BAB XVIII
M O R A N
BARU kali ini Mahar menjadi penata artistik karnaval, dan karnaval ini tidak main-main,
inilah peristiwa besar yang sangat penting, karnaval 17 Agustus. Sebenarnya guru-guru
kami agak pesimis karena alasan klasik, yaitu biaya. Kami demikian miskin sehingga tak
pernah punya cukup dana untuik membuat karnaval yang representatif. Para guru juga
merasa malu karena parade kami kumuh dan itu-itu saja. Namun, ada sedikit harapan
tahun ini. Harapan itu adalah Mahar.
Karnaval 17 Agustus sangat potensial untuk meningkatkan gengsi sekolah, sebab
ada penilaian serius di sana. Ada kategori busana terbaik, parade paling megah, peserta
paling serasi, dan yang paling bergengsi: penampil seni terbaik. Gengsi ini juga tak
terlepas dari integritas para juri yang dipimpin oleh seorang seniman senior yang sudah
kondang, Mbah Suro namanya. Mbah Suro adalah orang Jawa, ia seniman Yogyakarta
yang hijrah ke Belitong karena idealisme berkeseniannya. Karena sangat idelais maka
tentu saja Mbah Suro juga sangat melarat.
Seperti telah diduga siapa pun, seluruh kategori—mulai dari juara pertama sampai
juara harapan ketiga—selalu diborong sekolah PN. Kadang-kadang sekolah negeri
mendapat satu dua sisa juara harapan. Sekolah kampung tak pernah mendapat
penghargaan apa pun karena memang tampil sangat apa adanya. Tak lebih dari
penggembira.
Sekolah-sekolah negeri mampu menyewa pakaian adat lengkap sehingga tampil
memesona. Sekolah-sekolah PN lebih keren lagi. Parade mereka berlapis-lapis, paling
panjang, dan selalu berada di posisi paling strategis. Barisan terdepan adalah puluhan
sepeda keranjang baru yang dihias berwarna-warni. Bukan hanya sepedanya,
pengendaranya pun dihias dengan pakaian lucu. Lonceng sepeda dibunyikan dengan
keras bersama-sama, sungguh semarak.
Pada lapisan kedua berjejer mobil-mobil hias yang dindandani berbentuk perahu,
pesawat terbang, helikopter, pesawat ulang alik Apollo, taman bunga, rumah adat
Melayu, bahkan kapal keruk. Di atas mobil-mobil ini berkeliaran putri-putri kecil
berpakaian putih bersih, bermahkota, dengan rok lebar seperti Cinderella. Putri-putri peri
ini membawa tongkat berujung bintang, melambai-lambaikan tangan pada para penonton
yang bersukacita dan melempar-lemparkan permen.
Setelah parade mobil hias muncullah barisan para profesional, yaitu para murid
yang berdandan sesuai dengan cita-cita mereka. Banyak di antara mereka yang berjubah
putih, berkacamata tebal, dan mengalungkan stetoskop. Tentulah anak-anak ini nanti jika
sudah besar ingin jadi dokter.
Ada juga para insinyur dengan pakaian overalldan berbagai alat, seperti test pen,
obeng ,dan berbagai jenis kunci. Beberapa siswa membawa buku-buku tebal, mikroskop,
dan teropong bintang karena ingin menjadi dosen, ilmuwan, dan astronom. Selebihnya
berseragam pilot, pramugari, tentara, kapten kapal, dan polisi, gagah sekali. Gurugurunya
—di bawah komando Ibu Frischa—tampak sangat bangga, mengawal di depan,
belakang, dan samping barisan, masing-masing membawa handy talky.
Setelah lapisan profesi tadi muncul lapisan penghibur yang menarik. Inilah
kelompok badut-badut, para pahlawan super seperti Superman, Batman, dan Captain
America. Balon-balon gas menyembul-nyembul dibawa oleh kurcaci dengan tali-tali
setinggi tiang telepon. Dalam barisan ini juga banyak peserta yang memakai baju
binatang, mereka menjadi kuda, laba-laba, ayam jago, atau ular-ular naga. Mereka
menari-nari raing dengan koreografi yang menarik. Mereka juga bernyanyi-nyanyi
sepanjang jalan, mendendangkan lagu anak-anak yang riang. Yang paling menponjol dari
penampilan kelompok ini adalah serombongan anak-anak yang berjalan-jalan memakai
engrang. Di antara mereka ada seorang anak perempuan dengan egrang paling tinggi
melintas dengan tangkas tanpa terlihat takut akan jatuh. Dialah Flo, dan dia melangkah ke
sana kemari sesuka hatinya tanpa aturan. Penata rombongan ini susah payah
menertibkannya tapi ia tak peduli. Ayah ibunya tergopoh-gopoh mengikutinya, berteriak-teriak
menyuruhnya berhati-hati, Flo berlari-lari kecil di atas egrang itu membuat kacau
barisannya.
Penutup barisan karnaval sekolah PN adalah barisan marching band. Bagian yang
paling aku sukai. Tiupan puluhan trambon laksana sangkakala hari kiamat dan dentuman
timpani menggetarkan dadaku. Marching bandsekolah PN memang bukan sembarangan.
Mereka disponsori sepenuhnya oleh PN Timah. Koreografer, penata busana, dan penata
musiknya didatangkan khusus dari Jakarta. Tidak kurang dari seratus lima puluh siswa
terlibat dalam marching bandini, termasuk para colour guardyang atraktif. Tanpa
marching bandsekolah PN, karnaval 17 Agustus akan kehilangan jiwanya.
Puncak penampilan parade karnaval sekolah PN adalah saat barisan panjang
marching bandmembentuk fomrasi dua kali putaran jajaran genjang sambil memberi
penghormatan di depan podium kehormatan. Dengan penataan musik, koregrafi, dan
busana yang demikian luar biasa, marching bandPN selalu menyabet juara pertama
untuk kategori yang paling bergengsi tadi, yaitu Penampil Seni Terbaik. Kategori ini
sangat menekankan konsep performing artdalam trofinya adalah idaman seluruh peserta.
Sudah belasan tahun terakhir, tak tergoyahkan, trofi tersebut terpajang abadi di lemari
prestisius lambang supremasi sekolah PN.
Podium kehormatan merupakan tempat terhormat yang ditempati makhlukmakhluk
terhormat, yaitu Kepala Wilayah Operasi PN Timah, sekretarisnya, seseorang
yang selalu membawa walky talky, beberapa pejabat tinggi PN Timah, Pak Camat, Pak
Lurah, Kapolsek, Komandan Kodim, para Kepala Desa, para tauke, Kepala Puskesmas,
para Kepala Dinas, Tuan Pos, Kepala Cabang Bank BRI, Kepala Suku Sawang, dan
kepala-kepala lainnya, beserta ibu. Podium ini berada di tengah-tengah pasar dan di
sanalah pusat penonton yang paling ramai. Masyarakat lebih suka menonton di dekat
podium daripada di pinggir-pinggir jalan, karena di podium para peserta diwajibkan
beraksi, menunjukkan kelebihan, dan mempertontonkan atraksi andalannya sambil
memberi penghormatan. Di sudut podium itulah bercokol Mbah Suro dan para juri yang
akan memberi penilaian.
Bagi sebagian warga Muhammadiyah, karnaval justru pengalaman yang kurang
menyenangkan, kalau tidak bisa dibilang traumatis. Karnaval kami hanya terdiri atas
serombongan anak kecil berbaris banjar tiga, dipimpin oleh dua orang siswa yang
membawa spanduk lambang Muhammadiyah yang terbuat dari kain belacu yang sudah
lusuh. Spanduk itu tergantung menyedihkan di antara dua buah bambu kuning seadanya.
Di belakangnya berbaris para siswa yang memakai sarung, kopiah, dan baju takwa.
Mereka melambangkan tokoh-tokoh Sarekat Islam dan pelopor Muhammadiyah tempo
dulu.
Samson selalu berpakaian seperti penjaga pintu air. Tentu bukan karena setelah
besar ia ingin jadi penjaga pintu air seperti ayahnya, tapi hanya itulah kostum karnaval
yang ia punya. Sedangkan pakaian tetap Syahdan adalah pakaian nelayan, juga sesuai
dengan profesi ayahnya. Adapun A Kiong selalu mengenakan baju seperti juri kunci
penunggu gong sebuah perguruan shaolin.
Sebagian besar siswa memakai sepatu bot tinggi, baju kerja terusan, dan helm
pengaman. Pakaian ini juga milik orangtuanya. Mereka memperagakan diri sebagai buruh
kasar PN Timah. Beberapa orang yang tidak memiliki sepatu bot atau helm tetap nekat
berparade memakai baju terusan. Jika ditanya, mereka mengatakan bahwa mereka adalah
buruh timah yang sedang cuti.
Selebihnya memanggul setandan pisang, jagung, dan semanggar kelapa. Ada pula
yang membawa cangkul, pancing, beberapa jerat tradisional, radio, ubi kayu, tempat
sampah, dan gitar. Agar lebih dramatis Syahdan membawa sekarung pukat, Lintang
meniup-niup peluit karena ia wasit sepak bola, sementara aku dan Trapani berlari ke sana
kemari mengibas-ngibaskan bendera merah karena kami adalah hakim garis.
Beberapa siswa memikul kerangka besar tulang belulang ikan paus, membawa
tanduk rusa, membalut dirinya dengan kulit buaya, dan menuntun beruk peliharaan—tak
jelas apa maksudnya. Seorang siswa tampak berpakaian rapi, memakai sepatu hitam,
celana panjang warna gelap, ikat pinggang besar, baju putih lengan panjang dan
menenteng sebuah tas koper besar. Siswa ajaib ini adalah Harun. Tak jelas profesi apa
yang diwakilinya. Di mataku dia tampak seperti orang yang diusir mertua.
Demikianlah karnaval kami seetiap tahun. Tak melambangkan cita-cita. Mungkin
karena kami tak berani bercita-cita. Setiap siswa disarankan memakai pakaian profesi
orangtua karena kami tak punya biaya untuk membuat atau menyewa baju karnaval.
Semuanya adalah wakil profesi kaum marginal. Maka dalam hal ini Kucai juga
berpakaian rapi seperti Harun dan ia melambai-lambaikan sepucuk kartu pensiun kepada
para penonton sebab ayahnya adalah pensiunan. Sedangkan beberapa adik kelasku
terpaksa tidak bisa mengikuti karnaval karena ayahnya pengangguran.
Satu-satunya daya tarik karnaval kami adalah Mujis. Meskipun bukan murid
Muhammadiyah namun tukang semprot nyamuk ini selalu ingin ikut. Dengan dua buah
tabung seperti penyelam di punggungnya dan topeng yang berfungsi sebagai kacamata
dan penutup mulut seperti moncong babi, ia menyemprotkan asap tebal dan anak-anak
kecil yang menonton di pinggir jalan berduyun-duyun mengikutinya.
Jika melewati podium kehormatan, biasanya kami berjalan cepat-cepat dan berdoa
agar parade itu cepat selesai. Nyaris tak ada kesenangan karena minder. Hanya Harun,
dengan koper zaman The Beatles-nya tadi yang melenggang pelan penuh percaya diri dan
melemparkan senyum penuh arti kepada para petinggi di podium kehormatan.
Mungkin dalam hati para tamu terhormat itu bertanya-tanya, “Apa yang dilakukan
anak-anak bebek ini?”
Kenyataan inilah yang memicu pro dan kontra di antara murid dan guru
Muhammadiyah setiap kali akan karnaval. Beberapa guru menyarankan agar jangan ikut
saja daripada tampil seadanya dan bikin malu. Mereka yang gengsian dan tak kuat mental
seperti Sahara jauh-jauh hari sudah menolak berpartisipasi. Maka sore ini, Pak Harfan,
yang berjiwa demokratis, mengadakan rapat terbuka di bawah pohon fillicium. Rapat ini
melibatkan seluruh guru dan murid dan Mujis.
Beliau diserang bertubi-tubi oleh para guru yang tak setuju ikut karnaval, tapi
beliau dan Bu Mus berpendirian sebaliknya. Suasana memanas. Kami terjebak di tengah.
“Karnaval ini adalah satu-satunya cara untuk menunjukkan kepada dunia bahwa
sekolah kita ini masih eksis di muka bumi ini. Sekolah kita ini adalah sekolah Islam yang
mengedepankan pengajaran nilai-nilai religi, kita harus bangga dengan hal itu!”
Suara Pak Harfan bergemuruh. Sebuah pidato yang menggetarkan. Kami bersorak
sorai mendukung beliau. Tapi tak berhenti sampai di situ.
“Kita harus karnaval! Apa pun yang terjadi! Dan biarlah tahun ini para guru tidak
ikut campur, mari kita beri kesempatan kepada orang-orang muda berbakat seperti Mahar
untuk menunjukkan kreativitasnya, tahukah kalian ... dia adalah seniman yang genius!”
Kali ini tepuk tangan kami yang bergemuruh, gegap gempita sambil berteriakteriak
seperti suku Mohawk berperang. Pak Harfan telah membakar semangat kami
sehingga kami siap tempur. Kami sangat mendukung keputusan Pak Harfan dan sangat
senang karena akan digarap oleh Mahar, teman kami sekelas. Kami mengelu-elukannya,
tapi ia tak tampak. Ooh, rupanya dia sedang bertengger di salah satu dahan filicium. Dia
tersenyum.
Sebagai kelanjutan keputusan rapat akbar, Mahar serta-merta mengangkat A
Kiong sebagai General Affair Assistant, yaitu pembantu segala macam urusan. A Kiong
mengatakan padaku tiga malam dia tak bisa tidur saking bangganya dengan penunjukan
itu. Dan telah tiga malam pula Mahar bersemadi mencari inspirasi. Tak bisa diganggu.
Kalau masuk kelas Mahar diam seribu bahasa. Belum pernah aku melihatnya
seserius ini. Ia menyadari bahwa semua orang berharap padanya. Setiap hari kami dan
para guru menunggu dengan was was konsep seni kejutan seperti apa yang akan ia
tawarkan. Kami menunggu seperti orang menunggu buku baru Agatha Christie. Jika kami
ingin berbicara dengannya dia buru-buru melintangkan jari di bibirnya menyuruh kami
diam. Menyebalkan! Tapi begitulah seniman bekerja. Dia melakukan semacam riset,
mengkhayal, dan berkontemplasi.
Dia duduk sendirian menabuh tabla, mencari-cari musik, sampai sore di bawah
filicium. Tak boleh didekati. Ia duduk melamun menatap langit lalu tiba-tiba berdiri,
mereka-reka koreografi, berjingkrak-jingkrak sendiri, meloncat, duduk, berlari
berkeliling, diam, berteriak-teriak seperti orang gila, menjatuhkan tubuhnya, berguling-guling di
tanah, lalu dia duduk lagi, melamun berlama-lama, bernyanyi tak jelas, tiba-tiba
berdiri kembali, berlari ke sana kemari. Tak ada ombak tak ada angin ia menyeruduk-nyeruduk
seperti hewan kena sampar.
Apakah ia sedang menciptakan sebuah master piece? Apakah ia akan berhasil
membuktikan sesuatu pada event yang mempertaruhkan reputasi ini? Apakah ia akan
berhasil membalikkan kenyataan sekolah kami yang telah dipandang sebelah mata dalam
karnaval selama dua puluh tahun? Apakah ia benar-benar seorang penerobos, seorang
pendobrak yang akan menciptakan sebuah prestasi fenomenal? Haruskan ia menanggung
beban seberat ini? Bagaimanapun ia masih tetap seorang anak kecil.
Kuamati ia dari jauh. Kasihan sahabatku seniman yang kesepian itu, yang tak
mendapatkan cukup apresiasi, yang selalu kami ejek. Wajahnya tampak kusut semrawut.
Sudah seminggu berlalu, ia belum juga muncul dengan konsep apa pun.
Lalu pada suatu Sabtu pagi yang cerah ia datang ke sekolah dengan bersiul-siul.
Kami paham ia telah mendapat pencerahan. Jin-jin telah meraupi wajah kucel kurang
tidurnya dengan ilham, dan Dionisos, sang dewa misteri dan teater, telah meniup ubun-ubunnya
subuh tadi. Ia akan muncul dengan ide seni yang seksi. Kami sekelas dan
banyak siswa dari kelas lain serta para guru merubungnya. Ia maju ke depan siap
mempresentasikan rencananya. Wajahnya optimis.
Semua diam siap mendengarkan. Ia sengaja mengulur waktu, menikmati
ketidaksabaran kami. Kami memang sudah sangat penasaran. Ia menatap kami satu per
satu seperti akan memperlihatkan sebuah bola ajaib bercahaya pada sekumpulan anak
kecil.
“Tak ada petani, buruh timah, guru ngaji, atau penjaga pintu air lagi utnuk
karnaval tahun ini!” teriaknya lantang, kami terkejut.
Dan ia berteriak lagi.
“Semua kekuatan sekolah Muhammadiyah akan kita satukan untuk satu hal!!!”
Kami hanya terperangah, belum mengerti apa maksudnya, tapi Mahar optimis
sekali.
“Apa itu Har? Ayolah, bagaimana nanti kami akan tampil, jangan bertele-tele!”
tanya kami penasaran hampir bersamaan. Lalu inilah ledakan ide gemilangnya.
“Kalian akan tampil dalam koreografi massal suku Masai dari Afrika!”
Kami saling berpandangan, serasa tak percaya dengan pendengaran sendiri. Ide
itu begitu menyengat seperti belut listrik melilit lingkaran pinggang kami. Kami masih
kaget dengan ide luar biasa itu ketika Mahar kembali berteriak menggelegar
melambungkan gairah kami.
“Lima puluh penari! Tiga puluh penabuh tabla! Berputar-putar seperti gasing, kita
ledakkan podium kehormatan!”
Oh, Tuhan, aku mau pingsan. Serta-merta kami melonjak girang seperti
kesurupan, bertepuk tangan, bersorak sorai senang membayangkan kehebohan
penampilan kami nanti. Mahar memang sama sekali tak bisa diduga. Imajinasinya liar
meloncat-loncat, mendobrak, baru, dan segar.
“Dengan rumbai-rumbai!” kata suara keras di belakang. Suara Pak Harfan sok
tahu. Kami semakin gegap gempita. Wajah beliau sumringah penuh minat.
“Dengan bulu-bulu ayam!” sambung Bu Mus. Kami semakin riuh rendah.
“Dengan surai-surai!”
“Dengan lukisan tubuh!”
“Dengan aksesori!”
Demikian guru-guru lain sambung-menyambung.
“Belum pernah ada ide seperti ini!” kata Pak Harfan lagi.
Para guru mengangguk-angguk salut dengan ide Mahar. Mereka salut karena
selain karena menampilkan sesuatu yang berbeda, menampilkan suku terasing di Afrika
adalah ide yang cerdas. Suku itu tentu berpakaian seadanya. Semakin sedikit
pakaiannya—atau dengan kata lain semakin tidak berpakaian suku itu—maka anggaran
biaya untuk pakaian semakin sedikit. Ide Mahar bukan saja baru dan yahud dari segi nilai
seni tapi juga aspiratif terhadap kondisi kas sekolah. Ide yang sangat istimewa.
Seluruh kalangan di perguruan Muhammadiyah sekarang menjadi satu hati dan
mendukung penuh konsep Mahar. Semangat kami berkobar, kepercayaan diri kami
meroket. Kami saling berpelukan dan meneriakkan nama Mahar. Ia laksana pahlawan.
Kami akan menampilkan sebuah tarian spektakuler yang belum pernah ditampilkan
sebelumnya. Dengan suara tabla bergemuruh, dengan kostum suku Masai yang eksotis,
dengan koreografi yang memukau, maka semua itu akan seperti festival Rio. Kami sudah
membayangkan penonton yang terpesona. Kali ini, untuk pertama kalinya, kami berani
bersaing.
Setelah itu, setiap sore, di bawah pohon filicium, kami bekerja keras berhari-hari
melatih tarian aneh dari negeri yang jauh. Sesuai dengan arahan Mahar tarian ini harus
dilakukan dengan gerakan cepat penuh tenaga. Kaki dihentakkan-hentakkan ke bumi,
tangan dibuang ke langit, berputar-putar bersama membentuk formasi lingkaran,
kemudian cepat-cepat menunduk seperti sapi akan menanduk, lalu melompat berbalik,
lari semburat tanpa arah dan mundur kembali ke formasi semula dengan gerakan seperti
banteng mundur. Kaki harus mengais tanah dengan garang. Demikian berulang-ulang.
Tak ada gerakan santai atau lembut, semuanya cepat, ganas, rancak, dan patah-patah.
Mahar menciptakan koreografi yang keras tapi penuh nilai seni. Asyik ditarikan dan
merupakan olah raga yang menyehatkan.
Tahukah Anda apa yang dimaksud dengan bahagia? Ialah apa yang aku rasakan
sekarang. Aku memiliki minat besar pada seni, akan membuat sebuah performing art
bersama para sahabat karib—dan kemungkinan ditonton oleh cinta pertama? Aku
mengalami kebahagiaan paling besar yang mungkin dicapai seorang laki-laki muda.
Kami sangat menyukai gerakan-gerakan nerjik rekaan Mahar dan kuat dugaanku
bahwa kami sedang menarikan kegembiraan suku Masai karena sapi-sapi peliharaannya
baru saja beranak. Selain itu selama menari kami harus meneriakkan kata-kata yang tak
kami pahami artinya seperti, “Habuna! Habuna! Habuna! Baraba...
baraba...baraba..habba...habba..homm!”
Ketika kami tanyakan makna kata-kata itu, dengan gaya seperti orang memiliki
pengetahuan yang amat luas sampai melampaui benua Mahar menjawab bahwa itulah
pantun orang Afrika. Aku baru tahu ternyata orang Afrika juga memiliki kebiasaan
seperti orang Melayu, gemar berpantun. Aku simpan baik-baik pengetahuan ini.
Namun mengenai maksud, ternyata aku salah duga. Semula aku menyangka
bahwa kami berdelapan—karena Sahara tak ikut dan Mahar sendiri menjadi pemain
tabla—adlaah anggota suku Masai yang gembira karena sapi-sapinya beranak. Tapi
ternyata kami adalha sapi-sapi itu sendiri. Karena setelah kami menari demikian riang
gembira, kemudian kami diserbu oleh dua puluh ekor cheetah. Mereka mengepung,
mencabik-cabik harmonisasi formasi tarian kami, meneror, menerkam, mengelilingi
kami, dan mengaum-aum dengan garang. Lalu situasi menjadi kritis dan kacau balau bagi
paras api dan pada saat itulah menyerbu dua puluh orang Moran atau prajurit Masai yang
sangat terkenal itu. Prajurit-prajurit ini menyelamatkan para sapi dan berkelahi dengan
cheetah yang menyerang kami. Gerakan cheetah itu direka-reka Mahar dengan sangat
genius sehingga mereka benar-benar tampak seperti binatang yang telah tiga hari tidak
makan. Sedangkan para Moran dilatih lebih khusus sebab menyangkut keterampilan
memainkan properti-properti seperti tombak, cambuk, dan parang.
Demikianlah cerita koreografi Mahar. Keseluruhan fragmen itu diiringi oleh
tabuhan tiga puluh tabla yang lantang bertalu-talu memecah langit. Para penabuh tabla
juga menari-nari dengan gerakan dinamis memesona. Hasil akhirnya adalah sebuah
drama seru pertarungan massal antara manusia melawan binatang dalam alam Afrika
yang liar, sebuah karya yang memukau, master piece Mahar.
Nuansa karnaval semakin tebal menggantung di awan Belitong Timur. Hari H
semakin dekat. Seluruh sekolah sibuk dengna berbagai latihan. Marching band sekolah
PN sepanjang sore melakukan geladi sepanjang jalan kampung. Baru latihannya saja
penonton sudah membludak. Meneror semangat peserta lain.
Tapi kami tak gentar. Situasi moril kami sedang tinggi. Melihat kepemimpinan,
kepiawaian, dan gaya Mahar kepercayaan diri kami meletup-letup. Ia tampil laksana para
event organizer atau para seniman, atau mereka yang menyangka dirinya seniman.
Pakaiannya serba hitam dengan tas pinggang berisi walkman, pulpen, kacamata hitam,
batu baterai, kaset, dan deodoran. Kami mengerahkan seluruh sumber daya civitas
akademika Muhammadiyah. Latihan kami semakin serius dan yang palihng sering
membaut kesalahan adalah Kucai. Meskipun dia ketua kelas tapi di panggung sandiwara
ini Maharlah yang berkuasa.
Mahar mencoba menjelaskan maksudnya dengan berbagai cara. Kadang-kadang
ia demikian terperinci seperti buku resep masakan, dan lebih sering ia merasa frustrasi.
Namun, kami sangat patuh pada setiap perintahnya walaupun kadang-kadang tidak
masuk akal. Tapi ini seni, Bung, tak ada hubungannya dengan logika.
“Dalam tarian ini kalian harus mengeluarkan seluruh energi dan harus tampak
gembira! Bersukacita seperti karyawan PN baru terima jatah kain, seprti orang Saqwang
dapat utangan, seperti para pelaut terdampar di sekolah perawat!”
Aku sungguh kagum dari mana Mahar menemukan kata-kata seperti itu. Ketika
istirahat A Kiong berbisik pada Samson, “Son, aku baru tahu kalau di Belitong ada
sekolah perawat di pinggir laut?”
Rupanya bisikan polos itu terdengar oleh Sahara yang kemduian, seperti biasa,
merepet panjang mencela keluguan A Kiong, “Apa kau tak paham kalau itu
perumpamaan! Banyak-banyaklah membaca buku sastra!”
BAB IXX
Sebuah Kejahatan Terencana
DAN tibalah hari karnaval. Hari yang sangat mendebarkan. Mahar merancang pakaian
untuk cheetah dengan bahan semacam terpal yang dicat kuning bertutul-tutul sehingga
dua puluh orang adik kelasku benar-benar mirip hewan itu. Wajah mereka dilukis seperti
kucing dan rambut mereka dicat kuning menyala-nyala dengan bahan wantek.
Tiga puluh pemain tabla seluruh tubuhnya dicat hitam berkilat tapi wajahnya dicat
putih mencolok sehingga menimbulkan pemandangan yang sangat aneh. Sedangkan dua
puluh Moran atau prajurit Masai sekujur tubuhnya dicat merah, mereka menggunakan
penutup kepala berupa jalinan besar ilalang, membawa tombak panjang, dan mengenakan
jubah berwarna merah yang sangat besar. Tampak sangat garang dan megah.
Tampaknya Mahar memberi perhatian istimewa pada delapan ekor sapi. Pakaian
kami paling artistik. Kami memakai celana merah tua yang menutup pusar sampai ke
bawah lutut. Seluruh tubuh kami dicat cokelat muda seperti sapi Afrika. Wajah dilukis
berbelang-belang. Pergelangan kaki dipasangi rumbai-rumbai seperti kuda terbang
dengan lonceng-lonceng kecil sehingga ketika melangkah terdengar suara gemerincing
semarak. Di pinggang dililitkan selendang lebar dari bahan bulu ayam. Kami juga
memakai beragam jenis aksesoris yang indah, yaitu anting-anting besar yang dijepit dan
gelang-gelang yang dibuat dari akar-akar kayu.
Yang paling istimewa adalah penutup kepala. Tak cocok jika disebut topi, tapi
lebih sesuai jika disebut mahkota seribu rupa. Mahkota ini sangat besar, dibuat dari lilitan
kain semacam stagen yang sangat panjang. Lalu berbagai jenis benda diselipkan, dijepit,
atau dijahit pada stagen itu. Puluhan bulu angsa dan belibis, berbagai jenis perdu
sepanjang hampir satu meter, dahan sapu-sapu, berbagai bunga liar, berbagai jenis daun,
dan bendera-bendera kecil. Empat hari Sahara membuat mahkota hebat ini. Lalu
punggung kami dipasangi sesuatu seperti surai kuda, bahannya—seperti tertulis pada
sketsa—adalah tali rafia. Kami adalah sapi yang anggun dan megah.
Inilah rancangan adiguna karya Mahar. Secara umum kami tidak tampak seperti
sapi. Dilihat dari belakang kami lebih mirip manusia keledai, dari samping seperti ayam
kalkun, dari atas seperti sarang burung bangau. Jika dilihat dari wajah, kami seperti
hantu.
Aksesori yang tampaknya biasa saja adlaah untaian kalung. Juga sesuai dengan
sketsa rancangan Mahar, kami akan memakai kalung besar yang terbuat dari benda-benda
bulat sebesar bola pingpong berwarna hijau. Tak ada yang istimewa dengan kalung ini
dan tak seorang pun mau membicarakannya. Kami sibuk membahas mahkota kami. Kami
yakin mahkota ini akan membuat orang kampung ternga-nga mulutnya dan wanita-wanita
muda di kawasan pasar ikan berebutan kirim salam.
Tak disangka ternyata kalung yang tak menarik perhatian itulah sesungguhnya
sentral ide seluruh koreografi ini. Tak ada seorang yang menduga bahwa pada untaian
anak-anak kalung itu Mahar menyimpan rahasia terdalam daya magis penampilan kami,
yang membuatnya tidak tidur tiga hari tiga malam. Sesungguhnya kalung itulah puncak
tertinggi kreativitas Mahar.
Setelah seluruh pakaian siap, Mahar mengeluarkan aksesori terakhir dari dalam
karung, yaitu kalung tadi. Jumlahnya delapan sejumlah sapi. Kami semakin girang. Tentu
Mahar telah bersusah payah sendirian membuatnya. Kalung itu dibuat dari buah pohon
aren yang masih hijau sebesar bola pingpong yang ditusuk seperti sate dengan tali rotan
kecil. Kami berebutan memakainya. Tak banyak pengetahuan kami mengenai buah hutan
ini. Sebelum parade kami berkumpul berpegangan tangan, menundukkan kepala untuk
berdoa, mengharukan.
Seperti telah kami duga, sambutan penonton di sepanajng jalan sangat luar biasa.
Mereka bertepuk tangan dan berlarian mengikuti dari belakang untuk melihat penampilan
kami di depan podium kehormatan.
Menjelang podium kami mendengar gelegar suara sepuluh unit trimpani, yaitu
drum terbesar. Suaranya menggetarkan dada dan ditimpali oleh suara membahana
puluhan instrumen brass mulai dari tuba, horn, trombon, klarinet, trompet, saksopon tenor
dan bariton yang dimainkan puluhan siswa. Marching band sekolah PN sedang beraksi!
Pakaian pemain marching band dibedakan berdasarkan instrumen yang
dimainkan. Yang paling gagah adalah barisan bass drum yang tampil menggunakan
pakaian prajurit Romawi. Mereka membuat helm bertanduk runcing dan benar-benar
mencetak aluminium menjadi rompi lalu mengecatnya dengan warna kuningan. Pemain
simbal memakai rompi berwarna-warni dan bawahan celana panjang biru yang
dimasukkan dalam sepatu bot Pendragon yang mahal setinggi lutut. Mereka seperti
sekawanan ksatria yang baru turun dari punggung kuda-kuda putih. Marching band PN
tampil semakin baik setiap tahun. Mereka selalu menunjukkan bahwa mereka yang
terbaik.
Sebagai entry podium kehormatan mereka melantunkan Glenn Miller’s In the
Mood dengan interpretasi yang pas. Penonton melenggak-lenggok diayun irama swing
yang asyik. Para colour guard serta-merta menyesuaikan koreografinya dengan gaya
kabaret khas tahun 60-an. Panggung kasino Las Vegas segera berpindah ke sudut pasar
ikan Belitong yang kumuh. Setiap siswa yang terlibat dalam marching band ini belum-belum sudah
mengumbar senyum kemenangan seolah seperti tahun-tahun lalu: Penampil
Seni Terbaik tahun ini pasti mereka sabet. Tapi jika menyaksikan mereka beraksi
agaknya keyakinan itu memang sangat beralasan.
Sebagai puncak atraksi di depan podium mereka membawakan Concerto for
Trumpet dan Orchestra yang biasa dilantunkan Wynton Marsalis. Dalam nomor ini
penampilan mereka amat mengagumkan. Agaknya mereka sudah bisa dikompetisikan di
luar negeri. Komposisi ini sesungguhnya adalah musik klasik karya Johann Hummel tapi
oleh Marching Band PN dibawakan kembali dalam aransemen big band dengan kekuatan
brass section yang memukau.
Bagian intro Concerto indah itu diisi atraksi lima belas pemain blira dengan
pecahan suara satu, dua, dan tiga. Lalu ikut bergabung hentakan-hentakan sepuluh pasang
simbal, bass drum, dan timpani. Tempo dan bahana mereka pelankan ketika puluhan
snare drum mengambil alih. Jiwa siapa pun yang mendengarnya akan tergetar. Belum
tuntas sensasi penonton dengan buaian snare drum yang cantik rancak tiba-tiba para
colour guard memasuki medan, membentuk formasi dan menampilkan tarian
kontemporer yang memikat. Bayangkan indahnya: sebuah big band dengan kekuatan
brasss, kostum yang gemerlapan, dan koreografi kontemporer.
Ribuan penonton bertepuk tangan kagum. Kemudian mereka bersorak-sorai
ketika tiga orang mayoret—ratu segala pesona—dengan sangat terampil melempar-lemparkan
tongkatnya tanpa membuat kesalahan sedikit pun. Para mayoret cantik,
bertubuh ramping tinggi, dengan senyum khas yang dijaga keanggunannya, meliuk-liuk
laksana burung merak sedang memamerkan ekornya.
Wanita-wanita muda yang meloncat dari gambar-gambar di almanak ini
mengenakan rok mini degnan stocking berwarna hitam dan sepatu bot Cortez metalik
tinggi sampai ke lutut. Sarung tangannya putih sampai ke lengan atas dan mereka
bergerak demikian lincah tanpa sedikit pun terhalangi hak sepatunya yang tinggi.
Topinya adalah baret putih yang diselipi selembar bulu angsa putih bersih seperti topi
Robin Hood. Mereka tidak sekadar mayoret, mereka adalah pergawati. Langkahnya cepat
panjang-panjang dan sering kali memekik memberi perintah. Pandangannya menyapu
seluruh penonton seperti tipuna sihir yang membius.
Wajahnya mencerminkan suatu kebiasaan bergaul dengan barang-barang impor
dan tidak mau menghabiskan waktu untuk soal remeh-temeh. Jika sore mereka berjalan-jalan
dengan beberapa ekor anjing chihuahua dan malam hari makan di bawah temaram
cahaya lilin. Tak pernah kekenyangan dan tak pernah berserdawa. Garis matanya
memperlihatkan kemanjaan, kesejahteraan dan masa depan yang gilang gemilang.
Mereka seperti orang-orang yang tak’kan pernah kami kenal namanya, seperti orang yang
berasal dari tempat yang sangat jauh dan hanya mampir sebentar untuk membuat kami
ternganga. Mereka seperti orang-orangy ang hanya memakan bunga-bunga putih melati
dan emngisap embun utnuk hidup. Jubahnya dari bahan sutera berkilat, berkibar-kibar
tertiup angin, menebarkan bau harum memabukkan.
Sementara di sini, di sudut ini, kami terpojok di pinggir, seperti segerombolan
spesies primata aneh yang menyembul-nyembul dari sela-sela akar pohon beringin.
Hitam, kumal, dan coreng-moreng, terheran-heran melihat gemerlap dunia. Tapi kami
segera membentuk barisan, tak surut semangat, tak sabar menunggu giliran.
Segera setelah ujung Marching Band PN meninggalkan arena podium dan
perlahan-lahan menghilang bersama lagu syahdu penutup sensasi: Georgia on My Mind,
diiringi tepuk tangan dan suitan panjang penonton, seketika itu juga, tanpa membuang
tempo, dengan amat ejli mencuri momen, secara sangat mendadak Mahar bersama tiga
puluh pemain tabla menghambur tak beraturan menguasai arena depan podium. Gerakan
mereka mengagetkan. Dengan dentuman tabla bertalu-talu serta tingkah tarian yang
sangat dinamis, penonton pun terperanjat. Mahar menyajikan pemandangan natural, asli,
yang sama sekali kontras dengan marching band modern. Melalui lantakan tabla sekuat
tenaga dan gerak tari seperti ratusan monyet sedang berebutan dengan tupai menjarah
buah kuini, Mahar menyeret fantasi penonton ke alam liar Afrika.
Penonton terbelalak menerima sajian musik etnik menghentak yang tak didugaduga.
Mereka berdesak-desakan maju merepotkan para pengaman. Para penonton terbius
oleh irama yang belum pernah mereka dengar dan pakaian serta tarian yang belum pernah
mereka lihat. Demi mendengar lengkingan tabla yang memecah langit, barisan Marching
Band PN terpecah konsentrasinya dan berbalik arah ke podium. Mereka membubarkan
diri tanpa komando lalu bergabung dengan para penonton yang terpaku. Mereka
keheranan melihat tarian liar yang tak seperti Campak Darat, yaitu tarian Belitong paling
kuno dengan gerakan tetap maju mundur, dan irama yang tak seperti Betiong yakni irama
asli Belitong yang biasa mereka dengar. Sebaliknya yang mereka saksikan adalah
gerakan rancak tanpa pola dan ekspresi bebas spontan dari tubuh-tubuh muda yang lentik
meliuk-liuk seperti gelombang samudra, garang seperti luak, dan menyengat laksana
lebah tanah. Koreografi Mahar berkarakter dance drumming dari suku-suku sub Sahara
yang mengandung fragmen survival ribuan tahun dari spesies yang hidup saling
memangsa. Inilah adzohu, sebuah manifestasi perjuangan eksistensi dalam metafora
gesture tubuh manusia yang memaknai ketukan tabla laksana tiupan mantra-mantra nan
magis. Koreografi ini mengandung tenaga gaib yang emnyihir. Mahar memvisualisasikan
alam ganas di mana hukum rimba berkuasa. Maka musik tari ini tak hanya mendetak
degup jantung karena tabla yang berdentum-dentum tapi membran vibrasinya juga
menggetarkan jiwa karena tenaga mistik sebuah ritual suci siklus hidup.
Penonton semakin merangsek ke depan dan mulai terpukau pada tarian etnik
Afrika yang eksotis. Mereka mengamati satu per satu wajah kami yang tersamar dalam
coreng moreng, ingin tahu siapa penampil tak biasa ini. Namun tanpa disadari tubuh
mereka bergerak-gerak patah-patah mengikuti potongan-potongan irama yang
dilantakkan dan tanpa diminta tepuk tangan, siulan, dan sorak-sorai ribuan penonton
membahana menyambut kejutan aksi seksi tabla. Penonton riuh rendah berdecak kagum.
Pada detik itu aku tahu bahwa penampilan kami telah berhasil. Mahar telah melakukan
entry dengan sukses. Semua seniman panggung mengerti jika entry telah sukses biasanya
seluruh pertunjukan akan selamat. Para hadirin telah terbeli tunai!
Kesuksesan entry pemain tabla mengangkat kepercayaan diri kami sampai level
tertinggi. Kami, delapan ekor sapi, yang akan tampil pada plot kedua, gemetar menunggu
aba-aba dari Mahar untuk menerjang arena. Kami tak sabar dan rasanya kaki sudah gatal
ingin mendemonstrasikan kehebatan mamalia menari. Kami adalah remaja-remaja
kelebihan energi dan lapar akan perhatian. Lima belas meter dari tempat kami berdiri
adalah arena utama dan kami mengambil ancang-ancang laksana peluru-peluru meriam
yang siap diledakkan. Sangat mendebarkan, apalagi penonton semakin menggila tak
terkendali mengikuti ketukan tabla. Mereka membentuk lingkaran yang rapat, ikut
menari, bertepuk tangan, bersuit-suit panjang, dan berteriak-teriak histeris.
“Tabahkan hati kalian, keluarkan seluruh kemampuan!” ledak Bu Mus memberi
semangat kepada kami, para mamalia. Pak Harfan sudah tidak bisa bicara apa-apa.
Tangannya membekap dada seperti orang berdoa.
Tapi di tengah penantian menegangkan itu aku merasakan sedikit keanehan di
lingkaran leherku. Seperti ada kawat panas menggantung. Aku juga merasa heran melihat
warna telinga teman-temanku yang berubah menjadi merah, demikian pula kalung kami,
membentuk lingkaran berwarna kelam di kulit. Aku merasakan panas pada bagian dada,
wajah, dan telinga, lalu rasa panas itu berubah menjadi gatal.
Dalam waktu singkat rasa gatla meningkat dan aku mulai menggaruk-garuk di
seputar leher. Sekarang kami sadar bahwa rasa gatal itu berasal dari getah buah aren yang
menjadi mata kalung kami. Hasil rancangan adibusana Mahar. Buah aren yang ditusuk
dengan tali rotan itu mengeluarkan getah yang pelan-pelan melelh di lingkaran leher.
