasi Eropa: sejuk, elegan, dan misterius.
Berbeda dengan tabiat unggas yang cenderung agresif dan eksibisionis, makhlukmakhluk
bisu berumur pendek ini bahkan tak tahu kalau dirinya cantik. Meskipun
jumlahnya ratusan, tapi kepak sayapnya senyap dan mulut mungil indahnya diam dalam
kerupawanan yang melebihi taman lotus. Melihat mereka rasanya aku ingin menulis
puisi.
Saat ratusan pasang danube clouded yellowberpatroli melingkari lingkaran daundaun
filicium, maka mereka menjelma menjadi pasir kuning di Dermaga Olivir. Sayapsayap
yang menyala itu adalah fatamorgana pantulan cahaya matahari, berkilauan di
atas.butiran-butiran ilmenit yang terangkat abrasi. Sebuah daya tarik Belitong yang lain,
pesona pantai dan kekayaan material tambang yang menggoda.
Kupu-kupu clouded yellowdan Papilio blumeisaling bercengkrama dengan
harmonis seperti sebuah reuni besar bidadari penghuni berbagai surga dari agama yang
berbeda-beda. Jika diperhatikan dengan saksama, setiap gerakan mereka, sekecil apa pun,
seolah digerakkan oleh semacam mesin,keserasian. Mereka adalah orkestra warna
dengan insting sebagai konduktornya. Dan agaknya dulu memang telah diatur jauh-jauh
hari sebelum mereka bermetamorfosis, telah tercatat di Lauhul Mahfuzh saat mereka
masih meringkuk berbedak-bedak tebal dalam gulungan-gulungan daun pisang, bahwa
sore ini mereka akan menari-nari di pucuk-pucuk filicium, bersenda gurau, untuk
memberiku pelajaran tentang keagungan Tuhan.
Kupu-kupu ini sering melakukan reuni setelah hujan lebat. Sayangnya sore ini,
pemandangan seperti butiranbutiran cat berwarna-warni yang dihamburkan dari langit itu
serentak bubar dan harmoni ekosistem hancur berantakan karena serbuan sepuluh sosok
Homo sapiens. Makhluk brutal ini memanjati dahan-dahan filicium, bersoraksorai, dan
bergelantungan mengklaim dahannya masingmasing. Kawanan itu dipimpin oleh setan
kecil bernama Kucai. Berada pada posisi puncak rantai makanan seolah melegitimasi
kecenderungan Homo sapiensuntuk merusak tatanan alam.
Kucai mengangkangi dahan tertinggi, sedangkanSahara, satu-satunya betina dalam
kawanan itu, bersilang kaki di atas dahan terendah. Pengaturan semacam itu tentu bukan
karena budaya patriarki begitu kental dalam komunitas Melayu, tapi semata-mata karena
pakaianSaharatidak memungkinkan ia berada di atas kami. Ia adalah muslimah yang
menjaga aurat rapat-rapat.
Kepentingan kami tak kalah mendesak dibanding keperluan kaum unggas, fungi,
dan makhluk lainnya terhadap filiciumkarena dari dahan-dahannya kami dapat dengan
leluasa memandang pelangi.
Kami sangat menyukai pelangi. Bagi kami pelangi adalah lukisan alam, sketsa
Tuhan yang mengandung daya tarik mencengangkan. Tak tahu siapa di antara kami
yang pertama kali memulai hobi ini, tapi jika musim hujan tiba kami tak sabar
menunggu kehadiran lukisan langit menakjubkan itu. Karena kegemaran kolektif
terhadap pelangi maka Bu Mus menamai kelompok kami Laskar Pelangi.
Sore ini, setelah hujan lebat sepanjang hari, terbentang pelangi sempurna,
setengah lingkaran penuh, terang benderang dengan enam lapis warna. Ujung kanannya
berangkat dari Muara Genting seperti pantulan permadani cermin sedangkan ujung
kirinya tertanam di kerimbunan hutan pinus di lereng Gunung Selumar. Pelangi yang
menghunjam di daratan ini melengkung laksana jutaan bidadari berkebaya warna-warni
terjun menukik ke sebuah danau terpencil, bersembunyi malu karena kecantikannya.
Kini filiciummenjadi gaduh karena kami bertengkar bertentangan pendapat
tentang panorama ajaib yang terbentang melingkupi Belitong Timur. Berbagai versi
cerita mengenai pelangi menjadi debat kusir. Dongeng yang paling seru tentu saja
dikisahkan oleh Mahar. Ketika kami mendesaknya ia sempat ragu-ragu. Pandangan
matanya mengisyaratkan bahwa: kalian tidak akan bisa menjaga informasi yang sangat
penting ini!
Dia diam demi membuat pertimbangan serius, namun akhirnya ia menyerah,
bukan kepada kami yang memohon tapi kepada hasratnya sendiri yang tak terkekang
untuk membual.
"Tahukah kalian ...," katanya sambil memandang jauh.
"Pelangi sebenarnya adalah sebuah lorong waktu!" Kami terdiam, suasana jadi
bisu, terlena khayalan Mahar. -
"Jika kita berhasil melintasi pelangi maka kita akan bertemu dengan orang-orang
Belitong tempo dulu dan nenek moyang orang-orang Sawang."
Wajahnya tampak menyesal seperti baru saja membongkar sebuah rahasia
keluarga yang terdalam dan telah disimpan tujuh turunan. Lalu dengan nada terpaksa ia
melanjutkan, "Tapi jangan sampai kalian bertemu dengan orang Belitong primitif dan
leluhur Sawang itu, karena mereka itu adalah kaum kanibal ...!!"
Sekarang wajahnya pasrah. A Kiong menutup mulutnya dengan tangan dan
hampir saja tertungging dari dahan karena melepaskan pegangan. Sejak kelas satu SD,
A Kiong adalah pengikut setia Mahar. Ia percaya-dengan sepenuh jiwa-apa pun yang
dikatakan Mahar. Ia memposisikan Mahar sebagai seorang suhu dan penasihat
spriritual. Mereka berdua telah menasbihkan diri sendiri dalam sebuah sekte ketololan
kolektif.
Demi mendengar kisah Mahar, Syahdan yang bertengger persis di belakang
pendongeng itu dengan gerakan sangat takzim, tanpa diketahui Mahar, menyilangkan
jari di atas keningnya dan mengesek-gesekkannya beberapa kali. Mahar tidak mengerti
apa yang sedang terjadi di belakangnya. Sakit perut kami menahan tawa melihat
kelakuan Syahdan. Baginya Mahar sudah tak waras.
Lintang menepuk-nepuk punggung Mahar, menghargai ceritanya yang
menakjubkan, tapi ia tersenyum simpul dan pura-pura batuk untuk menyamarkan
tawanya. Kami terus memandangi keindahan pelangi tapi kali ini kami tak lagi berdebat.
Kami diam sampai matahari membenamkan diri. Azan magrib menggema dipantulkan
tiang-tiang tinggi rumah panggung orang Melayu, sahut-menyahut dari masjid ke masjid.
Sang lorong waktu perlahan hilang ditelan malam. Kami diajari tak bicara jika azan
berkumandang.
"Diam dan simaklah panggilan menuju kemenangan itu ...," pesan orangtua kami.
KAMI orang-orang Melayu adalah pribadi-pribadi sederhana yang memperoleh
kebijakan hidup dari para guru mengaji dan orang-orang tua di surau-surau sehabis salat
magrib. Kebijakan itu disarikan dari hikayat para nabi, kisah Hang Tuah, dan rima-rima
gurindam. Ras kami adalah ras yang tua. Malayatau Melayu telah dikenal Albert Buffon
sejak lampau ketika ia mengidentifikasi ras-ras besar Kaukasia, Negroid, dan Mongoloid.
Meskipun banyak antropolog berpendapat bahwa ras Melayu Belitong tidak sama dengan
ras Malay versi Buffon-dengan kata lain kami sebenarnya bukan orang Melayu—tapi
kami tak membesarbesarkan pendapat itu. Pertama karena orang-orang Belitong tak
paham akan hal itu dan kedua karena kami tak memiliki semangat primordialisme. Bagi
kami, orang-orang sepanjang pesisir selat Malaka sampai keMalaysiaadalah Melayuatas
dasar ketergila-gilaan mereka pada irama semenanjung, dentaman rebana, dan
pantun yang sambut: menyambut-bukan atas dasar bahasa, warna kulit, kepercayaan, atau
struktur bangun tulang-belulang. Kami adalah ras egalitarian.
Aku melamun merenungkan cerita Mahar. Aku tak tertarik dengan lorong waktu,
tapi terpancang pada ceritanya tentang orang-orang Belitong tempo dulu. Minggu lalu
ketika sedang memperbaiki sound systemdi masjid, demi melihat kabel centang perenang
yang dianggapnya benda ajaib zaman baru, muazin kami yang telah berusia 70 tahun
menceritakan sesuatu yang membuatku terkesiap.
Cerita itu adalah tentang kakek beliau yang sempat bercerita kepadanya bahwa
orangtua kakeknya itu, berarti mbah buyut atau datuk muazin kami, hidup berkelompok
mengembara di sepanjang pesisir Belitong. Mereka berpakaian kulit kayu dan mencari
makan dengan cara menombak binatang atau menjeratnya dengan akar-akar pohon.
Mereka tidur di dahan-dahan pohon santigi untuk menghindari terkaman binatang buas.
Kala bulan purnama mereka menyalakan api dan memuja bulan serta bintang gemintang.
Aku merinding memikirkan betapa masih dekatnya komunitas kami dengan kebudayaan
primitif.
"Kita telah lama bersekutu dengan orang-orang Sawang. Mereka adalah pelaut
ulung yang hidup di perahu. Suku itu berkelana dari pulau ke pulau. Di Teluk Balok
leluhur kita menukar pelanduk, rotan, buah pinang, dan damar dengan garam buatan
wanita-wanita Sawang ...," cerita muazin itu.
Seperti ikan yang hidup dalam akuarium, senantiasa lupa akan air, begitulah
kami. Sekian lama hidup berdampingan dengan orang Sawang kami tak menyadari
bahwa mereka sesungguhnya sebuah fenomena antropologi. Dibanding orang
Melayu penampilan mereka amat berbeda. Mereka seperti orang-orang Aborigin.
Kulit gelap, rahang tegas, mata dalam, pandangan tajam, bidang kening yang
sempit, struktur tengkorak seperti suku Teuton, dan berambut kasat lurus seperti
sikat.
PN Timah mempekerjakan suku maskulin ini sebagai buruh yuka, yaitu
penjahit karung timah, pekerjaan strata terendah di gudang beras. Dan mereka
bahagia dengan sistem pembayaran setiap hari Senin. Sulit dikatakan uang itu akan
bertahan sampai Rabu. Tak ada kepelitan mengalir dalam pembuluh darah arang
Sawang. Mereka membelanjakan uang seperti tak ada lagi hari esok dan berutang
seperti akan hidup selamanya.