Rasa gatal itu semakin menjadi-jadi tapi kami takb isa berbuat apa-apa karena untuk
melepaskan kalung itu berarti harus melepaskan mahkota. Dan melepaskan mahkota
besar yang beratnya hampir satu setengah kilogram ini bukan persoalan mudah. Mahkota
raksasa ini sengaja dirancang Mahar untuk dikenakan dengan lilitan tiga kali melalui
dagu sehingga tanpa bantuan seseorang tak mungkin membukanya sendiri. Tak mungkin
melakukan itu apalagi Mahar sekarang telah melakukan gerakan seperti menyembah-nyembah ke
arah kami. Itulah isyarat kami harus masuk dan beraksi.
Maka semua usaha untuk berbuat sesuatu pada kalung itu terlambat dan yang
terjadi berikutnya tak ‘kan pernah kulupakan seumur hidupku. Kami menyerbu arena
dengan semangat spartan. Tepuk tangan penonton bergemuruh. Pada awalnya kami
menari bersukacita sesuai dengan skenario. Lalu kami, para sapi ini, mulai bergerakgerak
aneh dan sedikit melenceng dari gerakan seharusnya karena kami diserang oleh
rasa gatal yang luar biasa.
Rasa gatal ini begitu dahsyat. Aku tak pernah merasakan gatal demikian hebat dan
jelas berasal getah buah aren muda yang menjadi mata kalung kami. Pertama-tama
rasanya panas, perih, lalu geli dan gatal sekali. Jika digaruk bukannya sembuh tapi akan
semakin menjadi-jadi, bertambah gatal dua kali lipat. Karena gerakan kami rancak
dengan tangan mengibas-ngibas ke sana kemari maka getah aren itu menyebar ke seluruh
tubuh. Sekarang seluruh tubuh kami dilanda gatal tak tertahankan.
Kami berusaha tidak menggaruk-garuk karena hal itu akan merusak koreografi,
kami bertekad mengalahkan Marching Band PN. Selain itu menggaruk hanya akan
memperparah keadaan, maka kami bertahan dalam penderitaan. Satu-satunya cara
mengalihkan siksaan gatal adalah dengan terus-menerus bergerak jumpalitan seperti
orang lupa diri. Maka sekarang kami bergerak sendiri-sendiri tak terkendali seperti orang
kesetanan. Kami berteriak-teriak, meraung, saling menanduk, saling menerkam, saling
mencakar, merayap, berguling-guling di tanah, menggelepar-gelepar. Semua itu tak
terdapat dalam skenario. Lintang komat-kamit tak jelas dan matanya memerah seperti
buah saga. Trapani sama sekali menguap ketampanannya, wajah manisnya berubah
menjadi wajah algojo yang sedang kalap. Sedangkan A Kiong menampar-nampar dirinya
sendiri dengan keras seperti orang kesurupan. Telinganya seolah mengeluarkan asap dan
wajahnya seperti kaleng biskuit Roma. Wajah kami memerah seperti terbakar api dan
urat-urat lengan bertimbulan menahankan gatal.
Kami bergerak demikian beringas, berjingkrak-jingkrak seperti sekaleng cacing
yang dicurahkan di atas aspal yang panas mendidih. Sebaliknya, melihat kami sangat
menjiwai, para pemain tabla pun terbakar semangatnya. Mereka mempercepat tempo
untuk mengikuti gerakan-gerakan liar kami. Kami menari dengan tenaga dua kali lipat
dari latihan dan gerakan dua kali lebih cepat dari seharusnya. Kami seolah berkejaran
dengan tabuhan tabla. Menimbulkan pemandangan yang menakjubkan. Bahkan orang
Afrika sendiri tak pernah menari sehebat ini.
Sesungguhnya maksud kami bukan itu. Tapi kami senewen menanggungkan
gatal. Penonton yang tidak memahami situasi mengira suara tabla itu mengandung sihir
dan telah membuat kami, delapan ekor sapi ini, kesurupan, maka mereka bertepuk tangan
gegap gempita karena kagum dengan daya magis tarian Afrika. Mereka berteriak-teriak
histeris memberi semangat dan salut kepada kami yang mampu mencapai penghayatan
setinggi itu. Penonton semakin merapat dan petinggi di podium kehormatan menghambur
ke depan meninggalkan tempat-tempat duduknya yang teduh dan nyaman. Mereka
berebutan menyaksikan kami dari dekat. Mereka takjub dengan sebuah pemandangan
aneh. Bagi mereka ini adalah ekspresi seni yang luar biasa. Sementara kami semakin
tunggang-langgang, berputar-putar seperti gasing. Kami sudah tak peduli dengan pantun
Afrika yang harusnya kami lantunkan. Teriakan kami sekarang menjadi:
“Hushhhhhhh ...hushh...hushhhh! Habbaa...habbbaaa... habbaaaa...!!!”
Penonton malah mengira itu mantra-mantra gaib. Aku melirik Mahar. Aneh
sekali, wajahnya tapak senang tak alang kepalang, gembira bukan main. Ia tampak sangat
setuju dengan seluruh gerakan gila kami walaupun tidak seperti yang dilatihkannya dulu.
“Terus Kawan, hebat sekali, ayo berguling-guling, inilah maksudnya,” bisiknya di
antara kami sambil berlari-lari memikul tabla. Aku mulai curiga. Tapi aku tak sempat
berpikir jauh karena kami sekarang sedang diserang oleh dua puluh ekor cheetah.
Suasana semakin seru. Kami semakin sinting karena gatal dan panas. Kami merasa sangat
haus, menderita dehidrasi. Ketika cheetah menyerang, kami berbalik menyerang. Kami
sudah lupa diri. Seharusnya hal ini tak terjadi. Skenarionya tidak begitu.
Skenarionya adalah kami seharusnya menguik-nguik ketakutan sampai prajurit
Masai, Moran yang gagah berani itu, datang sebagai pahlawan untuk menyelamatkan
kami. Tapi sebaliknya sekarang kami dengan beringas membalas serangan cheetah
karena kami tak mungkin diam, jika diam rasa gatal rasanya akan memecahkan pembuluh
darah kami.
Para cheetah kebingungan. Ketika mereka menerjang kami membalas, cheetah
berlari kocar-kacir dan kembali menyerang, demikian terjadi berulang-ulang. Namun
anehnya skenario yang kacau balau tak direncanakan ini justru memunculkan karakter
asli binatang yang pada suatu ketika bisa demikian ganas tanpa ampun dan pada keadaan
yang lain terbirit-birit ketakutan jika kekuatannya tak berimbang. Sebaliknya sekali lagi
kulirik Mahar. Ia senang sekali dengan improvisasi spontan ini, tabuhan tablanya
semakin ganas. Senyumnya mengembang. Tak pernah aku melihatnya sebahagia itu.
Surai kuda, selendang yang melilit pinggang, dan mahkota kami melambai-lambai
eksotis karena kami melonjak-lonjak tak terkendali. Kami menari seperti orang dirasuki
iblis yang paling jahat, seperti ditiup Lucifer sang raja hantu. Arena semakin membara
dan gairah tarian mendidih ketika dua puluh prajurit Masai menyerbu masuk untuk
menyelamatkan kami, yang terjadi adalah pertarungan dahsyat antara sapi dan prajurit
Masai melawan dua puluh ekor cheetah. Ada enam puluh penari termasuk pemain tabla
yang sekarang saling menyerang dalam hentakan musik Masai. Penonton riuh rendah
dalam kekaguman. Para fotografer sampai kehabisan film.
Pasir-pasir halus yang bertaburan di atas arena membubung menjadi debu tebal
yang mengaburkan pandangan. Debu itu mengelilingi kami yang berputar seperti pusaran
angin. Di tengah pusaran itu kami bertempur habis-habisan dalam sebuah ritual liar alam
Afrika yang kami tarikan seperit binatang buas yang terluka. Dalam kekacaubalauan
terdengar teriakan-teriakan hsiteris, auman binatang, dan suara tabla berdentum-dentum.
Keseluruhan koreografi yang menampilkan fragmen pertempuran manusia melawan
binatang dengan gerakan spontan di depan podium kehormatan itu ternyata menghasilkan
karya seni yang sulit dilukiskan dengan kata-kata. Sebuah formasi gerakan chaos orisinal
yang tercipta secara tidak sengaja. Para penonton tersihir melihat kami trance secara
kolektif, mereka tersentak dalam histeria menyaksikan pemandangan magis yang
menkjubkan. Sebuah pemandangan eksotis dari totalitas tarian yang menciptakan efek
seni yang luar biasa. Sebuah efek seni yang memang diharapkan Mahar, efek seni yang
akan membawa kami menjadi Penampil Seni Terbaik tahun ini, tak diragukan, tak ada
bandingannya.
Pak Harfan, Bu Mus, dan guru-guru kami sangat bangga dan seolah tak percaya
melihat murid-muridnya memiliki kemampuan seperti itu. Mereka tak sadar bahwa kami
menderita berat karena gatal dan gerakan kami tak ada hubungannya dengan Moran,
cheetah, dan bunyi-bunyian tabla yang memecah gendang telinga.
Tiga puluh menit kami tampil serasa tiga puluh jam. Kami, para sapi, memang
dirancang untuk meninggalkan arena pertama kali. Pemain tabla, cheetah, dan prajurit
Masai masih harus melanjutkan fragmen. Segera setelah meninggalkan arena kami berlari
pontang panting mencari air. Sayangnya air terdekat adalah sebuah kolam kangkung
butek di belakang sebuah toko kelontong. Kolam itu adalah tempat pembuangan akhir
ikan-ikan busuk yang tak laku dijual. Apa boleh buat, kami ramai-ramai menceburkan
diri di sana.
Kami tak melihat ketika penonton memberikan standing applause selama tujuh
menit. Kami tak menyaksikan guru-guru kami menangis karena bangga. Aku kagum
kepada Mahar, ia berhasil memompa kepercayaan diri kami dan dengan kepercayaan diri
ternyata siapa pun dapat membuat prestasi yang mencengangkan. Hal itu dibuktikan oleh
sekolah Muhammadiyah yang mampu mematahkan mitos bahwa sekolah kampung tidak
mungkin menang melawan sekolah PN dalam karnaval. Sayangnya saat itu kami tak
dapat bergembira seperti warga Muhammadiyah di podium dan kami juga tak mendengar
ketika ketua dewan juri, Mbah Suro, naik mimbar. Beliau mengucapkan pidato panjang
puji-pujian untuk kami:
“Sekolah Muhammadiyah telah menciptakan daripada suatu arwah baru dalam
karnaval ini. Maka dari itu mereka telah mencanangkan suatu daripada standar baru yang
semakin kompetitif dari pada mutu festival seni ini. Mereka mendobrak dengan ide
kreatif, tampil all out, dan berhasil menginterpretasikan dengan sempurna daripada
sebuah tarian dan musik dari negeri yang jauh. Para penarinya tampil penuh penghayatan,
dengan spontanitas dan totalitas yang mengagumkan sebagai suatu manifestasi daripada
penghargaan daripada mereka terhadap seni pertunjukan itu sendiri. Penampilan
Muhammadiyah tahun ini adalah daripada suatu puncak pencapaian seni yang gilang
gemilang dan oleh karena itu dewan juri tak punya daripada pilihan lain selian daripada
menganugerahkan penghargaan daripada penampila seni terbaik tahun ini kepada sekolah
Muhammadiyah!”
Wahai dewan juri yang terhormat, mari kuberitahukan pada bapak-bapak sekalian,
tahu apa bapak-bapak soal seni, interpretasi seni kami adalah interpretasi getah buah aren
yang gatalnya membakar lingkaran leher kami sampai ke pangkal-pangkal paha dengan
perasaan seperti memakan api. Itulah yang membuat kami menari seperti orang yang
tidak waras, dan itulah interpretasi seni kami.
Mendengar pidato itu para penonton kembali bergemuruh dan seluruh warga
Muhammadiyah bersorak-sorai senang karena sebuah kemenangan yang fenomenal.
Sebaliknya kami, delapan ekor ternak dalam koreografi hebat itu, tetap tak tahu
semua kejadian yang menggemparkan itu, dan kami juga masih tak tahu ketika Mahar
diarak warga Muhammadiyah setelah sekolah menerima trofi bergengsi Penampil Seni
Terbaik tahun ini. Trofi yang telah dua puluh tahun kami idamakan dan selama itu pula
bercokol di sekolah PN. Baru pertama kali ini trofi itu dibawa pulang oleh sekolah
kampung. Trofi yang tak ‘kan membuat sekolah kami dihina lagi.
Kami tak tahu semua itu karena ketika itu kami sedang berkubang di dalam
lumpur kolam kangkung, menggosok-gosok leher dengan daun genjer. Yang kami tahu
hanyalah bahwa Mahar telah membalas kami dengan setimpal karena pelecehan kami
padanya selama ini. Buah-buah aren itu sungguh merupakan sebuah rancangan kalung
etnik properti adi busana koreografi yang bernilai seni, hasil perenungan Mahar berjam-jam sambil
memandangi langit di bawah pohon filicium. Itulah sebuah perenungan
tingkat tinggi yang membuat hatinya bergejolak sepanjang malam karena girang akan
memberi kami pelajaran, sebuah perenungan pembalasan dendam yang telah ia
rencanakan dengan rapi selama bertahun-tahun.
Wajah manisnya pasti sedang tersenyum sekarang dan senyumnya tak berhenti
mengembang jika ia ingat penderitaan kami. Di kolam busuk luar biasa sehingga
merontokkan bulu hidung ini kami membayangkan Mahar melonjak-lonjak girang
disirami sinar agung prestasi dan kata-kata pujian setinggi langit. Sedangkan kami
agaknya memang patut dihukum di kolam perut ikan ini. Mahar membalas kami
sekaligus merebut penghargaan terbaik—sekali tepuk dua nyamuk tumbang. Pria muda
yang nyeni itu memang genius luar baisa, dan baginya pembalasan ini maniiiiis sekali,
semanis buah bintang.
BAB XX
Miang Sui
AWAN-AWAN kapas berwarna biru lembut turun. Mengapung rendah ingin menyentuh
permukaan laut yang surut jauh, beratus-ratus hektare luasnya, hanya setinggi lutut,
meninggalkan pohon-pohon kelapa yang membujur di sepanjang Pantai Tanjong
Kelayang. Aku tahu bahwa awan-awan kapas biru muda itu dapat menjadi penghibur
bagi mataku, tapi dia takkanpernah menjadi sahabat bagi jiwaku, karena sejak minggu
lalu aku telah menjadi sekuntum daffodilyang gelisah, sejak kukenal sebuah kosakata
baru dalam hidupku: rindu.
Kini setiap hari aku dilanda rindu pada nona kuku cantik itu. Aku rindu pada
wajahnya, rindu pada paras kuku-kukunya, dan rindu pada senyumnya ketika
memandangku. Aku juga rindu pada sandal kayunya, rindu pada rambut-rambut liar di
dahinya, rindu pada caranya mengucapkan huruf “r”, serta rindu pada caranya merapikan
lipatan-lipatan lengan bajunya.
Kadang-kadang aku bersembunyi di bawah pohon filicium, melamun sendiri,
dadku sesak sepanjang waktu. Aku segera mengerti bahwa aku adalah tipe laki-laki yang
tak kuat menahankan rindu. Lalu aku berpikir keras mencari jalan untuk meringankan
beban itu. Setelah melalui pengkajian berbagai taktik, akhirnya aku sampai pada
kesimpulan bahwa rinduku hanya bisa diobati dengan cara sering-sering membeli kapur
dan untuk itu Bu Mus adalah satu-satunya peluangku.
Maka aku mengerahkan segala daya upaya, memohon sepenuh hati, agar tugas
membeli kapur tulis diserahkan padaku, kalau perlu kapur tulis untuk seluruh kelas SD
dan SMP Muhammadiyah, sepanjang tahun ini.
“Bukankah kau paling benci tugas itu Ikal?”
Aku tersipu. Ironis, aku telah menemukan definisi ironi yang sebenarnya.
Penyebabnya tentu bukan karena Toko Sinar Harapan telah menjadi wangi, tapi semata-mata
karena ada putri Gurun Gobi menungguku disana. Maka ironi bukanlah persoalan
substansi, ia tak lain hanyalah soal kompensasi. Itulah definisi ironi, tak kurang tak lebih.
Bu Mus tak berminat mendebatku dan kulihat perubahan wajahnya. Pastilah
instingnya selama bertahun-tahun menjadi guru secara naluriah telah membunyikan
lonceng di kepalanya bahwa hal ini sedikit banyak berhubungan dengan urusan cinta
monyet. Dengan jiwa penuh pengertian dan sebuah senyum jengkel beliau mengiyakan
sambil menggeleng-gelengkan kepala.
“Asal jangan kau hilangkan lagi kapur-kapur itu, perlu kau tahu, kapur itu dibeli
dari uang sumbangan umat!”
Kemudian aku dan Syahdan menjadi tim yang solid dalam pengadaan kapur. Aku
menjadi semacam manajer pembelian, Syahdan tak perlu mengayuh sepeda, cukup duduk
di belakang, memegang kotak-kotak kapur kuat-kuat dan menjaga mulutnya rapat-rapat,
karena hubungan antar-rasadalah isu yang sensitif ketika itu. Kami menikmati
ketegangan perjanjian rahasia ini dan selama beberapa bulan setelah itu aku telah menjadi
tukang kapur yang berdedikasi tinggi. Sebaliknya Syahdan, tentu saja melalui
rekomendasiku pada Bu Mus, selalu ikut denganku. Ia gembira karena semakin lama
meninggalkan kelas sekligus leluasa mendekati putri tukang hok lo pan.
Sesampainya di toko biasanya aku langsung cepat-cepat masuk dan berdiri tegak
dengan saksama di tengah-tengah lautan barang kelontong. Minyak kayu putih kukipas-kipaskan di
bawah hidung untuk melawan bau tengik. Aku menyeka keringat dan tak
sabar menunggu menit-menit ajaib, yaitu ketika A Miauw memberi perintah kepada
burung murai batu di balik tirai yang terbuat dari keong-keong kecil itu.
Aku menghampiri kotak merpati saat ia menjulurkan kapur. Setiap kali ini terjadi
jantungku berdebar. Ia masih tetap tak berkata apa pun, diam seribu bahasa, demikian
juga aku. Tapi aku tahu ia sekarang tak lagi cepat-cepat menarik tangannya. Ia
memberiku kesempatan lebih lama memandangi kuku-kukunya. Hal itu cukup
membuatku demikian bahagia sampai seminggu berikutnya.
Demikianlah berlangsung selama beberapa bulan. Setiap Senin pagi aku dapat
menjumpai belahan jiwaku, walaupun hanya kuku-kukunya saja. Hanya sampai di situ
saja kemajuan hubungan kami, tak ada sapa, tak ada kata, hanya hati yang bicara melalui
kuku-kuku yang cantik. Tak ada perkenalan, tak ada tatap muka, tak ada rayuan, dan tak
ada pertemuan. Cinta kami adalah cinta yang bisu, cinta yang sederhana, dan cinta yang
sangat malu, tapi indah, indah sekali tak terperikan.
Kadang-kadang ia menjentikkan jarinya atau menggodaku sambil terus
memegang kotak kapur ketika akan kuambil sehingga kami saling tarik. Kadang kala ia
mengepalkan tinjunya, mungkin maksudnya: kenapa kamu terlambat? Sering telah
kusiapkan diri berminggu-minggu untuk sedikit saja memegang tangannya atau untuk
mengatakan betapa aku rindu padanya. Tapi setiap kali aku melihat kuku-kukunya,
semua kata yang telah ditulis rapi pun sirna, menguap bersama aroma keringat orang
Sawang dan seluruh keberanian lenyap tertimbun tumpukan lobak asin. Tirai yang terbuat
dari keong-keong kecil itu demikian kukuh untuk ditembus oleh mental laki-laki sekecil
aku.
Sudah dua musim berlalu, sudah dua kali orang-orang bersarung turun dari
perahu, aku merasa sudah saatnya untuk tahu siapa namanya. Namun sekali lagi,
walaupun sudah berhari-hari mengumpulkan keberanian untuk bertanya langsung ketika
tangannya menjuilur, aku menjadi bisu dan tuli. Aku begitu kerdil di depannya. Maka
kutugaskan Syahdan mencari informasi. Ia sangat girang mendapat tugas itu. Lagaknya
seperti intel Melayu, mengendap-endap, berjingkat-jingkat penuh rahasia.
“Namanya A Ling ...!” bisiknya ketika kami sedang khatam Al-Qur’an di Masjid
Al Hikmah. Jantungku berdetak kencang.
“Seangkatan dengan ktia, di sekolah nasional!” Dan pyarrr!! Kopiah resaman
Taikong Razak menghantam rihalan Syahdan.
“Jaga adatmu di muka kitab Allah anak muda!!”
Syahdan meringis dan kembali menekuri Khatamul Qur’an. Sekolah nasional
adalah sekolah khusus anak-anak Tionghoa. Aku menatap Syahdan dengan serius.
Sekolah nasional ...?
“Jangan sampai tahu ibuku,” kataku cemas, “Bisa-bisa kau kena rajam.”
Syahdan tak mau menanggapi peringatkanku yang tidak kontekstual dengan
infonya yang berharga tadi. Wajahnya mengisyaratkan bahwa ia punya kejutan lain.
“A Ling adalah sepupu A Kiong ...!”
Aku terkejut, rasanya seperti tertelan biji rambutan yang macet di tenggorokanku.
A Kiong, pria kaleng kerupuk itu! Mana mungkin dia punya sepupu bidadari?
Syahdan membaca pikiranku, ia mengangguk-angguk yakin memastikan, “Iya,
betul sekali, Kawan, A Kiong kita itu, tapi aku tak pasti, apakah A Kiong seperti itu
karena tumbal ilmu sesat, titisan yang keliru, atau anomali genetika?”
Syahdan vulgar dan sok tahu. Aku segera teringat pada A Kiong. Beberapa hari
ini ia belajar di kelas sambil berdiri karenalimabiji bisul padi bermunculan di pantatnya
sehingga ia tak bisa duduk. Tapi ia berkeras ingin tetap sekolah.
Aku tak dapat menggamabrkan perasaanku atas semua info ini. Kenyataan bahwa
A Ling adalah sepupu a Kiong membuatku bersemangat sekaligus waswas. Aku dan
Syahdan berunding serius membahas perkembangan ini dan kami putuskan untuk
menceritakan situasinya pada A Kiong. Kami menganggap dialah satu-satunya peluang
untuk menembus tirai keong itu.
Kami giring A Kiong menuju kebun bunga sekolah dan kami dudukkan di abngku
kecil dekat kelompok perdu kamar Beloperone, Pittosporum, dan kembang sepatu yang
saat itu sedang bersemi, tempat yang sempurna untuk bermusyawarah soal cinta.
“Mudahnya begini saja, Kiong,” kataku tak sabar. “Aku akan menitipkan padamu
suratdan puisi untuk A Ling, maukah kau memberikan padanya? Serahkan padanya
kalau kalian sembahyang di kelenteng, pahamkah engkau?”
Ia mengernyitkan dahinya, rambut landaknya berdiri tegak, wajahnya yang bulat
gemuk tampak semakin jenaka. Ketika ia melepaskan kembali kernyitannya itu pipinya
yang tembem jatuh berayun-ayun lucu. Dia adalah pria berwajah mengerikan tapi lucu.
“Mengapa tak kauberikan langsung padahal setiap Senin pagi kau bertemu
dengannya? Tidak masuk akal!” A Kiong tak mengucapkan kata-kata itu tapi inilah arti
kernyitannya itu. Aku juga menjawabnya dari dalam hati, semacam telepati. “Hei, anak
Hokian, sejak kapan cinta masuk akal?”
Aku menarik napas panjang, membalikkan badanku, memandang jauh ke
lapangan hijau pekarangan sekolah kami. Seperti sedang berakting dalam sebuah teater
aku merenggut daun-daun Dracaena, meremas-remasnya lalu melemparkannya ke udara.
“Aku malu, A Kiong, nyaliku lumpuh kalau berada satu meter darinya, aku adalah
seorang pria yang kompulsif, jika ceroboh aku takut ketahuan bapaknya, kalau itu terjadi,
tak terbayangkan akibatnya!”
Kudapat kata-kata itu dari majalah Aktuillangganan abangku, barangkali agak
kurang tepat, tapi apa peduliku. Demi mendengar kata-kata seperti naskah sandiwara
radio itu Syahdan memeluk erat-erat pohon petai cina di sampingnya. Aku kehabisan kata
untuk menjelaskan pada A Kiong bahwa titip-menitip dalam dunia percintaan
mengandung nilai romansa yang tinggi karena ada unsur-unsur kejutan disana.
Rupanya A Kiong menangkap keputusasaan dalam nada suaraku. Ia adalah siswa
yang tidak terlalu pintar tapi ia setia kawan. Sepanjang masih bisa diusahakan ia tak ‘kan
pernah membiarkan sahabatnya patah harapan. Luluh hatinya melihat aktingku. Sekarang
ia tersenyum dan aku menyembahnya seperti murid shaolin berpamitan pada suhunya
untuk memberantas kejahatan. Namun karena turunan darah wiraswasta leluhurnya, A
Kiong tentu menuntut kompensasi yang rasional. Aku tak keberatan menggarap PR tata
buku hitung dagangnya.
Lalu, tak terbendung, melalui A Kiong, puisi-puisi cintaku mengalir deras
menyerbu pasar ikan. Baginya itu hanyalah tugas mduha. Sebaliknya, ia mulai merasakan
kenikmatan eskalasi gengsi akibat nilai-nilai tata buku hitung dagang yang membaik.
Hubungan A Kiong, aku dan Syahdan adalah simbiosis mutualisme, seperti burung cako
dengan kerbau. Ia sama sekali tak menyadari bahwa persoalan titip menitip ini dapat
membawa risiko ia pecah kongsi dengan pamannya A Miauw.
Aku selalu mendesak A Kiong untuk menceritakan bagaimana wajah A Ling
ketika menerima puisi dariku.
“Seperti bebek ketemu kolam,” kata A Kiong penuh godaan persahabatan.
Dan pada suatu sore yang indah, di bulan Juli yang juga indah, di tempat duduk
bulat, sendirian di kebun bunga kami, aku menulis puisi ini untuk A Ling:
Bunga Krisan
A Ling, lihatlah ke langit
Jauh tinggi di angkasa
Awan-awan putih yang berarak itu
Aku mengirim bunga-bunga krisan untukmu
Ketika kumasukkan puisi ke dalam sampul surat, aku tersenyum, tak percaya aku
bisa menulis puisi seperti itu. Cinta barangkali dapat memunculkan sesuatu, kemampuan
atau sifat-sifat rahasia, yang tak kita sadari sedang bersembunyi di dalam tubuh kita.
Namun ketika itu aku selalu merasa heran mengapa A Ling selalu mengembalikan
puisiku? Barangkali di tokonya yang sesak tak ada lagi tempat untuk menyimpan kertas.
Demikianlah pikiranku, bukankah anak kecil selalu berpikir positif. Aku tak ambil pusing
soal itu lagi pula saat ini pikiranku sedang tak keruan karena pada kotak kapur yang
kuambil pagi ini ada tulisan:
Jumpai aku di acara sembahyang rebut
Tulisan tangan A Ling! Ini adalah lompatan raksasa dalam hubungan kami.
Bagiku catatan kecil ini sangat penting seperti katebelecepresiden untuk menaikkan gaji
seluruh pegawai negeri. Keinginanku melihat kembali wajah Michele Yeoh-ku setelah
insiden tirai dulu adlaah tabungan rindu dalam celengan tanah liat yang setiap saat
hampir meledak. Dan dalam waktu 92 jam, 15 menit, 10 detik dari sekarang aku akan
menjumpainya langsung. Di halaman kelenteng.
Hari-hari menjelang pertyemuan adalah hari-hari tak bisa tidur. Klasik sekali
memang, tapi apa boleh buiat karena memang itu kenyataannya maka harus kuceritakan.
Berkali-kali kubaca pesan di atas kotak kapur itu tapi masih tetap isinya tentang janji
ketemu. Dibaca dari arah mana pun, dari belakang seperti membaca huruf Arab, dari
depan, dari atas, dari jauh, dari dekat, dipantulkan di cermin, digerus dengan lilin, dibaca
dengan kaca pembesar, dibaca di balik api, ditaburi tepung terigu, diawasi lama-lama
seperti melihat gamabr tiga dimensi yang tersamar, isinya tetap sama yaitu “jumpai aku
di acara sembahyang rebut”. Itu adalah kalimat bahasa Indonesia yang jelas, bukan
idiom, bukan isyarat atau simbol. Aku seolah tak percaya dengan pesan itu tapi aku, si
Ikal ini, akan segera berjumpa dengan cinta pertamanya! Tak diragukan lagi, dunia boleh
iri.
Kotak kapur yang ada tulisan pesan A Ling itu kusimpan di kamarku seperti
benda koleksi yang bernilai tinggi. Syahdan dan A Kiong sampai bosan terus-menerus
mendengar kisahku tentang pesan itu. Mereka muak. Satu pelajaran berharga, orang yang
sedang jatuh cinta adalah orang yang egois. Aku seolah tak percaya pada apa yang akan
terjadi, mimpikah ini?
“Bukan, Kawan, bukan mimpi, mandilah bersih-bersih dan tunggu dia pukul
emapt sore di halaman kelenteng, saat persiapan sembahyang rebut. Dia wanita yang
baik, dia akan datang untuk janjinya,” nasihat A Kiong, event organizerpertemuan
penting ini, yang tiba-tiba menjadi amat bijaksana.
Chiong Si Ku atau sembahyang rebut diadakan setiap tahun. Sebuah acara
semarak di mana seluruh warga Tionghoa berkumpul. Tak jarang anak-anaknya yang
merantau pulang kampung untuk acara ini. Banyak hiburan lain ditempelkan pada ritual
keagamaan ini, misalnya panjat pinang, komidi putar, dan orkes Melayu, sehingga
menarik minat setiap orang untuk berkunjung. Dengan demikian ajang ini dapat disebut
sebagai media tempat empat komponen utama kelompok subetnik di kampung kami:
orang Tionghoa, orang Melayu, orang pulau bersarung, dan orang Sawang berkumpul.
Orang Sawang tak terlalu tertarik dengan hiburan-hiburan tadi tapi mata mereka
tak lepas dari tiga buah meja berukuran besar dengan panjang kira-kira 12 meter, lebar
dan tingginya kira-kira 2 meter. Di atas meja itu ditimbun berlimpah ruah barang-barang
keperluan rumah tangga, mainan, dan berjenis-jenis makanan. Barang-barang ini adalah
sumbangan dari setiap warga Tionghoa. Tak kurang dari 150 jenis barang mulai dari
wajan, radio transistor, bahkan televisi, berbagai jenis kue, biskuit, gula, kopi, beras,
rokok, bahan tekstil, berbagai botol dan kaleng minuman ringan, gayung, pasta gigi,
sirop, ban sepeda, tikar, tas, sabun, payung, jaket, ubi jalar, baju, ember, celana, buah
mangga, kursi plastik, batu baterai, sampai beragam produk kecantikan disusun
bertumpuk-tumpuk laksana gunung di atas meja-meja besar tadi. Daya tarik terkuat dari
sembahyang rebut adalah sebuah benda kecil yang disebut fung pu, yakni secarik kain
merah yang disembunyikan di sela-sela barang-barang tadi. Benda ini merupakan incaran
setiap orang karena ia perlambang hoki dan yang mendapatkannya dapat menjualnya
kembali pada warga Tionghoa dengan harga jutaan rupiah.
Meja itu diletakkan di depan sebuah Thai Tse Ya, yaitu patung raja hantu yang
dibuat dari bambu dan kertas-kertas berwarna-warni. Tinggi Thai Tse Ya mencapai 5
meter dengan diameter perut 2 meter. Ia adalah sesosok hantu raksasa yang
menyeramkan. Matanya sebesar semangka dan lidahnya panjang menjuntai seperti ingin
menjilati jejeran babi berminyak-minyak yang dipanggang berayun di bawahnya. Thai
Tse Ya tak lain adalah representasi sifat-sifat buruk dan kesialan manusia. Sepanjang sore
dan malam hari, warga Tionghoa yang Kong Hu Cu tentu saja melakukan sembahyang di
depan Thai Tse Ya ini.
Tepat tengah malam salah seorang paderi akan memukul sebuah tempayan besar
pertanda seluruh hadirin dapat mengambil—lebih tepatnya merebut—semua barang yang
ada di tiga meja besar tadi. Oleh karena itu Chiong Si Ku disebut juga acara sembahyang
rebut.
Ketika tempayan itu dipukul bertalu-talu tanda mulai berebut aku menyaksikan
salah satu peristiwa paling dahsyat yang pernah dilakukan manusia. Gunungan beratus-ratus jenis
barang tersebut lenyap dalam waktu tak lebih dari satu menit—25 detik lebih
tepatnya, dan tempat itu berubah menjadi kekacaubalauan yang tak tertuliskan kata-kata.
Debu tebal mengepul ketika ratusan orang dengan garang menyerbu meja-meja tinggi itu
dengan semangat seperti orang kesetanan. Tak jarang meja-meja itu hancur berantakan
dan para perebut cidera berat.
Mereka yang berhasil naik ke atas meja dengan gerakan secepat kilat
melemparkan barang-barang secara sistematis kepada rekan-rekannya yang menunggu di
bawah. Mereka yang bertindak sendiri naik ke atas meja dan memasukkan apa saja yang
ada di dekatnya ke dalam sebuah karung—juga dengan kecepatan kilat—sampai kadang
kala tak bisa menurunkan karungnya itu karena sudah di luar batas tenaganya.
Kadang kala belasan orang berebut sebuah barang sehingga terjadi semacam
perkelahian di tengah tumpukan barang dan beberapa di antaranya terjengkang, jatuh
menabrak barang-barang rebutan, lalu terjembab ke tanah. Para penonton tak sempat
bertepuk tangan tapi hanya terpana menyaksikan pemandangan sekilas yang mahadahsyat
sekaligus ngeri membayangkan bagaimana manusia bisa begitu serakah dan beringas.
Mereka yang tidak membawa karung memasukkan apa saja ke dalam seluruh
saku baju dan celana bahkan ke dalma bajunya sehingga tampak seperti badut. Dalam
situasi berebutan yang sangat cepat otak sudah tidak bisa menalar, kadang kala butir-butir
beras dan gula juga dimasukkan ke dalam saku celana. Mereka yang saku baju dan
celananya—bahkan bagian dalam bajunya—telah penuh memasukkan apa saja ke dalma
mulutnya, mereka makan apa saja, sebanyak mungkin, ketika masih berada di atas meja,
jika perlu mereka akan menyimpan barang di dalam lubang-lubang hidung dan telinga,
luar biasa!
Jika berhasil merebut radio transistor jangan harap akan membawanya pulang
dengan utuh karena ketika masih di atas meja radio itu akan direbut oleh lima belas orang
sekaligus sehingga yang tersisa hanya tombol-tombol atau antenanya saja. Prinsipnya tak
mengapa mendapatkan tombolnya saja asalkan orang lain juga tak mendapatkan radio
seutuhnya. Perkara radio itu menjadi hancur tak bisa dipakai adalah urusan lain yang tak
penting. Inilah manifestasi dasar keserakahan manusia. Chiong Si Ku adalah bukti nyata
tak terbantah terhadap teori yang dipercaya para antropolog tentang kecenderungan egois,
tamak, merusak, dan agresif sebagai sifat-sifat dasar homo sapiens.
Superstardalam Chiong Si Ku tentu saja orang-orang Sawang. Tanpa mereka
bisa-bisa acara ini kehlilangan sensasinya. Mereka sukses setiap tahun karena
pengorganisasian yang solid. Sejak sore mereka telah melakukan riset di mana posisi
barang-barang berharga, dari sudut mana harus menyerbu, berapa tenaga yang
diperlukan, dan mengkalkulasi perkiraan perolehan. Berhari-hari sebelum sembahyang
rebut mereka telah menyusun strategi. Pembagian tugasnya jelas, yaitu mereka yang
berbadan besar bertugas menjegal kelompok perebut lain, yang kecil menyerbu naik ke
atas meja seperti gerakan monyet: cepat, jeli, dan tangkas, dan sisanya menunggu di
bawah, siaga menangkap apa saja yang dilemparkan dari atas meja. Kelompok ini
beranggotakan sampai dua puluh orang. Seorang pria Sawang kurus bermata liar
ditugaskan khusus selama bertahun-tahun untuk menjarah fung pu. Ketika ia beraksi
ekspresinya datar seolah ia tak punya urusan dengan perebut-perebut serakah lainnya.
Tingkah lakunya persis budak yang dijanjikan merdeka oleh Siti Hindun jika berhasil
membunuh Hamzah sang panglima pada perang Uhud. Sang budak tak ada urusan
dengan perang Uhud, perang itu bukan perangnya, setelah menombak dada Hamzah ia
bergegas pulang. Demikian pula pria bermata liar ini. Ketika paderi memukul tempayan
pertama kali ia langsung memanjat meja seperti manusia laba-laba, lalu dengan cekatan
ia berjingkat-jingkat di antara lautan barang-barang. Matanya yang tajam nanar jelalatan
melacak ke sana kemari dan dalam waktu singkat ia mampu menemukan fung pu. Ia
selalu sukses meskipun paderi telah menyembunyikan benda kecil keramat itu dengan
amat rapi di antara tumpukan terdalam lipatan daster, di dalam salah satu dari puluhan
kaleng biskuit Khong Guan yang paling sulit dijangkau, di dalam karung ekmiri, di sela-sela
dedaunan tebu, bahkan di dalam buah jeruk kelapa. Setelah mendapatkan fung puia
menyelipkan carikan merah itu di pinggangnya dan melompat turun seperti pemilik ilmu
peringan tubuh. Ia tak sedikit pun peduli dengan barang-barang berharga lainnya serta
kecamuk ratusan pria kasar yang berebut dengan brutal. Sang legenda hidup Chiong Si
Ku itu mendarat ke bumi tanpa menimbulkan suara lalu sedetik kemudian ia menghilang
di tengah kerumunan massa membawa lari lambang supremasi Chiong Si Ku. Ia lenyap
di telan gelap, asap gaharu, dan aroma dupa.
Orang-orang Melayu, sebagaimana baisa, susah berorganisasi. Bukannya fokus
pada ikhtar untuk mencapai tujuan dan memenangkan persaingan tapi sebaliknya mereka
gemar sekali berpolitik sesama mereka sendiri. Tak terima jika dikoreksi dan jarang ada
yang mau berintrospeksi. Di antara mereka selalu saja berbeda pendapat dan mereka
senang bukan main dengan pertengkaran yang tak konstruktif. Tak mengapa tujuan tak
tercapai asal tak jatuh nama dalam debat kusir. Dan selalu terjadi suatu gejala yang paling
umum yaitu: yang paling bodoh dan paling tak berpendidikan adalah paling lantang dan
paling pintar kalau bicara. Jika orang Melayu membentuk sebuah tim maka setiap orang
ingin menjadi pemimpin. Akhirnya tim yang solid tak pernah terbentuk. Akibatnya dalam
sembahyang rebut mereka beroperasi secara individu dan berjuang secara soliter maka
yang berhasil dibawa pulang hanya tubuh yang remuk redam, sebatang tebu, beberapa
bungkus sagon, sebelah kaos kaki Mundo, beberapa butir kepala boneka, bibit kelapa
yang tak dipedulikan orang Sawang, dan pompa air—itu pun hanya sumbatnya saja.
Chiong Si Ku diakhiri dengan membakar Thai Tse Ya dengan harapan tak ada
sifat-sifat buruk dan kesialan melanda sepanjang tahun ini. Sebuah acara keagamaan tua
yang syarat makna, berseni, dan sangat memesona.
Pukul 3.30 selesai shalat Ashar.
Pesan di kotak kapur! Seperti message in a botle. Aku berdiri tegak di bawah
pohon seri di halaman kelenteng sambil memegangi sepedaku, menunggu. Anak-anak
muda Tionghoa hilir mudik. Mereka sibuk mendirikan Thai Tse Ya setinggi lima meter.
Ada A Kiong diantara mereka, ia berulang kali mengacungkan jempolnya
menyemangatiku.
“Tabahlah, Kawan, ambil semua risiko, begitulah hidup,” demikian barangkali
maksudnya.
Aku membalas dengan senyum kecut karena aku gelisah. Aku gelisah
membayangkan apa yang ada di pikiran seorang wanita muda Tionghoa tentang laki-laki
Melayu kampung seperti aku. Dan berada di tengah lingkungan mereka membuat aku
semakin ragu. Apa aku pulang saja? Tapi aku rindu. Dan rinduku telanjur berdarah-darah.
Seperti terjadi setiap hari, pukul 3.30 sore matahari masih terasa sangat panas dan
dengan berdiri di sini sebagian tubuhku tersiram cahayanya. Aku dapat merasakan
keringatku mengalir pelan di leher baju takwa putih berlengan panjang, baju terbaik yang
aku miliki, hadiah hiburan lomba azan. Jantungku berdetak kacau, aku gugup luar biasa.
Burung matahari akwanan tujuh ekor yang berkicau-kicau di dahan-dahan rendah seri
jelas-jelas menggodaku. Mereka berjingkat-jingkat dan ribut sekali. Kumbang juga
menerorku, seperti suara ambulans mereka sibuk melubangi kayu-kayu besar bercat
merah mencolok yang menyangga atap kelenteng. Suaranya merisaukanku. Aku tak sabar
menunggu.