Karena kekacauan persoalan manajemen keuangan ini, orang Sawang tak
jarang menjadi korban stereotip di kalangan mayoritas Melayu. Setiap perilaku
minus tak ayal langsung diasosiasikan dengan mereka. Diskredit ini adalah refleksi
sikap diskriminatif sebagian orang Melayu yang takut direbut pekerjaannya karena
malas bekerja kasar. Sejarah menunjukkan bahwa orang-orang Sawang memiliki
integritas, mereka hidup eksklusif dalam komunitasnya sendiri, tak usil dengan
urusan orang lain, memiliki etos kerja tinggi, jujur, dan tak pernah berurusan dengan
hukum. Lebih dari itu, mereka tak pernah lari dari utang-utangnya.
Orang Sawang senang sekali memarginalkan diri sendiri. Itulah sifat alamiah
mereka. Bagi mereka hidup ini hanya terdiri atas mandor yang mau membayar
mereka setiap minggu dan pekerjaan kasar yang tak sanggup dikerjakan suku lain.
Mereka tak memahami konsep aristokrasi karena kultur mereka tak mengenal power
distance. Orang yang tak memaklumi hal ini akan menganggap mereka tak tahu tata
krama. Satu-satunya manusia terhormat di antara mereka adalah sang kepala suku,
seorang shamansekaligus dukun, dan jabatan itu sama sekali bukan hereditas.
PN memukimkan orang Sawang di Sebuah rumah panjang yang bersekatsekat.
Di situ hidup 30 kepala keluarga.Tak ada catatan pasti dari mana mereka
berasal. Mungkinkah mereka belum terpetakan oleh para antropolog? Tahukah para
pembuat kebijakan bahwa tingkat kelahiran mereka amat rendah sedangkan
mortalitasnya begitu tinggi sehingga di rumah panjang hanya tertinggal beberapa
keluarga yang berdarah murni Sawang? Akankah bahasa mereka yang indah hilang
ditelan zaman?
BAB XV
EUFORIA MUSIM HUJAN
TAMBANG hitam terbentang cekung di atas permukaan air berwarna cokelat yang
bergelora. Ujung tambang yang diikat dengan sepotong kayu bercabang tersangkut ke
sebuah dahan karet tua yang rapuh di tengah aliran sungai. Tadi Samson yang telah
melemparkannya dengan gugup. Hampir tujuh belas meter jarak antara tepian sungai
dan dahan karet tempat kayu satu meter itu tersangkut. Berarti lebar sungai ini paling
tidak tiga puluh meter dan dalamnya hanya Tuhan yang tahu. Alirannya meluncur deras
tergesa-gesa, tipikal sungai di Belitong yang berawal dan berakhir di laut. Bagian
membujur permukaan sungai tampak berkilat-kilat disinari cahaya matahari.
Sekarang ujung tambang satunya dipegangi A Kiong yang pucat pasi pada posisi
melintang. Ia memanjat pohon kepang rindang yang berseberangan dengan pohon karet
tadi dan menambatkan tali pada salah satu cabangnya. Badanku gemetar ketika aku
melintas menuju pohon karet dengan cara menggeser-geserkan genggaman tanganku
yang mencekik tambang erat-erat. Aku bergelantungan seperti tentara latihan perang.
Kadang-kadang kakiku terlepas dari tambang dan menyentuh permukaan air yang
meliuk-liuk, membuat darahku dingin berdesir. Kulihat samar bayanganku di atas air
yang keruh. Kalau aku terjatuh maka aku akan ditemukan tersangkut di akar-akar pohon
bakau dekat jembatan Lenggang,limapuluh kilometer dari sini.
SEMUA susah payah melawan larangan orangtua itu hanyalah untuk memetik
buah-buah karet dan demi sedikit taruhan harga diri dalam arena tarak. Atau barangkali
perbuatan bodoh itu justru digerakkan oleh keinginan untuk membongkar rahasia buah
karet yang misterius. Kekuatan kulit buah karet tak bisa diramalkan dari bentuk dan
warnanya. Pada rahasia itulah tersimpan daya tarik permainan mengadu kekuatan
kulitnya. Permainan kuno nan legendaris itu disebut tarak. Cuma ada satu hal yang agak
berlaku umum, yaitu pohon-pohon karet yang buahnya sekeras batu selalu berada di
tempat-tempat yang jauh di dalam hutan dan memerlukan nyali lebih, atau sikap nekat
yang tolol, untuk mengambilnya.
Di dalam tarak, dua buah karet ditumpuk kemudian dipukul dengan telapak
tangan. Buah yang tak pecah adalah pemenangnya. Inilah permainan pembukaan musim
hujan di kampung kami, semacam pemanasan untuk menghadapi permainan-permainan
lainnya yang jauh lebih seru pada saat air bah tumpah dari langit.
SEIRING dengan semakin gencarnya hujan mengguyur kampung-kampung orang
Melayu Belitong, aura tarakperlahan-lahan redup. Jika taraksudah tak dimainkan maka
` itulah akhir bulan September, begitulah tanda alam yang dibaca secara primitif. Wilayahwilayah
tropis di muka bumi akan mengalami mendung seharian dan hujan
berkepajangan. Sementara di Baratsana, orang-orang menjalani hari-hari yang kelabu
menjelang musim salju. Pada sepanjang bulan berakhiran "-ber", seisi dunia tampak lebih
murung, maka tidak mengherankan di beberapa bagian barat angka statistik bunuh diri
meningkat.
Aku melongok keluar jendela, RRI mengumandangkan sebuah lagu lama sebelum
siaran berita, Rayuan Pulau Kelapa. Alunan nada Hawaian yang tak lekang dimakan
waktu mendayu-dayu membuat mata mengantuk. Sebuah siang yang syahdu, sesyahdu
Howling Wolfsaat menyanyikan lagu blues How Long Baby, How Long.
Tapi suasana agak berbeda bagi kami. Acara sedih di bulan-bulan penghujung
tahun ini adalah urusan orang dewasa. Bagi kami hujan yang pertama adalah berkah dari
langit yang disambut dengan sukacita tak terkira-kira. Dan tak pernah kulihat di wilayah
lain, hujan turun sedemikian lebat seperti di Belitong.
Tujuh puluh persen daratan di Belitong adalah rain forestalias hutan hujan. Pulau
kecil itu berada pada titik pertemuan Laut Cina Selatan di sisi barat dan Laut Jawa di sisi
timur. Adapun di sisi utara dan selatan ia diapit oleh Selat Karimata dan Selat Gaspar.
Letaknya yang terlindung daratan luas Pulau Jawa danKalimantanmelindungi pantainya
dari gelombang ekstrem musim barat, namun uapan jutaan kubik air selama musim
kemarau dari samudra berkeliling itu akan tumpah seharian selama berbulan-bulan pada
musim hujan. Maka hujan di Belitong tak pernah sebentar dan tak pernah kecil.
Hujan di Belitong selalu lama dan sejadi-jadinya seperti air bah tumpah ruah dari
langit, dan semakin lebat hujan itu, semakin gempar guruh menggelegar, semakin
kencang angin mengaduk-aduk kampung, semakin dahsyat petir sambar-menyambar,
semakin giranglah hati kami. Kami biarkan hujan yang deras mengguyur tubuh kami
yang kumal. Ancaman dibabat rotan oleh orangtua kami anggap sepi. Ancaman tersebut
tak sebanding dengan daya tarik luar biasa air hujan, binatang-binatang aneh yang
muncul dari dasar parit, mobil-mobil proyek timah yang terbenam, dan bau air hujan
yang menyejukkan rongga dada.
Kami akan berhenti sendiri setelah bibir membiru dan jemari tak terasa karena
kedinginan. Seluruh dunia tak bisa mencegah kami. Kami adalah para duta besar yang
berkuasa penuh saat musim hujan. Para orangtua hanya menggerutu, frustrasi merasa
dirinya tak dianggap. Kami berlarian, bermain sepak bola, membuat candi dari pasir, berpura-pura
menjadi biawak, berenang di lumpur, memanggil-manggil pesawat terbang
yang melintas, dan berteriak keras-keras tak keruan kepada hujan, langit, dan halilintar
seperti orang lupa diri.
Tapi lebih dari itu, yang paling seru adalah permainan tanpa nama yang melibatkan
pelepah-pelepah pohon pinang hantu. Satu atau dua orang duduk di atas pelepah selebar
sajadah, kemudian dua atau tiga orang lainnya menarik pelepah itu dengan kencang.
Maka terjadilah pemandangan seperti orang main ski es, tapi secara manual karena
ditarik tenaga manusia.
Penumpang yang duduk di depan memegangi pelepah seperti penunggang unta
sedangkan penumpang di belakang memeluknya erat-erat agar tidak tergelincir. Mereka
yang bertubuh paling besar, yaitu Samson, Trapani, dan A Kiong menduduki jabatan
penarik pelepah dan mereka amat bangga dengan jabatan itu.
Puncak permainan ini adalah momen ketika para penarik pelepah yang bertenaga
sekuat kuda beban berbelok mendadak serta dengan sengaja menambah kekuatannya di
belokan itu. Maka penumpangnya akan melaju sangat kencang, terseret sejajar ke arah
samping, meluncur mulus tapi deras sekali di atas permukaan lumpur yang licin, lalu
menikung tajam dalam kecepatan tinggi.
Aku rasakan tingkungan itu membanting tubuhku tanpa dapat kukendalikan dan
sempat kulihat cipratan air bercampur lumpur yang besar menghempas dari sisi kanan
pelepah mengotori para penonton: Sahara, Harun, Kucai, Mahar, dan Lintang. Mereka
gembira luar biasa menerima cipratan air kotor itu, semakin kotor airnya semakin senang
mereka. Mereka bertepuk tangan girang menyemangati kami. Sementara Syahdan yang
duduk di belakangku memegang tubuhku kuat-kuat sambil bersorak-sorai.
Syahdan bertindak selaku co-pilot, dan aku pilotnya. Kami meluncur menyamping
dengan tubuh rebah persis seperti gerakan laki-laki gondrong pengendara sepeda motor
tong setan di sirkus atau lebih keren lagi seperti gerakan speed raceryang merendahkan
tubuhnya untuk mengambil belokan maut. Sebuah gaya rebah yang penuh aksi. Pada saat
menikung itu aku merasakan sensasi tertinggi dari permainan tradisional yang asyik ini.
Namun, cerita tidak selesai sampai di situ. Karena sudut belokan tersebut tidak
masuk akal maka tikungan tersebut tak `kan pernah bisa diselesaikan. Para penarik
bertabrakan sesama dirinya sendiri, terjatuh-jatuh jumpalitan, terbanting-banting tak tentu
arah, sementara aku dan Syahdan terpental dari pelepah, terhempas, terguling-guling, lalu
kami berdua terkapar di dalam parit.
Kepalaku terasa berat, kuraba-raba dan benjolan kecilkecil bermunculan. Air
masuk melalui hidungku, suaraku jadi aneh, seperti robot, dan ada rasa pening di bagian
kepala sebelah kanan yang menjalar ke mata. Rasa itu hanya sebentar, biasa kita alami
kalau air memasuki hidung. Aku tersedak-sedak kecil seperti kambing batuk. Lalu aku
mencari-cari Syahdan. Ia terbanting agak jauh dariku. Tubuhnya telentang, tergeletak tak
berdaya, air menggenangi setengah tubuhnya di dalam parit. Ia tak bergerak.
Kami menghambur ke arah Syahdan. Aduh! Gawat, apakah ia pingsan? Atau gegar
otak? Atau malah mati? Karena ia tak bernapas sama sekali dan tadi ia terpelanting
seperti tong jatuh dari truk. Di sudut bibirnya dan dari lubang hidungnya kulihat darah
mengalir, pelan dan pekat. Kami merubung tubuhnya yang diam seperti mayat. Sahara
mulai terisak-isak, wajahnya pias. Aku memandangi wajah temanku yang lain, semuanya
pucat pasi. A Kiong gemetar hebat, Trapani memanggil-manggil ibunya, aku sangat
cemas.
Aku menampar-nampar pipinya.
"Dan! Dan ...!" Aku pegang urat di lehernya, seperti pernah kulihat dalam film
Little House on The Prairie. Namun sayang sebenarnya aku sendiri tak mengerti apa
yang kupegang, karena itu aku tak merasakan apa-apa. Samson, Kucai, dan Trapani turut
menggoyang-goyang tubuh Syahdan, berusaha menyadarkannya. Tapi Syahdan diam
kaku tak bereaksi. Bibirnya pucat dan tubuhnya dingin seperti es. Sahara menangis keras,
diikuti oleh A Kiong.
"Syahdan ... Syahdan .., bangun Dan ...," ratap Sahara pedih dan ketakutan.
Kami semakin panik, tak tahu harus berbuat apa. Aku terus-menerus memanggilmanggil
nama Syahdan, tapi ia diam saja, kaku, tak bernyawa, Syahdan telah mati.
Kasihan sekali Syahdan, anak nelayan melarat yang mungil ini harus mengalami nasib
tragis seperti ini.
Kami menggigil ketakutan dad Samson memberi isyarat agar mengangkat Syahdan.
Ketika kami angkat tubuhnya telah keras seperti sepotong balok es. Aku memegang
bagian kepalanya. Kami gotong tubuh kecilnya sambil berlari. Sahara dan A Kiong
meraung-raung. Kami benar-benar panik, namun dalam kegentingan yang memuncak
tiba-tiba di gumpalan bulat kepala keriting yang kupeluk kulihat deretan gigi-gigi hitam
keropos dan runcing-runcing seperti dimakan kutu meringis ke arahku, kemudian kudengar pelan
suara tertawa terkekeh-kekeh.
Ha! Rupanya co-pilot-ku ini hanya berpura-pura tewas! Sekian lama ia
membekukan tubuhnya dan berusaha menahan napas agar kami menyangka ia mati.
Kurang ajar betul, lalu kami membalas penipuannya dengan melemparkannya kembali ke
dalam parit kotor tadi. Dia senang bukan main. Ia terpingkal-pingkal melihat kami
kebingungan. Kami pun ikut tertawa. Sahara menghapus tangisnya dengan lengannya
yang kotor. Makin lama tawa kami makin keras. Kulirik lagi Syahdan, ia meringis
kesakitan tapi tawanya keras sekali sampai-sampai keluar air matanya. Air matanya itu
bercampur dengan air hujan.
Anehnya, justru peristiwa terjatuh, terhempas, dan terguling-guling yang
menciderai, lalu disusul dengan tertawa keras saling mengejek itulah yang kami anggap
sebagai daya tarik terbesar permainan pelepah pinang. Tak jarang kami mengulanginya
berkali-kali dan peristiwa jatuh seperti itu bukan lagi karena sudut tikungan, kecepatan,
dan massa yang melanggar hukum fisika, tapi memang karena ketololan yang disengaja
yang secara tidak sadar digerakkan oleh spirit euforia musim hujan. Pesta musim hujan
adalah sebuah perhelatan meriah yang diselenggarakan oleh alam bagi kami anak-anak
Melayu tak mampu.
BAB XVI
PUISI SURGA DAN KAWANA BURUNG PELINTANG PULAU
NAH, seluruh kejadian ini terjadi pada bulan Agustus saat aku berada di kelas dua
SMP. Kemarau masih belum mau pergi. Pohon-pohon angsana menjadi gundul, bambu-bambu
kuning meranggas. Jalan berbatu-batu kecil merah, setiap dihempas kendaraan,
mengembuskan debu yang melekat pada sirip-sirip daun jendela kayu. Kota kecilku
kering dan bau karat.
Warga Tionghoa semakin rajin menekuni kebiasaannya: mandi saat tengah hari,
menyisir rambutnya yang masih basah ke belakang, lalu memotongi ujung-ujung
kukunya dengan antip. Hanya mereka yang tampak sedikit bersih pada bulan-bulan
seperti ini. Adapun warga suku Sawang termangu-mangu memeluk tiang-tiang rumah
panjang mereka, terlalu panas untuk tidur di bawah atap seng tak berplafon dan terlalu
lelah untuk kembali bekerja, dilematis.
Orang-orang Melayu semakin kumal. Sesekali anak-anaknya melewati jalan
raya membawa balok-balok es dan botol sirop Capilano. Hawa pengap tak ‘kan
menguap sampai malam. Sebaliknya, menjelang dini hari suhu akan turun drastis,
dingin tak terkira, menguji iman umat Nabi Muhammad untuk beranjak dari tempat
tidur dan shalat subuh di masjid.
Perubahan ekstrem suhu adalah konsekuensi geografis pulau kecil yang
dikelilingi samudra. Karena itu kemarau di kampung kami menjadi sangat tidak
menyenangkan. Kepekatan oksigen menyebabkan tubuh cepat lelah dan mata mudah
mengantuk. Namun, ada suka di mana-mana. Anda tentu paham maksud saya. Bulan ini
amat semarak karena banyak perayaan berkenaan dengan hari besar negeri ini. Agustus,
semuanya serba menggairahkan!
Begitu banyak kegiatan yang kami rencanakan setiap bulan Agustus, antara lain
berkemah! Ketika anak-anak SMP PN dengan bus birunya berekreasi ke Tanjong
Pendam, mengunjungi kebun binatang atau museum di Tanjong Pandan, bahkan
verloop* bersama orangtuanya ke Jakarta. Kami, SMP Muhammadiyah, pergi ke Pantai
Pangkalan Punai. Jauhnya kira-kira 60 km, ditempuh naik sepeda. Semacam liburan
murah yang asyik luar biasa.
Meskipun setiap tahun kami mengunjungi Pangkalan Punai, aku tak pernah
bosan dengan tempat ini. Setiap kali berdiri di bibir pantai aku selalu merasa terkejut,
persis seperti pasukan Alexander Agung pertama kali menemukan India. Jika laut
berakhir di puluhan hektar daratan landai yang dipenuhi bebatuan sebesar rumah dan
pohon-pohon rimba yang rindang merapat ke tepi paling akhir ombak pasang
mengempas, maka kita akan menemukan keindahan pantai dengan cita rasa yang
berbeda. Itulah kesan utama yang dapat kukatakan mengenai Pangkalan Punai.
Tak jauh dari pantai mengalirlah anak-anak sungai berair payau dan di sanalah
para penduduk lokal tinggal di dalam rumah panggung tinggi-tinggi dengan formasi
berkeliling. Mereka juga orang-orang Melayu, orang Melayu yang menjadi nelayan.
Berarti rumah-rumah ini tepatnya terkurung oleh hutan lalu di tengahnya mengalir
anak-anak sungai dan posisinya cenderung menjorok ke pinggir laut. Sebuah komposisi
lanskap hasil karaya tangan Tuhan. Keindahan seperti digambarkan dalam buku-buku
komik Hans Christian andersen.
Namun, pemandangan semakin cantik jika kita mendaki bukit kecil di sisi barat
daya Pangkalan. Saat sore menjelang, aku senang berlama-lama duduk sendiri di
punggung bukit ini. Mendengar sayup-sayup suara anak-anak nelayan—laki-laki dan
perempuan—menendang-nendang pelampung, bermain bola tanpa tiang gawang nun di
bawah sana. Teriakan mereka terasa damai. Sekitar pukul empat sore, sinar matahari
akan mengguyur barisan pohon cemara angin yang tumbuh lebat di undakan bukit yang
lebih tinggi di sisi timur laut. Sinar yang terhalang pepohonan cemara angin itu
membentuk segitiga gelap raksasa, persis di tempat aku duduk. Sebaliknya, di sisi lain,
sinarnya ayang kontras menghunjam ke atas permukaan pantai yang dangkal, sehingga
dari kejauhan dapat kulihat pasir putih dasar laut.
Jika aku menoleh ke belakang, maka aku dapat menyaksikan pemandangan
padang sabana. Ribuan burung pipit menggelayuti rumput-rumput tinggi, menjerit-jerit
tak karuan, berebutan tempat tidur. Di sebelah sabana itu adalah ratusan pohon kelapa
bersaling-silang dan di antara celah-celahnya aku melihat batu-batu raksasa khas
Pangkalan Punai. Batu-batu raksasa yang membatasi tepian Laut Cina Selatan yang biru
berkilauan dan luas tak terbatas. Seluruh bagian ini disirami sinar matahari dan aliran
sungai payau tampak sampai jauh berkelok-kelok seperti cucuran perak yang dicairkan.
Sebaliknya, jika aku melemparkan pandangan lurus ke bawah, ke arah formasi
rumah panggung yang berkeliling tadi, maka sinar matahari yang mulai jingga jatuh
persis di atas atap-atap daun nanga’ yang menyembul-nyembul di antara rindangnya
dedaunan pohon santigi. Asap mengepul dari tungku-tungku yang membakar serabut
kelapa untuk mengusir serangga magrib. Asap itu, diiringi suara azan magrib, merayap
menembus celah-celah atap daun, hanyut pelan-pelan menaungi kampung seperti hantu,
lamat-lamat merambati dahan-dahan pohon bintang yang berbuah manis, lalu hilang
tersapu semilir angin, ditelan samudra luas. Dari balik jendela-jendela kecil rumah
panggung yang berserakan di bawah sana sinar lampu minyak yang lembut dan
kuntum-kuntum api pelita menari-nari sepi.