Pukul 3.55
Sudah 25 menit aku mematung di sini, tak ada tanda-tanda kehadiran A Ling.
Wajah A Kiong menaruh belas kasihan padaku. Barangkali tadi aku tiba terlalu awal,
harusnya aku datang terlambat saja, atau tak datang sama sekali. Berbagai pikiran aneh
mulai merasukiku. Aku merasa lelah karena tegang. Kakiku kesemutan.
Mataku tak lepas-lepas memandang ke arah satu-satunya jalan yang
menghubungkan kelenteng dengan pasar ikan. Di sepanjang kiri kanan jalan ini tumbuh
berderet-deret pohon saga. Cabang-cabang atasnya bertemu meneduhi jalan di bawahnya
sehingga jalan ini tampak seperti gua. Setelah deretan pohon-pohon saga, jalan ini
berbelok ke kanan. Pinggir jalan ini dipagari bekas-bekas tulang bangunan yang terlantar.
Tulang-tulang bangunan itu dirambati dengan lebat tak beraturan ke sana kemari
oleh Bougainvillea spectabilisliar atau kembang kertas dan berakhir pada ujung sebuah
jalan buntu. Di ujung jalan ini berdiri toko Sinar Harapan, rumah A Ling. Maka berdiri
dua puluh meter persis di depan Thak Si Ya adalah posisi yang telah kuperhitungkan
dengan matang. Jika ia muncul di belokan itu, maka dari posisi ini aku dapat melihatnya
langsung berjalan anggun seperti burung sekretaris menuju ke arahku. Pasti ia akan
menunduk tersenyum-senyum, atau, seperti film India, ia akan berlari kecil membawa
seikat bunga, lalu merentangkan tangannya untuk memelukku. Ah, aku bermimpi.
Tapi ia tak muncul-muncul dan aku berulang kali mengusap mataku yang
kelelahan memelototi belokan itu. Kakiku penat dan aku mulai merasa pusing karena
ketegangan berkepanjangan. Sekarang Thak Si Ya telah berdiri, para pemuda Tionghoa
bertepuk tangan, sementara aku semakin gelisah. Aku melirik Thak Si Ya yang berdiri
tinggi tegak, matanya seram sekali mengawasi gerak gerikku.
Sekarang sudah pukul 3.57, tiga menit menjelang tenggat waktu.
Aku menghitung dengan jariku, jika sampai hitungan keenam puluh ia tak muncul
maka aku akan pergi saja. Aku kepanasan dan merasa mual. Karena tegang, perutku naik
membaut ngilu ulu hatiku. Kalau tadi pikiran yang bukan-bukan merasukiku, kini
pikiranku dilanda keraguan.
Apakah ia benar-benar seperti persepsiku selama ini? Apakah yang kuabyangkan
tentang dirinya akan sama sekali berbeda kenyataannya? Mungkinkah sekarang ia sedang
menyiangi tauge, lupa akan janjinya? Tahukah ia betapa berarti pesannya itu untukku?
Dan sekarang ia tak datang, betapa hancur hatiku. Ingin segera kukayuh sepeda ini, lari
sekencang-kencangnya menceburkan diri ke Sungai Lenggang.
Pukul 4.02, lewat sudah batas janji.
Tik! Tok! Tik! Tok! Tik! Tok!
Sudah 60! Hitunganku sampai. Ia ingkar!
Aku berada di puncak kegelisahan. Tanganku dingin, jantungku berdetak makin
cepat. Suara kumbang-kumbang semakin riuh merubung aku, menerorku tanpa ampun.
Ngiung! Ngiung! Ngiung ...
Dadaku sesak karena rindu dan marah, aku naiki sadel sepeda, sudah tak tahan
ingin berlalu dari neraka ini. Namun ketika aku akan mengayuh sepeda, aku mendengar
persis di belakangku suara itu. Suara yang lembut seperti tofu. Suara yang membuat
kumbang-kumbang terdiam bungkam. Inilah suara yang sejuk seperti angin selatan, suara
terindah yang pernah kudengar seumur hidupku, laksana denting harpa dari surga.
“Siapa namamu?”
Aku berbalik cepat dan terkejut.
Aku tak mampu mengucapkan sepatah kata pun. Karena di situ, persis di situ, tiga
meter di depanku, berdirilah ia, the distinguished Miss A Ling herself!Michele Yeoh-ku.
Ia datang dari arah yang sama sekali tak kuduga karena sebenarnya dari tadi ia sudah
berada di dalam kelenteng memerhatikanku, dan pada detik-detik terakhir aku akan
kecewa, ia hadir, memberiku kejutan listrik voltase tinggi, menghancurkan setiap butiran-butiran
darah merah di tubuhku. Setelah lima tahun mengenalnya, baru tujuh bulan yang
lalu pertama melihat wajahnya, setelah puluhan puisi yang kutulis untuknya, setelah
berton-ton rindu untuknya, baru sore ini dia akan tahu namaku.
Aku tergagap-gagap seeprti orang Melayu belajar mengaji.
Ia mengulum senyum, manis sekali tak terperikan. Hadir dalam balutan chong
kiun, baju acara penting yang memesona, di suatu bulan Juli yang meriah, ia turun ke
bumi bagai venus dari Laut Cina Selatan. Baju itu mengikuti lekuk tubuhnya dari atas
mata kaki sampai ke leher dan dikunci dengan kancing tinggi berbentuk seperti paku.
Tubuhnya yang ramping bertumpu di atas sepasang sandal kayu berwarna biru. Cantik
rupawan melebihi mayoret mana pun. Tingginya tak kurang dari 175 cm, jelas lebih
tinggi dariku.
Serasi dengan rumpun genayun yang tumbuh kurus menjulang di sampingnya ia
mengikat rambutnya menjadi satu ikatan besar dan ikatan itu ditegakkan tinggi-tinggi.
Beberapa helai rambut yang disatukan jatuh di atas pundak chong kiun berwarna lam set,
biru muda, dengan motif bunga ros besar-besar. Beberapa helai rambut lainnya dibiarkan
jatuh melintasi wajahnya yang teduh jelita. Kuku-kukunya yang cantik memegang hio
untuk sembahyang.
Ada sedikit kilasan kedewasaan pada pancaran matanya dibanding terakhir kami
bertemu. Teori yang memaksakan pendapat bahwa wanita bermata besar kelihatan lebih
cantik akan runtuh berantakan jika melihat A Ling. Matanya yang sipit sedikti tertarik ke
atas, senada dengan bentuk alis yang dibiarkan alami. Dalam lukisan wajah yang tirus
bentuk mata seperti itu menciptakan rasa kecantikan dengan karakter yang kaut. Inilah
pusat gravitasi pesona wajah A Ling.
Sejujurnya aku tak sanggup mengatasi keanggunan pada level seperti ini. Ini
bukan untukku. Aku merasa tak pantas. Bagiku ia seperti seseorang yang akan selalu
menjadi milik orang lain. Dan aku, tak lebih dari pengisi data nama dan alamat pada buku
simfoninya yang akan terlupakan sebulan setelah ini. Aku tak mungkin berada di dalam
liga ini. Aku rasanya ingin pulang saja. Ia membaca itu. Lalu memegang mata kiang lian,
seuntai kalung yang menggantung panjang di lehernya. Mata kalung itu batu giok dan
bertulisan Tionghoa. Aku tak paham makna tulisan itu.
“ Miang sui,” kata A Ling. Nasib, itulah artinya.
Dan lilin besar merah pun dinyalakan, cahayanya berkibar-kibar, ratusan
jumlahnya. Mata Thai Tse Ya berkilat-kilat karena lilin menyinari wajahnya dari bawah.
Ia tampak makin seram tapi aura A Ling membuatnya tak lebih dari boneka kertas yang
jenaka dan kumbang-kumbang yang nakal tadi tak berani muncul lagi.
A Ling menarik tanganku, kami berlari meninggalkan halaman kelenteng, terus
berlari melintasi kebun kosong tak terurus, menyibak-nyibakkan rumput apit-apit setinggi
dada, tertawa kecil menuju lapangan rumput halaman sekolah nasional. Kami
merebahkan diri kelelahan, memandangi awan senja berarakan.
“Aku membaca puisimu, Bunga Krisan, di depan kelas!” katanya serius. “Puisi
yang indah ....”
Aku melambung.
Wajah A Ling yang cantik berair karena keringat, seperti embun di permukaan
kaca. Ia bangkit, lalu berjalan hilir mudik di depanku yang memandanginya seperti bayi
melihat kelereng. Lalu dengan gaya seperti dosen ia menggenggam jemarinya, bercerita
penuh semangat tentang minatnya pada sketsa dan cita-citanya menjadi perancang
busana. Sebaliknya, aku menceritakan minatku pada seni. Di dekatnya aku merasa
berarti, merasa menjadi seseorang, di dekatnya aku merasa ingin menjadi seorang pria
yang lebih baik. Di dekatnya aku merasa seperti sedang berada dalam sebuah adegan
dalam film.
Dari lapangan itu kami kemudian berlari-lari menuju komidip utar. Bukankah
komidi putar adalah sebuah benda yang menakjubkan? Setelah seorang pria kumal
mengangkat sebuah tuas lalu benda itu secara mekanik memutar insan-insan yang
dimabuk cinta yang duduk berimpitan di dalam sebuah tempat seperti mentudung. Lalu
tiba-tiuba semuanya menjadi mudah karena semua hal disaksikan dari suatu jarak. Bagiku
mentudung-mentudung itu seumpama pelaminan di mana orang berusaha menikmati
keindahan cinta dalam kesederhanaan sensasi yang ditawarkan sebuah komidi putar.
Keindahan yang sederhana ini membuatku belajar menghargai cinta yang sekarang duduk
di sampingku. Inilah sore terindah dalam hidupku. Aku bertanya-tanya pada diri sendiri:
ke manakah nasib akan membawaku setelah ini? Dari putaran tertinggi komidi aku dapat
melihat lapangan tempat tadi kami memandangi awan.
BAB XXI
Rindu
DI sebuah buku aku melihatnya mengen-darai kuda dengan cara memeluk erat perut
hewan itu seperti prajurit Kubilai Khan. Matanya berkilat-kilat karena dewa mata tombak
telah melukai hatinya. Darahku menggelegak ketika ia mengendap-endap mendekati
seekor moose jantan. Dan aku tak kuasa membalik satu lembar terakhir saat ia
mengatakan bahwa ia akan mencampak-kan cinta wanita-wanita berdarah campuran
Tututni dan Chimakuan. Semua itu karena ia tak mau mencemari darah Indian Pequot
yang mengalir deras di tubuhnya, dan yang paling memilukan, karena ia adalah pria
terakhir dalam sukunya.
Maka air kelaki-lakiannya bersimbah di punggung-punggung kuda tak berpelana dan ia
mengembara sendirian di lautan padang rumput Vellowstone yang tak bertepi. Ia menjerit
sepanjang hari dan menari menantang matahari sehingga pandangan matanya gelap
gulita. Ia merangkak-rangkak, berdoa agar salah satu wanita dari sukunya akan muncul di
antara kawanan coyote seperti para dewa telah menghadirkan wanita-wanita Sguamish.
Tapi waktu yang mengutus angin juga telah tega mengkhianatinya, sehingga ia menjadi
tua, dan saat maut menagih janjinya, ia mati masih perjaka. Pagi itu langit melapangkan
kedua tangan, menyambut darah asli Pequot.
Chinookcuk, yang terakhir dari kaumnya itu adalah prajurit yang memutuskan untuk
mengucilkan diri karena ingin menjaga kesucian darah Pequot. Sama seperti suatu suku
terasing di Sepahua Amazon. Mereka melarikan diri jauh ke rimba yang dalam karena
ingin menghindarkan diri dari wabah kolera. Sejak tahun 1500 tak seorang pun pernah
melihat mereka. Isolated by choice, demikian para ahli menyebutnya, yaitu sikap sengaja
mengasingkan diri. Sedangkan yang mengumbar keberadaan dirinya seperti suku-suku
Osage, Huron, Lakmiut, Cherokee, Sawang, atau Melayu Belitong umumnya mengalami
hambatan-hambatan geografis sehingga terisolasi. Meskipun dalam kasus tertentu isolasi
sengaja itu juga terjadi karena pertimbangan komersial, misalnya Sheffield yang tiga
tahun lalu memutuskan untuk mengucilkan diri dengan menutup bandaranya karena tidak
menghasilkan keuntungan. Adapun suku-suku Perupian itu memang terasing karena
rimba belantara yang sulit ditembus, sungai-sungai yang liar, dan gunung gemunung
yang terjal.
Pada suatu ketika Melayu Belitong sempat terisolasi karena mereka tinggal di sebuah
pulau kecil yang dikelilingi samudra, sementara tidak semua peta memuat pulau ini.
Waktu itu di sana belum berdiri BTS-BTS atau antena gelombang mikro untuk telekomunikasi.
Satu-satunya akses suku ini kepada dunia luar adalah melalui sebuah pintu baja setebal 30
sentimeter. Bagi orang Belitong, pintu baja itu adalah tabir pemisah kehidupan jahiliah dan dunia
modern, sekaligus laksana teropong kapal selam yang timbul untuk melongok-longok dunia luar.
Pintu baja tulen itu menutup sebuah ruangan sempit rahasia yang menyimpan benda-benda keramat
berwarna-warni. Ruangan ini disebut ktuis dan merupakan bagian utama
dari sebuah kantor peninggalan Belanda. Jika pintu ini ditutup maka orang Melayu
Belitong merasa bahwa di dunia ini Tuhan hanya menciptakan mereka dan bumi berbentuk
lonjong. Kluis adalah jendela alam semesta bagi suku Melayu Belitong.
Oleh karena itu, kluis sangat penting dan kuncennya bukan orang sembarangan. Di dunia
ini hanya ia dan Tuhan yang tahu kombinasi sebelas digit nomor benteng pertama kluis.
Setelah memutar kombinasi itu ia harus melalui tiga tahap lagi untuk membukanya.
Pertama, ia harus memasukkan dua buah anak kunci tembaga kurus panjang ke dalam
dua lubang kunci dan memutarnya setengah lingkaran secara bersamaan. Kedua, ia
kembali memasukkan sebuah anak kunci besar yang harus diputar dengan kedua tangan
karena harus cukup tenaga untuk membalik enam buah batangan baja murni sebesar
lengan manusia dewasa dari penyekatnya inilah tuas kunci utama kluis. Dan
ketiga, setelah pintu besi 30 sentimeter itu terbuka ternyata masih ada lagi pintu besi
jeruji yang dikunci dengan gembok tembaga selebar telapak tangan.
Ruangan kluis ini tahan api dan jika diledakkan dengan dinamit 100 kilogram ia masih
tak akan bergerak. Di dalamnya gelap pekat tak ada udara, apabila terperangkap di sana
dipastikan akan mati lemas dalam waktu singkat. Jika pintu itu rusak, hanya seorang pria
tua bernama Hans Ritsema Van Horn dari Uttrech yang bisa membetulkannya.
Pengamanan dibuat demikian ketat berlapis-lapis karena dalam kluis itu terdapat benda-benda
keramat berwarna-warni, benda inilah sang penguasa waktu. Ia bukan sema-cam
lorong waktu yang dapat membalik tempo tapi ia lebih seperti time slider pada DVD
player,dan ia disimpan dalam portepel-portepel. Dengan Rp200, perangko kilat, tujuh
hari insya Allah sampai kepada alamat penerima, menuju tujuan kota mana pun di Pulau
Jawa, dan Rp75 adalah perangko biasa, jika ingin sampai saat Hari Raya Idul Adha maka
kirimlah sebelum Hari Raya Idul Fitri.Pria pemegang kunci kluis itu merupakan o-rang
terpilih dan Tuhan diam-diam telah menciptakan untuknya sebuah pekerjaan yang bukan
hanya bergaji rendah tapi juga unik dan bisa memacu otak sekaligus jantungnya. Dan
kepada pemangku pekerjaan inilah seharusnya kita, khusus nya kami, orang-orang
Melayu Belitong, menghaturkan terima kasih yang tak terperikan.Meskipun The Beatles
telah menunjukkan sedikit respek kepadanya dengan menulis lagu Mr. Postman, tapi
masih jarang sekali pujangga-pujangga Melayu yang tersohor merangkai gurindam,
mengarang puisi, atau sekadar menulis cerpen tentang kiprahnya.pekerjaan kuncen kluis
yang memacu otak dan jantung kumaksud di atas adalah pekerjaan Pak Pos yang
sekaligus menjadi kepala kantor pos di kecamatan-kecamatan. Dalam susunan organisasi,
mereka menamainya Pengurus Kantor Pos Pembantu, tapi di kampung kami beliau
disebut Tuan Pos. Beliaulah yang memungkinkan kami berkomunikasi dengan budaya
luar melalui benda keramat berwarna-warni, yaitu perangko-perangko itu, dan beliau pula
yang menyampaikan koran-koran terlambat sebulan dari Jakarta sehingga kami tahu rupa
kepala suku republik ini. Pada suatu kurun waktu pernah angin barat berkepan-jangan
berembus demikian kencang, akibatnya kapal-kapal harus memilih muatan secara selektif
dan orang-orang Belitong juga terpaksa memilih: mau makan beras atau makan kertas?
Karena di kampung kami tidak ada sawah maka kapal-kapal itu memutuskan untuk
membawa barang-barang penting saja, dan koran dianggap kurang penting. Maka Koran-koran itu
terlambat selama tiga puluh dua tahun. Kami tak tahu apa yang terjadi di
Jakarta. Tapi setelah koran-koran itu tiba kami tak kecewa meskipun telah terlambat
selama itu karena ternyata sang kepala suku masih orang yang sama.
Tuan Pos memacu otak karena ia menguras pikirannya untuk membuat perencanaan cash
flowdan benda pos guna keperluan bulan depan. Ia harus memperkirakan berapa orang
yang akan menarik tabanas, menguangkan wesel, menerima pensiun, dan mengirim surat,
kartu, dan paket. Lalu setelah sepanjang hari melayani pelanggan di loket, menjelang sore
Tuan Pos mengeluarkan sepeda untuk berkeliling kampung mengantar surat, ia pun
memacu jantungnya.
Tuan Pos kami adalah tuan sekaligus anak buah bagi dirinya sendiri karena semua
pekerjaan ia kerjakan sendiri. Beliau bekerja sejak subuh: memasak sagu untuk lem,
mengangkat karung paket, menjual perangko, menerima dan membayar tabanas dan
wesel, mencap surat. Kadang-kadang beliau membantu pelanggan menulis dan malah
membacakan surat cinta untuk para kekasih yang buta huruf. Ketika BUMN yang sok
progresif sekarang ribut soal Good Corporate Citizenship, Tuan Pos kami telah jauh-jauh
hari mempraktik-kannya. Beliau menyortir surat sejak su-buh dan mengantarnya di
bawah hujan dan panas. Sudah begitu tak jarang pula beliau menerima keluhan yang
pedas dari pelanggan. Sekilas dalam hati aku berdoa:
"Ya, Allah, cita-citaku adalah menjadi seorang penulis atau pemain bulu tangkis, tapi jika
gagal jadikan aku apa saja kalau besar nanti, asal jangan jadikan aku pegawai pos. Dan
jangan beri aku pekerjaan sejak subuh."
"APA anak-anak muda di kelas ini sudah boleh menerima surat cinta, Ibunda Guru?"
Itulah kata-kata dari sepotong kepala yang melongok dari balik daun pintu kelas kami. Bu
Mus tersenyum ramah pada Tuan Pos yang tiba-tiba muncul. Beliau biasa menerima
kiriman majalah syiar Islam Panji Masyarakat dari sebuah kantor Muhammadiyah di
Jawa Tengah. Tapi kali ini Tuan Pos membawa surat untukku.
Istimewa sekali! Inilah surat pertama yang kuterima dari Perum Pos. Dulu aku sering
mengantar nenekku ke kantor pos untuk mengambil pensiun. Tapi secara pribadi, baru
kali ini aku menerima layanan dari perusahaan umum yang sangat bersahaja ini, sahabat
orang kecil, pos giro. Aku bangga dan sekilas merasa menjadi orang yang agak sedikit
penting.
Apakah surat ini dari redaksi majalah Kawanku atau majalah Hai untuk puisi-puisi yang
tak pernah kukirimkan? Tentu saja tak mungkin. Surat ini dialamatkan ke sekolah, tak
ada nama dan alamat pengirimnya, sampulnya biru muda, indah, dan harum pula baunya.
Apakah salah alamat? Mungkin untuk Samson atau Sahara dari sahabat pena mereka di
Kuala Tungkai, Sungai Penuh, Lubuk Sikaping, atau Gunung Sitoli. Mengapa para
sahabat pena selalu berasal dari tempat-tempat yang namanya aneh? Atau mungkin untuk
Trapani yang tampan dari seorang pengagum rahasia?
Pak Pos tersenyum menggoda. Beliau mengeluarkan form xl3. Tanda terima kiriman penting.
"Surat ini untukmu, rambut ikal, cepat tanda tangan di sini, tak 'kan kuhabiskan waktuku
di sekolahmu ini, masih banyak kerjaan, sekarang musim bayar pajak, masih ratusan SPT
pajak harus diantar, cepatlah ...."
Pak Pos belum puas dengan godaannya.
"Ada gadis kecil datang ke kantor pos pagi-pagi. Mengirimimu kilat khusus dalam kota!
Mungkin asap hio membuatnya sedikit linglung, pakai perangko biasa pun pasti kuantar
hari ini. Ia berkeras dengan kilat khusus, begitu pentingkah urusanmu belakangan ini, ikal
mayang?" Aha, asap hio! Sekarang aku paham, kurampas surat itu. Dadaku berdebar-debar.
Menunggu waktu pulang untuk membuka isi surat itu rasanya seperti menunggu rakaat
terakhir shalat tarawih hari ketiga puluh. Saat itu imam membaca hampir setengah Surah
AlBaqarah sementara ketupat sudah menari-nari di depan mata.
Aku duduk sendiri di bawah filicium ketika seluruh siswa sudah pulang. Surat bersampul
biru itu berisi puisi.
Rindu
Cinta benar-benar telah menyusahkanku
Ketika kita saling memandang saat sembahyang
rebut
Malamnya aku tak bisa tidur karena wajahmu tak
mau pergi dari kamarku
Kepalaku pusing sejak itu...
Siapa dirimu?
Yang berani merusak tidur dan selera makanku ?
Yang membuatku melamun sepanjang waktu?
Kamu tak lebih dari seorang anak muda
pengganggu!
Namun ingin kukatakan padamu
Setiap malam aku bersyukur kita telah bertemu
Karena hanya padamu, aku akan merasa rindu....
A Ling
Aku terpaku memandangi kertas itu. Tanganku gemetar. Aku membaca puisi itu dengan
menanggung firasat sepi tak tertahankan yang diam-diam menyelinap. Aku bahagia tapi
dilanda kesedihan yang gelap, ada rasa kehilangan yang mengharu biru. Tak lama
kemudian aku melihat pagar-pagar sekolahku perlahan-lahan berubah menjadi kaki-kaki
manusia yang rapat berselang-seling. Ada seseorang duduk bersimpuh di tengah lapangan
dikelilingi kaki-kaki itu. Dan ada bangkai seekor buaya terbujur kaku disampingnya
Ia tampak samara-samar dan terlihat sangat putus asa. Lalu wajah samara laki-laki itu tampak
mendekat, ia menoleh ke arahku, air mata mengalir di pipinya yang carut marut berbintik-bintik
hitam. Hari itu aku paham bahwa kepedihan Bodenga yang kusaksikan bertahun-tahun lampau di
lapangan basket sekolah nasional telah melekat dalam benakku sebagai sebuah trauma, dan hari itu,
setelah sekian tahun berlalu, untuk pertama kalinya Bodenga mengunjungiku
BAB XXII
Early Morn'ng Blue
TEKANANdarahku terlalu rendah. Penderita hipo-tensi tidak bisa bangun tidur dengan
tergesa-gesa. Jika langsung berdiri maka pandangan mata akan berkunang-kunang lalu
bisa-bisa ambruk dan kembali tidur dalam bentuk yang lain. Sebuah konsekuensi yang
mengerikan.
Namun, Samson sungguh tak punya perasaan. Ia membabat kakiku tanpa ampun dengan
gulungan tikar lais saat aku se-dang tertidur lelap.
"Bangun!" hardiknya. "Wak Haji sudah datang, sebentar lagi azan, disiramnya kau
nanti!" Dan aku terbangkit mendadak, meracau tak keruan antara tidur dan terjaga,
tergagap-gagap. Kurasakan dunia berputar-putar, pandanganku gelap. Aku merangkak
berlindung di balik pilar agar tak ketahuan Wak Haji yang sedang membuka jendelajendela
masjid. Sempat kulihat Lintang, Trapani, Mahar, Syahdan, dan Harun terbiritbirit
menyerbu tempat wudu.
Tidur di ruang utama masjid adalah pelanggaran. Kami seharusnya tidur di belakang, di
ruangan beduk dan usungan jenazah. Aku tersandar tanpa daya pada pilar yang beku,
berusaha meregang-regangkan mataku, jantungku terengah-engah, aku bersusah payah
mengumpul-ngumpulkan nyawa.
Angin dingin menyerbu lewat jendela. Mataku terpicing mengintip keluar jendela. Sisa
cahaya bulan yang telah pudar jatuh di halaman rumput, sepi dan murung. Inilah early
morning blue,semacam hipokondria, perasaan malas, sakit, pesimis, dan kelabu tanpa
alasan jelas yang selalu melandaku jika bangun terlalu dini. Teringat puisi A Ling
untukku, aku ingin tidur lagi dan baru bangun minggu depan.
Setelah Wak Haji selesai mengumandangkan azan baru kurasakan jiwa dan ragaku
bersatu. Kucai yang telah mengambil wudu dengan sengaja melewatiku, jaraknya dekat
sekali, bahkan hampir melangkahiku. Ia menjentikjentikkan air ke wajahku. Kibasan
sarung panjangnya menampar mukaku.
"Pemalas!" katanya.
Malam minggu ini kami menginap di Masjid Al Hikmah karena setelah shalat subuh
nanti kami punya acara seru, yaitu naik gunung!
Gunung Selumar tidak terlalu tinggi tapi puncaknya merupakan tempat tertinggi di
Belitong Timur. Jika memasuki kampung kami dari arah utara maka harus melewati bahu
kiri gunung ini. Dari kejauhan, gunung ini tampak seperti perahu yang terbalik, kukuh,
biru, dan samar-samar. Di sepanjang tanjakan dan turunan menyusuri bahu kiri Gunung
Selumar berderet-deret rumah-rumah penduduk Selinsing dan Selumar. Mereka
memagari pekarangannya dengan bambu tali yang ditanam rapat-rapat dan dipangkas
rendah-rendah. Kampung kembar ini dipisahkan oleh sebuah lembah yang digenangi air
yang tenang. Danau Merantik, demikian namanya.
Jika mengendarai sepeda maka stamina tubuh akan diuji oleh sebuah tanjakan pendek
namun curam menjelang Desa Selinsing. Pemuda-pemuda Melayu yang berusaha
membuat kekasihnya terkesan tak 'kan membiarkannya turun dari sepeda. Mereka nekat
mengayuh sampai ke puncak, mengerahkan segenap tenaga, tertatih-tatih sehingga
sepeda tak lurus lagi jalannya. Setelah tanjakan Selinsing ini ditaklukkan maka sepeda
akan menukik turun. Sang pemuda akan tersenyum puas, meminta kekasihnya memeluk
pinggangnya erat-erat dan meyakinkannya bahwa ia kurang lebih tidak akan terlalu
memalukan nanti kalau dijadikan suami.
Pada tukikan ini sepeda akan meluncur turun dengan deras, menikung sedikit, sebanyak
dua kali, menelusuri lembah Danau Merantik, lalu disambut lagi oleh tanjakan kampung
Selumar. Kekasih mana pun akan maklum kalau diminta turun, karena tanjakan Selumar
meskipun tak securam tanjakan Selinsing namun jarak tanjaknya sangat panjang.
Baru seperempat saja menempuh tanjakan Selumar maka sepeda yang dituntun akan
terasa berat. Pagar bambu tali yang dibentuk laksana anak-anak tangga tampak
berbayang-bayang karena mata berkunang-kunang akibat kelelahan. Semakin ke puncak
langkah semakin berat seperti dibebani batu. Keringat bercucuran mengalir deras melalui
celah-celah leher baju, daun telinga, dan mata, sampai membasahi celana. Tapi saat
mencapai puncaknya, yaitu puncak bahu kiri Gunung Selumar, semua kelelahan itu akan
terbayar. Di hadapan mata terhampar luas Belitong Timur yang indah, dibatasi pesisir
pantai yang panjang membiru, dinaungi awan-awan putih yang mengapung rendah, dan
barisan rapi pohon-pohon cemara angin.
Dari puncak bahu ini tampak rumah-rumah penduduk terurai-urai mengikuti pola anak-anak Sungai
Langkang yang berkelak-kelok seperti ular. Kelompok rumah ini tak lagi
dipagari oleh bambu tali namun berselang-seling di antara padang ilalang liar tak bertuan.
Semakin jauh, jalur pemukiman penduduk semakin menyebar membentuk dua arah.
Pemukiman yang berbelok ke arah barat daya terlihat sayup-sayup mengikuti alur jalan
raya satu-satunya menuju Tanjong Pandan. Dan yang terdesak terus ke utara terputus
oleh aliran sebuah sungai lebar bergelombang yang tersambung ke laut lepas Sungai
Lenggang yang melegenda. Di seberang Sungai Lenggang rumah-rumah penduduk
semakin rapat mengitari pasar tua kami yang kusam.
Jangan terburu-buru menuruni lembah. Berhentilah untuk beristirahat. Sandarkan tubuh
berlama-lama di salah satu pokok pohon angsana tempat anak-anak tupai ekor kuning
rajin bermain. Dengarkan orkestra daun-daun pohon jarum dan jeritan histeris burung-burung kecil
matahari yang berebut sari bunga jambu mawar dengan kumbang hitam.
Nikmati komposisi lanskap yang manis antara gu-nung, lembah, sungai, dan laut.
Longgarkan kancing baju dan hirup sejuk angin selatan yang membawa aroma daun
Anthurium andraeanum,yaitu bunga hati yang tumbuh semakin subur beranak pinak
mengikuti ketinggian. Dinamakan bunga hati karena daunnya berbentuk hati.
Aku sendiri tak pasti, apakah aroma harum a-lami yang melapangkan dada itu berasal
andraeanumsendiri atau dari simbiosisnya, sebangsa fungi Clitocybe gibba yaitu jamur
daun tak bertangkai yang rajin merambati akar-akar familia keladi itu. Jamur ini bersemi
dalam suhu yang semakin lembap saat memasuki musim angin barat pada bulan-bulan
yang berakhiran ber. Bentuknya tegap, rendah, dan gemuk-gemuk.
Kami sudah sangat sering piknik ke Gunung Selumar dan agak sedikit bosan dengan
sensasinya. Biasanya kami tidak sampai ke puncak, sudah cukup puas dengan
pemandangan dari 75% ketinggiannya. Lagi pula komposisi batu granit di atas lereng
gunung ini membuat jalur pendakian ke puncak menjadi licin. Namun, kali ini aku amat
bergairah dan bertekad untuk mendaki sampai ke puncak. Laskar Pelangi menyambut
baik semangatku. Belum apa-apa mereka telah sibuk bercerita tentang pemandangan
hebat yang akan kami saksikan nanti dari puncak, yaitu seluruh jembatan di kampung
kami, kapal-kapal ikan, dan tongkang pasir gelas yang bersandar di dermaga.
Tapi aku tak peduli dengan semua pemandangan itu karena aku punya misi rahasia.
Rahasia ini menyangkut sebuah pemandangan menakjubkan yang hanya bisa disaksikan
dari puncak tertinggi Gunung Selumar. Rahasia ini juga berhubungan dengan bunga-bunga kecil
nan rupawan yang hanya tumbuh di puncak tertinggi. Mereka adalah bunga
liar Callistemon laevis atau bunga jarum merah, atau kalau beruntung, bunga kecil kuning
kelopak empat semacam Diplotaxis muralis.
Aku menyebutnya bunga rumput gunung, istilahku sendiri, karena ia senang menyelinap,
enam atau tujuh tangkai seperanakan, di antara rerumputan zebra liar di puncak-puncak
gunung dekat laut. Kelopaknya selebar ibu jari, berwarna kuning redup dan tangkai yang
menopangnya berwarna hijau muda dengan ukuran tak sepadan, natural, spontan, lucu,
dan cantik. Daun-daunnya tak dapat dikatakan indah karena bentuk dan warnanya, bukan
ukurannya, lebih seperti daun Vitex trifolia biasa. Namun jika kita siangi daunnya dan
berhasil mengumpulkan paling tidak 15 kuntum lalu disatukan dengan jumlah yang lebih
sedikit dari kuntum bunga jarum merah maka satu kata untuk mereka: fantastik!
Bunga jarum merah berbentuk jarum yang lebat dengan ujung bulat kecil-kecil berwarna
kuning. Ketika bunga jarum digabungkan dengan bunga rumput gunung tanpa diatur
maka mereka seolah berebutan tampil. Ikatlah mereka dengan pita rambut berwarna biru
muda dan tulislah sebuah puisi, maka Anda akan mampu mendinginkan hati wanita mana
pun.
Setelah tiga jam mendaki kami tiba di puncak. Lelah, haus, dan berkeringat, tapi tampak
jelas rasa puas pada setiap orang, sebuah ekspresi "telah mampu menaklukkan". Aku
yakin perasaan inilah yang memicu sikap obsesif setiap pendaki gunung profesional
untuk menaklukkan atap-atap dunia. Kiranya daya tarik mendaki gunung berkaitan
langsung dengan fitrah manusia. Lalu dengan hiruk pikuk sahut-menyahut teman-temanku, para
Laskar Pelangi, berkomentar tentang pemandangan yang terhampar luas di
bawah mereka.
"Lihatlah sekolah kita," pekik Sahara. Bangunan itu tampak menyedihkan dari jauh.
Rupanya dilihat dari sudut dan jarak bagaimanapun, sekolah kami tetap seperti gudang
kopra!
Lalu Kucai menunjuk sebuah bangunan,"Hai! Tengoklah! Itu masjid kita.
Seluruh khalayak meneriakinya, tak terima.
"Itu kelenteng, bodoh!" Dan mereka pun terbelah dalam dua kelompok debat kusir.
Sebagaimana biasa Mahar mulai berdongeng, menurutnya Gunung Selumar adalah
seekor ular naga yang sedang menggulung diri dan telah tidur panjang selama berabad-abad.
"Ular ini akan bangun nanti kalau hari kiamat. Kepalanya ada di puncak gunung ini.
Berarti tepat berada di bawah kaki-kaki kita sekarang! Dan ekornya melingkar di muara
Sungai Lenggang," katanya absurd.
"Maka jangan terlalu ribut di sini, nanti kalian kualat," tambahnya lagi belum puas
membodohi diri sendiri. Teman-temanku riuh rendah mendengar cerita itu dalam pro dan
kontra.
Tapi seperti biasa pula, A Kiong-lah yang selalu termakan dongeng Mahar, ia tampak
serius dan percaya seratus persen. Mungkin sebagai ungkapan rasa kagum atas cerita
yang sangat bermanfaat itu, dengan takzim ia memberikan bekal pisang rebusnya kepada
Mahar. Sikapnya seperti seorang anggota suku primitif menyerahkan upeti kepada dukun
yang telah menyembuhkannya dari penyakit kudis. Mahar menyambar upeti itu dan
secara kilat memasukkannya ke dalam sistem pencernaannya tanpa peduli bahwa dia
sedang dianggap sangat berwibawa oleh A Kiong. Meledaklah tawa Laskar Pelangi
melihat pemandangan itu. Namun A Kiong tetap serius, ia sama sekali tidak tertawa,
baginya kejadian itu tidak lucu.
Demikian pula aku. Aku juga tidak tertawa. Karena aku sedang merasa sepi di keramaian.
Mataku tak lepas me-mandang sebuah kotak persegi empat berwarna merah nun jauh di
bawah sana, atap sebuah rumah. Rumah A Ling.
Aku menyingkir dari kegirangan teman-temanku, sendirian menelusuri padang ilalang
rendah di puncak gunung, memetik bunga-bunga liar. Kupandangi lagi atap rumah A
Ling dan segenggam bunga liar nan cantik di dalam genggaman. Untuk inikah
aku mendaki gunung setinggi ini?
Panorama dari puncak ini seperti musik. In-tronya adalah gumpalan awan putih yang
mengapung rendah seolah aku dapat menjangkaunya. Lalu mengalir vokal dari suitansuitan
panjang burung-burung prigantil yang kadang-kadang begitu dekat dan nyaring,
sampai terdengar jauh samar-samar bersahut-sahutan dengan lengkingan-lengkingan
kecil kawanan murai batu. Reffrainnya adalah ribuan burung punai yang menyerbu
hamparan buah bakung yang masak menghitam seperti permadani raksasa. Musik
diakhiri secara fade out oleh jajaran panjang hutan bakau tang-kapan hujan yang
memagari anak-anak Sungai Lenggang, berkelok-kelok sampai tak tampak oleh
pandangan mata, ditelan muara-muara di sepanjang Pantai Manggar sampai ke Tanjong
Kelumpang.
Angin sejuk yang bertiup dari lembah menampar-nampar wajahku. Aku merasa tenang
dan akan kutulis puisi demi seseorang di balik tirai keong itu. Puisi inilah misi rahasiaku.
Jauh Tinggi
A Ling, hari ini aku mendaki Gunung Seiumar Tinggi, tinggi sekaii, sampai ke puncaknya
Hanya untuk melihat atap rumahmu Hatiku damai rasanya
BAB XXIII
Billitonite
SENIN pagi yang cerah. Sepucuk puisi dibungkus kertas ungu bermotif kembang api.
Bunga-bunga kuning kelopak empat dan kembang jarum merah primadona puncak
gunung diikat pita rambut biru muda. Tak juga hilang kesegarannya karena semalam
telah kurendam di dalam vas keramik. Tak sabar rasanya ingin segera kuberikan pada A
Ling.
Benda-benda ajaib ini adalah properti sekuel cinta pagi ini, dan skenarionya ada-lah:
ketika A Ling menyodorkan kotak kapur, aku serta-merta meletakkan bunga dan puisiku
ini ke tangannya yang terbuka. Tak perlu ada kata-kata. Biarlah ia menghapus air
matanya karena keindahan bunga-bunga liar dari puncak gunung. Biarlah ia membaca
puisiku dan merasakan kue keranjang tahun ini lebih enak dari tahun-tahun lalu.
Aku gugup dan bergegas menghampiri lubang kotak kapur segera setelah A Miauw
memberi perintah. Namun ketika tinggal dua langkah sampai ke kotak itu aku terkejut tak
alang kepalang. Aku terjajar mundur ke belakang dan nyaris terantuk pada kaleng-kaleng
minyak sayur. Aku terperanjat hebat karena melihat tangan yang menjulurkan kotak
kapur adalah sepotong tangan yang sangat kasar. Tangan itu bukan tangan A Ling!
Tangan itu sangat ganjil, seperti sebilah tembaga yang jahat. Bentuknya benar-benar
kebalikan dari tangan Michele Yeohku. Tangan itu berotot, dekil, hitam legam, dan
berminyak-minyak. Dari otot lengan atasnya menjalar urat-urat besar berwarna biru,
timbul dan berkejaran.
Sebuah gelang akar bahar, tidak tanggung-tanggung, melingkar tiga kali pada lengan
tembaga sepuhan tembaga itu. Ujung gelang diukir berbentuk kepala ular beracun kuat
pinang barik yang menganga lapar siap menyambar. Sedangkan pada pergelangan siku,
seperti dikenakan raksasa jahat dalam pewayangan, melekat gelang alumunium ketat
dengan kedua ujung berbentuk gerigi kunci, biasa dipakai untuk tujuan-tujuan melanggar
hukum. Memang tidak terdapat tato pantangan bagi orang Melayu yang tahu agama, tapi
pada tiga jari jemarinya terdapat tiga mata cincin yang mengancam.
Jari telunjuknya dibalut cincin batu satam terbesar yang pernah kulihat. Batu satam
adalah material meteorit yang unik karena di muka bumi ini hanya ada di Belitong.
Warnanya hitam pekat karena komposisi carbon acid dan mangaan, dan kepadatannya
lebih dari baja sehingga tidak mungkin bisa dibentuk. Batu-batu ini biasa bersembunyi di
lubang bekas tambang timah dan tak 'kan dapat ditemukan jika sengaja dicari. Hanya
nasib baik yang dapat mengeluarkan satam dari perut bumi. Tahun 1922 kompeni
menyebut batu ini billitonite dan dari sinilah Pulau Belitong mendapatkan namanya.
Tanpa sama sekali mempertimbangkan estetika, pemilik tangan itu mengikat benda
keramat dari tata surya itu apa adanya dengan kuningan murahan. Namun, ia
memakainya dengan bangga seolah dirinya penguasa langit.
Pada jari manisnya terpajang cincin bermata batu akik yang mengesankan seperti sebuah
batu kecubung asli Kalimantan yang amat berharga. Tapi aku tak bisa dibohongi. Batu itu
tak lebih dari sintetis hasil masakan plastik yang dipadatkan dengan kristal pada suhu
yang sangat tinggi. Pemakainya adalah seorang penipu. Yang ditipunya tak lain dirinya
sendiri.
Yang terakhir, di jari tengahnya, tampak pemimpin dari seluruh cincin yang
mengintimidasi dan pernyataan kecenderungan licik pemiliknya. Di situ menyeringai
angker sebuah mata cincin besar tengkorak manusia dengan mata berlubang. Cincin ini
dibuat dari bahan mur baja putih yang didapat secara kongkalikong dengan orang bengkel
alat berat PN Timah. Cara mengubah baja ini menjadi cincin membuat siapa pun
bergidik. Setelah dibentuk secara kasar dengan mesin bubut kemudian mur besar baja
putih mentah yang sangat keras itu dikikir secara manual selama berminggu-minggu.
Kebiasaan membuat cincin seperti ini sering dipraktikkan oleh karyawan PN Timah
dalam tingkatan kuli. Kerja keras rahasia berminggu-minggu itu hanya akan
menghasilkan sebuah cincin putih berkilauan yang jelek sekali. Sebuah kebiasaan yang
tak masuk akalku sampai sekarang.
Lalu kuku-kuku pemilik tangan ini, aduh! Minta ampun, bentuknya seperti paras kukukuku
yang terkena kutukan. Berbeda seperti langit dan bumi dibanding kuku-kuku A
Ling yang bertahun-tahun menyihir pandanganku. Kuku-kuku ini sangat tebal, kotor,
panjang tak beraturan, dan ujungnya pecah-pecah. Secara umum kuku-kuku ini mirip
sekali dengan sisik buaya.
Belum hilang rasa terkejutku, aku mendengar suara ketukan keras kuku-kuku besi itu di
permukaan papan dekat kotak kapur tanda tak sabar, maksudnya biar aku segera
mengambil kapur itu. Dari dalam terdengar suara gerutuan tak bersahabat. Karena kukukuku
itu sangat kasar maka ketukan itu terdengar demikian keras, membuatku semakin
gelisah. Tapi yang paling merisaukanku adalah karena aku tak menemukan A Ling. Ke
manakah gerangan Michele Yeohku?
"Apa yang terjadi?" Syahdan mendekatiku. "I-kal, tangan siapa seperti pentungan satpam
itu?"
Aku tak menjawab, tenggorokanku tercekik. Tangan itu tak asing bagiku. Itu adalah
tangan Bang Sad. Aku ingat ketika ia mengukir kepala ular pinang barik pada akar bahar
pemberian pria-pria berkerudung tempo hari. Pernah diceritakannya padaku bahwa
dibutuhkan waktu tiga minggu untuk membentuk akar panjang dari dasar laut itu menjadi
gelang >tiga lingkar. Akar yang tadinya lurus kencang ditaklukkan dengan cara
melumurinya dengan minyak rem dan mengasapinya dengan sabar di atas suhu tungku
yang terkendali.
Ketukan-ketukan itu terus menerorku. Bang Sad sungguh tak punya perasaan. Ia tak tahu
aku sedang panik, gugup, dan risau karena tak menjumpai A Ling seperti kebiasaan yang
telah berlangsung selama tujuh tahun. Baru kali ini terjadi hal di luar kebiasaan itu.
Situasi ini sangat membingungkan buatku. Otakku tak bisa berpikir.
Hanya Syahdan yang kiranya segera dapat mencerna keadaan, mengurai kebuntuan,
memecah kebekuan. Ia berinisiatif mengambil kotak kapur itu. Bang Sad menarik
tangannya seperti seekor binatang melata yang masuk kem-bali ke dalam sarangnya.
Syahdan mendekatiku yang ber-diri terpaku, wajahnya sendu. Ia ingin menunjukkan
simpati tapi aku juga tahu bahwa ia sendiri merasa gentar. A Miauw yang dari tadi
memerhatikan menghampiriku dengan tenang. Berdiri persis di sampingku ia menarik
napas pan-jang dan mengatur dengan hati-hati apa yang ingin diucap-kannya.
"A Ling sudah pigi Jakarta .... Nanti dia terbang naik pesawat pukul 9. Ia harus
menemani bibinya yang sekarang hidup sendiri, ia juga bisa mendapat sekolah yang
bagus di sana ...."
Aku tertegun putus asa. Rasanya tak percaya dengan apa yang kudengar. Terjawab sudah
firasatku ketika Bodenga mengunjungiku. Semangatku terkulai lumpuh.
"Kalau ada nasib, lain hari kalian bisa bertemu lagi." A Miauw menepuk-nepuk
pundakku.
Aku terdiam dan menunduk seperti orang sedang mengheningkan cipta. Tanganku
mencengkeram kuat ikatan bunga-bunga liar dan selembar puisi.
"Ia titip salam buatmu dan ia ingin kamu menyimpan ini ...."
A Miauw menyerahkan sebuah kado yang dibungkus kertas berwarna ungu bermotif
kembang api, persis sama dengan kertas sampul puisiku. Sebuah kebetulan yang hampir
mustahil. Aku tahu, sejak awal Tuhan telah mengamati baik-baik cinta yang luar biasa
indah ini.
Aku merasa seluruh barang dagangan yang ada di toko itu rubuh menimpaku. Dadaku
sesak. Aku melihat sekeliling dan terpikir akan sesuatu. Aku menarik tangan Syahdan
dan mengajaknya pulang.
Persis pukul 8.50 kami sampai di halaman sekolah, lalu berlari melintasi lapangan
menuju pokok pohon gayam tempat kami sering duduk bersama-sama mengamati
pesawat terbang yang datang dan pergi meninggalkan Tanjong Pandan. Kami mengambil
posisi terbaik sambil bersandar di pokok pohon itu. Kami diam dan terus menengadahkan
kepala, memicingkan mata, ke arah langit yang cerah biru menyilaukan.
Pukul 9.05.
Perlahan-lahan muncul sebuah pesawat Foker 28 melintas pelan di atas lapangan sekolah
kami. Aku tahu di dalam pesawat itu ada A Ling dan ia juga pasti sedang sedih
meninggalkan aku sendiri.
Aku mengamati pesawat yang per-gi membawa cinta pertamaku menembus awan-awan
putih nun jauh tinggi di angkasa tak terjangkau. Pesawat itu semakin lama semakin kecil
dan pandanganku semakin kabur, bukan karena pesawat itu semakin jauh tapi karena air
mata tergenang pelupuk mataku. Selamat tinggal belahan jiwaku, cinta pertamaku.
Setelah pesawat itu sama sekali menghilang Syahdan meninggalkanku sendirian. Tibatiba
aku disergap oleh perasaan sunyi yang tak tertahankan. Rasanya di dunia ini hanya
aku satu-satunya makhluk hidup. Daun-daun gayam yang rontok berbunyi seperti bilahbilah
seng yang berjatuhan di kesunyian malam.
Pohon gayam ini adalah satu-satunya pohon di tengah lapangan sekolahku yang sangat
luas dan aku duduk sendiri di bawahnya, kesepian. Aku baru saja ditinggalkan oleh
seseorang yang telah memenuhi hatiku sampai meluap-luap selama lima tahun terakhir
ini. Lalu dengan tiba-tiba pagi ini, ia begitu saja tercabut dari kehidupanku.
Aku membuka kado yang dititipkan A Ling. Di dalamnya terdapat sebuah buku berjudul
Seandainya Mereka Bisa Bicarakarya Herriot dan sebuah diary yang memuat berbagai
catatan harian dan lirik-lirik lagu. Aku membalik lembar demi lembar diary itu. Tak ada
yang istimewa dan tak ada yang khusus ditujukan untukku. Namun pada suatu halaman
aku membaca judul sebuah puisi yang rasanya aku kenal, judulnya Bunga Krisan. Pada
lembar-lembar berikutnya aku melihat seluruh puisi yang dulu pernah kukirimkan
kepadanya dan selalu ia kembalikan. A Ling menylin kembali seluruh puisiku dalam
diarynya.
BAB XXIV
Tuk Bayan Tula
ANGIN selatan, angin paling jinak, biasa berembus dengan kecepatan maksimum 10
mph. Angin lembut ini tiba-tiba mengamuk menjadi monster puting beliung dengan
kecepatan seribu kali lipat, 10.000 mph. Pohon dan mobil-mobil beterbangan seperti
bulu, aspal jalan terkelupas. Seluruh bangunan runtuh, bahkan fondasi rumah tercabut,
yang tersisa hanya lubang-lubang WC. Tepung sari Camellia dan Buxus yang tumbuh di
kebun liar peliharaan alam di puncak Gunung Samak terhambur ke udara, menimbulkan
pemandangan menyedihkan seperti nyawa-nyawa muda yang dicabut paksa oleh malaikat
maut dari jasad yang segar bugar. Semua itu gara-gara pembakaran minyak solar
berlebihan selama ratusan tahun dalam eksploitasi timah sehingga menimbulkan gas
rumah kaca. Gas itu tertumpuk di atas atmosfer Belitong dan segera menimbulkan efek
rumah kaca, menunggu hari untuk menjadi mara bahaya. Lalu senyawa gas rumah kaca
itu karbondioksida dan radiasi matahari memicu reaksi kimia yang mengubah tepung sari
yang bergentayangan di udara menjadi semacam bubuk mesiu dengan daya ledak sangat
tinggi seperti TNT. Karena kuantitasnya telah beraku mulasi demikian lama maka pada
suatu tengah hari saat orang-orang Melayu sedang mendengarkan musik pelepas lelah di
RRI, tanpa firasat apa pun, terjadilah katastropi itu. Sebuah ledakan yang sangat dahsyat
seperti ledakan nuklir menghantam Belitong. Orang-orang Belitong mengira kiamat telah
datang maka tak perlu menyelamatkan diri. Mereka terduduk pasrah di tangga-tangga
rumahnya, melongo melihat ekor ledakan yang kemudian membentuk cendawan raksasa
yang menutupi tanah kuno pulau itu sehingga gelap gulita. Dalam waktu singkat ajal
yang sebenarnya pun pelan-pelan menjemput, yakni ketika cendawan yang mengandung
radio aktif, merkuri, dan amoniak hanyut turun mengejar orang-orang Belitong yang
kocar-kacir mencari perlindungan. Mereka menyelinap ke gorong-gorong, menyelam di
sungai, sembunyi di dalam karung goni, terjun ke sumur-sumur, dan tiarap di got-got.
Tapi semua usaha itu sia-sia karena gas-gas kimia tadi larut dalam udara dan air.
Sebagian orang Belitong tewas di tempat, tertungging seperti ekstremis dibedil kompeni,
dan mereka yang selamat berubah menjadi makhluk-makhluk cebol berbau busuk.
Melihat penampilan orang Belitong seperti itu pemerintah pusat di Jakarta merasa malu
kepada dunia internasional dan tak sudi mengakui orang Belitong sebagai warga negara
republik. Karena itu Kabupaten Belitong dipaksa rela melakukan referendum. Walaupun
hanya sedikit orang Melayu Belitong yang ingin memisahkan diri dari NKRI tapi
pemerintah menganggap keputusan manusia-manusia cebol itu sebagai aklamasi sehingga
Belitong menjadi negara yang merdeka. Bisa dipastikan bahwa Belitong tidak mampu
menghidupi dirinya sendiri. Di sisi lain, efek rumah kaca yang demikian tinggi
mengakibatkan ekologi di sana tidak seimbang, permukaan air laut naik, dan suhu
menjadi terlalu panas. Dan saat itulah kebenaran yang hakiki datang. Bodenga yang telah
lama menghilang tiba-tiba muncul mengambil alih pemerintahan kabupaten, ia menindas
tandas orang-orang cebol yang telah memper-lakukan ia dan ayahnya dengan tidak adil.
Orang-orang cebol itu digiring olehnya dan digelontor ke muara Sungai Mirang agar
dimangsa buaya. Orang-orang cebol itu meregang nyawa dan dalam waktu singkat
mereka tewas ter-apung-apung seperti ikan kena tuba.
Itulah kira-kira isi kepala seorang pemimpi yang hampir gila karena frustrasi putus cinta
pertama.
Aku tak bisa berpikir jernih, bermimpi buruk, berhalusinasi, dan dihantui khayalankhayalan
aneh. Jika aku melihat ke luar jendela dan ada pelangi melingkar maka pelangi
iu menjadi monokrom. Jika aku mendengar kicauan prenjak maka ia berbunyi seperti
burung mistik pengabar kematian. Aku merasa setiap orang: para penjaga toko, Tuan Pos,
tukang parut kelapa, polisi pamong praja, dan para kuli panggul telah berkonspirasi
melawanku.
Meskipun selama lima tahun aku hanya dua kali berjumpa dengan Michele Yeohku tapi
perasaanku padanya melebihi segalanya. A Ling adalah sosok yang dapat menimbulkan
perasaan sayang demikian kuat bagi orang-orang yang secara emosional terhubung
dengannya. Ia cantik, pintar, dan baik. Cintanya penuh imajinasi dan kejutan-kejutan
kecil yang menyenangkan, mungkin itulah yang membuatku amat terkesan. Tapi rupanya
ketika ia melepaskan genggaman tangannya minggu lalu, saat itu pula nasib memisahkan
kami. Kini dirinya menjadi semakin berarti ketika ia sudah tak ada dan aku merasa getir.
Kepergian A Ling meninggalkan sebuah ruangan kosong, rongga hampa yang luas, dan
duka lara di dalam hatiku. Dadaku sesak karena rindu dan demi menyadari bahwa rindu
itu tak 'kan pernah terobati, aku rasanya ingin meledak. Aku selalu ingin menghambur ke
toko kelontong Sinar Harapan, tapi aku tahu tindakan dramatis seperti film India itu akan
percuma saja karena di sana aku hanya akan disambut oleh botol-botol tauco dan
tumpukan terasi busuk. Aku merana, merana sekali.
Aku merasa tak percaya, amat terkejut, dan tak sanggup menerima kenyataan bahwa
sekarang aku sendiri. Sendiri di dunia yang tak peduli. Jiwaku lumpuh karena ditinggal
kekasih tercinta, atau dalam bahasa puisi: aku mengharu biru tatkala kesepian melayap
mencekam dermaga jiwa, atau: batinku nelangsa berdarah-darah tiada daya mana kala ia
sirna terbang mencampak asmara.
Dan juga, laksana film India, perpisahan itu membuatku sakit. Seperti pertemuan pertama
dalam insiden jatuhnya kapur di hari yang bersejarah tempo hari, saat itu kebahagiaanku
tak terlukiskan kata-kata. Maka kini, saat perpisahan, kepedihanku juga tak tergambarkan
kalimat. Beberapa waktu lalu aku pernah menertawakan Bang Jumari yang menderita
diare hebat dan menggigil di siang bolong karena cintanya diputuskan oleh Kak Shita,
kakak sepupuku. Ketika itu aku tak habis pikir bagaimana kekonyolan seperti itu bisa
terjadi. Namun, kini hal serupa aku alami. Hukum karma pasti berlaku!
Selama dua hari aku sudah tidak masuk sekolah. Maunya hanya tergeletak saja di tempat
tidur. Kepalaku berat, napasku cepat, dan mukaku memerah. Ibuku memberiku Naspro
dan obat cacing Askomin. Tapi aku tak sembuh. Aku menderita panas tinggi.
Setelah Syahdan, Mahar dan pengikut setianya A Kionglah yang datang menjengukku.
Mahar memakai jas panjang sampai ke lutut seperti seorang dokter hewan dari Eropa dan
A Kiong tergopoh-gopoh di belakangnya menenteng sebuah tas koper laksana siswa
perawat yang sedang magang. Koper ini sangat istimewa karena di sana sini ditempeli
bekas peneng sepeda dan berbagai lambang pemerintahan sehingga mengesankan Mahar
seperti seorang pejabat penting kabupaten.
Syahdan sedang duduk di samping tempat tidurku ketika Mahar masuk ke kamar. A
Kiong dan Mahar tak mengucapkan sepatah kata pun, ekspresi mereka datar. Dengan
gerakan isyarat Mahar menyuruh Syahdan minggir.
Mahar berdiri persis di sampingku, memandangiku dengan cermat dari ujung kaki sampai
ujung rambut. Ia masih tetap tak bicara. Wajahnya serius seperti seorang dokter
profesional dan seolah dalam waktu singkat telah menyelesaikan diagnosisnya. Ia
menggeleng-gelengkankan kepalanya pertanda kasus yang dihadapi tidak sepele. Ia
menarik napas prihatin dan menoleh ke arah A Kiong.
"Pisau!" pekiknya singkat.
A Kiong cepat-cepat memutar nomor kombinasi koper lalu mengeluarkan sebilah pisau
dapur karatan. Aku dan Syahdan memerhatikan dengan khawatir. Pisau itu diberikan
dengan takzim pada Mahar yang menerimanya seperti seorang ahli bedah.
"Kunir!" perintah Mahar lagi, tegas dan keras.
A Kiong kembali merogoh sesuatu dari dalam koper dan segera menyerahkan kunir
seukuran ibu jari. Tanpa banyak cingcong Mahar memotong kunir dan dengan gerakan
sangat cepat tak sempat kuhindari ia menggerus kunir itu di keningku, melukis tanda
silang yang besar. Maka terpampanglah di keningku huruf X berwarna kuning. Lalu,
seperti telah sama-sama paham prosedur berikutnya, tanpa dikomando, A Kiong
mengambil dahan-dahan beluntas dari dalam koper, melemparkannya kepada Mahar yang
menyambutnya dengan tangkas dan langsung menampar-namparkan daun-daun itu ke
sekujur tubuhku tanpa ampun sambil komat-kamit.
Bukan hanya itu, sementara Mahar mengibas-ngibaskan daun-daun beluntas dengan
beringas, A Kiong serta-merta menyembur-nyemburkan air ke seluruh tubuhku termasuk
wajah melalui alat penyemprot bunga, sehingga yang terjadi adalah sebuah kekacauan.
Aku jadi berantakan dan basah seperti kucing kehujanan, namun aku tak berkutik karena
mereka sangat kompak, cepat, terencana, dan sistematis.
Tak lama kemudian mereka berhenti. Mahar menarik napas lega dan A Kiong dengan
wajah bloonnya ikut-ikutan bernapas lega sok tahu. Sebuah sikap gabungan antara
kebodohan dan fanatisme. Aku dan Syahdan hanya melongo, terpana, pasrah total.
"Tiga anak jin tersinggung karena kau kencing sembarangan di kerajaan mereka dekat
sumur sekolah ...," Mahar menjelaskan dengan gaya seolah-olah kalau dia tidak segera
datang nyawaku tak tertolong. Tak ada rasa bersalah dan niat menipu tecermin dari
wajahnya. Mahar dan A Kiong tampil penuh kordinasi dengan ketenangan mutlak tanpa
dosa. Mereka tak sedikit pun ragu atas keyakinanya pada metode penyembuhan dukun
yang konyol tak tanggung-tanggung.
"Merekalah yang membuatmu demam panas," sambungnya lagi sambil memasukkan
alat-alat kedokterannya tadi ke dalam koper, lalu dengan elegan menyerahkan koper itu
pada A Kiong. A Kiong menyambut tas itu seperti anggota Paskibraka menerima bendera
pusaka.
"Tapi jangan cemas, Kawan, barusan mereka sudah ku-usir, besok sudah bisa masuk
sekolah!"
Lalu tanpa basa-basi, tanpa pamit, mereka berdua langsung pulang. Hanya itu saja katakatanya.
Bahkan A Kiong tak mengucapkan sepatah kata pun. Aku terengah-engah.
Syahdan menutup wajahnya dengan tangannya.
Mahar memang sudah edan. Ia semakin tak peduli dengan buku-buku dan pelajaran
sekolah. Nilai-nilai ulangannya merosot tajam, bisa-bisa ia tidak lulus ujian nanti.
Sebenarnya ia murid yang pandai, belum lagi menghitung bakat seninya, tapi nafsu ingin
tahu yang terkekang terhadap dunia gaib membuatnya lebih senang memperdalam hal-hal
yang subtil. Belakangan ini keanehannya semakin menjadi-jadi, dan semua itu gara-gara
anak Gedong yang tomboi itu Flo atau mungkin gara-gara seorang dukun siluman
bernama Tuk Bayan Tula.
Sebulan yang lalu seluruh kampung heboh karena Flo hilang. Anak bengal penduduk
Gedong itu memisahkan diri rombongan teman-teman sekelasnya ketika hiking di
Gunung Selumar. Polisi, tim SAR, anjing pelacak, anjing kampung, kelompok pencinta
alam, para pendaki profesional dan amatir, para petualang, para penduduk yang
berpengalaman di hutan, para pengangguran yang bosan tak melakukan apa-apa, dan
ratusan orang kampung tumpah ruah mencarinya di tengah hutan lebat ribuan hektare
yang melingkupi lereng gunung itu. Kami sekelas termasuk di dalamnya.
Sampai senja turun Flo masih belum ditemukan. Bapak, Ibu, dan saudara-saudaranya
berulang kali pingsan. Guru-guru dan teman-teman sekelasnya menangis cemas. Segenap
daya upaya dikerahkan tapi belum ada tanda-tanda di mana ia berada. Susah memang,
hutan di gunung ini sangat lebat, sebagian belum terjamah, dan hutan itu ber-ujung di
lembah-lembah liar yang dialiri anak-anak sungai berbahaya.
Salak anjing, teriakan orang memanggil-manggil, dan suara belasan megafone bertalutalu
di lereng gunung. Para dukun tak mampu memberi petunjuk apa pun, ada saja
alasannya, tapi umumnya adalah bahwa para jin penunggu Gunung Selumar lebih sakti,
sebuah alasan klasik. Dari lengkingan megafone itu kami tahu nama anak perempuan
yang sedang hilang: Flo Menjelang sore sebuah lampu sorot besar yang biasa dipakai di
kapal keruk dibawa ke lereng gunung untuk memudahkan tim penyelamat. Orang-orang
dari kampung tetangga turut bergabung. Sekarang jumlah pencari mencapai ribuan. Hari
beranjak gelap dan keadaan semakin meng-khawatirkan. Kabut tebal yang menyelimuti
gunung sangat menyulitkan usaha pencarian. Wajah setiap orang mulai kelihatan cemas
dan putus asa. Tahun lalu dua orang anak laki-laki juga tersesat,setelah tiga hari mereka
ditemukan berpelukan di bawah sebatang pohon Medang, meninggal dunia karena
kelaparan dan hipotermia. Sinar merah lampu sirine mobil ambulans yang berputar-putar
menjilati sisi pohon-pohon besar, menciptakan suasana mencekam, seperti ada kematian
yang dekat.
Sudah delapan jam berlalu tapi Flo masih tak diketahui keberadaanya di tengah hutan
rimba gunung ini. Orang tua Flo dan para pencari mulai panik. Malam pun turun.
Kami merasa kasihan pada Flo. Kini ia seorang diri dalam gelap gulita rimba. Ia bisa saja
terjatuh, mengalami patah kaki atau pingsan. Atau mungkin saat ini ia sedang terisakisak,
ketakutan, lapar dan kedinginan di bawah sebatang pohon besar, dan suaranya telah
parau memanggil-manggil minta tolong. Anak perempuan yang seperti anak laki-laki itu
tentu tadi pagi tak menyadari konsekuensi keisengannya. Mungkin awalnya ia hanya
ingin menggoda teman-temannya. Tapi sekarang, keadaan bisa fatal.
Kontur gunung ini sangat unik. Jika berada di dalam hutannya banyak sekali komposisi
pohon dan permukaan tanah yang tampak sama. Maka jika melewati jalur itu seolah
seseorang merasa berada di tempat yang telah ia kenal, padahal tanpa disadari
langkahnya semakin menjauh tersasar ke dalam rimba. Jika Flo mengalami ini ia akan
tersasar jauh ke selatan menuju aliran anak-anak Sungai Lenggang yang sangat deras
berjeram-jeram menuju ke muara. Tak sedikit orang yang telah menjadi korban di sana.
Pada beberapa bagian di wilayah selatan ini juga terhampar dataran tanah luas yang
mengandung jebakan mematikan, yaitu kiumi, semacam pasir hidup yang kelihatan solid
tapi jika diinjak langsung menelan tubuh.
Namun, ia akan sial sekali jika tersasar ke utara. Di sana jauh lebih berbahaya. Ia
memasuki semacam pintu mati. Ia tak 'kan bisa kembali, sebuah point ofno return, karena
lereng gunung di bagian itu terhalang oleh ujung aliran sungai jahat yang disebut Sungai
Buta. Sungai Buta adalah anak Sungai Lenggang tapi alirannya putus hanya sampai di
lereng utara Gunung Selumar. Sungai itu seperti sebuah gang sempit yang buntu atau
seperti jalan yang berakhir di jurang. Orang kampung menamainya Sungai Buta sebagai
representasi keangkerannya. Buta lebih berarti gelap, tak ada petunjuk, terperangkap
tanpa jalan keluar, dan mati.
Sungai Buta demikian ditakuti karena permukaannya sangat tenang seperti danau, seperti
kaca yang diam. Tapi tersembunyi di bawah air yang tenang itu adalah maut yang
sesungguhnya, yaitu buaya-buaya besar dan ular-ular dasar air yang aneh-aneh. Buaya
sungai ini berperangai lain dan amat agresif, mereka mengincar kera-kera yang
bergelantungan di dahan rendah, bahkan menyambar orang di atas perahu. Pohon-pohon
tua ru1yang tinggi tumbuh dengan akar tertanam di dasar sungai ini, sebagian telah mati
menghitam, membentuk pemandangan yang sangat menyeramkan seperti sosok-sosok
hantu raksasa yang merenungi per mukaan sungai dan menunggu mangsa melintas.
Sungai Buta berbentuk melingkar, mengurung sisi utara Gunung Selumar. Jika Flo
tersesat ke sini ia tak mung-kin dapat kembali mundur karena tenaganya pasti tak akan
cukup untuk kembali mendaki punggung granit yang curam. Jika ia memaksa, sangat
mungkin ia akan terpeleset jatuh dan terhempas di atas batu-batu karang. Pilihan satusatunya
hanya berenang melintasi Sungai Buta yang horor dengan kelebaran hampir
seratus meter. Untuk menyeberangi sungai itu ia terlebih dahulu harus menyibaknyibakkan
hamparan bakung setinggi dada dan hampir dapat dipastikan pada langkahlangkah
pertama di area bakung itu riwayatnya akan tamat. Di sanalah habitat terbesar
buaya-buaya ganas di Belitong.
Di tengah kepanikan tersiar kabar bahwa ada seorang sakti mandraguna yang mampu
menerawang, tapi beliau tinggal jauh di sebuah Pulau Lanun yang terpencil. Ialah seorang
dukun yang telah menjadi legenda, Tuk Bayan Tula, demikian namanya. Tokoh ini
dianggap raja ilmu gaib dan orang paling sakti di atas yang tersakti, biang semua
keganjilan, muara semua ilmu aneh.
Banyak orang beranggapan Tuk Bayan Tula tak lebih dari sekadar dongeng, bahwa ia
sebenarnya tak pernah ada, dan tak lebih dari mitos untuk menakuti anak kecil agar
cepat-cepat tidur. Tapi banyak juga yang berani bersaksi bahwa ia benar-benar ada.
Bahkan diyakini beliau dulu pernah tinggal di kampung dan sempat menjadi penjaga
hutan larangan suruhan Belanda, pernah menjadi carik, dan pernah menjadi nakhoda
kapal yang berulang kali memimpin armada melanglang Selat Malaka. Menjadi
perompak barangkali.
Konon beliau memang memiliki bakat khusus di bidang ilmu antah berantah, karena
dalam usia muda beliau sudah menguasai budi suci. Ilmu ini sangat potensial membuat
penganutnya senang memanjat tiang bendera di tengah malam sebab menderita sakit
saraf. Jika tak kuat menahankan ilmu gaib budi suci, dalam waktu singkat seseorang bisa
menjadi gila. Tapi jika sukses, pemegangnya bisa membunuh orang bahkan tanpa
menyentuhnya. Tuk sudah khatam budi suci sejak usia belasan. Dalam usia itu beliau
juga sudah bisa mempraktikkan ilmu sekuntak, maka beliau mampu memadamkan
bohlam hanya dengan memandangnya sepintas. Namun, seiring tinggi ilmunya ia
semakin menjauhkan diri dari masyarakat dan telah berpantang kata untuk menjaga
kesaktiannya. Maka Tuk Bayan Tula tak 'kan pernah berucap lagi.
Kini Tuk menyepi di pulau tak berpenghuni. Nama Tuk Bayan Tula sendiri adalah nama
yang menciutkan nyali. Tuk adalah nama julukan lama, dari kata datuk untuk menyebut
orang sakti di Belitong. Bayan juga panggilan bagi orang berilmu hebat yang selalu
memakai nama binatang, dalam hal ini burung bayan. Tula, bahasa Belitong asli, artinya
kualat, mungkin jika kurang ajar dengan beliau orang bisa langsung kualat. Sedangkan
nama Pulau Lanun tempat tinggal Tuk sekarang juga tak kalah angker. Lanun berarti
perompak. Pulau itu tak berani didekati para nelayan karena di sanalah para perompak
yang kejam sering merapat. Namun, kabarnya para perompak itu kabur tunggang
langgang ketika Tuk Bayan Tula menguasai pulau itu. Banyak yang mengatakan para
perompak itu dipenggal Tuk dengan sadis. Kini Tuk tinggal sendirian di sana.
Berbagai cerita yang mendirikan bulu kuduk selalu dikait-kaitkan dengan tokoh siluman
ini. Ada yang mengatakan beliau sengaja mengasingkan diri di pulau kecil sebelah barat
sebagai tameng yang melindungi Pulau Belitong dari amukan badai. Ada yang percaya ia
bisa melayang-layang ringan seperti kabut dan bersembunyi di balik sehelai ilalang. Dan
yang paling menyeramkan adalah bahwa dikatakan Tuk telah menjadi manusia separuh
peri.
Anehnya, di balik keangkeran cerita yang berbau mistis itu semua orang menganggap
Tuk Bayan Tula adalah wakil dari alam bawah tanah dunia putih. Di beberapa wilayah di
Belitong beliau dianggap sebagai pahlawan yang telah membasmi para dukun hitam
nekromansi yang mengambil keuntungan melalui komunikasi dengan orang-orang yang
telah mati. Beliau dianggap ahli menyembuhkan penyakit yang disebabkan oleh praktik
klenik jahat untuk mencelakakan orang. Maka Tuk tak ubahnya Robin Hood, pahlawan
yang mencuri untuk menolong kaum papa, atau orang yang berbuat baik dengan cara
yang salah. Ada pula sebagian orang Belitong yang menganggap beliau bukan dukun,
tapi sekadar seorang eksentrik yang dianu-gerahi indra keenam.
Apakah Tuk Bayan Tula seseorang yang mengkhianati ajaran tauhid? Mungkinkah ia
sekadar seorang pahlawan pemusnah santet yang ingin mati sebagai martir? Ataukah ia
hanya seorang tua yang memutuskan hidup sendiri ka-rena bermasalah dengan perangkat
syahwat? Tak ada yang tahu pasti. Kisah kesaktian, gaya hidup, biografi, dan paradoks
kepahlawanan Tuk ketika dikonfrontasikan dengan keyakinan orang awam akan menjadi
sebuah misteri. Misteri ini mengandung daya tarik dunia bawah tanah, metafisika,
paranormal, fenomena-fenomena janggal, dan ilmu pengetahuan yang membakar rasa
ingin tahu sebagian orang. Sebagian dari orang itu adalah Mahar.
Dalam kasus Flo, keadaan paniklah yang menyebabkan orang-orang sudah tidak lagi
mengandalkan akal sehat sehingga berunding untuk minta bantuan Tuk Bayan Tula.
Kekalutan memuncak karena saat itu sudah tengah malam dan Flo tak juga diketahui
nasibnya. Maka diutuslah beberapa orang untuk menemui Tuk Bayan Tula. Utusan ini
bukan sembarangan, paling tidak terdiri atas orang-orang yang telah cukup
berpengalaman dalam urusan mistik sehingga cukup teguh hatinya jika digertak Tuk.
Mereka adalah seorang pawang hujan, seorang dukun angin, kepala suku Sawang, dan
seorang polisi senior. Utusan ini berangkat menggunakan speedboat milik PN Timah
yang berkecepatan sangat tinggi. Kami waswas menunggu mereka kembali, terutama
cemas kalau-kalau keempat orang utusan itu disembelih oleh sang manusia siluman
setengah peri.
Ketika matahari pagi mulai merekah, utusan tadi kembali. Kami senang menyambut
mereka dengan mengharapkan keajaiban yang tak masuk akal, tapi itu lebih baik dari
pada patah harapan sama sekali. Namun utusan ini tak membawa kabar apa-apa kecuali
sepucuk kertas dari Tuk Bayan Tula. Puluhan orang mengerumuni cerita mereka yang
mencengangkan. Mahar duduk paling depan.
"Ketika perahu merapat, anjing-anjing hutan melolong-lolong seolah melihat iblis
beterbangan," kata ketua utusan, seorang pawang hujan. Ia termasuk orang berilmu dan
dunia bawah tanah bukan hal baru baginya, tapi terlihat jelas ia takut dan merasa Tuk
tidak ada di liganya. Sama sekali bukan tandingannya.
"Tuk Bayan Tula tinggal di sebuah gua yang gelap, di jantung Pulau Lanun. Pulau itu
berbelok menyimpang dari jalur nelayan, jadi tak seorang pun akan ke sana. Perahuperahu
perompak yang telah beliau bakar berserakan di tepi pantai. Tak ada siapa-siapa di
pulau itu kecuali beliau sendiri dan tak terlihat ada tanaman kebun atau sumur air tawar,
tak tahulah Datuk itu makan minum apa."
Kemudian para anggota utusan yang lain sambung-menyambung, "Melihat wajahnya
dada rasanya berdetak, sungguh seseorang yang tampak sangat sakti dan berilmu ting-gi.
Ketika beliau keluar ke mulut gua seakan seluruh alam menunduk. Di sana kami
merasakan udara yang pe-nuh daya magis."
Cerita ini dikonfirmasikan oleh hampir seluruh anggota utusan, bahwa ketika Tuk Bayan
Tula berdiri kira-kira lima meter di depan mereka, mereka melihat kaki-kaki datuk itu tak
menyentuh bumi. Ia seperti kabut yang melayang.
"Tubuhnya tinggi besar, rambut, kumis, dan jenggot-nya lebat dan panjang, matanya
berkilat-kilat seperti burung bayan. Pakaiannya hanya selembar kain panjang yang dililitlilitkan.
Ia bertelanjang dada, dan sebilah parang yang sangat panjang terselip di
pinggangnya. Aku ketakutan melihatnya."
Kami mendengarkan dengan saksama, terutama Mahar yang tampak terpesona bukan
main. Mulutnya ternganga dan raut wajahnya memperlihatkan kekaguman yang amat
sangat pada Tuk Bayan Tula. Ia tampak begitu terpengaruh dan siap mengabdi pada
superstardunia gaib itu. Inilah fanatisme buta. Dalam imajinasinya mungkin Tuk Bayan
Tula sedang duduk di atas singgasana yang dibuat dari tulang belulang musuh-musuhnya.
Lalu beberapa ekor dedemit yang telah ditaklukkannya patuh melayaninya dengan
limpahan anggur-anggur putih. Ketika itu tak sedikit pun terlintas dalam pikirannya kalau
nanti Tuk Bayan Tula akan memutar jalan hidupnya dan jalan hidup perempuan kecil
yang sedang tersesat di rimba ini dengan sebuah kisah antiklimaks.
"Di depan mulut gua kami melihat empat lembar pelepah pinang raja tempat duduk telah
tergelar, seolah beliau telah tahu jauh sebelumnya kalau kami akan datang. Beliau
menemui kami, sedikit pun tidak tersenyum, sepatah pun tidak berkata."
Sang ketua utusan mengusap wajahnya yang masih kelihatan terkesiap karena pertemuan
langsungnya dengan tokoh sakti mandraguna Tuk Bayan Tula. Meskipun sudah beberapa
jam yang lalu ia masih belum bisa menghilangkan perasaan terkejutnya.
"Kami menceritakan maksud kedatangan kami. Beliau mendengarkan dengan
memalingkan muka. Belum selesai kami berkisah beliau langsung memberi isyarat
meminta sepucuk kertas dan pena, lalu beliau menuliskan sesuatu. Juga diisyaratkan agar
kami segera pulang dan hanya membuka tulisan beliau setelah tiba di sini. Di kertas
inilah beliau menulis."
Ketua utusan memperlihatkan gulungan kertas, semua orang merubungnya. Mahar
melihat gulungan itu dengan tatapan seperti melihat benda ajaib peninggalan makhluk
angkasa luar. Dengan gemetar sang ketua utusan membuka gulungan kertas itu dan di
sana tertulis:
INILAH PESAN TUK BAYAN TULA: JIKA INGIN MENEMUKAN ANAK
PEREMPUAN ITU MAKA CARILAH DIA DI DEKAT GUBUK LADANG YANG
DITINGGALKAN. TEMUKAN SEGERA ATAU
DIA AKAN TENGGELAM DI BAWAH AKAR BAKAU
Sebuah pesan yang mendirikan bulu tengkuk, lugas, dan mengancam atau lebih tepatnya
menakut-nakuti. Tapi harus diakui bahwa pesan ini mengandung sebuah tenaga. Pilihan
katanya teliti dan menunjukkan sebuah kualitas keparanormalan tingkat tinggi. Jika Tuk
Bayan Tula seorang penipu maka ia pasti penipu ulung, tapi jika ia memang dukun maka
ia pasti bukan dukun palsu yang oportunistik. Bagaimanapun pesan ini mengandung
pertaruhan reputasi yang pasti. Tidak ada kata tersembunyi, tak ada kata bersayap.
Intinya jelas: jika Flo tidak ditemukan di dekat gubuk ladang yang telah ditinggalkan
pemiliknya atau jika ia tidak ditemukan tewas hari ini di sela-sela akar bakau, maka sang
legenda Tuk Bayan Tula tak lebih dari seorang tukang dadu cangkir di pinggir jalan.
Semua makhluk yang senang memain-mainkan dadu adalah kaum penipu. Kalau itu
sampai terjadi rasanya aku ingin berangkat sendiri ke Pulau Lanun untuk menyita satusatunya
kain yang melilit tubuh Tuk. Tapi selain semua kemungkinan itu pesan tadi juga
harus diakui telah memberi harapan dan batas waktu, apa yang akan terjadi jika
semuanya terlambat?
Kebiasaan berladang berpindah-pindah masih berlangsung hingga saat ini. Namun
potensi kesulitan sangat mungkin muncul. Tak mudah menentukan yang mana yang
merupakan gubuk ladang. Gubuk telantar banyak terdapat di lereng gunung, yaitu gubuk
rahasia para pencuri timah. Para pendulang liar menggali timah nun jauh di lereng
gunung secara ilegal dan menjualnya pada para penyelundup yang menyamar sebagai
nelayan di perairan Bangka Belitong. Pencuri dan penyelundup timah adalah profesi yang
sangat tua. Aktivitas kriminal ini kriminal dari kaca mata PN Timah tentu saja telah ada
sejak orang-orang Kek datang dari daratan Tiongkok untuk menggali timah secara resmi
di Belitong dalam rangka mengerjakan konsesi dari kompeni, hari-hari itu adalah abad
ke-17.
PN Timah memperlakukan pelaku eksploitasi timah ilegal dan penyelundup dengan
sangat keras, tanpa perikemanusiaan. Pelakunya diperlakukan seolah pelaku tindak
pidana subversif. Di gunung-gunung yang sepi tempat para pendulang timah dianggap
pencuri dan di laut tempat penyelundup dianggap perompak, hukum seolah tak berlaku.
Jika tertangkap tak jarang kepala mereka diledakkan di tempat dengan AKA 47 oleh
manusia-manusia tengik bernama Polsus Timah.
Tim kami berangkat sejak pagi benar di bawah pimpinan Mahar. Kami bergerak ke utara,
ke arah jalur maut Sungai Buta. Belasan ladang terutama yang dekat sungai telah kami
kunjungi dan gubuknya telah kami obrak-abrik, kami juga mencari-cari di sela-sela akar
bakau, tapi hasilnya nihil. Flo raib seperti ditelan bumi. Suara kami sampai parau
memanggil-manggil namanya dan satu-satunya megafone yang dibekali posko telah habis
baterainya.
Dan pagi pun tiba, pencarian berlangsung terus. Dari walky talky kami pantau bahwa Flo
masih tetap misteri. Sekarang baterai walky talky mulai lemah dan hanya dapat
memonitor saja. Tidak hanya batu-batu baterai itu, sema-ngat kami pun melemah. Kami
mulai dihinggapi perasaan putus asa.