Pesona hakiki Pangkalan Punai membayangiku menit demi menit sampai
terbawa-bawa mimpi. Mimpi ini kemudian kutulis menjadi sebuah puisi karena, sebagai
bagian dari program berkemah, kami harus menyerahkan tugas untuk pelajaran
kesenian berupa karangan, lukisan, atau pekerjaan tangan dari bahan-bahan yang
didapat di pinggir pantai. Inilah puisiku.
Aku Bermimpi Melihat Surga
Sungguh, malam ketiga di Pangkalan Punai aku mimpi melihat surga
Ternyata surga tidak megah, hanya sebuah istana kecil di tengah hutan
Tidak ada bidadari seperti disebut di kitab-kitab suci
Aku meniti jembatan kecil
Seorang wanita berwajah jernih menyambutku
“Inilah surga” katanya.
Ia tersenyum, kerling matanya mengajakku menengadah
Seketika aku terkesiap oleh pantulan sinar matahari senja
Menyirami kubah-kubah istana
Mengapa sinar matahari berwarna perak, jingga, dan biru?
Sebuah keindahan yang asing
Di istana surga
Dahan-dahan pohon ara menjalar ke dalam kamar-kamar sunyi yang bertingkattingkat
Gelas-gelas kristal berdenting dialiri air zamzam
Menebarkan rasa kesejukan
Bunga petunia ditanam di dalam pot-pot kayu
Pot-pot itu digantungkan pada kosen-kosen jendela tua berwarna biru
Di beranda, lampu-lampu kecil disembunyikan di balik tilam, indah sekali
Sinarnya memancarkan kedamaian
Tembus membelah perdu-perdu di halaman
Surga begitu sepi
Tapi aku ingin tetap di sini
Karena kuingat janjimu Tuhan
Kalau aku datang dengan berjalan
ENGKAU akan menjemputku dengan berlari-lari
Dengan puisi ini, untuk pertama kalinya aku mendapat nilai kesenian yang
sedikit lebih baik dari nilai Mahar, tapi hal itu hanya terjadi sekali itu saja. Puisiku ini
membuktikan bahwa karya seni yang baik, setidaknya baik bagi Bu Mus, adalah karya
seni yang jujur. Namun, aku punya cerita yang panjang dan kurasa cukup penting
mengapa kali ini Mahar tidak mendapatkan nilai kesenian tertinggi seperti baisanya.
Semua itu gara-gara sekawanan burung hebat nan misterius yang dinamai orang-orang
Belitong sebagai burung pelintang pulau.
Nama burung pelintang pulau selalu menarik perhatian siapa saja, di mana saja,
terutama di pesisir. Sebagian orang malah menganggap burung ini semacam makhluk
gaib. Nama burung ini mampu menggetarkan nurani orang-orang pesisir sehubungan
dengan nilai-nilai mitos dan pesan yang dibawanya.
Burung pelintang pulau amat asing. Para pencinta burung lokal dan orang-orang
pesisir hanya memiliki pengetahuan yang amat minim mengenai burung ini. Di mana
habitatnya, bagaimana rupa dan ukuran aslinya, dan apa makanannya, selalu jadi
polemik. Hanya segelintir orang yang sedang beruntung saja pernah melihatnya
langsung. Burung ini tak pernah tertangkap hidup-hidup. Kerahasiaan bruung ini adalah
konsekuensi dari kebiasaannya.
Nama pelintang pulau adalah cerminan kebiasaan burung ini terbang sangat
kencang dan jauh tinggi melintang (melintasi) pulau demi pulau. Mereka hanya singgah
sebentar dan selalu hinggap di puncak tertinggi dari pohon-pohon yang tingginya
puluhan meter seperti pohon medang dan tanjung. Singgahnya pun tak pernah lama,
tidak untuk makan apa pun. Mereka sangat liar, tidak mungkin bisa didekati.
Setelah hinggap sebentar dengan kawanan lima atau enam ekor mereka terburuburu
terbang dengan kencang ke arah yang sama sekali tak dapat diduga. Banyak
orangy ang percaya bahwa mereka hidup di pulau-pulau kecil yang tak dihuni manusia.
Sementara mitos lain mengatakan bahwa burung-burung ini hanya hinggap sekali saja
pada sebuah kanopi di setiap pulau. Merekam enghabiskan sebagian besar hidupnya
terbang tinggi di angkasa, melintas dari satu pulau ke pulau lain yang berjumlah
puluhan di perairan Belitong.
Orang-orang Melayu pesisir percaya bahwa jika burung ini singgah di kampung
maka pertanda di laut sedang terjadi badai hebat atau angin puting beliung. Sering
sekali kehadirannya membatalkan niat nelayan yang akan melaut. Tapi ada penjelasan
logis untuk pesan ini, yaitu jika mereka memang tinggal di pulau terpencil maka badai
laut akan menyapu pulau tersebut dan saat itulah mereka menghindar menuju pesisir
lain.
Burung yangkonon sangat cantik dengan dominasi warna biru dan kuning ini
berukuran seperti burung bayan. Tapi aku agak kurang setuju dengan pendapat itu. Aku
setuju dengan warnanya, tapi ukurannya pasti jauh lebih besar, karena saksi mata
melihatnya bertengger puluhan meter darinya sehingga akan tampak lebih kecil.
Perkiraanku burung itu paling tidak berpenampilan seperti burung rawe yang beringas
atau peregam segagah rajawali. Demikianlah burugn pelintang pulau, semakin misterius
keberadaannya, semakin legendaris ceritanya. Mungkinkah burung ini belum terpetakan
oleh para ahli ornitologi?
Namun, burung apa pun itu, ketika melakukan semacam penelitian untuk
membuat tugas kesenian yang ia putuskan berupa lukisan, Mahar mengaku melihat
burung pelintang pulau nun jauh tinggi berayun-ayun di pucuk-pucuk meranti. Ia
pontang-panting menuju tenda untuk memberitahukan apa yang baru saja dilihatnya,
dan kami pun menghambur masuk ke hutan untuk menyaksikan salah satu spesies
paling langka kekayaan fauna pulau Belitong itu. Sayangnya yang kami saksikan hanya
dahan-dahan yang kosong, beberapa ekor anak lutung yang masih berwarna kuning, dan
langit hampa yang luas menyilaukan. Mahar menjebak dirinya sendiri. Maka, seperti
biasa, mengalirlah ejekan untuk Mahar.
“Kalau makan buah bintang kebanyakan, manisnya memang dapat membaut
orang mabuk, Har, pandangan kabur, dan mulut melantur,” Samson menarik pelatuk
dan penghujatan pun dimulai.
“Sungguh Son, yang kulihat tadi burung pelintang pulau kawanan lima ekor.”
“Dalam laut dapat kukira, dalamnya dusta siapa sangka,” dengan rima pantun
yang sederhana Kucai menohok Mahar tanpa perasaan.
Keputusasaan terpancar di wajah Mahar yang tanpa dosa, matanya mencari-cari
dari dahan ke dahan. Aku iba melihatnya, dengan cara apa aku dapat membelanya?
Tanpa saksi yang menguatkan, posisinya tak berdaya.
Kulihat dalam-dalam mata Mahar dan aku yakin yang baru saja dilihatnya
memang burung-burung keramat itu. Ah! Beruntung sekali. Sayangnya upaya Mahar
meyakinkan kami sia-sia karena reputasinya sendiri yang senang membual. Itulah
susahnya jadi pembual, sekali mengajukan kebenaran hakiki di antara seribu macam
dusta, orang hanya akan menganggap kebenaran itu sebagai salah satu dari buah
kebohongan lainnya.
“Mungkin yang kau lihat tadi burung ayam-ayam yang sengaja hinggap di dahan
tepat di atasmu utnuk mengencingi jambulmu itu,” cela Kucai.
Tawa kami meledak menusuk perasaan Mahar. Burung ayam-ayaman tidak
eksklusif, terdapat di mana-mana, dan senang bercanda di sepanjang saluran
pembuangan pasar ikan. Perut-perut ikan adalah caviar bagi mereka. Burung itu selalu
digunakan orang Melayu sebagai perlambang untuk menghina. Belum reda tawa kami
Sahara berusaha menyadarkan kesesatan Mahar
“Jangan kaucampuradukkan imajinasi dan dusta, kawan. Tak tahukah engkau,
kebohongan adalah pantangan kita, larangan itu bertalu-talu disebutkan dalam buku
Budi Pekerti Muhammadiyah.”
Trapani mencoba sedikit berlogika, “Barangkali kau salah lihat Har, keluarga
Lintang saja yang sudah empat turunan tinggal di pesisir tak pernah sekalipun melihat
burung itu apa lagi kita yangb aru berkemah dua hari.”
Masuk akal juga, tapi nasib orang siapa tahu?
Situasi makin kacau ketika sore itu berita kunjungan burung pelintang pulau
menyebar ke kampung dan beberapa nelayan batal melaut. Ibu Mus tak enak hati tapi
tak mengerti bagaimana menetralisasi suasana. Mahar semakin terpojok dan merasa
bersalah. Namun percaya atau tidak, malamnya angin bertiup sangat kencang
mengobrak-abrik tenda kami. Beberapa batang pohon cemara tumbang. Di laut kami
melihat petir menyambar-nyambar dengan dahsyat dan awan hitam di atasnya
berugulung-gulung mengerikan. Kami lari terbirit-birit mencari perlindungan ke rumah
penduduk.
“Mungkin yang kau lihat tadi sore benar-bear burung pelintang pulau, Har,”
kata Syahdan gemetar.
Mahar diam saja. Aku tahu kata “mungkin” itu tidak tepat. Bagaimanapun juga
badai ini sedikit banyak memihak ceritanya, mengurangi rasa bersalahnya, dan dapat
menghindarkannya dari cap pembual, apalagi esoknya para nelayan berterima kasih
padanya. Namun, ternyata temannya masih meragukannya dengan menggunakan kata
“mungkin”, padahal tenda kami sudah hancur lebur diaduk-aduk badai. Rasa
tersinggungnya tidak berkurang sedikit pun. Pada tingkat ini dia sudah merasa dirinya
seorang persona non grata, orang yang tak disukai.
Demikianlah dari waktu ke waktu kami selalu memperlakukan Mahar tanpa
perasaan. Kami lebih melihatnya sebagai seorang bohemian yang aneh. Kami dibutakan
tabiat orang pada umumnya, yaitu menganggap diri paling baik, tidak mau mengakui
keunggulan orang, dan mencari-cari kekurangan orang lain untuk menutupi
ketidakbecusan diri sendiri.
Kami jarang sekali ingin secarao bjektif membuka mata melihat bakat seni hebat
yang dimiliki Mahar dan bagaimaan bakat itu berkembang secara alami dengan
menakjubkan. Namun, tak mengapa, lihatlah sebentar lagi, seluruh ketidakadilan
selama beberapa tahun ini akan segara dibalas tuntas olehnya dengan setimpal. Cerita
akan semakin seru!