Dari setiap gubuk yang kami kunjungi dan tidak ditemukan Flo di dalamnya maka satu
kredit minus mengurangi reputasi Tuk. Sesudah hampir dua puluh gubuk yang nihil, saat
itu menjelang tangah hari, reputasi beliau pun makin pudar kalau bukan disebut hancur.
Kami mulai meragukan kesaktian dukun siluman itu. Mahar tampak agak tersinggung
setiap kali kami mengeluh jika menemukan gubuk yang kosong, apa lagi ada celetukan
yang melecehkan Tuk Bayan Tula.
"Kalau dia bisa berubah menjadi burung bayan, tak perlu susah-susah kita mencari-cari
seperti ini," desah Kucai sambil terengah-engah.
Berbagai pikiran buruk menghantui kepala yang penat dan tubuh yang lelah.
Ke manakah engkau gadis kecil? Mungkinkah anak gedongan itu telah tewas?
Parameter pencarian demikian luas. Flo bisa saja tidak menuruni lereng menuju ke
lembah melainkan naik terus ke puncak, atau berjalan berputar-putar mengelilingi lereng,
tersesat dalam fatamorgana sampai habis tenaganya. Mungkin juga ia telah tembus di sisi
barat daya dan memasuki perkampungan Tionghoa kebun di sana. Atau ia sedang dililit
ular untuk dibusukkan dan ditelan besok malam.
Mungkinkah ia telah berenang melintasi Sungai Buta? Bukankah ia anak tomboi yang
terkenal nekat tak kenal takut? Selamat atau sudah tamatkah riwayatnya? Perbekal-an air
dan makanan kami yang seadanya telah habis. Harun, Trapani, dan Samson sudah ingin
menyerah dan menyarankan kami kembali ke posko, tapi Mahar tak setuju, ia yakin
sekali pada kebenaran pesan Tuk Bayan Tula. Sebaliknya, bagi kami hanya bayangan
penderitaan Flo yang masih menguatkan hati untuk terus mencari. Jika ingat betapa ia
ketakutan, kelaparan, dan kedinginan, kelelahan kami rasanya dapat ditahankan.
Menjelang pukul 10 pagi, berarti telah 27 jam Flo lenyap. Kami sudah tak memedulikan
pesan Tuk. Bagi kami kecuali Mahar datuk itu tak lebih dari semua dukun-dukun lainnya,
palsu dan oportunistik. Kami memperlebar parameter pencarian sampai agak naik ke atas
ladang. Di setiap gubuk kami menemukan pemandangan yang sama, yaitu babi-babi
hutan yang kawin berpesta pora atau tikus-tikus pengerat bercengkrama di antara
dengungan kumbang yang bersarang di tiang-tiang gubuk yang lapuk.
Pukul 11, siang sudah, kami tiba di sebuah batu cadas besar yang menjorok. Kami
berkumpul di sana untuk mengistirahatkan sisa-sisa tenaga terakhir. Inilah ujung akhir
lereng utara karena setelah ini, nun setengah kilometer di bawah kami adalah wilayah
bahaya maut Sungai Buta. Kami tak 'kan turun ke wilayah yang dihindari setiap orang
itu, bahkan penjelajah profesional tak berani ke sana. Kami sudah putus asa dan setelah
beristirahat ini kami akan segera kembali ke posko. Kami telah gagal, Flo tetap nihil, dan
paling tidak di lereng utara Tuk Bayan Tula telah berdusta. Dari walky talky kami
memonitor bahwa di barat, timur, dan selatan Flo juga tak ditemukan, berati Tuk Bayan
Tula telah berdusta di empat penjuru angin.
Kami diam terpaku menerima berita itu. Wajah Mahar sembap seperti ingin menangis. Ia
seumpama kekasih yang dikhianati orang tersayang. Tuk telah melukai hatinya meskipun
ia sedikit pun tak kenal tokoh pujaannya itu. Ini risiko keyakinan yang rabun. Dan aku
sedih, bukan karena membayangkan kehancuran integritas Tuk atau perasaan Mahar yang
kecewa, tapi karena memikirkan nasib buruk yang menimpa Flo. Bisa saja ia tak 'kan
pernah ditemukan, hilang, raib. Bisa juga ia ditemukan tapi cuma tinggal berupa
kerangka yang dipatuki burung gagak. Ia juga mungkin ditemukan dalam keadaan
menyedihkan telah tercabik-cabik hewan buas. Dan yang paling tak tertahankan adalah
jika ia mati sia-sia secara memilukan karena pertolongan terlambat beberapa jam saja.
Sulit untuk bertahan hidup dalam suhu sedingin malam tadi tanpa makanan sama sekali.
Dan saat-saat sekarang ini sudah memasuki keadaan yang mulai terlambat itu. Mengapa
anak cantik kaya raya yang hidup di rumah seperti istana, dari keluarga terhormat,tanpa
trauma masa kecil, dan yang memiliki limpahan kasih sayang semua orang, serta
lingkungan seperti taman eden, ha-rus berakhir di tempat ganas ini? Aku tak sanggup
mem-bayangkan lebih jauh perasaan orangtuanya.
Aku terbaring kelelahan memandangi keseluruhan Gunung Selumar yang biru, agung,
dan samar-samar. Aku per-nah menulis puisi cinta di puncaknya dan gunung ini pernah
memberiku inspirasi keindahan yang lembut. Bahkan di sabana di atas sana tumbuh
bunga-bunga liar kuning kecil yang dapat membuat siapa pun jatuh cinta, bukan hanya
kepada bunganya, tapi juga kepada orang yang mempersembahkannya. Namun
kelembutan gunung ini, seperti kelembutan unsur-unsur alam lainnya, air, angin, api, dan
bumi, ternyata menyembunyikan kekejaman tak kenal ampun. Betapa teganya, toh
bagaimanapun nakalnya, Flo hanyalah seorang gadis kecil, permata hati keluarganya.
Kucai menepuk-nepuk bahu Mahar dan menghiburnya. Mahar memalingkan muka. Ia
menunduk diam. Matanya jauh menyapu pandangan ke Sungai Buta dan rawa-rawa
bakung di bawah sana. Kami bangkit, membereskan perlengkapan, dan mempersiapkan
diri untuk pulang. Sebelum kami melangkah pergi Syahdan yang mengalungkan teropong
kecil di lehernya mencoba-coba benda plastik mainan itu. Ia meneropong tepian Sungai
Buta. Saat kami ingin menuruni batu cadas itu tiba-tiba Syahdan berteriak, sebuah
teriakan nasib.
"Lihatlah itu, ada pohon kuini di pinggir Sungai
Buta."
Kami membalikkan badan terkejut dan Mahar serta-merta merampas teropong Syahdan.
Ia berlari ke bibir cadas dan meneropong ke bawah dengan saksama, "Dan ada gubuk!"
katanya penuh semangat.
"Kita harus turun ke sana!" katanya lagi tanpa berpikir panjang.
Kami semua terperanjat dengan usul sinting itu. Kucai yang dari tadi membisu
menganggap kekonyolan Mahar telahmelampaui batas. Sebagai ketua kelas ia merasa
bertanggung jawab.
"Apa kau sudah gila!" Ia menyalak dengan galak. Sorot matanya tajam, merah, dan
marah, walaupun yang ditatapnya adalah Harun yang berdiri melongo di samping Mahar.
"Mari aku jelaskan ke kepalamu yang dikaburkan asap kemenyan sehingga tak bisa
berpikir waras. Pertama-tama di bawah sana tak mungkin sebuah ladang. Tak ada orang
sinting yang mau berladang di pinggir Sungai Buta kecuali ia ingin mati konyol. Tak
tahukah kau cerita pengalaman orang lain, di situ buaya tidak menunggu tapi mengejar.
Dan ular-ular sebesar pohon kelapa melingkar-lingkar di sembarang tempat. Kalaupun itu
memang gubuk, itu gubuk pencuri timah. Berdasarkan pesan datuk setengah iblis anak
gedongan itu hanya ada di gubuk ladang yang ditinggalkan!"
Mahar menatap Kucai dengan dingin, Kucai semakin geram.
"Kalau kita turun ke sana, aku pastikan kita bisa menjadi Flo-Flo baru yang malah akan
dicari orang, menambah persoalan, merepotkan semuanya nanti. Tempat itu sangat
berbahaya, Har, pakai otakmu! Ayo pulang!!"
Mahar tetap sedingin es, ekspresinya datar. "Lagi pula mana mungkin anak perempuan
kecil itu dapat mencapai tempat ini. Batu ini adalah dinding utara terakhir. Kita telah
mendatangi puluhan gubuk ladang yang ditinggalkan, hasilnya nol, mendatangi satu
gubuk pencuri timah hasilnya akan tetap sama, ayolah pulang, Kawan, terimalah
kenyataan bahwa Tuk telah menipu kita, ayolah pulang, Kawan ..,," Kucai merendahkan
suaranya, mungkin ia sadar membujuk orang setengah gila tidak bisa dengan marahmarah.
Tapi Mahar tetap membatu, ia seperti menhir, masih belum bisa diyakinkan. Ia
tak 'kan menyerah semudah ini. Syahdan ikut menasihati dengan kata-kata pesimis.
"Sudah hampir tiga puluh jam Flo hilang, kita harus belajar realistis, mungkin ia memang
ditakdirkan menemui ajal di gunung ini. Tuhan telah memanggilnya dan gunung ini pun
mengambilnya."
Mahar tak bergerak. Kami beranjak meninggalkan tempat itu. Lalu dengan dingin Mahar
mengatakan ini, "Kalian boleh pulang, aku akan turun sendiri...."
Maka turunlah kami semua walaupun kami tahu tak 'kan menemukan Flo di pinggir
Sungai Buta. Hal itu sangat muskil, sangat mustahil. Semuanya menggerutu dan kami
mengutuki Syahdan yang tadi iseng-iseng meneropong dengan teropong plastik jelek
mainan anak-anak itu. Dia menyesal. Tapi semuanya telah telanjur, sekarang kami
pontang panting menuruni punggung lereng yang curam, berkelak-kelok di antara batubatu
besar dan menerabas kerimbunan gulma yang sering menusuk mata.
Kami menuju ke sebuah gubuk pencuri timah di wi-layah maut pinggiran Sungai Buta
hanya untuk menemani Mahar, menemani ia memuaskan egonya, membuktikan padanya
bahwa insting tidak harus selalu benar, dan melindunginya dari ketololannya sendiri.
Walaupun kami benci pada kefanatikannya tapi ia tetap teman kami, anggota Laskar
Pelangi, kami tak ingin kehilangan dia. Kadang-kadang persahabatan sangat menuntut
dan menyebalkan. Pelajaran moral nomor lima: jangan bersahabat dengan orang yang
gila perdukunan.
Kira-kira satu jam kemudian, tepat tengah hari, kami telah berada di lembah Sungai Buta.
Wilayah ini merupakan blank spot untuk frekuensi walky talky sehingga suara kemerosok
yang sedikit menghibur dari alat itu sekarang mati dan tempat ini segera jadi mencekam.
Untuk pertama kalinya aku ke sini dan rasa angkernya memang tidak dibesar-besarkan
orang. Kenyataannya malah terasa lebih ngeri dari bayanganku sebelumnya. Kami
memasuki wilayah yang jelas-jelas menunjukkan permusuhan pada pendatang. Wilayah
ini seperti dikuasai oleh suatu makhluk teritorial yang buas, asing, dan sangat jahat.
Kerasak-kerasakgelap di pokok pohon nipah yang digenangi air seperti kerajaan jin dan
tempat sarang berkembang biaknya semua jenis bangsa-bangsa hantu. Biawak berbagai
ukuran melingkar-lingkar di situ, sama sekali tak takut pada kehadiran kami, beberepa
ekor di antaranya malah bersikap ingin menyerang.
Hanya sedikit orang pernah ke sini dan di antara yang sedikit itu dan yang paling tolol
adalah kami. Kami berjalan dalam langkah senyap berhati-hati. Semuanya mengeluarkan
parang dari sarungnya dan terus-menerus menoleh ke kiri dan kanan serta membentuk
formasi untuk melindungi punggung orang terdekat. Kami mendengar suara sesuatu
ditangkupkan dengan sangat keras dan mengerikan disertai suara kibasan air yang besar.
Kami diam tak membahas itu, kami tahu suara itu tangkupan mulut buaya yang besarnya
tak terkira. Ada juga suara bayi-bayi buaya yang berkeciak dan pemandangan beberapa
ekor ular bergelantungan di dahan-dahan pohon. Kami terus merangsek maju seperti
sedang mengintai musuh.
Pondok itu kira-kira seratus meter di depan kami. Semakin dekat, semakin jelas dan
mencengangkan karena tempat itu agaknya memang bekas sebuah ladang yang
ditinggalkan. Kami menemukan kawat-kawat bekas pagar dan dari kejauhan melihat
pohon-pohon kuini, jambu bol, dan sawo. Siapa orang luar biasa yang berani berladang di
sini?
Jarak ladang ini dekat sekali dengan pinggiran Sungai Buta, bisa dipastikan sangat
berbahaya. Pemiliknya pasti ingin mendekati air tanpa mempertimbangkan keselamatan.
Sebuah tindakan bodoh. Atau mungkinkah karena ketololannya itulah maka riwayat sang
pemilik telah berakhir di tepi sungai ini sehingga ladangnya sekarang tak bertuan? Tapi
ada hal lain, yaitu siapa pun pemilik tersebut terutama jika ia masih hidup maka ia pasti
tak sanggup memelihara ladang ini karena hama perompak tanaman juga luar biasa di
sini. Kawanan kera sampai mencapai lima kelompok, saling berebutan lahan dengan
serakah. Belum lagi tupai, lutung, babi hutan, musang, luak, dan tikus pengerat, hewanhewan
ini sudah keterlaluan.
mi berjingkat-jingkat tangkas di atas akar-akar bakau yang cembung berselang-seling.
Akar-akar ini seperti menopang pohonnya yang rendah. Tak kami temukan Flo
tersangkut di bawah akar-akar itu, satu lagi konfirmasi penipuan Tuk Bayan Tula. Setelah
yakin Flo tak ada di bawah akar bakau, kami pelan-pelan mendekati ladang.
Semakin dekat ke lokasi ladang kami dapat melihat dengan jelas sebuah gubuk beratap
daun nipah. Lalu ada suatu pemandangan yang agak menarik, yaitu salah satu dahan
pohon jambu mawar yang berdaun amat lebat bergoyang-goyang hebat seperti ingin
dirubuhkan. Jambu mawar itu tumbuh persis di samping gubuk. Pastilah itu ulah lutung
besar yang sepanjang waktu selalu lapar.
Kami mendekati pohon jambu mawar itu dengan waspada. Kami menyusun semacam
strategi penyergapan untuk memberi pelajaran pada lutung rakus itu. Kami mengendapendap
seperti pasukan katak baru keluar dari rawa untuk merebut sebuah gudang senjata.
Di ladang telantar ini tumbuh subur ilalang setinggi dada dan pohon-pohon singkong
yang sudah centang perenang dirampok hewan-hewan liar. Buah-buah sawo yang masih
muda, putik-putik jambu bol, dan buah kuini muda juga berserakan di tanah karena
dijarah secara sembrono oleh hama hewan-hewan itu. Bahkan buah-buahan ini tak
sempat masak. Binatang-binatang tak tahu diri!
Lutung besar yang sedang berpesta pora di dahan jambu mawar itu tak menyadari
kehadiran kami. Ia semakin menjadi-jadi, mengguncang-guncang dahan jambu itu hingga
daun dan bakal buahnya berjatuhan, kurang ajar sekali. Kami semakin dekat dan berjinjitjinjit
tak menimbulkan suara. Kami ingin menangkapnya basah sehingga ia semaput
ketakutan, inilah hiburan kecil di tengah ketegangan menyelamatkan nyawa manusia.
Setelah tiba saatnya kami bersama-sama menghitung hingga tiga dan melompat serentak,
menghambur ke bawah dahan itu sambil bertepuk tangan dan berteriak sekeras-kerasnya
untuk mengejutkan sang lutung. Tapi tak sedikit pun diduga situasi berbalik seratus
delapan puluh derajat, karena sebaliknya, ketika kami menyerbu justru kami yang
terkejut setengah mati tak alang kepalang, rasanya ingin terkencing-kencing. Kami tak
percaya dengan penglihatan kami dan terkaget-kaget hebat karena persis di atas kami, di
sela-sela dedaunan yang sangat rimbun, bertengger santai seekor kera besar putih yang
tampak riang gembira menunggangi sebatang dahan seperti anak kecil kegirangan main
kuda-kudaan, wajahnya seperti baru saja bangun tidur dan belum sempat cuci muka. Ia
tertawa terbahak-bahak sampai keluar air matanya melihat wajah kami yang terbengongbengong
pucat pasi. Flo yang berandal telah ditemukan!
BAB XXV
Rencana B
AKU terengah-engah basah kuyup. Syahdan memandangi aku dengan prihatin. Kami saling
berpandangan lalu tertawa. Tawaku semakin keras seiring tangis di dalam hati tentu saja. Tangis
karena mendapati diri sampai sakit karena dera putus cinta. Mahar telah habis-habisan menjadikanku
kelinci percobaan. "Anak-anak jin yang ter-singgung?" Ke mana perginya akal sehatnya? Dia
patut mendapat nomor 7 dalam teori gila versi ibuku. Tapi aku tahu dia sesungguhnya bermaksud
baik.
Setelah Mahar, A Kiong dan daun-daun beluntasnya pergi tanpa pamit lalu datang Bu Mus dan
teman-teman sekolahku yang lain. Syahdan mengadukan kelakuan Mahar, tapi Bu Mus menunjukkan
wajah tak peduli. Beliau sudah cukup lama dibuat pusing oleh Mahar dan tak berminat
menam-bah beban berat hidupnya dengan memikirkan dukun palsu itu.
Beliau mengeluarkan pil ajaib APC. Besoknya aku sudah bisa berangkat ke sekolah dan aku tahu
persis yang menyembuhkanku adalah pil APC. Begitu melihatku memasuki kelas A Kiong
langsung menya-lami Mahar. Mahar menaikkan alisnya, mengangkat bahunya, dan menganggukangguk
seperti burung penguin selesai kawin. Itulah gerakan khas Mahar yang sangat menyebalkan.
"Apa kubilang!" barangkali itulah maknanya.
Mahar mengelus-elus koper bututnya dan A Kiong semakin fanatik padanya. Mereka berdua
tenggelam dalam kesesatan memersepsikan diri sendiri.
Rupanya fisikku memang telah sembuh tapi hatiku tidak. Pulang dari sekolah aku kembali disergap
perasaan sedih. Tak mudah melupakan A Ling. Dadaku kosong karena kehilangan sekaligus sesak
karena rindu. Aku terbaring kuyu di atas dipan memandangi diary dan buku Herriot kenangkenangan
darinya. Untuk mengalihkan kesedihan aku mengambil buku Seandainya Mereka Bis a
Bicara itu dan dengan malas aku berusaha membacanya.
Sudah kuniatkan dalam hati bahwa jika buku itu membosankan maka setelah halaman pertama ia
akan langsung kutangkupkan di wajahku karena aku ingin tidur. Lalu kata demi kata berlalu.
Setelah itu kalimat demi kalimat dan dilanjutkan dengan paragraf demi paragraf. Aku tak berhenti
membaca dan beberapa kali membaca paragraf yang sama berulang-ulang. Tanpa kusadari dalam
waktu singkat aku telah berada di halaman 10 tanpa sedikit pun sanggup menggeser posisi tidurku.
Seluruh perasaan gundah, putus asa, dan air mata rindu yang tadi sudah menggenang di pelupuk
mataku diisap habis oleh lembar demi lembar buku itu.
Buku ajaib itu bercerita tentang perjuangan seorang dokter hewan muda di zaman susah tahun
30an. Dokter muda itu, Herriot sendiri, bekerja nun jauh di sebuah desa terpencil di bagian antah
berantah di Inggrissana. Desa kecil itu bernama Edensor.
Mulutku ternganga dan aku menahan napas ketika Herriot menggambarkan keindahan Edensor:
"Lereng-lereng bukit yang tak teratur tampak seperti berjatuhan, puncaknya seperti bergulingguling
tertelan oleh langit sebelah barat, yang bentuknya seperti pita kuning dan merah tua ....
Pegunungan tinggi yang tak berbentuk itu mulai terurai menjadi bukit-bukit hijau dan lembahlembah
luas. Di dasar lembah tampak sungai yang berliku-liku di antara pepohonan. Rumah-rumah
petani yang terbuat dari batu-batu yang kukuh dan berwarna kelabu tampak seperti pulau di tengah
ladang yang diusahakan. Ladang itu terbentang ke atas seperti tanjung yang hijau cerah di atas
lereng bukit .... Aku sampai di taman bunga mawar, kemudian ke taman asparagus, yang tumbuh
jadi pohon yang tinggi. Lebih jauh ada pohon arbei dan tumbuhan frambos. Pohon buah terdapat di
mana-mana. Buah persik, buah pir, buah ceri, buah prem, bergantung-an di atas tembok selatan,
berebut tempat dengan bunga-bunga mawar yang tumbuh liar."
Aku terkesima pada desa kecil Edensor. Aku segera menyadari bahwa ada keindahan lain yang
memukau di dunia ini selain cinta. Herriot rneng-gambarkan Edensor dengan begitu indah dan
memengaruhiku sehingga ketika ia bercerita tentang jalan-jalan kecil beralaskan batu-batu bulat di
luar rumah praktiknya rasanya aku dapat mencium harum bunga daffodil dan astuaria yang
menjalar di sepanjang pagar peternakan di jalan itu. Ketika ia bercerita tentangpadangsabana yang
terhampar di Bukit Derbyshire yang mengelilingi Edensor rasanya aku terbaring mengistirahatkan
hatiku yang lelah dan wajahku menjadi dingin ditiup angin dari desa tenang dan cantik itu. Aku
telah jatuh hati dengan Edensor dan menemukannya sebagai sebuah tempat dalam khayalanku
setiap kali aku ingin lari dari kesedihan.
Sebaliknya aku semakin mencintai A Ling. Ia dengan bijak telah mengganti kehadirannya dengan
kehadiran Edensor yang mampu melipur laraku. A Ling meninggalkan buku Herriot untukku tentu
karena sebuah alasan yang jelas. Selanjutnya, aku membaca buku Herriot berulang-ulang sehingga
hampir hafal. Ke mana pun aku pergi buku itu selalu kubawa dalam tas sandang bututku. Buku itu
adalah representasi A Ling dan pengobat jiwaku. Jika aku merasa risau dan sedih maka aku segera
mengalihkan pikiranku dengan membayangkan aku sedang duduk di bangku rendah di tengah
taman anggur di Edensor. Kumbang-kumbang berdengung huh rendah, mataku menatap lembut
Pegunungan Pennines yang biru di Derbyshire dan angin lembah
yang sejuk mengembus wajahku, menguapkan semua kepedihan, resah, dan kesulitan hidupku
di sudut kampung kumuh panas di Belitong ini. Aneh memang, jikaTrapaniseluruh hidupnya seolah
dipengaruhi oleh lagu Wajib Be/ajar maka kini seluruh hidupku terinspirasi oleh buku Seandainya
Mereka Bisa Bicara, terutama oleh Desa Edensor yang ada di buku itu. Jika beban hidup demikian
memuncak rasanya aku ingin sekali berada di Edensor. Punguk merindukan bulan tentu saja. Mana
mungkin anak Melayu miskin nun di Pulau Belitongsanamengangankan berada di sebuah tempat di
Inggris. Bermimpi pun tak pantas.
Sebaliknya, karena Edensor aku segera merasa pulih jiwa dan raga. Edensor memberiku alternatif
guna memecah penghalang mental agar tak stres berkepanjangan karena terus-terusan terpaku pada
perasaan patah hati. A Ling telah memberi racun cinta sekaligus penawarnya. Aku mulai tegar
meskipun tak 'kanada lagi Michele Yeoh. Aku siap menyesuaikan diri dengan kenyataan baru. Aku
sudah ikhlas meninggalkan cetak biru kehidupan indahasmarapertamaku yang bertaburan wangi
bunga dalam ritual rutin pembelian kapur tulis.
Inilah asyiknya menjadi anak kecil. Patah hati karena cinta yang telah berlangsung sekian
tahunlimatahun! bisa pulih dalam waktu tiga hari dan disembuhkan oleh sebuah desa bernama
Edensor di tempat antah berantah di Inggrissanadan hanya diceritakan melalui sebuah buku, ajaib.
Sedangkan orang dewasa bisa-bisa memerlu-kan waktu tiga tahun untuk mengobati frustrasi
karena hancurnya cinta platonik tiga minggu. Apakah semakin dewasa manusia cenderung menjadi
semakin tidak positif? Aku belajar berjiwa besar, berusaha memahami esensi konsep virtual dan
fisik dalam hubungan emosional. Bukankah jika mencintai seseorang kita harus membiarkan ia
bebas? Apabila hal semacam ini dialami oleh seorang dewasa mungkin ia tak mau lagi melihat
kapur tulis seumur hidupnya.
Kini aku akan mengenang A Ling sebagai bagi-an terindah dalam hidupku. Aku tetap rajin, dengan
naluri cinta yang sama, dengan semangat yang sama, berangkat dengan Syahdan setiap Senin pagi
untuk membeli kapur, meskipun sekarang aku disambut oleh sebilah tangan beruang dan kuku-k
uku burung nazar pemakan bangkai. Setiap membeli kapur aku tetap mengikuti prosedur yang sama
dan menikmati kronologi perasaanku di tengah kepe-ngapan Toko Sinar Harapan. Aku
menyimulasikan urutan-urutan sensasi keindahan cinta pertama seolah A Ling masih menungguku
di balik tirai-tirai rapat yang terbuat dari keong-keong kecil itu.
Sering kali sekarang aku bertanya pada diri sendiri: berapakah jumlah pasangan yang telah
mengalami cinta pertama, lalu hanya memiliki satu cinta itu dalam hidupnya, menikah, dan
kemudian hanya terpisahkan karena Tuhan memanggil salah satu dari mereka? Sedikit sekali! Atau
malah mungkin tidak ada! Sepertinya kedua jawaban tersebut bisa menjadi hipotesis yang
meyakinkan untuk pertanyaan dangkal semacam itu. Karena itulah yang umumnya terjadi dalam
dunia nyata.
Maka aku memiliki pandangan sendiri mengenai perkara cinta pertama ini, yaitu cinta pertama
memang tak 'kanpernah mati, tapi ia juga tak 'kanpernah survive. Selain itu aku telah menarik
pelajaran moral nomor enam dari pengalaman cinta pertamaku yaitu: jika Anda memiliki
kesempatan mendapatkan cinta pertama di sebuah toko kelontong, meskipun toko itu bobrok dan
bau tengik, maka rebutlah cepat-cepat kesempatan itu, karena cinta pertama semacam itu bisa
menjadi demikian indah tak terperikan!
Aku melihat ke belakang, membuat evaluasi kemajuan hidupku, dan bersyukur telah mengenal A
Ling. Jika berpikir positif, ternyata mengenal seseorang
secara emosional memberikan akses pada
sebuah bank data kepribadian tempat kita dapat belajar banyak hal baru. Hal-hal baru itu bagiku
pada intinya satu: wanita adalah makhluk yang tak mudah diduga. Maka banyak orang berpikir
keras mengurai sifat-sifat rahasia wanita, Paul I. Wellman misalnya dengan tesis Dewi
Aphroditenya. Ia menggambarkan wanita sebagai makhluk yang di dalam dirinya berkecamuk
pertentangan-perten-tangan, mengandung pergolakan abadi, sopan tapi berlagak, sentimental
sekaligus bengis, beradab namun ganas.
Bagiku, aku masih tak mengerti wanita, namun sepertinya ada semacam komposisi kimiawi
tertentu di dalam tubuh mereka yang menyebabkan lelaki
dengan komposisi kimiawi tertentu pula merasa betah di dekatnya. Maka cinta adalah reaksi
kimia sehingga keanehan dapat terjadi, se-orang pangeran tampan kaya raya bisa saja ditolak oleh
se-orang gadis penjaga pintu tol, dan seorang wanita public relation officer di sebuah BUMN yang
sangat luas pergaulannya bisa saja tergila-gila setengah mati dengan seorang laki-laki penyendiri
yang eksentrik. Itulah wanita, maka siapa pun ia, seorang dewi agung dalam mitologi Yunani atau
sekadar seorang penjaga toko kelontong bobrok di Belitong, masing-masing menyimpan rahasia
untuk dirinya sendiri, rahasia yang tak 'kanpernah diketahui siapa pun.
Wanita seperti apakah A Ling? Inilah yang paling
menarik dari kisah cinta monyet ini. Setelah
berpisah dengannya, aku baru mengerti tipe semacam ini. Ia bukanlah pribadi mekanis yang
mengungkapkan perasaan secara eksplisit. Ia memiliki pendirian yang kuat dan amat percaya diri.
Ia model wanita yang memegang pertanggung jawaban pada setiap gabungan huruf-huruf yang
meluncur dari mulutnya. Dan ini menimbulkan respek karena aku tahu banyak orang harus
berulang-ulang meyakinkan dirinya sendiri dan pasangannya dengan kata-kata basi berbusa-busa,
bahwa mereka masih saling mencintai, sungguh mengibakan! A Ling tak ingin menghabiskan
waktu berurusan dengan pola respons aksi reaksi cinta picisan yang klise, retoris, dan
membosankan.
Aku belajar berjiwa besar atas seluruh kejadi-an dengan A Ling. Sekarang aku memiliki cinta yang
baru dalam tas bututku: Edensor. Sudah selama 115 jam, 37 menit, 12 detik aku kehilangan A Ling
dan saat ini kuputuskan untuk berhenti mengiba-iba mengenang cinta pertama itu.
Akhirnya, aku mampu melangkah menyeberangi garis ujian tabiat mengasihani diri dan sekarang
aku berada di wilayah positif dalam menilai pengala-manku. Aku mulai bangkit untuk menata diri.
Aku mempelajari metode-metode ilmiah modern agar dapat bangkit dari keterpurukan. Aku rajin
membaca berbagai buku kiat-kiat sukses, pergaulan yang efektif, cara cepat menjadi kaya, langkahlangkah
menjadi pribadi magnetik, dan bunga rampai manajemen pengembangan pribadi.
Aku berhenti membuat rencana-rencana yang tidak realistis. Filosofi just do it, itulah prinsipku
sekarang, lagi pula bukankah John Lennon mengatakan life is what happens to us while we are busy
making plans1. Sesuai saran buku-buku psikologi praktis yang mutakhir itu aku mulai
menginventarisasi bidang minat, bakat, dan kemampuanku. Dan aku tak pernah ragu akan
jawabannya yaitu: aku paling piawai bermain bulu tangkis dan aku punya minat sangat besar dalam
bidang tulis-menulis.
Kesimpulan itu kuperoleh karena aku selalu menjadi juara pertama pertandingan bulu tangkis
kelurahan U 19 dan pialanya berderet-deret di rumahku. Piala itu demikian banyak sampai ada yang
dipakai ibuku untuk pemberat tumpukan cucian, ganjal pintu, dan penahan dinding kandang
ayam.Adajuga piala yang dipakai menjadi sema-cam palu untuk memecahkan buah kemiri, dan
sebuah piala berbentuk panjang bergerigi dari pertandingan terakhir sering dimanfaatkan ayahku
untuk menggaruk punggungnya yang gatal.
Lawan-lawanku selalu kukalahkan dengan skor di bawah setengah. Kasihan mereka, meskipun
telah berlatih mati-matian berbulan-bulan dan setiap pagi makan telur setengah masak dicampur
jadam dan madu pahit, tapi mereka selalu tak berkutik di depanku. Kadang-kadang aku beraksi
dengan mela-kukan drop shot sambil salto dua kali atau menangkis sebuah smash sambil koprol.
Jika aku sedang ingin, aku juga biasa melakukan semacam pukulan straight dari celah-celah kedua
selang-kangku dengan posisi membelakangi lawan, tak jarang aku melakukan itu dengan tangan
kiri!
Lawan yang tak kuat mentalnya melihat ulah-ku akan emosi dan jika ia terpancing marah maka
pada detik itulah ia telah kalah.Parapenonton bergemuruh melihat hiburan di lapangan bulu tangkis.
Jika aku bertanding maka pasar menjadi sepi, warung-warung kopi tutup, sekolah-sekolah
memulangkan murid-muridnya lebih awal, dan kuli-kuli PN membolos. "Si kancil keriting",
demikianlah mereka menjulukiku. Lapangan bulu tangkis di samping kantor desa membludak.
Mereka yang tak kebagian tempat berdiri di pinggir lapangan sampai naik ke pohon-pohon kelapa
di sekitarnya.
Kukira semua fakta itu lebih dari cukup bagiku untuk menyebut bulu tangkis sebagai potensi
seperti dinyatakan dalam buku-buku pengembangan diri itu. Dan minat besar lainnya adalah
menulis. Tapi memang tak banyak bukti yang mengonfirmasi potensiku di bidang ini, kecuali
komentar A Kiong bahwasuratdan puisiku untuk A Ling sering membuatnya tertawa geli. Tak tahu
apa artinya, bagus atau sebaliknya.
Maka aku mulai mengonsentrasikan diri untuk mengasah kemampuan kedua bidang ini. Seperti
juga disarankan oleh buku-buku ilmiah itu maka aku membuat program yang jelas, terfokus, dan
memantau dengan teliti kemajuanku. Buku itu juga menyarankan agar setiap individu membuat
semacam rencana A dan rencana B.
Rencana A adalah mengerahkan segenap sum-ber daya untuk mengembangkan minat dan
kemampuan pada kemampuan utama atau dalam bahasa bukunya core competency, dalam kasusku
berarti bulu tangkis dan menulis. Setelah tahap pengembangan itu selesai lalu bergerak pelan tapi
pasti menuju tahap profesionalisme dan tahap aktualisasi diri, yaitu muncul menggebrak secara
memesona di hadapan publik sebagai yang terbaik. Kemudian akhir dari semua usaha sistematis
ilmiah dan terencana itu adalah mendapat pengakuan kejayaan prestasi, menjadi orang tenar atau
sele-briti, hidup tenang, sehat walafiat, bahagia, dan kaya raya. Sebuah rencana yang sangat indah.
Setiap kali membaca rencana Aku aku mengalami kesulitan untuk tidur.
Demikianlah, rencana A sesungguhnya adalah apa yang orang sebut sebagai kata-kata ajaib
mandraguna: cita-cita. Dan aku senang sekali memiliki cita-cita atau arah masa depan yang sangat
jelas, yaitu: menjadi pemain bulu tangkis yang berprestasi dan menjadi penulis berbobot. Jika
mungkin sekaligus kedua-duanya, jika tidak mungkin salah satunya saja, dan jika tidak tercapai
kedua-duanya, jadi apa saja asal jangan jadi pegawai pos.
Cita-cita ini adalah kutub magnet yang menggerakkan jarum kompas di dalam kepalaku dan
membimbing hidupku secara meyakinkan. Setelah selesai merumuskan masa depanku itu sejenak
aku merasa menjadi manusia yang agak berguna.
Jika aku menengok sahabat sekelasku mereka juga ternyata memiliki cita-cita yang
istimewa.Saharamisalnya, ia ingin mejadi pejuang hak-hak asasi wanita. Dia mendapat inspirasi
cita-citanya itu dari penindasan luar biasa terhadap wanita yang dilihatnya di film-filmIndia. A
Kiong ingin menjadi kapten kapal, mungkin karena ia senang berpergian atau mungkin topi kapten
kapal yang besar dapat menutupi sebagian kepala kalengnya itu. Kucai menyadari bahwa dirinya
memiliki sedikit banyak kualitas sebagai seorang politisi yaitu bermulut besar, berotak tumpul,
pendebat yang kompulsif, populis, sedikit licik, dan tak tahu malu, maka cita-citanya sangat
jelas: ia ingin jadi seorang wakil rakyat, anggota dewan.
Tak ada angin tak ada hujan, tanpa ragu dan malu-malu, Syahdan ingin menjadi aktor. Ia sedikit
pun tidak menunjukkan kapasitas atau bakat akting, bahkan dalam pertunjukan teater kelas kami
Syahdan tidak bisa memba-wakan peran apa pun yang mengandung dialog karena ia selalu
membuat kesalahan. Karena itu Mahar memberinya peran sederhana sebagai tukang kipas putri raja
yang selama pertunjukan tidak mengucapkan sepatah kata pun. Tugasnya hanya mengipas-ngipasi
sang putri dengan benda semacam ekor burung merak, itu pun masih sering tak becus ia lakukan.
Semua orang menyarankan agar Syahdan meninjau kembali cita-citanya tapi ia bergeming. Ia tak
peduli dengan segala cemoohan, ia ingin menjadi aktor, tak bisa diganggu gugat.
"Cita-cita adalah doa, Dan," begitulah nasihat bijak dariSahara. "Kalau Tuhan mengabulkan
doamu, dapatkah kaubayangkan apa jadinya dunia perfilmanIndonesia?"
Sedangkan Mahar sendiri mengaku bahwa ia mampu menerawang masa depannya. Dan dalam
terawangannya itu ia dengan yakin mengatakan bahwa setelah dewasa ia akan menjadi seorang
sutradara sekaligus seorang penasihat spiritual dan hypno therapis 1 1 e rn a m a.
Cita-cita yang paling sederhana adalah milik Samson. Ia memang sangat pesimis dan hanya ingin
menjadi tukang sobek karcis sekaligus sekuriti di Bioskop Kicong karena ia bisa dengan gratis
menonton film. Ia memang hobi menonton film. Selain itu profesi tersebut dapat memelihara citra
machonya. Adapun Trapani yang baik dan tampan ingin menjadi guru. Ketika kami tanyakan
kepada Harun apa cita-citanya ia menjawab kalau besar nanti ia ingin menjadiTrapani.
Semua ini gara-gara Lintang. Kalau tak ada Lintang mungkin kami tak 'kanberani bercita-cita.
Vang ada di kepala kami, dan di kepala setiap anak kampung di Belitong adalah jika selesai sekolah
lanjutan pertama atau menengah atas kami akan mendaftar menjadi tenaga langkong (calon karyawan
rendahan di PN Timah) dan akan bekerja bertahun-tahun sebagai buruh tambang lalu pensiun
sebagai kuli. Namun, Lintang memperlihatkan sebuah kemampuan luar biasa yang menyihir
kepercayaan diri kami. Ia membuka wawasan kami untuk melihat kemungkinan menjadi orang lain
meskipun kami dipenuhi keterbatasan. Lintang sendiri bercita-cita menjadi seorang matematikawan.
Jika ini tercapai ia akan menjadi orang Melayu pertama yang menjadi matematikawan,
indah sekali.
Pribadi yang positif, menurut buku, tidak boleh hanya memiliki satu rencana, tapi harus memiliki
rencana alternatif yang disebut dengan istilah yang sangat susah diucapkan, yaitu contingency
plan1. Rencana alternatif itu disebut juga rencana B. Rencana B tentu saja dibuat jika rencana A
gagal. Prosedurnya sederhana yakni: lupakan, tinggalkan, dan buang jauh-jauh rencana A dan
mulailah mencari minat dan kemampuan baru, setelah ditemukan maka ikuti lagi prosedur seperti
rencana A. Inilah buku resep kehidupan yang bukan main hebatnya hasil karya para pakar psikologi
praktis yang bersekongkol dengan para praktisi sumber daya manusia dan penerbit buku tentu saja.
Seorang pribadi yang efektif dan efisien harus sudah memiliki rencana A dan rencana B sebelum ia
keluar dari pekarangan rumahnya. Tapi aku tak tahan membayangkan rencana B dalam hidupku
karena selain bulu tangkis dan menulis aku tak punya kemampuan lain. Sebenarnya ada tapi
sungguh tak bisa dipertanggungjawabkan, yaitu kemampuan mengkhayal dan bermimpi, aku agak
malu mengakui ini. Aku tak punya kecerdasan seperti Lintang dan tak punya bakat seni seperti
Mahar. Aku berpikir keras untuk memformulasikan rencana B. Namun sangat berun-tung, setelah
berminggu-minggu melakukan perenungan akhir-nya tanpa disengaja aku mendapat inspirasi untuk
me-rumuskan sebuah rencana B yang hebat luar biasa.
Rencana B ku ini sangat istimewa karena aku tidak perlu meninggalkan rencana A. Para pakar
sendiri mungkin belum pernah berpikir sejauh ini. Rencana B-ku sifatnya menggabungkan minat
dan kemampuan yang ada pada rencana A. Intinya jika aku gagal meniti karier di bidang bulu
tangkis dan tak berhasil sebagai penulis sehingga semua penerbit hanya sudi menerima tulisanku
untuk dijual menjadi kertas kiloan, maka aku akan menempuh rencana B yaitu: aku akan menulis
tentang bulu tangkis!
Aku menghabiskan sekian banyak waktu untuk membuat rencana B ini agar sebaik rencana A,
yaitu sampai tahap-tahap yang paling teknis dan operasional. Oleh karena itu, aku telah punya
ancang-ancang judul bukuku, seluruhnya ada tiga yaituTATA CARA BERMAIIM BULU
TANGKIS, FAEDAH BULU TANGKIS, atauBULU TANGKIS UNTUK PERGAULAN.
Rencana B ini kuanggap sangat rasional karena aku telah melihat bagaimana pengaruh bulu tangkis
pada orang-orang Melayu pedalaman. Jika musim Thomas Cup atau All England maka di kampung
kami bulu tangkis bukan hanya sekadar olahraga tapi ia menjadi semacam budaya, semacam jalan
hidup, seperti sepak bola bagi rakyat Brasil. Pada musim itu ilalang tanah-tanah kosong dibabat,
pohon-pohon pinang ditumbangkan untuk dibelah dan dijadikan garis lapangan bulu tangkis, dan
gengsi kampung dipertaruhkan habis-habisan dalam pertandingan antardusun. Jika malam tiba
kampung menjelma menjadi semarak karena lampu petromaks menerangi arena-arena bulu tangkis
dan teriakan para penonton yang gegap gempita. Di sisi lain aku percaya bahwa ratusan kaum pria
yang tergila-gila pada bulu tangkis lalu pulang ke rumah kelelahan akan mengalihkan mereka dari
rutinas malam sehingga dapat menekan angka kelahiran anak-anak Melayu. Sungguh besar manfaat
bulu tangkis bagi kampung kami yang minim hiburan. Fenomena ini meyakinkanku bahwa
tulisanku tentang bulu tangkis akan mencapai suatu kedalaman dan kategori yang disebut para
sastrawan pintar zaman sekarang sebagai buku dalam genre humaniora!
Buku itu akan ditulis setelah melalui riset yang serius dan melibatkan studi literatur serta
wawancara yang luas. Jika beruntung aku akan mengusahakan agar mendapat semacam kata
pengantar sekapur sirih dari Ferry Sonneville dan dengan sedikit kerja sama dengan penerbit aku
sudah mengkhayalkan akan mendapat banyak komentar berisi pujian dari para pakar di sampul
belakang buku itu.
Misalnya Liem Swie King, ia akan berkomentar, "Ini adalah sebuah buku yang sangat bermanfaat
untuk meningkatkan kepercayaan diri, membangun network, dan menambah kawan."
Komentar Lius Pongoh agak lebih singkat: "Sebuah buku yang memberi pencerahan."
Seorang birokrat dari komite olah raga me-nyumbangkan pujian yang filosofis: "Belum pernah ada
buku olahraga ditulis seperti ini, penulisnya sangat memahami makna men sana incorpore sano."
Demikian pula pujian seorang seksolog yang gemar bermain bulu tangkis: "Buku wajib bagi Anda
yang memiliki kelebihan berat badan dan kesulitan membina hubungan."
Rudy Hartono memuji habis-habisan: "Sebuah buku yang menggetarkan!"
Sedangkan komentar dari Ivana Lie adalah:
BAB XXVI
Be There or Be Damned !
"APAKAH Ananda sudah memiliki rencana A dan rencana B?"
Itulah pertanyaan pertama Bu Mus kepada Mahar sekaligus awal pidato panjang untuk menasihati
tindakannya yang sudah keterlaluan. la sudah berbelok ke jalan gelap dunia hitam, ia harus segera
disadarkan. Pelajaran praktik olahraga yang sangat kami sukai dibatalkan. Semuanya harus masuk
kelas dalam rangka menghakimi Mahar dan mengembali- kannya ke jalan yang lurus. Layar pun
turun, rol-rol film drama diputar.
Mahar menunduk. Ia pemuda yang tampan, pintar, berseni, tapi keras pendiriannya.
"Ibunda, masa depan milik Tuhan .,„¦" Aku melihat cobaan yang dihadapi seorang guru. Wajah Bu
Mus redup. Seorang sahabat pernah mengatakan bahwa guru yang pertama kali membuka mata kita
akan huruf dan angka-angka sehingga kita pandai membaca dan menghitung tak 'kanputus-putus
pahalanya hingga akhir hayatnya. Aku setuju dengan pendapat itu. Dan tak hanya itu yang
dilakukan seorang guru. Ia juga membuka hati kita yang gelap gulita.
"Artinya Ananda tidak punya sebuah rencana yang positif, tak pernah lagi mau membaca buku dan
mengerjakan PR karena menghabiskan waktu untuk kegiatan perdukunan yang membelakangi ayatayat
Allah."
Bu Mus mulai terdengar seperti warta berita RRI pukul 7. Lintasan berita: "Nilai-nilai ulanganmu
merosot tajam. Kita akan segera menghadapi ulangan caturwulan ke tiga, setelah itu caturwulan
terakhir menghadapi Ebtanas. Nilaimu bahkan tak memenuhi syarat untuk melalui caturwulan tiga
ini. Jika nanti ujian antaramu masih seperti ini, Ibunda tidak akan mengizinkanmu ikut kelas
caturwulan terakhir. Itu artinya kamu tidak boleh ikut Ebtanas."
Ini mulai serius, Mahar tertunduk makin dalam. Kami diam mendengarkan dan khotbah berlanjut.
Berita utama: "Hiduplah hanya dari ajaran AlQur'an, hadist, dan sunatullah, itulah pokok-pokok
tuntunan Muhammadiyah. Insya Allah nanti setelah besar engkau akan dilimpahi rezeki yang halal
dan pendamping hidup yang sakinah."
Disambung berita penting: "Klenik, ilmu gaib, takhayul, paranormal, semuanya sangat dekat
dengan pemberhalaan. Syirik adalah larangan tertinggi dalam Islam. Ke mana semua kebajikan dari
pelajaran aqidah setiap Selasa? Ke mana semua hikmah dari pengalaman jahiliah masa lam-pau
dalam pelajaran tarikh Islam? Ke mana etika kemuhammadiyahan?"
Suasana kelas menjadi tegang. Kami harap
Mahar segera minta maaf dan menyatakan pertobatan tapi sungguh sial, ia malah menjawa
b dengan nada bantahan.
"Aku mencari hikmah dari dunia gelap Ibunda dan penasaran karena keingintahuan. Tuhan akan
memberiku pendamping dengan cara yang misterius ii
Kurang ajar betul, Bu Mus bersusah payah menahan emosinya. Aku tahu beliau sebenarnya ingin
langsung me-labrak Mahar. Air mukanya yang sabar menjadi merah. Beliau segera keluar ruangan
menenangkan dirinya.
Kami serentak menatap Mahar dengan tajam. Alis Sahara bertemu, tatapan matanya kejam sekali.
"Minta maafsana! Tak tahu diuntung!" hardikSahara.
Kucai selaku ketua kelas ambil bagian, suara-nya menggelegar, "Melawan guru sama hukumnya
dengan melawan orangtua, durhaka! Siksa dunia yang segera kauterima adalah burut! Pangkal
pahamu akan membesar seperti timun suri hingga langkahmu ngangkang!" Keras sekali Kucai
menghardik Mahar tapi yang dipelototinya Harun.
Wajah Mahar aneh. Ia seperti sangat menye-sal dan merasa bersalah tapi di sisi lain tampak yakin
bahwa ia sedang mempertahankan sebuah argumen yang benar, menurut versinya sendiri tentu saja.
Persis ketika kami ingin memprotes Mahar secara besar-besaran tiba-tiba Bu Mus masuk lagi ke
dalam ruangan dan menyemprotkan pokok berita, "Camkan ini anak muda, tidak ada
hikmah apa pun dari kemusyrikan, yang akan kau dapat dari praktikpraktik
klenik itu adalah kesesatan yang semakin lama semakin dalam karena
sifat syirik yang berlapis-lapis. Iblis mengipasngipasimu setiap kali kau kipasi bara api
kemenyan-kemenyan itu."
Mahar mengerut. la tampak sangat bersalah telah membuat ibunda gurunya muntab. Bu Mus
ternyata bisa juga emosi dan tak berhenti sampai di
situ, "Sekarang kau harus mengambil sikap karena ini
Belum selesai ultimatum itu tiba-tiba terde-ngar assalamu'alaikum . Bu Mus menjawab dan
mempersilakan masuk kepala sekolah kami, seorang bapak berwajah penting, dan seorang anak
perempuan tapi seperti laki-laki. Anak perempuan ini berpostur tinggi, dadanya rata, pantatnya juga
rata. la seperti sekeping papan Sepatunya bot Wrangler navigator yang mahal dan itu adalah sepatu
laki-laki. Kaus kakinya lucu, berwarna-warni meriah berlapis-lapis seperti sarang lebah dan
menutupi tempurung lutut. la jelas bukan orang Muhammadiyah karena semua wanita Muhammadiyah
berjilbab. la memakai rok besar dari bahan wol bermotif kotak-kotak besar merah seperti kilt
orang-orang Skotlandia. Kilt itu menutupi ujung atas kaus kakinya tadi sehingga tak ada sedikit pun
celah kulit kakinya yang terbuka. Rambutnya pendek, kulitnya putih bersih sangat halus, dan
wajahnya cantik. Secara umum ia tampak seperti seorang pemuda Skotlandia yang imut.
Bapak berwajah orang penting tadi berusaha tersenyum ramah.
"Ini anak saya, Flo," katanya pelan-pelan.
"Dia sudah tidak ingin lagi sekolah di sekolah PN dan sudah membolos dua minggu. Dia bersikeras
hanya ingin sekolah di sini."
Orang penting ini menggaruk-garuk kepalanya. Setiap kata-katanya adalah batu berat puluhan kilo
yang ia seret satu per satu. Nada bicaranya jelas sekali seperti orang yang sudah kehabisan akal
mengatasi anaknya itu. Kami semua termasuk kepala sekolah tersipu menahan tawa. Bu Mus yang
baru saja marah juga tersenyum. Sebuah senyum terpaksa karena kami semua sudah tahu reputasi
Flo. Beliau sudah pusing tujuh keliling menghadapi Mahar dan sekarang harus ditambah lagi satu
anak setengah laki-laki setengah perempuan yang sudah pasti tak bisa diatur! Hari ini adalah hari
yang sial dalam hidup Bu Mus.
Flo sendiri acuh tak acuh, ia tak tersenyum dan hanya menatap bapaknya. Anak cantik ini
berkarakter tegas, pasti, tahu persis apa yang ia inginkan, dan tak pernah ragu-ragu, sebuah
gambaran sikap yang mengesankan. Bapak-nya juga menatap anaknya, suatu tatapan penuh
kekalahan yang pedih. Lalu bapaknya melihat sekeliling ruangan kelas kami yang seperti ruang
interogasi tentara Jepang, tatapannya semakin pedih. Dengan pasrah ia menyampaikan ini.
"Maka saya serahkan anak saya pada Ibu, jika ia menyulitkan, Bapak Kepala Sekolah sudah tahu di
mana harus menemui saya. Menyesal harus saya sampaikan bahwa ia pasti akan menyulitkan."
Kami tertawa dan bapaknya tersenyum pahit. Flo masih cuek seolah semua kata-kata itu tak ada
maknanya, laksana angin lewat saja. Kepala Sekolah dan orang penting itu mohon diri. Kepala
Sekolah kami tersenyum simpul sambil memandang Bu Mus penuh arti.
Bu Mus memandangi Flo dari samping Mahar yang baru saja dimarahinya habis-habisan dan Flo
yang berandal berdiri tegak di depan kelas seperti orang mengambil pose untuk peragaan kaus kaki
Italia model terbaru. Meskipun seperti laki-laki tapi ia sesungguhnya gadis remaja yang menawan,
dan kulitnya indah luar biasa. Di kelas ini ia laksana Winona Ryder yang diutus UNICEF untuk
membesarkan hati para penderita lepra di sebuah kampung kumuh diSudan.
Flo menyilangkan kakinya, bahunya yang ku-rus bidang mekar seperti memiliki bantalan di
pundak-pundaknya. Ia sangat memesona. Semua mata menghunjam ke arahnya. Sebuah pemandangan
yang tak biasa. Jika diamati dengan saksama, di balik kedua bola matanya yang gelap coklat
seperti buah hamlam tersembunyi kebaikan yang sangat besar.
Semuanya diam, Flo juga diam. Kami berharap Flo akan memecah kekakuan dengan memperkenalkan
dirinya. Tapi ia tak melakukan itu dan Bu Mus juga tak memintanya mengenalkan diri
karena dua alasan: Flo jelas tak senang dengan formalitas,
kedua: siapa yang tak kenal Flo? Namanya melambung gara-gara hilang di Gunung Selumar tempo
hari dan reputasinya semakin top karena baru-baru ini menjuarai pertarungan kick boxing. Ia
mengKO hampir seluruh lawannya padahal ia satu-satunya petarung wanita. Maka Bu Mus
mengambil inisiatif sambil tersenyum bersahabat.
"Baiklah, selamat datang di kelas kami, setelah ini pelajaran kemuhammadiyahan, silakan Ananda
duduk disanadenganSahara"
Saharasenang bukan main karena selama sembilan tahun hanya ia satu-satunya wanita di kelas
kami. Selama ini ia duduk sendirian dan sekarang ia akan punya teman sesama jenis. Ia mengusapusap
kursi kosong di sampingnya dan menampilkan bahasa tubuh selamat datang. Tapi di luar
dugaan ternyata Flo tak beranjak Wajahnya tak menunjukkan minat sama sekali. Dia membatu dan
meman-dang jauh ke luar jendela. Kami bingung, lalu Flo kembali meman-dang kami dan kami
terkejut ketika dengan pasti ia menun-juk Tarapani sambil bersabda:
"Aku hanya ingin duduk di samping Mahar!" Luar biasa! Kalimat pertama yang meluncur dari
mulut kecil makmurnya itu setelah baru saja beberapa menit menginjakkan kaki di sekolah
Muhammadiyah adalah sebuah pembangkangan! Pembangkangan bukanlah hal yang biasa di
perguruan kami. Kami tak pernah sekali pun dengan sengaja menyatakan pembangkangan, kami
bahkan memanggil guru kami ibunda guru.
Kami terperanjat, demikian pula Bu Mus. Air muka sabarnya menjadi keruh. Baru saja beliau
memikir-kan kemungkinan kerusakan etika Muhammadiyah yang akan dibuat Mahar dan murid
baru separuh pria ini, tiba-tiba sekarang dua ekor angin tornado ini ingin bersekutu. Berat sekali
cobaan hidup Bu Mus. Wajah Bu Mus sembap. Flo menunjukkan wajah tak mau berkompromi dan
Bu Mus sudah tahu bahwa percuma melawan dia. Lagi pula bagi Flo dirinya bukanlah wanita, maka
ia tak mau duduk denganSahara. Di sisi lain ia menganggapTrapaniharus mengalah karena ia adalah
seorang wanita. Transeksual memang sering membingungkan.
Trapanikebingungan karena dia sudah sembilan tahun terbiasa duduk sebangku dengan Mahar dan
Bu Mus harus mengambil keputusan yang sulit. Beliau memberi isyarat padaTrapaniagar lungsur.
Flo menghambur ke kursi bekasTrapanidi samping Mahar. Mahar serta-merta mengeluarkan tiga
ma-cam sikap khasnya yang menyebalkan: menaikkan alis, mengangkat bahu, dan menganggukangguk.
Kami muak melihatnya tapi ia tampak senang bukan main. Seperti dugaannya, Tuhan telah
memberinya pendamping secara misterius. Sebuah doa yang langsung dikabulkan di tempat.
Bajingan kecil itu memang selalu beruntung. Sebaliknya,Trapanikehilangan teman sebangku dan ia
sekarang harus duduk denganSaharayang temperamental.Saharasendiri sangat tidak suka
menerimaTrapani. Ia mengaum, alisnya bertemu.
Flo tampak kaku duduk di kelas kami dan seluruh ruangan itu sama sekali tidak merepre-sentasikan
setiap jenis sandang yang dikena-kannya. Kelas rombeng ini juga tak cocok dengan kulit putih dan
raut mukanya yang penuh sinar kekayaan. Apa yang dicari anak kaya ini di sekolah miskin yang tak
punya apa-apa? Mengapa ia ingin menukar gemerlap sekolah PN dengan sekolah gudang kopra?
Buah khuldi di pekarangan siapa yang telah dimakannya sehingga dia terusir dari
tamanedenGedong?
Tidak, ia tidak dicampakkan oleh sekolah PN tapi ia sengaja ingin pindah ke sekolah
Muhammadiyah
atas kemauan sendiri, tanpa tekanan dari pihak mana pun dan dalam keadaan
sehat walafiat jasmani dan rohani, hanya pikirannya saja yang sedikit kacau.
Pada hari-hari pertama kami terkagum-kagum dengan berbagai perlengkapan sekolahnya yang
menurut ia biasa saja. Ia memiliki enam macam tas yang dipakai berbeda-beda setiap hari. Tas hari
Jumat paling menarik karena ber-umbai-rumbai seperti tas Indian. Ia juga memiliki banyak kotak.
Kotak khusus untuk beragam penggaris: ada penggaris busur, penggaris segitiga, penggaris siku,
dan beragam ukuran penggaris segi empat. Kotak lainnya berisi jangka-jangka kecil, berbagai jenis
pensil, pulpen, dan penghapus seperti kue lapis yang dapat menimbulkan rasa lapar. Lalu ada
serutan yang lucu serta sapu tangan handuk kecil di dalam tas rajutan ibunya.
Di dalam tas rajutan kecil itu ada berjejal-jejal uang kertas yang dimasukkan dengan sembrono
oleh Flo. Jika ia membuka tas itu sering kali uang tadi berjatuhan ke lantai. Jumlah uang itu
semakin hari semakin banyak dan membuat tasnya menjadi gendut. Flo tidak bisa membelanjakan
uang itu di sekolah Muhammadiyah karena tak ada yang bisa dibeli. Uang itu memiliki nama yang
sangat asing bagi kami: uang saku. Sesuatu yang seumur-umur tak pernah kami dapat-kan dari
orangtua kami.
Sebagian besar benda-benda itu belum pernah kami lihat. Ia amat berbeda dengan kami dalam
semua hal. Ia seumpama bangau Hokaido yang anggun tersasar ke kandang itik. Setiap pagi ia
diantar sopirnya dengan sebuah mobil mewah tentu saja setelah ia sarapan dari semacam benda
yang dapat membuat roti meloncat.
Sejak kami menjadi pahlawan kesiangan yang menemukan Flo ketika ia hilang di Gunung Selumar
tempo hari ia memang telah mengenal kami, terutama Mahar dan reputasinya. Flo hengkang dari
sekolah PN karena didorong oleh kepribadiannya yang pembosan, cenderung antikemapanan,
tergila-gila dengan pemberontakan, dan keinginannya menjadi anggota Laskar Pelangi yang unik.
Tapi ada alasan lain yang tak banyak orang tahu, dan ini agak berbahaya, yaitu ia tergila-gila pada
Mahar. Ia mengagumi Mahar bukan sebagai pribadi tapi sebagai seorang profesional muda
perdukunan.
Karena orangnya memang ekstrovert dan ber-pikiran terbuka maka kami segera akrab dengan Flo.
Pada sebuah sore yang dingin setelah hujan lebat Flo kami inisiasi di dahan tertinggi filicium dan
sejak sore itu ia resmi kami bai'at sebagai anggota Laskar Pelangi. Saat pelangi melingkar dan
guruh bersahut-sahutan membahana di atas langitBelitong Timur,iamengucapkan janji setia
persaudaraan.
Ternyata Flo adalah pribadi yang sangat menyenangkan. Ia memiliki kemampuan beradaptasi yang
luar biasa. Ia cantik dan sangat rendah hati, sehingga kami betah di dekatnya. Ia tak pernah segan
menolong dan selalu rela berkorban. Terbukti bahwa di balik sifatnya keras kepala tersimpan
kebaikan hati yang besar.
Aneh, di sekolah Muhammadiyah yang tak punya fasilitas apa pun Flo sangat
bersemangat.Adasesuatu yang menggerakkannya. Ia tak pernah sehari pun bolos dan bersikap
sangat santun kepada para pengajar. Konon bapaknya sampai mengucapkan terima kasih kepada
kepala sekolah kami dan Bu Mus. Ia datang lebih pagi dari siapa pun, menyapu seluruh sekolah,
menimba berember-ember air dan menyiram bunga tanpa diminta. Sekolah ini adalah jembatan jiwa
baginya.
Flo sangat dekat dengan Mahar. Mereka saling tergantung dan saling melindungi. Hubungan
mereka sangat unik. Dengan bersama Mahar dan berada di sekolah Muhammadiyah Flo seperti
berada di dunia yang memang diidamkannya selama ini. Ia seperti orang yang telah menemukan
identitas setelah bersusah payah mencarinya melalui pemberontak-an-pemberontakan sinting.
Demikian pula Mahar, ia merasa menemukan satu-satunya orang yang memahaminya, tak pernah
melecehkannya, dan menghargai setiap kelakuan anehnya. Maka mereka seperti Star sky and Hutch
atau Harley Davidson and The Marlboro Man, gandeng renteng kesanakemari persisTrapanidan
ibunya.
Mahar benar-benar telah mendapatkan pen-damping. Mereka sering tampak berduaan, berbicara,
bertukar pikiran sampai berjam-jam. Orang yang melihatnya akan menyangka mereka berpacaran.
Seorang pemuda tampan dan seorang anak gadis cantik yang tomboi, siang malam tak terpisahkan.
Saling tergila-gila, serasi sekali. Tapi kenyataannya mereka sama sekali tidak punya hubungan
emosional semacam itu. Mereka memang tergila-gila tapi kekasih hati mereka adalah dunia gelap
mistik dan klenik.
Dunia gelap itulah yang memicu adrenalin Flo dan itu jugalah salah satu tujuannya mendekati
Mahar. Berbeda dengan A Kiong yang juga mengabdi kepada Mahar tapi memosisikan diri sebagai
murid, Flo sebaliknya memosisikan diri sebagai rekan. Persekutuan mereka membawa kemajuan
yang pesat dalam elaborasi dunia metafisik karena ditunjang oleh sumber daya yang dimiliki Flo.
Mereka mempelajari dengan saksama fenomena-fenomena aneh melalui majalah-majalah luar
negeri dan buku-buku ilmiah karangan psychist ternama. Kalau dulu Mahar berurusan dengan
primbon atau prasasti dan istilah-istilah kuntilanak, jenglot, Dalbho anak genderuwo, dan pocong,
sekarang referensinya meningkat menjadi paranormal-phernalia, UFO codes, science fictions news,
dan The Anomaiist, dan bicaranya juga menjadi lebih maju dan keren, kalau dulu kemenyan, tuyul,
kerasukan setan, dan santet, sekarang menjadi istilah-istilah paranormal asing seperti exorcism,
clairevoyance, sightings, dan poltergeist.
Mahar tertarik pada mitologi, hubungan supranatural dengan antropologi, sejarah, cerita rakyat,
arkeologi, kekuatan penyembuhan, ilmu-ilmu purba, ritual, dan kepercayaan berhala. Maka sedikit
banyak ia menganggap dirinya seorang ilmuwan supranatural. Sebaliknya, Flo adalah petualang
sejati. Ia kurang tertarik dengan aspek ilmu dan keyakinan dalam kejadian-kejadian mistik tapi ia
ingin mengalami manifestasi berbagai teori dan fenomena magis dalam praktik. Karena tujuan
utama pendalaman mistik Flo adalah untuk menguji dirinya sendiri, sampai sejauh mana ia bisa
menoleransi rasa takutnya. Ia kecanduan getar-getar mara bahaya dunia lain. Flo sedikit lebih parah
sintingnya dibanding Mahar.
Maka untuk merealisasikan semua tujuan itu dan untuk menikmati hobinya, mereka berdua
menyusun sebuah rencana sistematis. Langkah awal mereka adalah membentuk sebuah organisasi
rahasia para penggemar paranormal. Setelah kasakkusuk
sekian lama, tak dinyana ternyata mereka mampu menemukan anggota-anggota se-paham
yang sangat antusias. Mereka membentuk sebuah perkumpulan yang disebut Societeit de Limpai
dan melakukan pertemuan rutin serta aktivitas perklenikan secara diam-diam.
Semakin lama aktivitas itu semakin tinggi dan tak jarang melibatkan perjalanan yang jauh. Tak
terbayangkan ke mana keingintahuan dapat membawa manusia: ke gunung tertinggi, ke gua yang
gelap, melintasipadang, menuruni ngarai, me-nyeberangi lumpur, sungai, dan laut. Sing-kat-nya,
organisasi bawah tanah ini sangat sibuk dan menuntut pengadministrasian jadwal, dana, dan
properti sehingga mereka membutuhkan bantuan seorang sekretaris merangkap bendahara!
Ketika aku ditawari posisi itu, aku segera menyambarnya. Meskipun tidak ada honornya sepeser
pun tapi aku merasa terhormat menjadi seorang sekretaris dari sebuah gerombolan orang-orang
yang bersahabat dengan hantu. Aku juga bangga karena jabatan itu menunjukkan bahwa aku punya
cukup integritas untuk memegang uang, artinya paling tidak aku bisa dipercaya walaupun hanya
dipercaya oleh orang-orang yang sudah tidak lurus pikirannya.
Tugasku sederhana dan cukup diatur melalui sebuah buku register. Tugas tersebut adalah mencatat
iuran anggota, menyimpan uangnya, dan mencatat barang-barang pribadi milik anggota yang akan
dijual atau digadaikan guna membeli peralatan dan membiayai ekspedisi. Tugas lainnya adalah
mengatur pertemuan rahasia. Biasanya undangan dibuat oleh bosku, Mahar atau Flo, dan aku harus
mengedarkannya pada seluruh anggota. Seperti sore ini misalnya, Flo menyerahkan undangan
padaku, isinya:
Rapat mendesak, Los V/B pasar ikan, Pk. 7
tepat.
Be thereor be damned!
BAB XXVII
Detik-Detik Kebenaran
DAL AM sebuah bangunan berarsitektur art deco, di ruangan oval yang ingar-bingar, kami
terpojok: aku,Sahara, dan Lintang.
Kembali kami berada dalam sebuah situasi yang mempertaruhkan reputasi. Lom-ba kecerdasan.
Dan kami berkecil hati melihat murid-murid negeri dan sekolah PN membawa buku-buku teks yang
belum pernah kami lihat. Tebal berkilat-kilat dengan sampul berwarna-warni, pasti buku-buku
mahal. Sebagian peserta berteriak-teriak keras menghafal-kan nama-nama kantor berita.
Risikonya tentu jauh lebih besar dari karnaval dulu. Lomba kecerdasan adalah arena terbuka untuk
mempertontonkan kecerdasan, atau jika sedang bernasib sial, mempertontonkan ketololan yang tak
terkira. Dan semua nasib sial itu akan ditanggung langsung oleh aku,Sahara, dan Lintang. Kami
adalah regu F pada lomba memencet tombol ini. Bagaimana kalau kami tak mampu menjawab dan
hanya membawa pulang angka nol?
Persoalan klasiknya adalah kepercayaan diri. Inilah problem utama jika berasal dari lingkungan
marginal dan mencoba bersaing. Kami telah dipersiapkan dengan baik oleh Bu Mus. Beliau
memang menaruh harapan besar pada lomba ini lebih dari beliau berharap waktu kami karnaval
dulu. Bu Mus pontang-panting mengumpulkan contoh-contoh soal dan bekerja sangat keras melatih
kami dari pagi sampai sore. Bu Mus melihat lomba ini sebagai media yang sempurna untuk
menaikkan martabat sekolah Muhammadiyah yang bertahun-tahun selalu diremehkan. Bu Mus
sudah bosan dihina. Sayangnya sekeras apa pun beliau membuat kami pintar dan menguatkan
mental kami, mendorong-dorong, membujuk, dan mengajari kami agar tegar, kami tetap gugup.
Semua yang telah dihafalkan berminggu-minggu lenyap seketika, jalan pikiran menjadi buntu. Aku
berusaha menenangkan diri dengan membayangkan duduk bersemadi di ataspadangrumput hijau di
tempat yang paling tenang dalam imajinasiku: Edensor, tapi upaya ini juga gagal.
"Persetan kepercayaan diri, pokoknya dengar pertanyaannya baik-baik, pencet tombolnya cepatcepat,
dan jawab dengan benar," demikian kataku.Saharamengangguk, Lintang tak peduli.
Kami duduk menghadapi sebuah meja mahoni yang besar, panjang, indah, dan dingin. Seluruh
teman sekelasku dan guru-guru hadir untuk menyemangati kami. Ruangan penuh sesak oleh para
pendukung setiap sekolah. Aku, Lintang, danSaharamengerut di balik meja itu. Kami berpakaian
amat sederhana dan sepatu cunghai Lintang masih menebarkan bau hangus.
Pendukung yang paling dominan tentu saja pendukung sekolah PN. Jumlahnya ratusan dan
menggunakan seragam khusus dengan tulisan mencolok di punggungnya: VINI, VIDI, VICI,
artinya AKU DATANG, AKU LIHAT, AKU MENANG. Benar-benar menjatuhkan mental lawan.
Sekolah PN mengirim tiga regu, masing-masing regu A, B, dan C. Anggota regu itu adalah yang
terbaik dari yang terbaik. Mereka diseleksi secara khusus dengan amat ketat dan standar yang
sangat tinggi. Beberapa peserta itu pernah menjuarai lomba cerdas cermat tingkat provinsi bahkan
ada yang telah dikirim untuk tingkat nasional. Pakaian anggota regu juga sangat berbeda. Mereka
mengenakan jas warna biru gelap yang indah, sepatu yang seragam dengan celana panjang
berwarna serasi, dan mereka berdasi.
Tahun ini mereka dipersiapkan lebih matang, sistematis, dan secara amat ilmiah oleh seorang guru
muda yang terkenal karena kepandaiannya. Guru ini membuat simulasi situasi lomba sesungguhnya
dengan bel, dewan juri, stop watch, dan antisipasi variasi-variasi soal. Guru yang cemerlang ini
baru saja mengajar di PN, dulu ia bekerja di sebuah perusahaan asing di unit riset dan
pengembangan kemudian ditawari mengajar di PN dengan gaji berlipat-lipat dan janji beasiswa S2
dan S3. Ia lulus cum laude dari Fakultas MIPA sebuah universitas negeri ternama. Tahun ini ia
terpilih sebagai guru teladan provinsi. Ia mengajar fisika, Drs. Zulfikar, itulah namanya.
Pendukung kami dipimpin oleh Mahar dan Flo. Meskipun hanya berjumlah sedikit tapi semangat
mereka menggebu. Mereka membawa dua buah bendera besar Muhammadiyah yang telah lapuk
dan berbagai macam tabuh-tabuhannya seperti para suporter sepak bola.Parapelajar PN yang
menganggap Flo pengkhianat melirik kejam pada-nya, tapi seperti Lintang, Flo juga tak peduli.
Walaupun besar sekali kemungkinan tim kami dipermalukan oleh kecerdasan tim PN dalam lomba
ini, tapi Flo tak ragu sedikit pun membela habis-habisan sekolahnya, sekolah kampung
Muhammadiyah.
Di antara pendukung kami adaTrapanidan ibunya, kedua anak beranak ini saling bergandengan
tangan. Aku melihat pelajar-pelajar wanita berbisik-bisik, tertawa cekikikan, dan terus-menerus
melirik-nya karena semakin remajaTrapanisemakin tampan. la ramping, berkulit putih bersih,
tinggi, berambut hitam lebat, di wajahnya mulai tumbuh kumis-kumis tipis, dan matanya seperti
buah kenari muda: teduh, dingin, dan dalam.
Sesungguhnya dalam seleksi tim yang akan mewakili sekolah kamiTrapanitelah terpilih. Skornya
lebih tinggi dibanding skorSaharanamun nilai geografinya lebih rendah. Kekuatan tim kami adalah
matematika, hitungan-hitungan IPA, biologi, dan bahasa Inggris yang semuanya tak diragukan ada
di tangan Lintang. Aku agak baik pada bidangbidang
kewarganegaraan, tarikh Islam, fikih, budipekerti, dan sedikit bahasaIndonesia. Yang
paling lemah dalam tim kami adalah geografi dan ahli geografi kami adalahSahara. Maka demi
kekuatan timTrapanidengan lapang dada memberi kesem-patan padaSaharauntuk
tampil.Trapaniadalah pria muda yang amat tampan dan berjiwa besar.
"Tabahkan hatimu, Ikal ...," itulah nasihatTrapanipelan
padaku.
Sementara di meja mahoni yang megah itu Lintang diam seribu bahasa, kelelahan, selayaknya
orang yang memikul seluruh beban pertaruhan nama baik. Aku tak henti-henti berkipas, bukan
kepanasan, tapi hatiku mendidih karena gentar. Tak pernah sekali pun sekolah kampung menang
dalam lomba ini, bahkan untuk diundang saja sudah merupakan kehormatan besar.
Lintang sudah membatu sejak subuh tadi. Di atas truk terbuka yang membawa kami ke
ibukotakabupaten ini,Tanjong Pandan,iamembisu seperti orang sakit gigi parah. Ia memandang
jauh. Tak mampu kuartikan apa yang berkecamuk di dadanya. Ayah, Ibu, dan adik-adiknya juga
ikut. Mereka, termasuk Lintang, baru pertama kali ini pergi ke Tanjong Pandan.
Saharaduduk di tengah. Aku dan Lintang di samping kiri dan kanannya. Ekspresi Lintang datar, ia
tersandar lesu tanpa minat. Agaknya ia demikian minder, berkecil hati, dan malu berada di
lingkungan yang sama sekali asing baginya. Ia hanya menatap Ayah, Ibu, dan adik-adiknya yang
berpakaian amat sederhana, duduk saling merapatkan diri di pojok, tampak bingung dalam suasana
yang hiruk pikuk. Aku mencoba berkonsentrasi tapi gagal. Lintang danSaharasudah tak bisa
diharapkan.
Kulihat tangan para peserta lain mulai meraba tombol di depan mereka, siap
menyalak.Saharakelihatan pucat, seperti orang bingung. la yang telah ditugasi dan dilatih khusus
memencet tombol sedikit pun tak mampu mendekatkan jarinya ke benda bulat itu. la sudah pasrah
atas kemungkinan kalah mutlak.Saharamengalami demam panggung tingkat gawat. Sementara
otakku tak bisa lagi dipakai untuk berpikir. Keributan yang terjadi ketika peserta lain mencoba-coba
tombol dan mikrofon terdengar bagaikan teror bagi kami. Kami tak sedikit pun mencoba bendabenda
itu. Kami sudah kalah sebelum bertanding.Parapendukung Muhamma-diyah membaca
kegentaran kami. Mereka tampak prihatin.
Suasana semakin tegang ketika ketua dewan juri bangkit dari tempat duduknya, memperkenalkan
diri, dan menyatakan lomba dimulai. Jantungku berdegup kencang,Saharapucat pasi, dan Lintang
tetap diam misterius, ia bahkan memalingkan wajah keluar melalui jendela.
Dan inilah detik-detik kebenaran itu. Pertanya-an ditujukan kepada semua peserta yang harus
berlomba cepat memencet tombol agar dapat menjawab dan jika keliru akan kena denda. Aku tak
berani melihat para penonton. Dan Bu Mus tak berani melihat wajah kami. Wajahnya dipalingkan
ke lampu besar di tengah ruangan yang berjuntai-juntai laksana raja gurita. Baginya ini adalah
peristiwa terpenting selamalimabelas tahun karier mengajarnya. Beliau benar-benar menginginkan
kami menang dalam lomba ini, karena beliau tahu lomba ini sangat penting artinya bagi sekolah
kampung seperti Muhammadiyah. Wajahnya kusut menang-gung beban, mungkin beliau juga telah
bosan bertahun-tahun selalu diremehkan.
Tak lama kemudian seorang wanita anggun yang bergaun jas cantik berwarna merah muda berdiri.
Beliau meminta penonton agar tenang karena beliau akan mengajukan pertanyaan. Suaranya indah,
bertimbre berat, dan tegas seperti penyiar RRI.
Wanita itu mendekatkan wajahnya pada mikrofon
dan menegakkan lembaran kertas di depannya
seperti orang akan membaca Pancasila. Detik-detik kebenaran yang hakiki dan men-cemaskan
tergelar di depan kami. Seluruh peserta memasang telinga baik-baik, siap menyambar tombol, dan
siaga mendengar berondongan pertanyaan.
Suasana mencekam ....
Pertanyaan pertama bergema.
"Ia seorang wanita Prancis, antara mitos dan realita ...."
Kring! Kriiiiiiiingggg! Kriiiiiiiiiiiiinnnggggg!
Wanita anggun itu tersentak kaget karena pertanya-annya secara mendadak dipotong oleh suara
sebuah tombol meraung-raung tak sabar. Aku danSaharajuga terperanjat tak alang kepalang
karena baru saja sepotong lengan kasar dengan kecepatan kilat menyambar tombol di depan kami,
tangan Lintang!
"Regu F!" kata seorang pria anggota dewan juri lainnya. Wajahnya seperti almarhum Benyamin S.
la memakai jas dan dasi kupu-kupu.
"Joan D'Arch,Loire Valley,France!" jawab Lintang
membahana, tanpa berkedip, tanpa keraguan
sedikit pun, dengan logat Prancis yang sengau-sengau aduhai.
"Seratusss!" Benyamin S. tadi membalas disam-but tepuk tangan gemuruh para penonton. Kulihat
bendera Muhammadiyah berkibar-kibar.
"Pertanyaan kedua: Terjemahkan dalam kalimat integral dan hitung luas wilayah yang dibatasai
oleh y = 2x dan x = 5."
Lintang kembali menyambar tombol secepat kilat
dan jawabannya serta-merta memecah ruangan.
"Integral batas 5 dan 0, 2x minus x kali dx, hasilnya: dua belas komalima!"
Luar biasa! tanpa ada kesangsian, tanpa membuat catatan apa pun, kurang dari 5 detik, tanpa
membuat kesalahan sedikit pun, dan nyaris tanpa berkedip.
"Seratussssss!" lengking Benyamin S. Mendengar lengkingan Benyamin S. pendukung kami
melonjak-lonjak seperti orang kesurupan. Suara mereka huh rendah laksana kawanan kum-bang
kawin. Flo melompat-lompat sambil menge-luarkan jurus-jurus kick boxing.
"Pertanyaan ketiga: Hitunglah luas dalam jarak integral 3 dan 0 untuk sebuah fungsi 6 plus Sx
minus x pangkat 2 minus 4 x."
Lintang memejamkan matanya sebentar, ia tak membuat catatan apa pun, semua orang
memandangnya dengan tegang, lalu kurang dari 7 detik kembali ia melolong.
"Tiga belas setengah!"
Tak sebiji pun meleset, tak ada ketergesa-gesaan, tak ada keraguan sedikit pun.
"Seratusssss!" balas Benyamin S. sambil menggeleng-gelengkan kepalanya karena takjub melihat
kecepatan daya pikir Lintang. Pendukung kami bersorak sorai histeris gegap gempita. Mereka
mendesak maju karena perlombaan semakin seru. Ayah, Ibu, dan adik-adik Lintang berusaha
berdiri dan bergabung dengan pendukung kami yang lain. Mereka tersenyum lebar dan kulihat ayah
Lintang, pria cemara angin itu, wajahnya berseri-seri penuh kebanggaan pada anaknya, matanya
yang kuning keruh berkaca-kaca.
Sementara para peserta lain terpana dan berkecil hati. Lintang menjawab kontan, bahkan ketika
mereka belum selesai menulis soal itu dalam kertas catatan yang disedia-kan panitia. Beberapa di
antaranya membanting pensil tanpa ampun.Trapaniyang kalem mengangguk-angguk pelan. Pak
Harfan bertepuk tangan girang sekali seperti anak kecil, wajahnya menoleh kesanakemari. "Lihatlah
murid-muridku, ini baru murid-muridku ...," itu mungkin makna ekspresi wajahnya. Bu Mus
bergerak maju ke depan, wajah kusutnya telah sirna menjadi cerah. Sekarang beliau berani
mengangkat wajahnya, matanya juga berkaca-kaca dan bibirnya bergumam, "Subhanallah,
subhanallah ……."
Ibu jas merah muda berupaya keras mene-nangkan penonton yang riuh dan berdecak-decak kagum,
terutama menenangkan pendukung kami yang tak bisa menguasai diri. Beliau melanjutkan
pertanyaan.
"Selain menggunakan teknik radiocarbon untuk
menentukan usia sebuah temuan arkeologi, para ahli juga .,…"
Kring! Khiiiiiiingggg!
Kembali Lintang mengamuk, dan ia menjawab lantang.
"Thermoiuminescent dating1.Penentuan usia melalui pelepasan energi sinar dalam suhu panas!"
"Seratussss!"
Berikutnya hanyalah kejadian yang persis sa-ma dengan pertanyaan itu. Wanita cantik berjas merah
muda itu tak pernah sempat menyelesaikan pertanyaannya. Lintang menyambar setiap soal tanpa
memberikan kesempatan sekali pun pada peserta lain.