Besoknya Mahar membuat lukisan berjudul “Kawanan Burung Pelintang
Pulau”. Sebuah tema yang menarik. Lukisan itu berupa lima ekor burung yang tak jelas
bentuknya melaju secepat kilat menembus celah-celah pucuk pohon meranti. Latar
belakangnya adalah gumpalana awan kelam yang memancing badai hebat. Hamparan
laut dilukis biru gelap dan permukaannya berkilat-kilat memantulkan cahaya halilintar
di atasnya.
Kelima ekor burung itu hanya ditampakkan berupa serpihan-serpihan warna
hijau dan kuning dengan ilustrasi tak jelas, seperti sesuatu yang berkelebat sangat cepat.
Jika dilihat sepintas, memang masih terlihat samar-samar seperti lima kawanan burung
tapi kesan seluruhnya adalah seperti sambaran petir berwarna-warni. Sebuah lukisan
penuh daya mitos yang menggettarkan.
Dengan kekuatan imajinasinya Mahar berusaha mengabadikan sifat-sifat
misterius burung ini. Yang ada dalam pemikiran di balik lukisannya bukanlah bentuk
anatomis burung pelintang pulau tapi representasi sebuah legenda magis, sifat-sifat
alami burung pelintang pulau yang fenomenal, keterbatasan pengetahuan kita tentang
mereka, karakternya yang suka menjauhi manusia, dan mitos-mitos ganjil yang
menggerayangi setiap kepala orang pesisir.
Lukisan Mahar sesungguhnya merupakan swebuah karya hebat yang memiliki
nyawa, mengandung ribuan kisah, menentang keyakinan, dan mampu menggugah
perasaan. Namun, Mahar tetaplah anak kecil dengan keterbatasan kosa kata untuk
menjelaskan maksudnya. Ia kesulitan menemukan orang yang dapat memahaminya, dan
lebih dari itu, ia juga seniman yang bekerja berdasarkan suasana hati. Maka ketika
Samson, Syahdan, dan Sahara berpendapat bahwa bentuk burung yang tak jelas karena
Mahar sebenarnya tak pernah melihatnya, Mahar kembali tenggelam dalam sarkasme,
mood-nya rusak berantakan.
Inilah kenyataan pahit dunia nyata. Begitu banyak seniman bagus yang hidup di
antara orang-orang buta seni. Lingkungan umumnya tak memahami mereka dan lebih
parah lagi, tanpa beban berani memberi komentar seenak udelnya. Ketika Mahar sudah
berpikir dalam tataran imajinasi, simbol, dan substansi, Samson, Syahdan, dan Sahara
masih berpikir harfiah. Kasihan Mahar, seniman besar kami yang sering dilecehkan.
Karena kecewa sebab karyanya dianggap tak jujur, Mahar setengah hati
menyerahkan karyanya kepada Bu Mus sehingga terlambat. Inilah yang menyebabkan
nilai Mahar agak berkurang sedikit. Yaitu karena melanggar tata tertib batas
penyerahan tugas, bukan karena pertimbangan artistik. Ironis memang.
“Kali ini Ibunda tidak memberimu nilai terbaik untuk mendidikmu sendiri,” kata
Bu Mus dengan bijak pada Mahar yang cuek saja.
“Bukan karena karyamu tidak bermutu, tapi dalam bekerja apa pun kita harus
memiliki disiplin.”
Aku rasa pandangan ini cukup adil. Sebaliknya, aku dan kami sekelas tidak
menganggap keunggulanku dalam nilai kesenian sebagai momentum lahirnya seniman
baru di kelas kami. Seniman besar kami tetap Mahar, the one and only.
Adapun Mahar yang nyentrik sama sekali tidak peduli. Ia tak ambil pusing
mengenai bagaimana karya-karya seninya dinilai dalam skala angka-angka, apalagi
sekarang ia sedang sibuk. Ia sedang berusaha keras memikirkan konsep seni untuk
karnaval 17 Agustus.
BAB XVII
ADA CINTA DI TOKO KELONTONG BOBROK ITU
MEMANG menyenangkan menginjak remaja. Di sekolah, mata pelajaran mulai terasa
bermanfaat. Misalnya pelajaran membuat telur asin, menyemai biji sawi, membedah
perut kodok, keterampilan menyulam, menata janur, membuat pupuk dari kotoran
hewan, dan praktek memasak. Konon di Jepang pada tingkat ini para siswa telah belajar
semikonduktor, sudah bisa menjelaskan perbedaan antara istilah analog dan digital,
sudah belajar membuat animasi, belajar software development, serta praktik merakit
robot.
Tak mengapa, lebih dari itu kami mulai terbata-bata berbahasa Inggris: good
this, good that, excuse me, I beg your pardon, dan I am fine thank you. Tugas yang
paling menyenangkan adalah belajar menerjemahkan lagu. Lagu lama Have I Told You
Lately That I Love Youternyata mengandung arti yang aduhai. Dengarlah lagu penuh
pesona cinta ini. Bermacam-macam vokalis kelas satu telah membawakannya termasuk
pria midlandbersuara serak: Mr. Rod Stewart. Tapi sedapat mungkin dengarlah versi
Kenny Rogers dalam album Vote For Love Volume 1. Lagu cantik itu ada di trek
pertama.
Syair lagu itu kira-kira bercerita tentang seorang anak muda yang benci sekali
jika disuruh gurunya membeli kapur tulis, sampai pada suatu hari ketika ia berangkat
dengan jengkel untuk membeli kapur tersebut, tanpa disadarinya, nasib telah
menunggunya di pasar ikan dan menyergapnya tanpa ampun.
Membeli kapur adalah salah satu tugas kelas yang paling tidak menyenangkan.
Pekerjaan lain yang amat kami benci adalah menyiram bunga. Beragam familia pakis
mulai dari kembang tanduk rusa sampai puluhan pot suplir kesayangan Bu Mus serta
rupa-rupa kaktus topi uskup, Parodia, dan Mammillariaharus diperlakukan dengan
sopan seperti porselen mahal dari Tiongkok. Belum lagi deretan panjang pot amarilis,
kalimatis, azalea, nanas sabrang, Calathea, Stromanthe, Abutilon, kalmus, damar
kamar, dan anggrek Dendrobiumdengan berbagai variannya. Berlaku semena-mena
terhadap bunga-bunga ini merupakan pelanggaran serius.
“Ini adalah bagian dari pendidikan!” pesan Bu Mus serius.
Masalahnya adalah mengambil air dari dalam sumur di belakang sekolah
merupakan pekerjaan kuli kasar. Selain harus mengisi penuh dua buah kaleng cat 15
kilogram dan pontang-panting memikulnya, sumur tua yang angker itu sangat
mengerikan. Sumur itu hitam, berlumut, gelap, dan menakutkan. Diameternya kecil,
dasarnya tak kelihatan saking dalamnya, seolah tersambung ke dunia lain, ke sarang
makhluk jadi-jadian. Beban hidup terasa berat sekali jika pagi-pagi sekali harus
menimba air dan menunduk ke dalam sumur itu.
Hanya ketika menyirami bunga stripped canna beautyaku merasa sedikit
terhibur. Ah, indahnya bunga yang semula tumbuh liar di bukit-bukit lembap di Brazil
ini. Masih dalam familia Apocynaceae maka agak sedikit mirip dengan alamanda tapi
strip-strip putih pada bunganya yang berwarna kuning adalah daya tarik tersendiri yang
tak dimiliki jenis cannalain. Daun hijaunya yang menjulur gemuk-gemuk kontras
dengan gradasi warna kuntum bunga sepanjang musim, menghadirkan pesona
keindahan purba. Orang Parsi menyebutnya bunga surga. Jika ia merekah maka dunia
tersenyum. Ia adalah bunga yang emosional, maka menyiramnya harus berhati-hati.
Tidak semua orang dapat menumbuhkannya. Konon hanya mereka yang bertangan
dingin, berhati lembut putih bersih yang mampu membiakkannya, ialah Bu Muslimah,
guru kami.
Kami memiliki beberapa pot stripped canna beautydan sepakat
menempatkannya pada posisi yang terhormat di antara tanaman-tanaman kerdil nan
cantik Peperomia, daun picisan, sekulen, dan Ardisia. Ketika tiba musim bersemi
bersamaan, maka tersaji sebuah pemandangan seperti kue lapis di dalam nampan.
Aku selalu tergesa-gesa menyirami bunga biar tugas itu cepat selesai, namun
jika tiba pada bagian cannaitu dan para tetangganya tadi, aku berusaha setenangtenangnya.
Aku menikmati suatu lamunan, menduga-duga apa yang dibayangkan orang
jika berada di tengah-tengah surga kecil ini. Apakah mereka merasa sedang berada di
taman Jurassic?
Aku melihat sekeliling kebun bunga kecil kami. Letaknya persis di depan kantor
kepala sekolah. Ada jalan kecil dari batu-batu persegi empat menuju kebun ini. Di sisi
kiri kanan jalan itu melimpah ruah Monstera, Nolina, Violces, kacang polong, cemara
udang, keladi, begonia, dan aster yang tumbuh tinggi-tinggi serta tak perlu disiram.
Bunga-bunga ini tak teratur, kaya raya akan nektar, berdesak-desakan dengan bunga
berwarna menyala yang tak dikenal, bermacam-macam rumput liar, kerasak, dan semak
ilalang.
Secara umum kebun bunga kami mengensankan taman yang dirawat sekaligus
kebun yang tak terpelihara, dan hal ini justru secara tak sengaja menghadirkan paduan
yang menarik hati. Latar belakang kebun itu adalah sekolah kami yang doyong, seperti
bangunan kosong tak dihuni yang dilupakan zaman. Semuanya memperkuat kesan
sebuah paradiso liar, keeksotisan tropika.
Lalu erambat pada tiang lonceng adalah dahan jalar labu air. Seperti tangan
raksasa ia menggerayangi dinding papan pelepak sekolah kami, tak terbendung
menujangkau-jangkau atap sirap yang terlepas dari pakunya. Sebagian dahannya
merambati pohon jambu mawar dan dlima yang meneduhi atap kantor itu. Cabangcabang
buah muda labu air terkulai di depan jendela kantor sehingga dapat dijangkau
tangan. Burung-burugn gelatik rajin bergelantungan di situ. Sepanjang pagi tempat itu
riuh rendah oleh suara kumbang dan lebah madu. Jika aku memusatkan pendengaran
pada dengungan ribuan lebah madu itu, lama-kelamaan tubuhku seakan kehilangan
daya berat, mengapung di udara. Itulah kebun sekolah muhammadiyah, indah dalam
ketidakteraturan, seperti lukisan Kandinsky. Kalau bukan gara-gara sumur sarang jin
yang horor itu, pekerjaan menyiram bunga seharusnya bisa menjadi tugas yang
menyenangkan.
Namun, tugas memebli kapur adalah pekerjaan yang jauh lebih horor. Toko
Sinar Harapan, pemasok kapur satu-satunya di Belitong Timur, amat jauh letaknya.