Ratusan penonton terkagum-kagum. Warga Muhammadiyah di ruangan itu berjingkrak-jingkrak
sambil saling memeluk pundak. Vang paling bahagia adalah Harun. Dia memang senang dengan
keramaian. Aku melihatnya bertepuk-tangan tak henti-henti, berteriak-teriak memberi semangat,
tapi wajahnya tak melihat ke arah kami, ia menoleh keluar jendela. Kiranya ia sedang memberi
semangat kepada sekelompok anak perempuan yang sedang bermain kasti di halaman.
Di tengah hiruk pikuk para penonton aku sempat
mendengar jawaban-jawaban tangkas Lintang:
"Vincent Van Gogh, menyasszonytanc , The Hunch back of Notredame, paradoks air, Edgar Alan
Poe, medula spinalis, Dian Fossey, artropoda, 300 ribu kilometer per detik. Basedow, dacty/orhiza
mocu-iata, ancyostoma duodenaie, Stone Henge, Platy-helminthes, endoskeleton, Serebrum,
Langerhans, fiuoxetine hydrochioride, 8,5 menit cahaya, extremely low frequency, molekul chirai
...."
Ia tak terbendung, aku merinding melihat kecerdasan sahabatku ini. Peserta lain terpesona
dibuatnya. Mereka seperti terbius sebuah kharisma kuat kecerdasan murni dari seorang anak
Melayu pedalaman miskin, murid sekolah kampung Muhammadiyah yang berambut keriting merah
tak terawat dan tinggal di rumah kayu doyong beratap daun nun jauh terpencil di pesisir.
Parapeserta sekolah PN merasa geram karena tak kebagian satu pun jawaban. Maka mereka
mencoba berspekulasi. Tujuannya bukan untuk menjawab tapi untuk menjegal Lintang. Mereka
berusaha secara tidak rasional memencet tombol secepat mungkin. Sebuah tindakan tolol yang
berakibat denda karena tak mampu menginter-pretasikan seluruh konteks pertanyaan. Sedangkan
Lintang, seperti dulu pernah kuceritakan, anak ajaib kuli kopra ini, memiliki kemampuan yang
menga-gumkan untuk menebak isi kepala orang.
Dominasi Lintang membuat beberapa penonton terusik egonya dan penasaran ingin menguji
Einstein kecil ini maka insiden pun terjadi. Ketika itu juri menanyakan:
"Terobosan pemahaman ilmiah terhadap konsep warna pada awal abad ke-16 memulai penelitian
yang intens di bidang optik. Ketika itu banyak ilmuwan yang percaya bahwa campuran cahaya dan
kegelapanlah yang menciptakan warna, sebuah pendapat yang rupanya keliru. Kekeliruan itu
dibuktikan dengan memantulkan cahaya pada sekeping lensa cekung .,„¦"
Khiiiiing! Kriiiiing! Kring! Lintang menyalak-nyalak.
"Cincin Newton!"
"Seratussss!"
Sekali lagi suporter kami bergemuruh jumpali-tan, tapi tiba-tiba seseorang di antara penonton
menyela, "Saudara ketua! Saudara ketua! Saudara ketua dewan juri! Saya kira pertanyaan dan
jawaban itu keliru besar!"
Seluruh hadirin sontak diam dan melihat ke a-rah seorang pemuda yang kecewa ini. Oh, Drs.
Zulfikar, guru fisika teladan dari sekolah PN itu. Gawat! Urusan ini bisa runyam. Sekarang pandangan
seluruh hadirin menghunjam ke arah guru muda yang otak cemerlangnya sudah kondang ke
mana- mana. Untuk diajar privat olehnya bahkan harus antre. la harapan yang akan melanjutkan
tradisi lama sekolah PN sebagai pemenang pertama lomba kecerdasan ini dan ia sudah
mempersiapkan timnya demikian sempurna. Ia tak ingin dipermalukan dan ia tak
pernah berurusan dengan sesuatu yang tidak terbaik. Sekarang apa yang akan ia perbuat? Aku
danSaharawaswas tapi Lintang tenang-tenang saja. Drs. itu angkat bicara dengangayaakademisi
tulen:
"Percobaan dengan lensa cekung tidak ada kaitannya dengan bantahan terhadap teori awal yang
meyakini bahwa warna dihasilkan oleh campuran cahaya dan kegelapan. Dan sebaliknya,
pemahaman terhadap penciptaaan warna bukanlah persoalan optik, kecuali dewan juri ingin
membantah Descartes atau Aristoteles. Soal optik dan spektrum warna adalah dua macam hal yang
berbeda. Situasi ini ambigu, di sini kita menghadapi tiga kemungkin-an, pertanyaan yang salah,
jawaban yang keliru, atau kedua-duanya tak berdasar dalam arti tidak kontekstual!"
Aduh...! Komentar ini sudah di luar daya jang-kau akalku, asing, tinggi, dan jauh. Ini sudah
semacam debat mempertahankan tesis S2 di depan tiga orang profesor. Tapi tidakkah sedikit
banyak kata-kata sang Drs. itu berbentuk U, kritis namun berputar-putar? Dan ia pintar sekali
membimbang-kan dewan juri dengan menyintir pendapat Rene Descartes, siapa yang berani
membantah sinuhun ilmu zaman lawas itu? Mudah-mudahan Lintang punya argumentasi. Kalau
tidak kami akan habis di sini. Aku membatin dengan cemas tapi tak tahu akan berbuat apa. Pak
Harfan bertelekan pinggang lalu menunduk dan Bu Mus merapatkan kedua tangannya di
atas dadanya seperti orang berdoa,
wajahnya prihatin ingin membela kami tapi beliau tak berdaya karena serangan Drs. Zulfikar
memang sudah ter-lalu canggih. Bu Mus tampak tak tega melihat kami. Aku memandangSaharadan
ia cepat-cepat memalingkan muka, ia menoleh keluar jendela seolah tak mengenal kami. Wajahnya
menunjukkan ekspresi bahwa saat itu ia sedang tidak duduk di situ.
Parapenonton dan dewan juri terlihat bingung atas bantahan yang supercerdas itu. Jangankan
menjawab bahkan sebagian tak mengerti apa yang dipersoalkan. Tapi seseorang memang harus mePDF
by Kang Zusi
nyelamatkan situasi ini, maka ketua dewan juri bangkit dari tempat duduknya. Lintang masih
tenang-tenang saja, ia tersenyum sedikit, santai sekali.
"Terima kasih atas bantahan yang hebat ini, apa yang harus saya katakan, bidang saya adalah
pendidikan moral Pancasila ...," kata ketua dewan juri.
Si Drs. bersungut-sungut, ia merasa di atas angin. Ekor matanya seolah mengumumkan kalau ia
sudah khatam membaca buku Principia karya Isaac Newton, bahwa ia juga pelanggan jurnal-jurnal
fisika internasional, bahwa ia kutu laboratorium yang kenyang pengalaman eksperimen, bahkan
seolah fisikawan Christiaan Huygens itu uwaknya. Pria ini adalah seorang fresh graduate yang
sombong, ia memperlihatkan karakter manusia sok pintar yang baru tahu dunia. Bicaranya di
awang-awang dengangayaseperti Pak Habibie. Ia mengutip buku asing disanasini tak keruan,
menggunakan istilah-istilah aneh karena ingin mengesankan dirinya luar biasa. Tapi kali ini, aku
jamin dia akan menelan APC, pil pahit segala penyakit andalan orang kampung Belitong yang amat
manjur.
Karena merasa sudah menang dengan kritiknya guru muda itu meningkatkan sifat buruk dari
sombong menjadi tak tahan pada godaan untuk meremehkan.
"Atau barangkali anak-anak SMP Muhammadi-yah ini atau dewan juri bisa menguraikan
pendekatan optik Descartes untuk menjelaskan fenomena warna?"
Keterlaluan! Seluruh hadirin tentu mengerti bahwa kalimat bernada menguji itu sesungguhnya tak
perlu. Pak Zulfikar hanya ingin menghina sekaligus melumpuhkan mental kami dan dewan juri
karena ia yakin bahwa kami tak mengerti apa pun mengenai Descartes. Dengan demikian ia dapat
menganulir pertanyaan awal tadi sekaligus menja-tuhkan martabat majelis ini. Yang menyakitkan
adalah ia dengan jelas menekankan kata SMP Muhammadiyah untuk megingatkan semua orang
bahwa kami hanyalah sebuah sekolah kampung yang tak penting.
Aku memang tak mengerti pendekatan optik tapi aku tahu sedikit sejarah penemuan fenomena
warna. Aku tahu bahwa Descartes bekerja dengan prisma dan lembaran-lembaran kertas untuk
menguji warna, bukan murni dengan manipulasi optik.
Newton-lah sesungguhnya sang guru besar optik. Pak Zulfikar jelas sok tahu dan dengan mulut
besarnya ia mencoba menggertak semua orang melalui kesan seolah ia sangat memahami teori
warna. Aku geram dan ingin membantah Drs. congkak ini tapi pengetahuanku terbatas. Tabiat Pak
Zulfikar adalah persoalan klasik di negeri ini, orang-orang pintar sering bicara meracau dengan
istilah yang tak membumi dan teori-teori tingkat tinggi bukan untuk menemukan sebuah karya
ilmiah tapi untuk membodohi orang-orang miskin. Sementara orang miskin diam terpuruk, tak
menemukan kata-kata untuk membantah.
Aku menatap Lintang, memohon bantuannya jika nanti aku angkat bicara melawan kezaliman Drs.
itu. Aku sangat perlu dukungannya. Tapi bagaimana nanti kalau ternyata aku yang keliru?
Bagaimana kalau aku diserang balik bertubi-tubi? Ah, risikonya terlalu tinggi, bisa-bisa aku
dipermalukan. Ini juga persoalan klasik bagi orang yang memiliki pengetahuan
setengah-setengah
sepertiku. Maka dadaku berkecamuk antara ingin melawan dan ragu-ragu. Tapi aku sangat marah
karena sekolahku dihina dan aku jengkel karena aku tahu bahwa Drs. itu membawa-bawa nama
Descartes secara keliru dan tidak adil guna keuntungannya sendiri.
Melihatku demikian gusar Lintang tersenyum kecil padaku. Sebuah senyum damai. Aku tahu,
seperti biasa, ia dapat membaca pikiranku dengan benderang. Ia membalas tatapanku dengan
lembut seakan mengatakan, "Sabar Dik, biar Abang bereskan persoalan ini ...." Wajahnya
tenang sekali. Aku dan Sahara ciut. Kami mengerut di ketiak kiri kanan pendekar ilmu pengetahuan
yang sakti mandraguna andalan kami ini.
Mendengar tantangan Pak Zulfikar yang tak bersahabat tadi bapak ketua dewan juri yang baik
menarik napas panjang. Beliau menoleh ke arah para koleganya, anggota dewan juri. Semuanya
menggeleng-gelengkan kepala. Lalu beliau mencoba menengahi dengan diplomatis dan sangat
merendah. "Maafkan Bapak Guru Muda, atas nama dewan juri saya terpaksa mengatakan bahwa
pengetahuan kami agaknya belum sampai ke sana."
Kata-katanya demikian bersahaja. Kasihan bapak
tua itu. Ia seorang guru senior yang rendah hati
dan sangat disegani karena dedikasinya selama puluhan tahun di dunia pendidikan Belitong. Beliau
tampak malu dan putus asa. Lalu beliau mengalihkan pandangan ke arah regu F, regu kami, Lintang
tersenyum dan mengangguk kecil padanya. Tanpa diduga ketua dewan juri mengatakan, "Tapi
mungkin anak Muhammadiyah yang cemerlang ini bisa membantu."
Suasana sunyi senyap dalam nuansa yang sangat tidak mengenakkan, dan semakin tidak enak
karena sang Drs. kembali mengudara dengan komentar sengak tanpa perasaan.
"Saya harap argumentasi mereka bisa setepat jawabannya tadi!"
Semakin keterlaluan! Ia sengaja memprovokasi Lintang dan kali ini Lintang terpancing, ia angkat
bicara.
"Jika bantahan Bapak mengenai pertanyaan yang tidak kontekstual dengan jawaban, mungkin saja
bantahan semacam itu bisa diterima. Dewan juri menanyakan sesuatu yang jawabannya sudah
tertera di kertas yang dibacakan ibu pembaca soal. Saya yakin di sana tertulis cincin Newton dan
kami menjawab cincin Newton, berarti kami berhak atas angka seratus. Maka kalaupun itu memang
tidak kontekstual, itu hanya berarti dewan juri menanyakan sesuatu yang benar dengan cara yang
keliru ...."
Pak Zulfikar tak terima.
"Dengan kata lain pertanyaan nomor itu gugur karena bisa saja peserta lain menduga arah
jawaban yang keliru!" Lintang tak sabar.
"Tidak ada yang keliru! Kecuali Bapak tidak memedulikan substansi dan ingin menggugurkan nilai
kami karena persoalan remeh-temeh."
Pak Zulfikar tersinggung, ia menjadi marah, dan suasana berubah tegang.
"Kalau begitu jelaskan pada saya substansinya! Karena bisa saja kalian mendapat nilai melalui
kemampuan menebak-nebak jawaban secara untung-untungan tanpa memahami persoalan
sesungguhnya!"
Wah, ini sudah kurang ajar. Sahara menyeringai, setelah sekian lama menghilang ke alam lain
kini ia kembali dalam penjelmaan seekor leopard,
alisnya bertemu. Para penonton dan dewan juri tercengang, terlongong-longong dalam adu
argumentasi ilmiah tingkat tinggi yang memanas. Mereka bahkan tak mampu memberi satu
komentar pun, persoalan ini gelap bagi mereka. Tapi aku tersenyum senang karena aku tahu kali ini
guru muda yang sok tahu ini akan kena batunya.
Bantahannya yang terakhir itu adalah pelecehan. Lintang tersengat harga dirinya, wajahnya merah
padam, sorot matanya tak lagi jenaka. Lintang, yang baru sekali ini menginjak Tanjong Pandan,
berdiri dengan gagah berani menghadapi guru PN yang arogan jebolan perguruan tinggi terkemuka
itu. Sembilan tahun sangat dekat dengan Lintang, baru kali ini aku melihatnya benar-benar muntah,
maka inilah cara orang genius mengamuk:
"Substansinya adalah bahwa Newton terang-terangan berhasil membuktikan kesalahan teori-teori
warna yang dikemukakan Descartes dan Aristoteles! Bahkan yang pa-ling mutakhir ketika itu,
Robert Hooke. Perlu dicatat bahwa Robert Hooke mengadopsi teori cahaya berdasarkan filosofi
mekanis Descartes dan mereka semua, ketiga orang itu, menganggap warna memiliki spektrum
yang terpisah. Melalui optik cekung yang kemudian melahirkan dalil cincin, Newton membuktikan
bahwa warna memiliki spektrum yang kontinu dan spektrum warna sama sekali tidak dihasilkan
oleh sifat-sifat kaca, ia semata-mata produk dari sifat-sifat hakiki cahaya!"
Drs. Zulfikar terperangah, penonton tersesat dalam teori fisika optik, sekadar mengangguk sedikit
saja sudah tak sanggup. Dan aku girang tak alang kepalang, dugaanku terbukti! Rasanya aku ingin
meloncat dari tempat duduk dan berdiri di atas meja mahoni mahal berusia ratusan tahun itu sambil
berteriak kencang kepada seluruh hadirin: "Kalian tahu, ini Lintang Samudra Basara bin Syahbani
Maulana Basara, orang pintar kawanku sebangku! Rasakan kalian semua!" Sekarang ekspresi
Sahara seperti leopard yang sedang mencabik-cabik predator pesaing, ia mengaum, alisnya bertemu
seperti sayap elang, dan Lintang masih belum puas.
"Newton mengatakan, kecuali Bapak ingin nyangkal manuskrip ilmiah yang tak terbantahkan
selama 500 tahun hasil karya ilmuwan yang disebut Michael Hart sebagai manusia paling hebat
setelah Nabi Muhammad, bahwa tebal tipisnya partikel transparan menentukan warna yang ia
pantulkan. Itulah persamaan ketebalan lapisan udara antara optik sebagai dasar dalil warna cincin.
Semua itu hanya bisa diobservasi melalui optik, bagaimana Bapak bisa mengatakan perkara-perkara
ini tidak saling berhubungan?"
Sang Drs. terkulai lemas, wajahnya pucat pasi. Ia membenamkan pantatnya yang tepos di bantalan
kursi seperti tulang belulangnya telah dipresto. Ia kehabisan kata-kata pintar, kacamata minusnya
merosot layu di batang hidungnya yang bengkok. Ia paham bahwa berpolemik secara membabi buta
dan berkomentar lebih jauh tentang sesuatu yang tak terlalu ia kuasai hanya akan
memperlihatkan ketololannya sendiri di mata orang genius seperti Lintang. Maka ia mengibarkan
saputangan putih, Lintang telah menghantamnya knock out. Ia dipaksa Lintang menelan pil APC
yang pahit tanpa air minum dan pil manjur itu kini tersangkut di tenggorokannya. Sekali lagi para
pendukung kami berjingkrak-jingkrak histeris seperti doger monyet. Pak Harfan mengacungkan dua
jempolnya tinggi-tinggi pada Lintang. "Bravo! Bravo!" teriaknya girang. Bu Mus yang berpakaian
paling sederhana dibanding guru-guru lain mengangguk-angguk takzim. Ia terlihat sangat bangga
pada murid-murid miskinnya, matanya berkaca-kaca dan dengan haru beliau berucap lirih,
"Subhanallah ... Subhanallah ...."
Selanjutnya, mekanisme lomba menjadi monoton, yaitu ibu cantik membacakan pertanyaan yang
tak selesai, suara kriiiiiing, teriakan jawaban Lintang, dan pekikan seratussss dari Benyamin S. Aku
terpaku memandang Lintang, betapa aku menyayangi dan kagum setengah mati pada sahabatku ini.
Dialah idolaku. Pikiranku melayang ke suatu hari bertahun-tahun yang lalu ketika sang bunga pilea
ini membawa pensil dan buku yang keliru, ketika ia beringsut-ingsut naik sepeda besar 80 kilometer
setiap hari untuk sekolah, ketika suatu hari ia menempuh jarak sejauh itu hanya untuk menyanyikan
lagu Padamu Negeri. Dan ha-ri ini ia meraja di sini di majelis kecerdasan yang amat terhormat ini.
Seperti Mahar, Lintang berhasil mengharumkan
nama per-guruan Muhammadiyah. Kami adalah sekolah kampung pertama yang menjuarai perlomPDF
by Kang Zusi
baan ini, dan dengan sebuah kemenangan mutlak. Air yang menggenang seperti kaca di mata Bu
Mus dan laki-laki cemara angin itu kini menjadi butir-butiran yang berlinang, air mata kemenangan
yang mengobati harapan, pengorbanan, dan jerih payah.
Hari ini aku belajar bahwa setiap orang, bagai-mana pun terbatas keadaannya, berhak memiliki
cita-cita, dan keinginan yang kuat untuk mencapai cita-cita itu mampu menimbulkan prestasiprestasi
lain sebelum cita-cita sesungguhnya tercapai. Keinginan kuat itu juga memunculkan
kemampuan-kemampuan besar yang tersembunyi dan keajaiban-keajaiban di luar perkiraan. Siapa
pun tak pernah membayangkan sekolah kampung Muhammadiyah yang melarat dapat mengalahkan
raksasa-raksasa di meja mahoni itu, tap/ keinginan yang kuat, yang kami pelajah dari petuah Pak
Harfan sembilan tahun yang lalu di hari pertama kami masuk SD, agaknya terbukti. Keinginan kuat
itu telah mem-belokkan perkiraan siapa pun sebab kami tampil sebagai juara pertama tanpa
banding. Maka barangkali keinginan kuat tak kalah penting dibanding cita-cita itu sendiri.
Ketika Lintang mengangkat tinggi-tinggi trofi besar kemenangan, Harun bersuit-suit panjang
seperti koboi memanggil pulang sapi-sapinya, dan di sana, di sebuah tempat duduk yang besar, ibu
Frischa berkipas-kipas kegerahan, wajahnya menunjukkan sebuah ekspresi seolah saat itu dia
BAB XXVIII
Societeit de Limpai
MEREKA menyebut diri mereka Societeit de Limpai, sederhananya: Kelompok Limpai. Limpai
adalah binatang legendaris jadi-jadian yang menakutkan dalam mitologi Belitong. Sebuah karakter
fabel yang menarik karena beberapa cerita rakyat memberikan definisi yang berbeda bagi makhluk
mitos ini. Orang-orang pesisir menganggapnya sebagai semacam peri yang hidup di gununggunung.
Di Belitong bagian tengah ia dipercaya berbentuk binatang besar berwarna putih seperti
gajah atau mammoth, Sebaliknya di utara ia adalah angin yang jika marah akan menumbangkan
pohon-pohon dan merebahkan batang-batang padi.
Ada pula beberapa wilayah yang mengartikan-nya sebagai bogey yakni hantu hitam dan besar.
Orang-orang muda semakin salah mengerti. Bagi mereka Limpai adalah urban legend maka ia bisa
saja incubus yaitu setan yang menyaru sebagai pria tampan atau death omen yang dapat menyamar
menjadi apa saja. Disebut salah mengerti karena sebenarnya akar cerita Limpai terkait dengan
ajaran kuno turun-temurun di Belitong agar masyarakat tidak semena-mena memperlakukan
hutan dan sumber- sumber air. Ajaran itu mengandung tenaga sugestif ketakutan terhadap kualat
karena hutan dan sumber-sumber air dijaga oleh hantu Limpai. Namun, dewasa ini sebagian besar
orang melihat wujud Limpai tak lebih dari kabut yang melayang-layang di dalam kepala yang
bodoh, tipis iman, senang bergunjing, dan kurang kerjaan, itulah Limpai.
Societeit de Limpai merupakan organisasi rahasia bentukan orang-orang aneh dan aku adalah
sekretaris organisasi yang unik ini. Societeit beroperasi diam-diam. la semacam organisasi tanpa
bentuk. Tak diketahui kapan, di mana mereka biasa berkumpul, dan apa yang mereka bicarakan.
Jika secara tak sengaja ada yang memergoki mereka, mereka segera mengalihkan pembicaraan,
bahkan menganggap saling tak kenal satu sama lain. Tindak tanduknya demikian disamarkan bukan
karena mereka
mengusung sebuah misi yang amat berbahaya, anarkis, komunis, atau melawan
hukum, tapi lebih karena mereka menghindarkan diri dari ejekan khalayak karena kekonyolannya.
Sebab Societeit adalah kumpulan manusia tak berguna yang memiliki kecintaan berlebihan pada
dunia klenik dan mistik. Para peminat klenik dalam masyarakat kami selalu jadi bahan tertawaan.
Mereka tidak populer karena barangkali tidak seperti pada budaya lain di tanah air, orang-orang
Melayu khususnya di Belitong me-mang tidak terlalu meminati dunia perdukunan.
Maka Societeit de Limpai pada dasarnya tidakmendapat tempat di kampung kami.
Namun bagi para anggota Societeit, organisasi mereka adalah organisasi yang sangat serius.
Anggotanya hanya sembilan orang dan untuk menjadi anggota syaratnya berat bukan main.
Anggota paling senior saat ini berusia 57 tahun, pensiunan syah bandar, dan yang termuda adalah
dua orang remaja berusia 16 tahun. Enam orang lainnya adalah seorang petugas teller di BRI
cabang pembantu, seorang Tionghoa tukang sepuh emas, seorang pengangguran, seorang pemain
organ tunggal, seorang mahasiswa teknik elektro drop out yang membuka sebuah bengkel sepeda,
dan Mujis, si tukang semprot nyamuk. Anehnya ketua kelompok ini justru yang termuda itu. Ialah
bapak pendiri organisasi yang disegani anggotanya karena pengetahuannya yang luas tentang dunia
gelap, pevalienan, serta koleksinya yang lengkap tentang cerita kabar angin atau cerita konon
kabarnya. la tak lain tak bukan adalah Mahar yang fenomenal. Sedangkan anak remaja satunya
tentu saja Flo. Adapun aku hanya seorang sekretaris dan pembantu umum, maka tidak dihitung
sebagai anggota kehormatan.
Aktivitas Societeit sangat padat. Mereka melakukan ekspedisi ke daerah-daerah angker, menyelidiki
kejadian-kejadian mistik, berdiskusi dengan para spiritual di seantero Belitong, dan
memetakan mitologi lokal, baik Folklor maupun urban legend dalam suatu mitografi yang menarik.
Dalam banyak sisi dapat dianggap bahwa para anggota Societeit
sesungguhnya adalah orang-orang pemberani yang sangat penasaran ingin membongkar rahasia
fenomena
ganjil dan memiliki skeptisisme yang tak mau dikompromikan. Jika belum melihat dan
merasakan sendiri, mereka tak 'kan percaya. Societeit dengan brilian telah mengadopsi sosok
Limpai yang mistis sebagai metafora sehingga mereka bisa disebut orang-orang antusias, ilmuwan,
orang gila, atau musyrikin tergantung sudut pandang setiap orang menilainya. Sama seperti
perbedaan perspektif setiap orang dalam memaknai Limpai.
Dalam pembuktiannya terhadap fenomena paranormal
mereka sering menggunakan metode ilmiah
sehingga mereka dapat juga disebut sebagai ilmuwan tentu saja ilmuwan dalam definisi mereka
sendiri. Ke arah inilah Mahar telah berkembang, bukan ke arah pencapaian-pencapaian seni yang
seharusnya menjadi rencana A baginya, dan dengan kehadiran Flo, kesia-siaan bakat itu semakin
menjadi-jadi.
Dalam menjalankan tugas sintingnya mereka melengkapi diri dengan perangkat elektronik, misalnya
beragam alat perekam audio video, perangkat-perangkat sensor, dan berbagai jenis teropong. Di
bawah supervisi mahasiswa elektro yang drop out itu mereka merakit sendiri detektor medan
elektro magnet yang dapat membaca gelombang area observasi dalam kisaran 2 sampai 7 miligauss
karena mereka yakin aktivitas kaum lelembut berada dalam kisaran tersebut. Mereka juga
menciptakan sensor frekuensi yang dapat mengenali frekuensi sangat
rendah sampai di bawah 60 hertz karena menurut akal sesat mereka dalam frekuensi itulah kaum
setan alas sering berbicara. Selain semua elektronik
yang canggih itu pada setiap ekspedisi mereka
juga membekali diri dengan kemenyan, gaharu, jimat telur biawak, buntat, dan penangkal bala, serta
seekor ayam kate kampung karena seekor ayam dianggap paling cepat tanggap kalau iblis
mendekat.
Mereka secara rutin berkelana. Suatu ketika mereka memasuki Hutan Genting Apit, tempat paling
angker di Belitong. Hutan ini menyimpan ribuan cerita seram dan yang paling menonjol adalah
fenomena ectoplasmic mist yakni kabut yang bercengkerama sendiri dan secara alamiah atau
mungkin setaniah membentuk wujud-wujud tertentu seperti manusia, hewan, atau raksasa. Tak
jarang bentuk-bentuk ini tertangkap kamera film biasa. Para pengendara yang melalui kawasan ini
sangat disarankan untuk tidak melirik kaca spion karena hantu-hantu penghuni lembah ini biasa
menumpang sebentar di jok belakang.
Di lembah ini mereka memasang alat-alat elektronik tadi di cabang-cabang pohon untuk
mendeteksi gerakan, suara, dan bentuk-bentuk tak biasa lalu menganalisisnya. Kemudian Genting
Apit menjadi semacam laboratorium alam bagi Societeit. Tempat yang selalu dihindari orang
mereka kunjungi seumpama orang piknik ke pantai saja.
Tak ayal Societeit juga mendatangi kuburan-kuburan keramat, bermalam di lokasi-lokasi yang
terkenal keseramannya, mengumpulkan cerita-cerita takhayul, dan mencari benda-benda magis
pusaka warisan antah berantah. Mereka diam di tempat yang ditinggalkan orang karena takut,
mereka justru menunggu makhluk-makhluk halus yang membuat orang lain terbirit-birit. Semakin
lama Societeit semakin bergairah dengan aktivitas-nya meskipun di sisi lain masyarakat juga
semakin mencemooh mereka. Mereka dianggap orang-orang aneh yang menghambur-hamburkan
waktu untuk hal-hal tak bermanfaat.
Tak semua kegiatan Societeit tak berguna. Adakalanya pendekatan ilmiah mereka malah mampu
mematahkan mitos. Misalnya dalam kasus api anggun di atas sebatang pohon jemang besar. Telah
puluhan tahun berlangsung para pengendara sering ketakutan ketika melintasi sebuah tikungan
menuju Manggar karena pada puncak sebuah pohon jemang besar persis di seberang tikungan itu
sering tampak api berkobar-kobar. Jemang Hantu, demikian juluk-an tempat angker itu. Kejadian
itu selalu tengah malam setelah turun hujan dan sudah menjadi cerita seram yang melegenda.
Sulit untuk mengatakan bahwa para pengendara
telah salah lihat apalagi berbohong karena di
antara mereka yang telah menyaksikan peman-dangan horor itu adalah Zaharudin bin Abu Bakar,
ustad muda kampung kami yang pantang berdusta.
Maka Societeit turun tangan melakukan sema-cam riset. Setelah sepanjang sore turun hujan
malamnya mereka mengendap-endap di sekitar jemang angker tadi untuk melakukan
pengamatan. Tak lama setelah lewat tengah malam mereka memang menyaksikan api berkobarkobar
di puncak pohon itu namun pada saat itu pula mengerti jawabannya. Mereka berhasil
menghancurkan mitos angker pohon jemang yang telah puluhan tahun menciutkan nyali orang
kampung.
Letupan api itu sesungguhnya berasal dari ka-bel listrik tegangan tinggi yang korslet karena air
hujan. Tiang kabel itu berjarak kira-kira 120 meter dari puncak pohon dan ketinggian keduanya
sepadan sehingga jika dilihat dari jauh sebelum memasuki tikungan seolah-olah letupan korslet
yang menimbulkan bunga-bunga api itu berkobar-kobar dari puncak pohon jemang.
Jika tiba dari pengembaraan mistiknya, Mahar dan Flo selalu membawa cerita-cerita seru ke
sekolah. Misalnya suatu hari mereka berkisah bahwa di tengah sebuah hutan yang gelap mereka
menemukan kuburan dengan ukuran tambak hampir tiga kali enam meter dan jarak antara kedua
misannya hampir lima meter. Karena orang Melayu selalu memasang misan di sekitar kepala dan
ujung kaki maka dapat diperkirakan ukuran jasad yang terkubur di bawahnya adalah ukuran
manusia yang luar biasa besar.
Flo memulai kisah bahwa ia menemukan piring-piring dari tanah liat di sekitar kuburan
dengan ukuran seperti dulang dan kondisinya masih utuh. la juga menemukan berbagai jenis kendi
yang tidak rusak dan terkubur dangkal. Flo dengan dingin saja memberi tahu kami bahwa ia tidur
paling dekat dengan misan-misan itu dan tak sedikit pun merasa takut. Ia menceritakan sebuah
pengalaman yang menderikan bulu kuduk seolah sebuah cerita lucu tentang baru saja meminumkan
susu pada anak-anak kucing persia di rumahnya. Ingin kukatakan padanya bahwa gerabah-gerabah
arkeologi itu memang tidak rusak tapi yang rusak adalah otaknya.
Sebaliknya versi Mahar jauh lebih menarik. Ia memberi penjelasan pengetahuan tentang hubu-ngan
beberapa kuburan purba bertambak super besar di Belitong dengan teori-teori para arkeolog
terkenal seperti Barry Chamis atau Harold T. Wilkins yang percaya bahwa pada suatu masa yang
lampau manusia-manusia raksasa pernah menjelajahi bumi. Ia membuat analogi yang menarik,
logis, dan lengkap dengan analisis waktu tentang kuburan itu dengan hal ikhwal tengkorak manusia
raksasa Pasnuta yang ditemukan di Omaha atau kerangka tak utuh manusia yang digali dari situssitus
kuburan
purba di Dataran Tinggi Golan. Jika direkonstruksi kerangka-kerangka itu
membentuk manusia setinggi hampir enam meter.
Maka cerita Mahar selalu mengandung ilmu. Dia memang seorang eksentrik yang berdiri di area
abu-abu antara imajinasi dan kenyataan, tapi tak
diragukan bahwa ia cerdas, pemikirannya terstruk-tur dengan baik, dan pengetahuan dunia gaibnya
amat luas. Mahar dan Flo duduk santai pada cabang rendah filicium seperti para paderi tukang cerita
dari sebuah kuil Sikh dan kami, para Laskar Pelangi, bersimpuh membentuk lingkaran, terce-ngang
dengan mata berbinar-binar mendengar keajaiban-keajaiban petilasan mereka dalam dunia magis.
Adapun orang lain dari kejauhan hanya akan melihat ikatan persahabatan Laskar Pelangi yang
demikian indah.
Pada kesempatan lain mereka bercerita tentang
petualangan mencari sebuah gua purba
tersembunyi yang belum pernah dijamah siapa pun. Gua itu konon berada di tengah rimba dan
eksistensinya hanya berdasarkan mitos samar turun-temurun dari sebuah komunitas kecil terasing
yang hidup seperti suku primitif di barat daya Belitong. Mereka menyebutnya gua gambar. Tak
tahu apa maksud nama itu dan bagi mereka gua itu adalah gua gaib yang tak 'kan pernah ditemukan.
Mendengar kisah itu Societeit berdiri telinga-nya dan merasa tertantang.
Ketika Societeit mendatangi komunitas yang hanya terdiri dari sebelas kepala keluarga dan
mencari informasi tentang gua gambar, pawang suku di sana menertawakan mereka.
"Ananda tak 'kan menemukan gua itu, karena gua itu adalah gua siluman. Gua itu hanya akan
menampakkan diri di malam hari yang paling gelap, itu pun hanya bisa dilihat oleh orang-orang
gunung terpilih yang tak kita kenal."
Orang-orang gunung adalah cerita konon yang
lain. Kami menyebutnya orang Tungkup. Mereka tinggal di gunung dan juga tak pernah dilihat
orang kampung.
"Selama tiga hari tiga malam kami berjalan kaki menembus rimba belantara liar untuk mencari gua
itu. Pohon-pohon di sana sebesar pelukan empat orang dewasa dengan kanopi menjulang ke langit,"
demikian cerita Mahar.
"Saking lebatnya hutan itu sinar matahari tak mampu menembus permukaan tanah. Pohon-pohon
berlumut, gelap dan lembap, penuh lintah, kelelawar, kadal, macan akar, luak, dan ular-ular besar,"
sambung Flo meyakinkan.
"Kami hampir putus asa, tapi beruntung, pe-ngetahuan Mujis yang baik tentang kontur hutan
akhirnya membimbing kami menuruni sebuah lembah curam di antara dua gunung dan di dasar
lembah itu, pas menjelang magrib, kami menemukan sebuah gua!"
Kami ternganga-nganga, merapatkan lingkaran duduk, mendekati dua petualang sejati yang sangat
hebat ini, tak sabar mendengar kelanjutan cerita.
"Kami belum yakin apakah itu gua gambar se-perti dimaksud komunitas kuno itu. Wilayah itu
sangat sulit ditempuh. Mulut gua sangat sempit dan ditutupi akar-akar mahoni raksasa, seperti jarijari
yang sengaja menyamarkan," demikian kata Flo ekspresif. Ah, Flo yang cantik, ramping, atletis,
dan berkulit putih seindah anggrek bulan, dikombinasikan
dengan cerita petualangan mendebarkan penuh getaran marabahaya di tengah hutan rimba dan
sebuah gua misteri, sungguh sebuah perpaduan yang mem-buat dirinya tampak semakin indah.
mentalitas dan prinsip-prinsip hidup Flo yang tak biasa, telah menjadikan dirinya seorang wanita
yang sangat memesona.
"Ketika kami mendekat, kami terkejut karena beberapa ekor biawak dan musang yang garang
berloncatan keluar dari gua." Mahar dan Flo sambung menyambung.
"Setelah menyiangi akar-akar itu akhirnya kami berhasil masuk ke dalam gua."
"Di dalamnya amat lebar dan memanjang, men-julur ke bawah seperti sumur yang landai, dingin,
gelap, dan ada suara riak-riak air."
"Ternyata di tengah gua itu ada aliran air yang deras!"
Cerita semakin seru, seperti cerita petualangan
Indian Winnetou, kami duduk terpaku menyimak.
"Kami mencoba menelusuri gua itu, bau amis kotoran kelelawar menyengat hidung dan membuat
perut mual. Sarang laba-laba hitam besar menutupi celah-celah gua seperti tirai putih berjuntaijuntai.
Laba-laba itu demikian besar sehingga cecak dan kelelawar tersangkut di jaringnya dan
mengering karena darahnya telah diisap serangga maut itu. Lintah merayapi dinding gua, mengincar
darah anak-anak kelelawar." Mengerikan.
"Rantai makanan di dalam gua adalah singkat,
tidak se-perti subekosistem lain di luar!" Flo menambahi.
"Kami terus merambah masuk sampai beratus-ratus meter tapi tak menemukan tanda-tanda gua itu
akan berakhir."
"Gua itu seperti tak berujung ...," Mahar berce-rita dengan penuh penghayatan sehingga kami
merasa seperti berada di dalam gua yang sangat mencekam itu. Kami merasakan udara dingin,
kegelapan, ketakutan, dan seakan mendengar pekik keleawar dan percikan air di dalamnya.
"Tapi suara aliran air tadi semakin lama sema-kin bergemuruh, kami perkirakan di depan kami ada
jurang di bawah tanah yang amat berbahaya, maka kami memutus-kan untuk beristirahat."
Wajah Mahar serius, nyali kami ciut ketika menatap-nya, dan dia melanjutkan cerita seperti orang
berbisik.
"Kami agak merapat ke dinding gua untuk menyiapkan peralatan tidur, ketika aku menaikkan
lampu aki untuk mendapat bentangan cahaya yang lebih besar, aku terkejut melihat bayangan
goresan-goresan berpola yang samar di dinding licin itu ...."
Menegangkan sekali. Kami semakin merapat, Sahara menggigit jarinya, A Kiong berkali-kali
menarik napas panjang, Samson tak berkedip, Lintang menyimak penuh perhatian, Syahdan
ketakutan, Trapani memeluk Harun.
"Kami semua saling berpandangan lalu serentak menaikkan lampu, dan
kami tersentak melihat sekeling kami."
Aku menahan napas ....
"Ternyata kami dikelilingi oleh ribuan goresan simbol-simbol purba atau huruf-huruf hieroglif
primitif yang terhampar di dinding gua, menjalar-jalar misterius sampai ke stalagmit dan stalagtit!"
Rasanya aku mau meloncat dari tempat duduk, dan perut bawahku ngilu menahan kencing karena
perasaan tegang yang meluap-luap. Kami terpana, bahkan tak mampu mengucapkan sepatah kata
pun. Dadaku berdegup kencang.
"Kemudian di langit-langit gua terdapat bebera-palukisan paleolitikum yang menggambarkan
orang-orang yang tak berpakaian sedang memakan mentah-mentah seekor burung besar yang mirip
kalong."
"Sebuah gua antediluvium dengan seni lukis gua yang memukau!" sambung Flo.
Sekarang kami mengerti mengapa komunitas terasing tadi menyebut gua itu gua gambar.
"Ada lukisan kucing pohon, tombak kayu, ular tanah, bulan, dan bintang-bintang."
"Kami memutuskan untuk tidur di bagian itu ...," kata Mahar pelan. Raut wajahnya
memperlihatkan bahwa ia masih memiliki sebuah kejutan lain yang tak kalah misteriusnya. Maka
dada kami tak reda berdegup.
"Aku tak bisa tidur sepanjang malam. Ketika semua anggota Societeit terlelap karena kelelahan aku
melamun dan memerhatikan dengan saksama simbol-simbol yang berserakan tak teratur memenuhi
dinding dan langit-langit gua."
Kami terpaku, pasti akan terjadi sesuatu yang ajaib.
"Lalu aku merasa simbol-simbol itu seperti diam-diam terangkai sendiri dan membisikkan sesuatu
ke telingaku...."
Oh, jantungku berdebar-debar.
"Tapi semuanya tak jelas, hingga aku merasa lelah dan memejamkan mata."
Kami menunggu kejutan besar itu.
"Namun tak lama kemudian, antara tidur dan terjaga, aku mendengar suara gemerisik seperti jutaan
semut mendekatiku, dan agaknya ribuan simbol-simbol samar itu menjadi hidup lalu memberiku
semacam mimpi, semacam wangsit, semacam gambaran masa depan ... semua ini tak pernah
kuceritakan pada siapa pun!"
Kami semakin merapat, sangat penasaran.
"Apakah wangsit itu saudaraku Mahar??!!" A Kiong berteriak tak sabar menunggu terkuaknya
sebuah misteri besar. la sedikit merayu. Suaranya tercekat dan bergetar. Bahkan Flo tampak tegang.
Rupanya ia sendiri belum pernah mendengar wangsit ini.
Mahar menarik napas panjang sekali, agaknya ia merasa berat membocorkan kisah ini. "Begini ...,"
katanya serius.