Sesampainya di sana—di sebuah toko yang sesak di kawasan kumuh pasar ikan yang
becek—jika perut tidak kuat, siapa pun akan muntah karena bau lobak asin, tauco,
kanji, kerupuk udang, ikan teri, asam jawa, air tahu, terasi, kembang kol, pedak cumi,
jengkol, dan kacang merah yang ditelantarkan di dalam baskom-baskom karatan di
depan toko.
Jika berani masuk ke dalam toko, bau itu akan bercampur dengan bau plastik
bungkus mainan anak-anak, aroma kapur barus yang membuat mata berair, bau cat
minyak, bau gaharu, bau sabun colek, bau obat nyamuk, bau ban dalam sepeda yang
bergelantungan di sembarang tempat di seantero toko, dan bau tembakau lapuk di atas
rak-rak besi yang telah bertahun-tahun tak laku dijual.
Dagangan yang tak laku ini tidak dibuang karena pemiliknya menderita suatu
gejala psikologis yang disebut hoarding, sakit gila no. 28, yaitu hobi aneh
mengumpulkan barang-barang rongsokan tak berguna tapi sayang dibuang. Seluruh
akumulasi bau tengik itu masih ditambah lagi dengan aroma keringat kuli-kuli panggul
yang petantang-petenteng membawa gancu, ingar-bingar dengan bahasanya sendiri, dan
lalu-lalang seenaknya memanggul karung tepung terigu.
Belum seberapa, pusat bau busuk yang sesungguhnya berada di los pasar ikan
yang bersebelahan langsung dengan Toko Sinar Harapan. Di sini ikan hiu dan pari
dsangkutkan pada cantolan paku dengan cara menusukkan banar mulai dari insang
sampai ke mulut binatang malang itu, sebuah pemandangan yang mengerikan. Bau amis
darah menyebar ke seluruh sudut pasar. Perut-perut ikan dibiarkan bertumpuk-tumpuk
di sepanjang meja, berjejal tumpah berserakan di lantai yang tak pernah dibersihkan.
Dan bau yang paling parah berasal dari makhluk-makhluk laut hampir busuk yang
disimpan dalam peti-peti terbuka dengan es seadanya.
Pagi itu giliran aku dan Syahdan berangkat ke toko bobrok itu. Kami naik
sepeda dan membuat perjanjian yang bersungguh-sungguh, bahwa saat berangkat ia
akan memboncengku. Ia akan mengayuh sepeda setengah jalan sampai ke sebuh
kuburan Tionghoa. Lalu aku akan menggantikannya mengayuh sampai ke pasar. Nanti
pulangnya berlaku atruan yagn sama. Suatu pengaturan tidak masuk akal yang dibuat
oleh orang-orang frustrasi. Ditambah lagi satu syarat cerewt lainnya, yaitu setiap jalan
menanjak kami harus turun dari sepeda lalu sepeda dituntun bergantian dengan umlah
langkah yang diperhitungkan secara teliti.
Tubuh Syahdan yang kecil terlonjak-lonjak di atas batang sepeda laki punya Pak
Harfan saat ia bersusah payah mengayuh pedal. Sepeda itu terlalu besar untuknya
sehingga tampak seperti kendaraana yang tak bisa ia kuasai, apalagi dibebani tubuhku
di tempat duduk belakang. Namun, ia bertekad terus mengayuh sekuat tenaga. Siapa
pun yang melihat pemandangan itu pasti prihatin sekaligus tertawa. Tapi suasana hatiku
sedang tidak peka untuk segala bentuk komedi. Aku duduk di belakang, tak acuh pada
kesusahannya.
“Turun dulu, tuan raja ...,” Syahdan menggodaku ketika sepeda kami menanjak.
Ia ngos-ngosan, tapi tersenyum lebar dan membungkuk laksana seorangp enjilat.
Syahdan selalu riang menerima tugas apa pun, termasuk menyiram bunga, asalkan
dirinya dapat menghindarkan diri dari pelajaran di kelas. Baginya acara pembelian
kapur ini adalah vakansi kecil-kecilan sambil melihat beragam kegiatan di pasar dan
kesempatan mengobrol dengan beberapa wanita muda pujaannya. Aku turun dengan
malas, dingin, tak tertarik dengan kelakarnya, dan tak punya waktu untuk bertoleransi
pada penderitaan pria kecil ini.
Kami sampai di sebuah Toapekong. Di depannya ada bangunan rendah
berbentuk seperti kue bulan dan di tengah bangunan itu tertempel foto hitam putih
wajah serius seorang nyonya yang disimpan dalam bidang yang ditutupi kaca. Lelehan
lilin merah berserakan di sekitarnya. Itulah kuburan yang kumaksud taid dalam
perjanjian kami, maka tibalah giliranku mengayuh sepeda.
Aku naiki sepeda itu tanpa selera, setengah hati, dan sejak gelindingan roda
yang pertama aku sudah memarahi diriku sendiri, menyesali tugas ini, toko busuk itu,
dan pengaturan bodoh yang kami baut. Aku menggerutu karena rantai sepeda reyot itu
terlalu kencang sehingga berat untuk aku mengayuhnya. Aku juga mengeluh karena
hukum yang tak pernah memihak orang kecil: sadel yang terlalu tinggi, parak oruptor
yang bebas berkeliaran seperti ayam hutan, Syahdan yang berat meskipun badannya
kecil, dunia yang tak pernah adil, dan baut dinamo sepeda yangl onggar sehingga girnya
menempel di ban akibatnya semakin berat mengayuhnya dan menyalakan lampu
sepeda di siang bolong ini persis kendaraan pembawa jenazah.
Syahdan duduk dengan penuh nikmat di tempat duduk belakang sambil
menyiul-nyiulkan lagu Semalam di Malaysia. Ia tak ambil pusing mendegar ocehanku,
peluh hampir masuk ke dalam kelopak matanya tapi wajahnya riang gembira tak alang
kepalang.
Lalu kami memasuki wilayah bangunan permanen yang berderet-deret,
berhadapan satu sama lain hampir beradu atap. Inilah jejeran toko kelontong dengan
konsep menjual semua jenis barang. Sepeda kami meliuk-liuk di antara truk-truk
raksasa yang diparkir seenaknya di depan warung-warung kopi. Di sana hiruk pikuk
para karyawan rendahan PN Timah, pengangguran, bromocorah, pensiunan, pemulung
besi, polisi pamong praja, kuli panggul, sopir mobil omprengan, para penjaga malam,
dan pegawai negeri. Pembicaraan mereka selalu seru, tapi selalu tentang satu topik,
yaitu memaki-maki pemerintah.
Setelah deretan warung kopi lalu berdiri hitam berminyak-minyak beberapa
bengkel sepeda dan tenda-tenda pedagang kaki lima. Kelompok ini berada di sela-sela
mobil omprengan dan para pedagang dadakan dari kampung yang menjual berbagai
hasil bumi dalam keranjang-keranjang pempang. Pedagang kampung ini menjual
beragam jenis rebung, umbi-umbian, pinang, sirih, kayu bakar, madu pahit, jeruk nipis,
gaharu, dan pelanduk yang telah diasap. Bagian akhirp asar ini adalah meja-meja tua
panjang, parit-parit kecil yang mampet, dan tong-tong besar untuk menampung jeroan
ikan, sapi, dan ayam. Baunya membuat perut mual. Inilah pasar ikan.
Pasar ini sengaja ditempatkan di tepi seungai dengan maksud seluruh
limbahnya, termasuk limbah pasar ikan, dapat dengan mudah dilungsurkan ke sungai.
Tapi pasar ini berada di dataran rendah. Akibatnya jika laut pasang tinggi sungai akan
menghanyutkan kembali gunungan sampah organik itu menuju lorong-lorong sempit
pasar. Lalu ketika air surut sampah itu tersangkut pada kaki-kaki meja, tumpukan
kaleng, pagar-pagar yang telah patah, pangkal-pangkal pohon seri, dan tiang-tiang kayu
yang centang perenang. Demikianlah pasar kami, hasil karya perencanaan kota yang
canggih dari para arsitek Melayu yang paling kampungan. Tidak dekaden tapi kacau
balau bukan main.
Toko Sinar Harapan terletak sangat strategis di tengah pusaran bau busuk. Ia
berada di antara para pedagang kaki lima, bengkel sepeda, mobil-mobil omprengan, dan
pasar ikan.
Pembelian sekotak kapur adalah transaksi yang tak penting sehingga pembelinya
harus menunggu sampai juragan toko selesai melayani sekelompok pria dan wanita
yang menutup kepalanya dengan sarung dan berpakaian dengan dominasi warna
kuning, hijau, dan merah. Di sekujur tubuh wanita-wanita ini bertaburan perhiasan
emas—asli maupun imitasi, perak, dan kuningan yang sangat mencolok.
Mereka tidak tertarik untuk berbasa-basi dengan orang-orang Melayu di
sekelilingnya. Mereka hanya berbicara sesama mereka sendiri atau sedikit bicara
dengan Bang Sad atau “bangsat”. Itulah panggilan untuk Bang Arsyad, orang Melayu,
tangan kanan A Miauw sang juragan Toko Sinar Harapan, karena kadang-kadang tabiat
Bang Sad tak jauh dari namanya. Pria-pria bersarung ini berbicara sangat cepat dengan
nada yang beresklasi harmonis naik turun dalam bandyang lebar, maka akan terdengar
persis pola akumulatif suara ombak menghempas pantai, suatu lingua yang sangat
cantik.
A Miauw sendiri adalah sesosok teror. Pira yang sok mendapat hoki ini sangat
berlagak bagai bos. Tubuhnya gendut dan ia selalu memakai kaus kutang, celana
pendek, dan sandal jepit. Di tangannya tak pernah lepas sebuah buku kecil panjang
bersampul otif batik, buku utang. Pensil terselip di daun telinganya yang berdaging
seperti bakso dan di atas mejanya ada sempoa besar yang jika dimainkan bunyinya
mampu merisaukan pikiran.
Tokoknya lebih cocok jika disebut gudang rabat. Ratusan jenis barang
bertumpuk-tumpuk mencapai plafon di dalam ruangan kecil yang sesak. Selain berbagai
jenis sayur, buah, dan makanan di dalma baskom-baskom karatan tadi, toko ini juga
menjual sajadah, asinan kedondong dalma stopelas-stoples tua, pita mesin tik, dan cat
besi dengan bonus kalender wanita berpakaian seadanya.Di dalam sebuah bufet kaca
panjang dipajang bedak kerang pemutih wajah murahan, tawas, mercon, peluru senapan
angin, racun tikus, kembang api, dan antena TV. Jika kita terburu-buru membeli obat
diare cap kupu-kupu, maka jangan harap A Miauw dapat segera menemukannya.
Kadang-kadang ia sendiri tak tahu di mana puyer itu disimpan. Ia seperti tertimbun
dagangan dan tenggelam di tengah pusaran barang-barang kelontong.
“ Kiak-kiak!”
A Miauw memanggil tak sabar, dan Bang Sad tergopoh-gopoh menghampirinya.
“ Magai di Manggara masempo linna?”
Orang-orang bersarung keberatan ketika mengamati harga kaus lampu
petromaks. Di Manggar lebih murah kata mereka.
“ Kito lui, ba? Ngape de Manggar harge e lebe mura?”
Bang Sad menyampaikan keluhan itu pada juragannya dalam bahasa Kek
campur Melayu.
Aku sudah muak di dalam toko bau ini tapi sedikit terhibur dengan percakapan
tersebut. Aku baru saja menyaksikan bagaimana kompleksitas perbedaan budaya dalam
komunitas kami didemonstrasikan. Tiga orang pria dari akar etnik yang sama sekali
berbeda berkomunikasi dengan tiga macam bahasa ibu masing-masing, campur aduk.
Orang-orang yang berjiwa penuh prasangka akan menduga A Miauw sengaja
merekayasa konfigurasi komunikasi seperti itu untuk keuntungannya sendiri, namun
mari kugambarkan sedikit kepribadian A Miauw. Ia memang pria congkak dengan
intonasi bicara tak enak didengar, wajahnya juga seperti orang yang selalu ingin
memerintah, kata-katanya tidak bersahabat, dan badannya bau tengik bawang putih,
tapi ia adalah seorang Kong Hu Cu yang taat dan dalam hal berniaga ia jujur tak ada
bandingannya.
Maka dalam harmoni masyarakat kami, warga Tionghoa adalah pedagang yang
efisien. Adapun para produsen berada di negeri antah berantah, mereka hanya kami
kenal melalui tulisan made in... yang tertera di buntut-buntut panci. Orang-orang
Melayu adalah kaum konsumen yang semakin miskin justru semakin konsumtif.
Sedangkan orang-orang pulau berkerudung tadi adalah para pembuka lapangan kerja
musiman bagi warga suku Sawang yang memanggil belanjaan mereka.
“ Segere! Siun! Siun!” hardik tiga orang Sawang, kuli panggul, yang numpang
lewat, membyuarkan lamunanku. Mereka adalah kawan yang telah lama kukenal.
Dolen, Baset, dan Kunyit, begitulah nama mereka. Agaknya urusan A Miauw dengan
orang-orang berkerudung itu telah selesai dan sekarang masuklah ia ke transaksi kapur.
“Aya...ya..., Muhammadiyah! Kapur tulis!” keluh A Miauw menarik napas
panjang, seolah kami hanya akan merusak hokinya.
Acara pembelian kapur adalah rutin dan sama. Setelah menunggu sekian lama
sampai hampir pingsan di dalam toko bau itu, A Miauw akan berteriak nyaring
memerintahkan seseorang mengambil sekotak kapur. Lalu dari ruang belakang akan
terdengar teriakan jawaban dari seseorang—yang selalu kuduga seorang gadis kecil—
yang juga berbicara nyaring, lantang, dan cepat seperti kicauan burung murai batu.
Kotak kapur dikeluarkan melalui sebuah lubang kecil persegi empat seperti
kandang burung merpati. Yang terlihat hanya sebuah tangan halus, sebelah kanan, yang
sangat putih bersih, menjulurkan kotak kapur melalui lubang itu. Wajah pemilik tangan
ini adlaah misterius, sang burung murai batu tadi, tersembunyi di balik dinding papan
yang membatasi ruangan tengah toko dengan gudang barang dagangan di belakang.
Sang misteri ini tidak pernah bicara sepatah kata pun padaku. Ia menjulurkan kotak
kapur dengan tergesa-gesa dan menarik tangannya cepat-cepat seperti orang
mengumpankan daging ke kandang macan. Demikianlah berlangsung bertahun-tahun,
prosedurnya tetap, itu-itu saja, tak berubah.
Jika tangannya menjulur tak kulihat ada cincin di jari-jemarinya yang lentik,
halus, panjang-panjang, dan ramping, namun siuk a, gelang giok indah berwarna hijau
tampak berkarakter dan melingkar garang pada pergelangan tangannya yang ditumbuhi
bulu-bulu halus. Dalam hatiku, jika kau berani macam-macam pastilah jemarinya
secepat patukan bangau menusuk kedua bola mataku dengan gerakan kuntau yang tak
terlihat. Mungkin pula gelang giok yang selalu membuatku segan itu diwarisinya dari
kakeknya, seorang suhu sakti, yang mendapatkan gelang itu dari mulut seekor naga
setelah naga itu dibinasaan dalam pertarunagan dahsyat untuk merebut hati neneknya.
Ah! Kiranya aku terlalu banyak nonton film shaolin.
Namun, tahukah Anda? Di balik kesan yang garang itu, di ujung jari-jemari
lentik si misterius ini tertanam paras-paras kuku nan indah luar biasa, terawat amat
baik, dan sangat memesona, jauh lebih memesona dibanding gelang giok tadi. Tak
pernah kulihat kuku orang Melayu seindah itu, apalagi kuku orang Sawang. Ia tak
pernah memakai kuteks. Aliran urat-urat halus berwarna merah tersembunyi samarsamar
di dalam kukunya yang saking halus dan putihnya sampai tampak transparan.
Ujung-ujung kuku itu dipotong dengan presisi yang mengagumkan dalam bentuk
seperti bulan sabit sehingga membentuk harmoni pada kelima jarinya.
Permukaan kulit di seputar kukunya sangat rapi, menandakan perawtan intensif
dengan merendamnya lama-lama di dalam bejana yang berisi air hangat dan pucukpucuk
daun kenanga. Ketika memanjang, kuku-kuku itu bergerak maju ke depan
dengan bentuk menunduk dan menguncup, semakin indah seperti batu-batu kecubung
dari Martapura, atau lebih tepatnya seperti batu kinyang air muda kebiru-biruan yang
tersembunyi di kedalaman dasar Sungai Mirang. Amat berbeda dengan kuku Sahar
yang jika memanjang ia akan melebar dan makin lama semakin menganga, persis
seperti mata pacul.
Dan yang tercantik dari yang paling cantik adalah kuku jari manisnya. Ia
memperlihatkan seni perawatan kuku tingkat itnggi melalui potongan pendek natural
dengan tepian kuku berwarna kulit yang klasik. Tak berlebihan jika kukatakan bahwa
paras kuku jari manis nona misterius ini laksana batu merah delima yang terindah di
antara tumpukan harta karun raja brana yang tak ternilai harganya.
Aku sudah terlalu sering mendapatkan tugas membeli kapur yang
menjengkelkan ini, sudah puluhan kali. Satu-satunya penghiburan dari tugas horor ini
adalah kesempatan menyaksikan sekilas kuku-kuku itu lalu menertawakan bagaimana
kontrasnya kuku-kuku zamrud khatulistiwa tersebut dibanding potongan-potongan kecil
terasi busuk di seantero toko bobrok ini. Karena terlalu sering, aku jadi hafal jadwal si
nona misterius memotong kukunya setiap hari Jumat, lima minggu sekali.
Demikianlah berlangsung selama beberapa tahun. Aku tak pernah seklai pun
melihat wajah non aini dan ia pun sama sekali tak berminat melihat bagaimana rupaku.
Bahkan setiap kuucapkan kamsia setelah kuterima kotak kapurnya, ia juga tidak
menjawab. Diam seribu bahasa. Non penuh rahasia ini seperti pengejawantahan
makhluk asing dari negeri antah berantah, dan ia dengan sangat konsisten menjaga
jarak denganku. Tidak ada basa basi, tak ada ngobrol-ngobrol, tak ada buang-buang
waktu untuk soal remeh-temeh, yang ada hanya bisnis!
Kadangkala aku penasaran ingin melihat bagaimana wajah pemilik kuku-kuku
nirwana itu. Apakah wajahnya seindah kuku-kukunya? Apakah jari-jari tangan kirinya
seindah jari-jari tangan kanannya? Atau ... apakah dia Cuma punya satu tangan?
Jangan-jangan dia tidak punya wajah! Tapi semua pikiran itu hanya di dalam hatiku
saja. Tak ada niat sedikit pun untuk mengintip wajahnya. Mendapat kesempatan
memandangi kuku-kukunya saja pun cukuplah untuk membuatku bahagia. Kawan, aku
tidak termasuk dalam golongan pria-pria yang kurang ajar.
Biasanya setelah mengambil kapur, ikami langsung pulang, A Miauw akan
mencatat di buku utang dan nanti akan dilunasi Pak Harfan setiap akhir bulan. Kami tak
berurusan dengan masalah keuangan, dan ketika kami berlalu, si juragan itu tak sedikit
pun melirik kami. Ia menjentikkan dengan keras biji-biji sempoe seolah mengingatkan
“Utang kalian sudah menumpuk!”
Bagi A Miauw kami adalah pelanggan yang tidak menguntungkan, alias hanya
merepotkan saja. Kalau sekali-kali Syahdan mendekatinya untuk meminjam pompa
sepeda, ia akan meminjamkan pompa itu sambil mengomel meledak-ledak. Aku benci
sekali melihat kaus kutangnya itu.
Sekarang sudah hampir tengah hari, udara s emakin panas. Berada di tengah
toko ini serasa direbus dalam panci sayur lodeh yang mendidih. Cuaca mendung tapi
gerahnya tak terkira. Aku sudah tak tahan dan mau muntah. Untungnya A Miauw,
seperti biasa, menjerit memerintahkan nona misterius agar menjulurkan kapur di kotak
merpati. Dengan pandangan matanya yang sok kuasa A Miauw memberiku isyarat
untuk mengambil kapur itu.
Aku berjalan cepat melintas iakrung-karung bawang putih tengik sambil
menutup hidung. Aku bergegas agar tugas penuh siksaan ini segera selesai. Namun,
tinggal beberapa langkah mencapai kotak merpati sekejap angin semilir yang sejuk
berembus meniup telingaku—hanya sekejap saja. Saat itu tak kusadari bahwa sang
nasib yang gaib menyelinap ke dalam toko bobrok itu, mengepungku, dan menyergapku
tanpa ampun, karena tepat pada momen itu kudengar si nona berteriak keras
mengejutkan:
“Haiyaaaaa.... !!!”
Bersamaan dengan teriakan itu terdengar suara puluhan batangan kapur jatuh di
atas lantai ubin.
Rupanya si kuku cantik sembrono sehingga ia menjatuhkan kotak kapur
sebelum aku sempat mengambilnya. Maka kapur-kapur itu sekarang berserakan di
lantai.
“Ah...,” keluhku.
Agaknya aku harus merangkak-rangkak, memunguti kapur-kapur itu di sela-sela
karung buah kemiri, meskipun kulitnya telah dikelupas, tapi buahnya masih basah
sehingga berbau memusingkan kepala. Kuperlukan bantuan Syahdan, namun kulihat ia
sedang berbicara dengan putri tukang hok lo panatau martabak terang bulan seperti
orang menceritakan dirinya sedang banyak uang karena baru saja selesai menjual 15
ekor sapi. Aku tak mau mengganggu saat-saat gombalnya itu.
Maka apa boleh buat, kupunguti susah payah kapur-kapur itu. Sebagian kapur
itu jatuh di bawah daun pintu terbuka yang dibatasi oleh tirai yang amat rapat, terbuat
dari rangkaian keong-keong kecil. Aku tahu di balik tirai itu, sang nona itu juga
memunguti kapur karena kudengar gerutuannya.
“Haiyaaa ... haiyaaa ....”
Ketika aku sampai pada kapur-kapur yang berserakan persis di bawah tirai itu,
hatiku berkata pasti nona ini akan segera menutup pintu agar aku tidak punya
kesempatan sedikit pun untuk melihat dia lebih dari melihat kukunya, namun yang
terjadi kemudian sungguh di luar dugaan. Kejadiannya sangat mengejutkan, karena
amat cepat, tanpa disangka sama sekali, si nona misterius justru tiba-tiba membuka tirai
dan tindakan cerobohnya itu membuat wajah kami sama-sama terperanjat hampir
bersentuhan!!! Kami beradu pandang dekat sekali ... dan suasana seketika menjadi
hening .... Mata kami bertatapan dengan perasaan yang tak dapat kulukiskan dengan
kata-kata. Kapur-kapur yang telah ia kumpulkan terlepas dari genggamannya, jatuh
berserakan, sedangkan kapur-kapur yang ada di genggamanku terasa dingin membeku
seperti aku sedang mencengkeram batangan-batangan es lilin.
Saat itu kau merasa jarum detik seluruh jam yang ada dunia ini berhenti
berdetak. Semua gerakan alam tersentak diam dipotret Tuhan dengan kamera raksasa
dari langit, blitz-nya membutakan, flash!!! Menyilaukan dan membekukan. Aku terpana
dan merasa seperti melayang, mati suri, dan mau pingsan dalam ekstase. Aku tahu A
Miauw pasti sedang berteriak-teriak tapi aku tak mendengar sepatah kata pun dan aku
tahu persis bau busuk toko itu semkin menjadi-jadi dalam udara pengap di bawah atap
seng, tapi pancaindraku telah mati. Aliran darah di sekujur tubuhku menjadi dingin,
jantungku berhenti berdetak sebentar kemudian berdegup kencang sekali dengan ritme
yang kacau seperti kode morse yang meletup-letupkan pesan SOS. Lebih dari itu aku
menduga bahwa dia, si misterius berkuku seindah pelangi, yang tertegun seperti patung
persis di depan hidungku ini, agaknya juga dilanda perasaan yang sama.
“ Siun! Siun! Segere...!” teriak kuli-kuli Sawang, terdengar samar, menggema
jauh berulang-ulang seperti didengungkan di dalma gua yang panjang dan dalam,
mereka memintaku minggir.
Tapi kami berdua masih terpaku pandang tanpa mampu berkata apa pun, lidahku
terasa kelu, mulutku terkunci rapat—lebih tepatnya ternganga. Tak ada satu kata pun
yang dapat terlaksana. Aku tak sanggup beranjak. Wanita ini memiliki aura yang
melumpuhkan. Tatapan matanya itu mencengkeram hatiku.
Ia memiliki struktur wajah lonjong dengan air muka yang sangat menawan.
Hidungnya kecil dan bangir. Garis wajahnya tirus dengan tatapan mata kharismatik
menyejukkan seklaigus menguatkan hati, seperti tatapan wanita-wanita yang telah
menjadi ibu suri. Jika menerima nasihat dari wanita bermata semacam ini, semangat
pria mana pun akan berkobar.
Bajunya ketat dan bagus seperti akan berangkat kondangan, dengan dasar biru
dan motif kembang portlandicakecil-kecil berwarna hijau muda menyala. Kerah baju
itu memiliki kancing sebesar jari kelingking, tinggi sampai ke leher, merefleksikan
keanggunan seorang wanita yang menjaga integritasnya dengan keras. Alisnya indah
alami dan jarak antara alis dengan batas rambut di keningnya membentuk proporsi yang
cantik memesona. Ia adalah lukisan Monalisa yang ditenggelamkan dalam danau yang
dangkal dan dipandangi melalui terang cahaya bulan.
Seperti kebanyakan ras Mongoloid, tulang pipinya tidak menonjol, tapi bidang
wajahnya, bangun bahunya, jenjang lehernya, potongan rambutnya, dan jatuh dagunya
yang elegan menciptakan keseluruhan kesan dirinya benar-benar mirip Michelle Yeoh,
bintang film Malaysia yang cantik itu. Maka terkuaklah rahasia yang tertutup rapi
selama bertahun-tahun. Sang pemilik kuku-kuku indah itu ternyata seorang wanita
muda cantik jelita dengan aura yang tak dapat dilukiskan dengan cara apa pun.
Kejadian ini membaut pipinya yang putih bersih tiba-tiba memerah dan matanya
yang sipit bening seperti ingin menghamburkan air mata. Aku tahu bahwa selain sejuta
perasaan tadi yang mungkin sama-sama melanda kami, ia juga merasakan malu tak
terkira. Ia bangkit dengan cepat dan membanting pintu tanpa ampun. Ia tak peduli
dengan kapur-kapur itu dan tak peduli padaku yang masih hilang dalam tempat dan
waktu.
Suara keras bantingan pintu itu membuatku siuman dari sebuah pesona yang
memabukkan dan menyadarkan aku bahwa aku telah jatuh cinta. Aku limbung,
kepalaku pening dan pandangan mataku berkunang-kunang karena syok berat.
Beberapa waktu berlalu aku masih terduduk terbengong-bengong bertumpu di atas
lututku yang gemetar. Aku mencoba mengatur napas dan darahku berdesir menyelusuri
seluruh tubuhku yang berkeringat dingin. Aku baru saja dihantam secara dahsyat oleh
cinta pertama pada pandangan yang paling pertama. Sebuah perasaan hebat luar biasa
yang mungkin dirasakan manusia.
Aku berupaya keras bangun dan ketika aku menoleh ke belakang, orang-orang
di sekelilingku, Syahdan yang menghampiriku, A Miauw yang menunjuk-nunjuk,
orang-orang bersarung yang pergi beriringan, dan kuli-kuli Sawang yang terhuyunghuyung
karena beban pikulannya, mereka semuanya, seolah bergerak seperti dalam
slow motion, demikian indah, demikian anggun. Bahkan para uli panggul yang
memilikul karung jengkol tiba-tiba bergerak penuh wibawa, santun, lembut, dan
berseni, seolah mereka sedang memperagakan busana Armani yang sangat mahal di
atas catwalk.
Aku tak peduli lagi dengan kotak kapur yang isinya tinggal setengah. Aku
berbalik meninggalkan toko dan merasa kehilangan seluruh bobot tubuh dan beban
hidupku. Langkahku ringan laksana orang suci yang mampu berjalan di atas air. A ku
menghampiri sepeda reyot Pak Harfan yang sekarang terlihat seperti sepeda keranjang
baru. Aku dihinggapi semacam perasasaan bahagia yang aneh, sebuah rasa bahagia
bentuk lain yang belum pernah kualami sebelumnya. Rasa bahagia ini melebihi ketika
aku mendapat hadiah radio transistor 2- banddari ibuku sebagai upah mau disunat
tempo hari.
Ketika mempersiapkan sepeda untuk pulang, aku mencuri pandang ke dalam
toko. Kulihat dengan jelas Michele Yeoh mengintipku dari balik tirai keong itu. Ia
berlindung, tapi sama sekali tak menyembunyikan persaaannya. Aku kembali melayang
menembus bintang gemerlapan, menari-nari di atas awan, menyanyikan lagu nostalgia
Have I Told You Lately That I Love You. Aku menoleh lagi ke belakang, di situ, di
antara tumpukan kemiri basah yang tengik, kaleng-kaleng minyak tanah, dan karungkarung
pedak cumi aku telah menemukan cinta.
Kutatap Syahdan dengan senyum terbaik yang aku memiliki—ia membalas
dengan pandangan aneh—lalu kuangkat tubuhnya yang ekcil untuk mendudukkannya di
atas sepeda. Aku ingin, degnan gemira, mengayuh sepeda itu, membonceng Syahdan,
mengantarnya ke tempat-tempat di mana saja di jagad raya ini yang ia inginkan. Oh,
inilah rupanya yang disebut mabuk kepayang!
Dalam perjalanan pulang aku dengan sengaja melanggar perjanjian. Setelah
kuburan Tionghoa aku tak meminta Syahdan menggantikanku. Karena aku sedang
bersukacita. Seluruh energi positif kosmis telah memberiku kekuatan ajaib. Semua
terasa adil kalau sedang jatuh cinta. Cinta memang sering membuat perhitungan
menjadi kacau. Sepanjang perjalanan aku bersiul dengan lagu yang tak jelas. Lagu
tanpa harmoni; lagu yang belum pernah tercipta, karena yang menyanyi bukan mulutku,
tapi hatiku. Jika sedang tak bersiul di telingaku tak henti-henti berkumandang lagu All I
Have to Do is Dream.
Seusai pelajarn aku dan Syahdan dipanggil Bu Mus untuk
mempertanggungjawabkan kapur yang kurang. Aku diam meatung, tak mau berdusta,
tak mau menjawab apa pun yang ditanyakan, dan tak mau membantah apa pun yang
dituduhkan. Aku siap menerima hukuman seberat apa pun—termasuk jikalau harus
mengambil ember yang kemarin dijatuhkan Trapani di sumur horor itu. Saat itu yang
ada di pikiranku hanyalah Michele Yeoh, Michele Yeoh, dan Michele Yeoh, serta
detik-detik ketika cinta menyergapku tadi. Hukuman yang kejam hanya akan
menambah sentimentil suasana romantis di mana aku rela masuk sumur maut dunia lain
sebagai pahlawan cinta pertama .... Ah! Cinta ...
Benar saja hukumannya seperti kuduga. Sebelum turun ke dalam sumur sempat
kulihat Bu Mus menginterogasi Syahdan yang mengangkat-angkat bahunya yang kecil,
menggeleng-gelengkan kepalanya, dan menyilangkan jarinya di kening.
“Hari! Ia menuduhku sudah sinting ...?”
Comments
Post a Comment
Bagi Yang Mau Memberi Komentar Tinggal Poskan Komentar di Kotak Komentar..
Yang tak punya url bisa dikosongkan..
tapi tolong di diisi oke Name-nya
Komentar anda saya tunggu :d