"Mimpi itu memperlihatkan bahwa sebuah ke-kuatan besar di Pulau Belitong akan segera runtuh.
Orang-orang Melayu Belitong akan jatuh melarat dan kembali berperikehidupan seperti
zaman purba
dulu, yaitu bernafkah secara bersahaja dari hasil-hasil laut dan hutan. Sebaliknya, du-nia luar akan
maju demikian pesat. Penggunaan kompu-ter akan merasuki seluruh segi kehidupan. Penggunaan
komputer yang merajalela itu menyebabkan praktik-praktik akuntansi tak lama lagi akan punah ...."
BAB XXIX
Pulau Lanun
SEPERTI layaknya sesuatu yang sederhana, maka tragedi atau drama semacam opera sabun tak
pernah terjadi di sekolah Muhammadiyah. Sekolah itu demikian teduh dalam kiprahnya, tenang
dalam kesahajaannya, bermartabat dalam kesederhanaan-nya, dan tenteram dalam kemiskinannya.
Namun kali ini berbeda, mendung tebal ber-gelayut rendah siap menumpahkan murka di atap
sekolah itu karena dua warganya semakin lama semakin tidak waras sehingga kelangsungan
pendidikan keduanya terancam. Lebih dari itu tingkah laku keduanya merongrong reputasi sekolah
Muhammadiyah yang ketat menjaga nilai-nilai moral Islami. Dan tak tanggung-tanggung,
rongrongan itu berupa pelanggaran paling berat dalam konteks moral itu sendiri yakni:
kemusyrikan! Kedua makhluk dramatis itu tentu saja sudah sangat dikenal: Mahar dan Flo.
Seiring dengan euforia organisasi rahasia So-cieteit yang mereka inisiasi, nilai-nilai ulangan Mahar
dan Flo persis penerjun yang terjun dengan parasut cadangan yang tak mengembang terjun
bebas. Rapor terakhir mereka memperlihatkan deretan angka merah seperti punggung dikerok.
Umumnya angka-angka biru hanya untuk mata pelajaran pembinaan kecakapan khusus, yaitu
kejuruan agraria, kejuruan teknik, ketatalaksanaan, dan bahasa Indonesia, itu pun hanya untuk
bidang bercakap-cakap dan mengarang. Nilai Flo adalah yang paling parah. Matematika, bahasa
Inggris, dan IPA hanya mendapat angka 2. Meskipun bapaknya telah menyumbang papan tulis baru,
lonceng, jam dinding, dan pompa air untuk Muhammadiyah namun Bu Mus tak peduli, beliau tak
sedikit pun sungkan menganugerahkan angka-angka bebek berenang itu di rapor Flo karena
memang itulah nilai anak Gedong itu.
Mahar dan Flo berada dalam situasi kritis dan sangat mungkin dilungsurkan ke kelas bawah karena
tidak bisa mengikuti Ebtanas. Surat peringatan telah mereka terima tiga kali. Menanggapi masalah
gawat ini diam-diam Bapak Flo melakukan konspirasi dengan Bu Frischa untuk menghasut Flo agar
kembali ke sekolah PN. Lagi pula di sekolah PN Bu Frischa telah menjamin nilai yang tak
memalukan di rapor Flo. Untuk keperluan penghasutan itu Bu Frischa mengutus seorang guru pria
muda yang flamboyan di se-kolah PN agar dapat mendekati Flo.
Sore itu kami sekelas baru saja pulang menon-ton pertandingan sepak bola dan melewati pasar. Bu
Frischa dan guru flamboyan tadi sedang berbelanja. Flo yang mengenakan celana dan jaket jin belel
mendekati Bu Frischa seperti gaya berjalan
koboi yang akan duel tembak.
"Nama saya Flo, Floriana," kata Flo sambil berusaha menyalami Bu Frischa. Pria flamboyan itu
mengangguk santun dan melemparkan senyum termanisnya untuk Flo.
"Tolong bilang pada pria tengik ini, saya tak 'kan pernah meninggalkan Bu Muslimah dan sekolah
Muham-madiyah ...."
Flo berlalu begitu saja, Bu Frischa dan sang pria flamboyan terpana, dan ide untuk menghasutnya
tak pernah terdengar lagi.
Nilai—nilai rapor Mahar dan Flo hancur karena agaknya mereka sulit berkonsentrasi sebab terikat
pada komitmen-komitmen kegiatan organisasi, dan lebih dari itu, karena mereka semakin tergilagila
dengan mistik. Hari demi hari pendidikan mereka semakin memprihatinkan. Tapi bukan Mahar
dan Flo namanya kalau tidak kreatif. Mereka sadar bahwa mereka menghadapi tradeoff, dua sisi
yang harus saling menyisihkan, memilih sekolah atau memilih kegiatan organisasi paranormal.
Sekolah sangat penting namun godaan untuk berkelana menyibak misteri gaib sungguh tak
tertahankan. Mereka tidak ingin meninggalkan keduanya.
Lalu tak tahu siapa yang memulai tiba-tiba mereka muncul dengan satu gagasan yang paling
absurd. Karena tak ingin kehilangan sekolah dan tak ingin meninggalkan hobi klenik maka mereka
berusaha menggabungkan keduanya. Mahar dan Flo akan mencari jalan keluar mengatasi
kemerosotan nilai sekolah melalui cara yang mereka paling mereka kuasai, yaitu melalui jalan
pintas dunia gaib perdukunan. Sebuah oara tidak masuk akal yang unik, lucu, dan mengandung
mara bahaya.
Mahar dan Flo sangat yakin bahwa kekuatan supranatural dapat memberi mereka solusi gaib atas
nilai—nilai yang anjlok di sekolah. Dan mereka tahu seorang sakti mandraguna yang dapat
membantu mereka dan kesaktiannya telah mereka buktikan sendiri melalui pengalaman pribadi.
Orang sakti ini secara ajaib telah menunjukkan jalan untuk menemukan Flo ketika ia raib ditelan
hutan Gunung Selumar tempo hari. Orang supersakti itu tentu saja Tuk Bayan Tula. Menurut
anggapan mereka masalah sekolah ini hanyalah masalah kecil seujung kuku yang tak ada artinya
bagi raja dukun itu. Mereka percaya manusia setengah peri itu bisa dengan mudah membalikkan
angka enam menjadi sembilan, empat menjadi delapan, dan merah menjadi biru.
Setelah menemukan rencana solusi yang sangat
andal itu Mahar dan Flo tertawa girang sekali
sampai meloncat-loncat. Flo menunjukkan keka-gumannya pada kreativitas Mahar dalam
memecah-kan masalah mereka. Mendung yang menghiasi wajah mereka setiap kali dimarahi Bu
Mus kini sirna sudah. Di dalam kelas mereka tampak sumringah walaupun tidak sedikit pun belajar.
Seluruh anggota Societeit menyambut antusi-as ide ketuanya untuk mengunjungi Tuk Bayan Tula.
Para anggota ini sebenarnya telah lama mengidamkan pertemuan dengan Tuk, idola mereka itu,
namun niat itu terpendam karena mereka takut mengungkapkannya, bahkan membayangkannya saja
mereka tak berani. Apalagi tersiar kabar bahwa Tuk tak menerima semua orang. Hanya nasib yang
menentukan apakah Tuk berkenan atau tidak. Dan tragisnya, jika Tuk tak berkenan biasanya yang
mengunjunginya tak pernah kembali pulang. Ketika Mahar berinisiatif ke sana para anggota
menyambut usulan yang memang telah mereka tunggu-tunggu. Mereka siap menerima risiko asal
dapat melihat wajah Tuk walau hanya sekali saja.
Kunjungan ke Pulau Lanun untuk menjumpai Tuk merupakan ekspedisi paling penting dan puncak
seluruh aktivitas paranormal Societeit. Mereka mempersiapkan diri dengan teliti dan mengerahkan
seluruh sumber daya karena perjalanan ke Pulau Lanun tak mudah dan biayanya sangat mahal.
Mereka harus menyewa perahu dengan kemampuan paling tidak 40 PK, jika tidak maka akan
memakan waktu sangat lama dan tak 'kan kuat melawan ombak yang terkenal besar di sana.
Kemudian mereka harus menyewa seorang nakhoda yang berpengalaman dari suku orang-orang
berkerudung. Karena ia berpengalaman dan tak mau mati konyol sebab ia tahu reputasi Tuk maka
harga jasa nakhoda ini juga sangat mahal.
Akibatnya Mahar rela menggadaikan sepeda
warisan kakeknya, Flo menjual kalung, cincin, gelang, dan merelakan tabungan uang saku selama
dua bulan yang ada dalam tas rajutannya. Mujis melego hartanya yang paling berharga, yaitu
sebuah radio transistor dua band merk Philip, si peng-angguran menggaruk-garuk sampah untuk
tambahan ongkos, sang mahasiswa drop out meminjam uang pada bapaknya, dan si pemain organ
tunggal menggadaikan elec-tone Yamaha PSR sumber nafkahnya.
Adapun orang Tionghoa yang menjadi tukang sepuh emas memecahkan celengan ayam jago
disaksikan tangisan anak-anaknya, si petugas teller BRI kerja lembur sampai tengah malam, sang
pensiunan syah bandar menggadaikan lemari kaca yang digotong empat orang dan menimbulkan
keributan besar dengan istrinya, sementara aku sendiri merelakan koleksi uang kunoku dibeli murah
oleh Tuan Pos.
Kami berdebar-debar menunggu hari H dan ketika uang patungan digelar di atas meja gaple,
terkumpul uang sebanyak Rp 1,5 juta! Luar biasa. Uang yang sebagian besar logam itu bergemerincingan
bertumpuk-tumpuk. Aku gemetar karena seumur hidupku tak pernah melihat uang sebanyak
itu, apalagi karena sebagai sekretaris Societeit aku harus menyimpannya. Aku genggam uang itu
dan terkesiap pada perasaan menjadi orang kaya. Ternyata jika kita telah menjadi orang miskin
sejak dalam kandungan, perasaan itu sedikit menakutkan. Kami bersorak karena inilah dana
terbesar yang berhasil kami kumpulkan. Aku menyimpan uang itu di dalam saku dan terus-menerus
memegangnya. Tiba-tiba semua orang tampak seperti pencuri. Kadang-kadang uang memang punya
pengaruh yang jahat. Setelah mendapatkan perahu dan bernegosiasi alot dengan nakhoda akhirnya
pas tengah hari kami berangkat.
Pada awalnya perjalanan cukup lancar, ikan lumba-lumba berkejaran dengan haluan perahu, cuaca
cerah, angin bertiup sepoi-sepoi, dan semua penumpang bersukacita. Namun, menjelang sore angin
bertiup sangat kencang. Perahu mulai ter-banting-banting tak tentu arah, meliuk-liuk mengikuti
ombak yang tiba-tiba naik turun dengan kekuatan luar biasa. Dan ombak itu semakin lama semakin
tinggi. Dalam waktu singkat keadaan tenang berubah menjadi horor. Semakin ke tengah laut perahu
semakin tak terkendali. Sama sekali tak diduga sebelumnya ombak mendadak marah dan langit
mulai mendung. Badai besar akan menghantam
kami. Semua penumpang pucat pasi. Terlambat
untuk kembali pulang, lagi pula perahu sudah tak bisa diarahkan.
Kadang-kadang sebuah gelombang yang dah-syat menghantam lambung perahu hingga terdengar
suara seperti papan patah. Aku menyangka perahu kami pecah dan kami akan karam dan berserakan
di laut lepas ini. Gelombang itu mengangkat perahu setinggi empat meter kemudian
menghempaskannya seolah tanpa beban. Kami terhunjam bersama
ombak besar yang menimbulkan lautan buih putih meluap-luap mengerikan. Ombak sudah
demikian ganas, sedangkan badai yang sesungguhnya belum tiba.
Aku melihat wajah nakhoda yang sudah ber-pengalaman itu dan jelas sekali ia cemas, membuat
kami menjadi semakin gamang. Nakhoda menunjuk jauh ke arah depan, di sana tampak sebuah
pemandangan yang membuat kami merinding hebat, yaitu gumpalan awan gelap bergerak pasti
menuju ke arah kami dengan kilatan-kilatan halilintar sam-bung menyambung di dalamnya. Badai
besar akan segera datang menggulung kami.
Nakhoda mencoba membalikkan arah perahu tapi mesin 40 PK itu tak berdaya dan jika menelusuri
gelombang yang demikian tinggi nakhoda khawatir perahu akan tertelungkup. Maka tak ada pilihan
baginya kecuali menyonsong awan yang gelap kelam itu. Kami tak berdaya seperti diombangambingkan
oleh sebuah tangan raksasa dan tangan itu justru mengumpankan kami kepada badai.
Dalam waktu singkat badai sudah tiba di atas kami dan angin puting beliung memboyakkan perahu
tanpa ampun. Hujan sangat lebat dan suasana menjadi gelap. Sambaran-sambaran kilat yang sangat
dekat dengan perahu menimbulkan pemandangan yang menciutkan nyali.
Ketika pusaran angin menusuk permukaan laut, kira-kira dua puluh meter di samping kami, seluruh
tubuhku gemetar melihat semburan air besar tumpah di atas perahu. Perahu berputar-putar di
tempat seperti gasing. Kami terpeleset dan
telentang di sepanjang geladak, berusaha saling memegangi agar tak tumpah dari perahu. Nakhoda
bertindak cepat menurunkan layar yang koyak dihantam angin, menutup palka, menjauhkan bendabenda
tajam, dan mematikan mesin. Lalu ia berteriak kencang memerintahkan kami agar mengikat
tubuh masing-masing ke tiang layar. Kami melilit-lilitkan tali beberapa kali seputar lingkar
pinggang dan menyimpulkan ujungnya dengan simpul mati kemudian mengikatkan diri dengan cara
yang sama ke tiang layar. Usaha ini dilakukan agar kami tak terpelanting ke laut.
Kami segera sadar bahwa situasi telah menjadi gawat, nyawa kami berada di ujung tanduk. Begitu
cepat alam berubah dari pelayaran yang damai beberapa waktu lalu hingga menjadi usaha mempertahankan
hidup yang mencekam saat ini. Kami dibukakan Allah sebuah lembar kitab yang nyata
bahwa kuasaNya demikian besar tak terbatas. Kami berkumpul membentuk lingkaran kecil
mengelilingi tiang layar. Tangan kami bertumpuk-tumpuk berusaha menggengam tiang itu. Bahu
kami saling bersentuhan satu sama lain. Kami seperti orang yang bersatu padu menjelang ajal.
Hampir satu jam kami masih tak tentu arah. Aku melihat haluan perahu berpendar-pendar dan
kepalaku pusing seolah akan pecah. Ketika kulihat Mujis menghamburkan muntah, perutku serasa
diaduk-aduk dan dalam waktu singkat aku pun muntah. Pemandangan berikutnya adalah setiap
orang di atas perahu menyemburkan seluruh isi
perutnya, termasuk nakhoda kapal yang telah ber-pengalaman puluhan tahun. Aku mencapai
tingkat puncak mabuk laut ketika tak ada lagi yang bisa dimuntahkan dan yang keluar hanya cairan
bening yang pahit. Semua penumpang perahu menga-laminya.
Kami sudah pasrah di atas perahu yang ter-angkat tinggi lalu terhempas dahsyat bak sepotong busa
di atas samudra yang mengamuk. Inilah pengalaman terburuk dalam hidupku. Saat itu aku amat
menyesal telah ikut campur dalam ekspedisi orang-orang gila Societeit untuk menemui seorang
dukun yang bahkan tak peduli dengan hidupnya sendiri. Tak adil mempertaruhkan nyawa untuk
orang yang tidak menghargai nyawa. Aku memandang permukaan laut yang biru gelap dengan
kedalaman tak terbayangkan dan dunia asing di bawah sana. Aku merasa sangat ngeri jika
tenggelam.
Wajah nakhoda tak memperlihatkan harapan sedikit pun. la juga telah mengikatkan tubuhnya ke
tiang layar. la terpekur menunduk dalam, tangan-nya yang kuat dan tua berurat-urat memegang kuat
tiang layar, berebutan dengan tangan-tangan kami. Jika kami tenggelam maka di dasar laut mayat
kami akan melayang-layang di ujung simpul-simpul tali yang mengikat tubuh kami seperti suraisurai
gurita. Sebagian besar penumpang mengalirkan air mata putus asa. Namun, Flo sama sekali
tak menangis. Sebelah tangannya menggenggam tiang layar, bibirnya membiru, dan wajahnya
menengadah
menantang langit. Wanita itu tak pernah takluk pada apa pun.
Tak ada tanda-tanda ombak akan reda, bahkan
semakin menjadi-jadi. Tinggal menunggu waktu
kami akan terbenam karam. Dan saat yang menakutkan itu datang ketika dari jauh kami melihat
gelombang yang sangat tinggi, hampir tujuh meter. Inilah gelombang paling besar dalam badai ini.
Kami gemetar dan berteriak histeris. Dalam waktu beberapa detik hentakan gelombang dahsyat itu
menerjang perahu dan mematahkan tiang layar yang sedang kami pegang. Tiang itu patah dua dan
bagian yang patah meluncur deras menuju buritan rnerttbingkas* tiga keping papan di lambung
perahu sehingga kapal bocor dan air masuk berlimpah-limpah. Mujis, Mahar, dan orang Tionghoa
yang berpegangan pada sisi belakang layar tertendang patahan tadi dan terpelanting ke geladak. Jika
tak dihalangi tutup palka mereka sudah jadi santapan samudra. Mereka menjerit-jerit ketakutan,
menim-bulkan kepanikan yang mencekam. Aku berpikir inilah akhir hayatku, akhir hayat kami
semua, laut ini akan segera memerah karena ikan-ikan hiu berpesta pora. Namun pada saat paling
genting itu aku mendengar samar-samar suara orang berteriak. Rupanya syah bandar melepaskan
pegangannya dari tiang layar dan mengumandangkan azan berulang-ulang. Kami masih terlonjaklonjak
dengan hebat dan air mulai menggenangi geladak tapi lonjakan perahu tiba-tiba reda.
Anehnya segera setelah azan itu selesai perlahan-lahan gelombang turun.
Gelombang laut yang meluap-luap berbuih me-ngerikan tiba-tiba surut seperti dihisap kembali oleh
awan yang gelap. Kami terkesima pada perubahan yang drastis. Ombak ganas menjadi semakin
jinak.
Hanya dalam waktu beberapa menit angin ber-henti bertiup seperti kipas angin yang dimatikan.
Badai yang mencekam nyawa lenyap seketika seperti tak pernah terjadi apa-apa. Tak lama
kemudian seberkas sinar menyelinap di antara gumpalan awan hitam, mengintip-intip dari gumpalan-
gumpalan kelam yang memudar. Meskipun kami tak tahu sedang berada di perairan mana
namun kami bersyukur kepada Allah berulang-ulang, bahkan menangis haru. Setidaknya harapan
muncul kembali. Lalu kami bergegas menimba air yang memenuhi perahu. Permukaan laut yang
luas tak terbatas menjadi amat tenang seperti permukaan danau.
Kami memandang jauh ke laut dan tak berkata-kata karena masih gentar pada bencana yang baru
saja mengancam. Flo tersenyum puas. la telah membuktikan bahwa ketika maut tercekat di
kerongkongannya ia tetap tak takut. Sebelum menemui Tuk Bayan Tula, ia telah mencapai salah
satu tujuannya. Pengalaman seperti tadilah yang sesungguhnya ia cari.
Awan perlahan-lahan menjadi gelap, bukan karena akan badai tapi karena senja telah turun.
Nakhoda berusaha memperkirakan posisi kami. Ia membaca bulan dan bintang di atas langit yang
cerah karena cahaya purnama hari kedua belas. Ia
menghidupkan mesin dan perahu bergerak pelan menuju arah sesuai hempasan badai. Berarti badai
tadi telah membuang kami jauh tapi ke arah yang memang kami tuju. Tak lama kemudian nakhoda
kembali mematikan mesin.
Beliau berjalan menuju haluan dan menyuruh kami diam. Pantulan sinar bulan berkilau-kilauan di
permukaan laut lepas sejauh mata memandang. Perahu pelan-pelan menembus benteng kabut yang
tebal. Sunyi senyap seperti suasana danau di tengah rimba. Ada perasaan seram diam-diam
menyelinap.
Nakhoda mengawasi jauh ke depan dengan mata ta-jamnya yang terlatih. Kami cemas mengantisipasi
bahaya lain yang akan datang, mungkin perompak, mungkin binatang yang besar, atau
mungkin badai lagi. Kami melihat bayangan hitam gelap di depan kami tapi sangat tak jelas karena
tertutup halimun yang semakin tebal. Kami ketakutan. Tiba-tiba nakhoda menunjuk lurus ke depan
dan mengatakan sesuatu dengan suaranya yang serak.
"Pulau Lanun!"
Kami serentak berdiri terperangah dan tepat ketika beliau selesai menyebutkan nama pulau itu
terdengarlah lolongan segerombolan anjing meleng-king-lengking mendiriikan bulu kuduk, seperti
me-nyambut tamu tak diundang.
Teronggok sepi seperti sebuah benda asing yang dikelilingi samudra, Pulau Lanun tampak kecil
sekali. Ada puluhan pohon kelapa di sisi timurnya
dan daun-daun kela-pa itu berkilauan laksana lampu-lampu neon yang berkibar-kibar karena
pantulan sinar purnama. Di tengah pulau tumbuh pohon-pohon besar yang rindang di antara ilalang
dan bongkahan-bongkahan batu. Lolongan anjing semakin panjang dan menjadi-jadi ketika perahu
menyelusuri naungan dahan-dahan bakau, men-dekati Pulau Lanun. Pada bagian ini cahaya bulan
tak tembus dan terang hanya kami dapat dari lampu pelita kecil yang berayun-ayun di tiang layar.
Di bawah naungan daun-daun bakau itu kami disergap perasaan takut yang sulit dijelaskan.
Di dalam hati aku mencoba merekonstruksi perasaan yang dialami utusan pawang angin tempo hari
dan sejauh ini semuanya tepat. Mereka mengatakan nuansa magis mulai terasa ketika perahu
mendekati pulau, hal itu benar. Saat perahu merapat rasanya tengkuk ditiup-tiup oleh angin yang
jahat dari mulut ribuan hantu tak kasatmata yang membuntuti kami. Ada sebuah pengaruh mistis
dan udara kuburan. Ada rasa kemurtadan, peng-khianatan, dan pembangkangan pada Tuhan. Ada
jerit kesakitan dari binatang yang dibantai untuk ritual sesat dan tercium bau amis darah, bau mayatmayat
lama yang sengaja tak dikubur, bau asap dupa untuk memanggil iblis, dan bau ancaman
kematian.
Kabut yang beterbangan agaknya makhluk suruhan gentayangan yang mengawasi setiap gerakgerik
kami. Bangkai-bangkai perahu perompak yang pemiliknya telah dipenggal Tuk Bayan Tula
berserakan hitam dan hangus. Pakaian-pakaian lengkap manusia memperlihatkan mayat mereka tak
pernah diurus sang datuk. Jika ia ingin menyembelih kami tak ada hukum yang akan membela kami
di sini. Kami seperti menyerahkan leher memasuki sumur sarang makhluk jadi-jadian karena tak
mampu mengekang nafsu ingin tahu.
Anjing-anjing yang melolong dalam kesenyapan malam tak tampak bentuknya. Kadang kala terdengar
seperti bayi yang menangis atau nenek tua yang memohon ampun karena jilatan api neraka.
Suara-suara ini mematahkan semangat dan menciutkan nyali. Sungguh besar sugesti Tuk Bayan
Tula dan sungguh hebat pengaruh magis legendanya sehingga menciptakan kesan mencekam
seperti ini. Saat itu kuakui bahwa beliau apa pun bentuknya memang orang yang berilmu sangat
tinggi. Daya bius magis Tuk Bayan Tula menisbikan pengalaman bertaruh dengan maut ketika
badai menghantam perahu kami beberapa waktu yang lalu. Seperti kharisma binatang buas yang
membuat mangsanya tak berkutik sebelum diterkam, demikianlah kharisma Tuk Bayan Tula.
Walaupun sinar purnama kedua belas terang tapi semuanya tampak kelam. Kami berjalan pelan
beriringan menuju kelompok pohon-pohon rindang dan batu-batu tadi. Di situlah Tuk Bayan Tula,
orang tersakti dari yang paling sakti, raja semua dukun, dan manusia setengah peri tinggal. Kami
gemetar namun tampak jelas setiap anggota Societeit telah menunggu momen ini sepanjang
hidupnya.
Tiba-tiba, seperti dikomando, suara lolongan anjing berhenti, diganti oleh kesenyapan yang
mengikat. Burung-burung gagak berkaok-kaok nyaring di puncak pohon bakau yang tumbuh subur
sampai naik ke daratan. Suasana semakin seram ketika kami menerabas ilalang dan menjumpai
beberapa punsuk menyembul-nyembul seperti iblis bersembuyi di celah-celah perdu tebal. Punsuk
adalah istilah orang Kek untuk menyebut gundukan tanah seperti makam-makam kuno. Punsuk
selalu identik dengan rumah berbagai makhluk halus, lebih dari itu karena ia kelihatan seperti
kuburan-kuburan Belanda, maka padang kecil ini terkesan sangat angker.
Akhirnya, kami tiba di sebuah rongga yang disebut gua oleh utusan dulu. Gua itu adalah celah
antara dua batu be-sar yang bersanding tidak simetris. Itulah rumah Tuk Bayan Tula. Kengerian
semakin mencekam tapi apa pun yang terjadi semuanya telah terlambat karena kami melihat sebelas
pelepah pinang tergelar di mulut rongga batu. Kami menjual dan datuk telah membeli. Kami
telah disambut dan harus siap dengan risiko apa pun.
Kami tak langsung duduk karena dilanda ketakutan apa-lagi di dalam gua terlihat kain tipis
berkelebat lalu pelan-pelan seperti asap yang mengepul dari tumpukan kayu basah yang dibakar
muncul sebuah sosok tinggi besar. Dengan mata kepalaku sendiri aku menyaksikan bahwa sosok itu
tidak menginjak bumi. Ia seperti mengambang di
udara, bergerak maju mundur seumpama benda tak berbobot. Belum pernah seumur hidupku
menyaksikan
pemandangan seajaib itu. Dialah sang orang sakti, manusia setengah peri, Tuk Bayan
Tula.
Tanpa sempat kami berpikir tiba-tiba sosok itu melesat seperti angin dan telah berdiri tegap kukuh
di depan kami. Kami terperanjat, serentak terjajar mundur, dan nyaris lari pontang-panting. Tapi
kami menguatkan hati. Tuk Bayan Tula berada dua meter dari kami yang takzim mengelilinginya.
Beliau adalah seseorang yang sungguh-sungguh mencitrakan dirinya sebagai orang sakti berilmu
setinggi langit. Kain hitam melilit-lilit tubuhnya, parang panjangnya masih sama dengan cerita
utusan dulu, rambut, kumis, dan jenggotnya lebat tak terurus, berwarna putih bercampur cokelat.
Tulang pipinya sangat keras mengisyaratkan ia mampu melakukan kekejaman yang tak
terbayangkan dan dan alisnya mencerminkan ia tak takut pada apa pun bah-kan pada Tuhan.
Namun, yang paling menonjol adalah matanya yang berkilat-kilat seperti mata burung, seluruhnya
berwarna hitam. Sedikit banyak, apa pun yang akan terjadi, aku merasa beruntung pernah melihat
legenda hidup ini.
Tuk diam mematung. Seluruh anggota Societeit memandanginya. Bertarung nyawa ke pulau ini
agaknya terbayar karena telah melihat tokoh panutan mereka. Tak sedikit pun keramahan
ditunjukkan Tuk. Lalu beliau duduk dan kami juga duduk di sebelas pelepah pinang yang secara
misterius telah beliau sediakan. Mahar tampak
sangat terpesona dengan sang datuk, baginya ini mimpi yang menjadi kenyataan. Tapi ia masih tak
berani mendekat karena takut. Maka Flo bangkit menghampiri Mahar, menarik tangannya, dan
wanita muda luar biasa itu tanpa tedeng aling-aling menyeret Mahar menghadap datuk.
Selanjutnya dengan amat berhati-hati Mahar berbisik pada sang datuk. Tuk memandang jauh ke
samudra yang berkilauan tak peduli meskipun Mahar menceritakan bahaya maut yang kami alami
untuk menjumpainya. Suara Mahar terdengar sayup-sayup
"... ombak setinggi tujuh meter...."
"... badai ... angin puting beliung ... tiang la-yar patah ... azan ...."
Tuk Bayan Tula mendengarkan tanpa minat. Mahar melanjutkan kisahnya hingga sampai kepada
tujuan utama kedatangannya.
"... saya dan Flo akan diusir dari sekolah ...."
"... sudah mendapat surat peringatan karena nilai-ni-lai yang merah ...."
"... minta tolong agar kami bisa lulus ujian ........ "
"... minta tolong Datuk, tak ada lagi harapan lain ...."
"... dimarahi orangtua dan guru setiap hari ...."
Kami diam seribu basa dan terus-menerus memandangi Tuk dari ujung kaki sampai ujung rambut.
Tiba-tiba tak dinyana, Datuk memalingkan wajahnya pada Mahar dan Flo. Kedua anak nakal itu
pucat pasi. Tuk memegang pundak Mahar sambil mengangguk-angguk. Mahar berseri-seri bukan
main seperti korban longsor dicium presiden. Para anggota Societeit tampak bangga ketuanya
disentuh dukun sakti pujaan hati mereka. Mahar mengerti apa yang harus dilakukan. Ia mengeluarkan
sepucuk surat dan sebuah pena lalu me-nyerahkannya dengan penuh hormat pada Tuk.
Datuk itu mengambilnya dan dengan kecepatan yang tak masuk akal beliau kembali masuk ke
dalam gua.
Selanjutnya terjadi sesuatu yang sangat aneh. Dari dalam gua terdengar suara keras bantinganbantingan
seperti sepuluh orang sedang berkelahi. Kami terlonjak dari tempat duduk, berkumpul
rapat-rapat, mamandang waspada ke dalam gua. Kami mendengar suara auman seekor binatang
buas bersuara menakutkan yang belum pernah kami dengar sebelumnya.
Jelas sekali di dalam sana Tuk Bayan Tula sedang
bertarung habis-habisan dengan makhlukmakhluk
besar yang ganas. Rupanya untuk meme-nuhi permintaan Mahar beliau harus
mengalahkan ribuan hantu. Seberkas penyesalan tampak di wajah Mahar. Ia tak sanggup
menanggungkan beban jika tokoh kesayangannya harus tewas karena permohonannya.
Debu mengepul dari pasir lantai gua karena makhluk-makhluk liar bergumul di dalamnya. Kami
bergidik cemas tapi tak berani mendekat. Kami menunduk memejamkan mata membayangkan
risiko maut. Lalu piring kaleng, panci, tulang-tulang ikan,
tempurung kelapa, tungku, cangkir, cambuk,
parang, dan sendok terlempar keluar gua dan ber-serakan di dekat kami. Di antara benda-benda itu
terdapat primbon, penanggalan tradisional Bali, peta laut, dan beberapa kitab lama bertulisan tangan
bahasa Melayu kuno dan Kek.
Pertempuran demikian seru hingga akhirnya terdengar jeritan kekalahan. Lalu kami melihat
puluhan sosok bayangan lelembut berbentuk seperti jasad terbungkus kain kafan hitam beterbangan
melesat cepat keluar dari dalam gua menembus pucuk-pucuk pohon santigi menghilang ke arah
laut. Anjing-anjing hutan kembali melolong agaknya lolongan anjing-anjing itu memaki-maki
gerombolan hantu yang telah dikalahkan Tuk Bayan Tula.
Tuk Bayan Tula kembali hadir di mulut gua dalam
keadaan terengah-engah, compang-camping,
dan berantakan. Aku sangat prihatin melihat orang sakti sampai terseok-seok seperti itu. Demi
memenuhi permintaan Mahar dan Flo agar tak diusir dari sekolah beliau telah mempertaruhkan
jiwa.
Tuk mengangkat gulungan kertas pesannya tinggi-tinggi seakan mengatakan, "Lihatlah wahai
manusia-manusia cacing tak berguna, siapa pun, kasat atau siluman tak 'kan sanggup melawanku.
Aku telah membinasakan iblis-iblis dari dasar neraka untuk membuat keajaiban yang membalikkan
hukum alam. Nilai-nilai ujianmu akan melingkar sendiri dalam kegelapan untuk menyelamatkanmu
di sekolah tua itu. Terimalah hadiahmu, karena engkau anak muda pemberani yang telah menantang
maut untuk menemuiku ...."
Tuk menyerahkan gulungan kertas itu yang disambut Mahar dengan kedua tangannya seperti
gelandangan yang hampir mati kelaparan menerima sedekah. Mahar memasukkan gulungan kertas
ke dalam tempat bekas bola badminton dengan amat hati-hati dan menutupnya rapat-rapat seperti
arsitek menyimpan cetak biru bangunan rahasia tempat menyiksa aktivis. Kotak itu dimasukkannya
ke dalam jaketnya. Tuk memberi isyarat agar kertas itu dibuka setelah kami tiba di rumah dan
menunjuk ke perahu agar kami segera angkat kaki. Tak sempat kami mengucapkan terima kasih,
secepat kilat, seperti angin Tuk Bayan Tula lenyap dari pandangan, sirna ditelan gelap dan asap
dupa gua persemayamannya.
Kami lari terbirit-birit menuju perahu. Nakhoda segera menghidupkan mesin. Kami langsung kabur
pulang. Mahar memegangi kotak bola badminton di jaketnya tak lepas-lepas. Wajahnya senang
bukan main. Flo juga tersenyum lega. Kertas itulah sertifikat asuransi pendidikan mereka. Kami
semua sepakat akan membuka surat itu besok se-pulang sekolah di bawah ffficium.
Tengah hari itu banyak orang berkumpul di bawah pohon filicium. Seluruh teman sekelasku,
seluruh anggota Societeit termasuk nakhoda yang juga menyatakan minat mendaftar sebagai
anggota baru, dan para utusan terdahulu yaitu dua orang dukun, kepala suku Sawang, dan seorang
polisi senior. Karena berita kami mengunjungi Tuk Bayan
Tula telah tersebar ke seantero kampung maka dalam waktu singkat reputasi Societeit melejit.
Semua orang tahu betapa besarnya risiko mengunjungi Pulau Lanun, yaitu ombak yang ganas, ikanikan
hiu, dan kekejaman Tuk Bayan Tula sendiri. Maka dalam pembukaan pesan Tuk siang ini
banyak sekali yang hadir. Kulihat ada Tuan Pos, para calon anggota baru Societeit yang
bersemangat karena reputasi baru organisasi, beberapa penjaga dan pemilik warung kopi, beberapa
orang tukang gosip, tukang ikan, juragan-juragan perahu, dan beberapa penggemar para normal
tingkat pemula.
Setelah seluruh guru pulang Mahar dan Flo keluar dari kelas dengan wajah berseri-seri.
Langkahnya ringan karena beban hancurnya nilai-nilai ulangan yang telah sekian lama menggelayut
di pundak mereka akan segera sirna. Mereka yakin sekali pesan Tuk akan menyelamatkan masa
depannya. Parapsikologi, metafisika, dan paranormal terbukti bisa memasuki area mana pun,
demikian kesan di wajah keduanya. Lalu kesan lain: kalian boleh membaca buku sampai bola mata
kalian meloncat tapi Tuk Bayan Tula akan membuat kami tampak lebih pintar, atau: bel-ajarlah
kalian sampai muntah-muntah dan kami akan terus mengembara mengejar pesona dunia gaib, tapi
tetap naik kelas sampai tingkat berapa pun.
Mahar dengan cermat mengeluarkan kotak bola
badminton, ia membuka tutupnya pelan-pelan.
Mengambil gulungan kertas itu dan mengangkatnya tinggitinggi.
Baginya itulah dokumen deklarasi
kemerdekaan dirinya dan Flo dari penjajahan dunia pendidikan yang banyak menuntut. Mahar
meme-gangi gulungan itu kuat-kuat dan sebelum membukanya ia memberikan sebuah pidato
singkat:
"Nasib baik memihak para pemberani!" Itulah pembukaan pidatonya, sangat filosofis
seperti Socrates sedang memberikan pelajaran filsafat pada muridmuridnya.
Anggota Societeit mengangguk-angguk setuju.
"Inilah pesan yang kami dapatkan dengan su-sah payah. Kami mengikatkan diri pada tiang layar
karena nyawa kami tinggal sejengkal dan kami memuntahkan cairan terakhir yang rasanya pahit
untuk mendapatkan keajaiban ini!"
Anggota Societeit bertepuk tangan bangga mendengar pidato hebat ketuanya. Demi menyak-sikan
pembukaan pesan ini sang teller BRI bolos kerja sedangkan bapak Tionghoa tukang sepuh emas
menutup tokonya. Mahar melanjut-kan pidato dengan berapi-api.
"Kami rela menggadaikan harta benda kesa-yangan dan berani mengambil risiko dimusnahkan dari
muka bumi oleh Tuk Bayan Tula, tapi akhirnya kami bisa membuktikan bahwa Societeit de Limpai
bukan organisasi sembarangan!"
Mahar berpidato penuh wibawa di hadapan para pengikutnya lalu seperti biasa ia mengeluarkan
bahasa tubuhnya yang khas: menaikkan alis, mengangkat bahu, dan mengangguk-angguk.
"Kami menyaksikan sendiri bahwa Tuk Bayan Tula bertempur habis-habisan untuk memberi kita
pesan pada kertas ini!! Sebagai ketua Societeit, saya merasa mendapat respek dengan perlakuan
beliau itu."
Anggota Societeit kembali bertepuk tangan bergemuruh. Wajah Flo tampak semakin cantik ketika
ia gembira.
"Maka, inilah prestasi tertinggi Societeit de Limpai."
Mahar mengangkat lagi gulungan kertas pesan Tuk Bayan Tula tinggi dan akan segera
membukanya.
Semua orang merubung ingin tahu. Beberapa peminat, termasuk aku, sampai naik ke atas dahandahan
rendah filicium agar dapat membaca pesan Tuk. Tangan Mahar gemetar memegang gulungan
kertas keramat itu dan wajah Flo memerah menahan girang, ia melonjak-lonjak tak sabar menunggu
kejutan yang menyenangkan. Semua orang merasa tegang dan sangat ingin tahu. Mahar perlahanlahan
membuka gulungan kertas itu dan di sana, di kertas itu tertulis dengan jelas:
INILAH PESAN TUK-BAYAN-TULA UNTUK
KALIANBERDUA,
KALAU INGIN LULUS UJIAN:
BUKA BUKU,BELAJARLAH
BAB XXX
Elvis Has Left the Building
KAMIsedang benci pada Samson karena sikapnya yang keras kepala. Kami berdebat hebat di
bawah pohon filicium. Sembilan lawan satu. Tapi ia dengan konyol tetap memperjuangkan
pendiriannya, tak mau kalah.
Duduk perkaranya adalah semalam kami baru saja menonton film Puiau Putri yang dibintangi S.
Bagyo. Di film itu S. Bagyo dkk. terdampar di sebuah pulau sepi yang hanya dihuni kaum wanita.
Kerajaan atau berarti lebih tepatnya keratuan di pulau itu sedang diteror seorang ne-nek sihir
berwajah seram. Jika ia tertawa, ingin rasanya kami terkencing-kencing.
Kami menonton film yang diputar sehabis ma-grib itu di bioskop MPB (Markas Pertemuan Buruh)
yang khusus disediakan oleh PN Timah bagi anak-anak bukan orang staf. Sebuah bioskop kualitas
misbar dengan 2 buah pengeras suara lapangan merk TOA. Karena lantainya tidak didesain
selayaknya bioskop maka agar penonton yang paling belakang tidak terhalang pandangannya, di
bagian belakang disediakan bangku tinggi-tinggi.
Dan kami, sepuluh orang termasuk Flo duduk berjejer di bangku paling belakang.
Anak-anak orang staf menonton di tempat yang berbeda, namanya Wisma Ria. Di sana film diputar
dua kali seminggu. Penonton dijemput dengan bus berwarna biru. Tentu saja di bioskop itu juga
terpampang peringatan keras "DILARANG MASUK BAGI YANG TIDAK MEMILIKI HAK".
Kami tak menduga sama sekali kalau film yang berjudul indah Putau Putri tersebut adalah film
horor. Membaca judulnya kami pikir kami akan melihat beberapa putri cantik melumuri tubuhnya
dengan semacam krim dan lari berlarian sambil tertawa cekikikan di pinggir pantai.
"Asyik," kata Kucai berbinar-binar.
Namun, perkiraan kami meleset. Baru beberapa menit film dimulai nenek sihir itu muncul dengan
tawanya yang mengerikan. Yang cekikikan adalah kaum dedemit. S. Bagyo dan kawan-kawan lari
terbirit-birit. Dari belakang aku dapat menyaksikan seluruh penonton, anak-anak kuli PN Timah,
tiarap setiap nenek jahat itu muncul di layar. Beberapa anak perempuan menangis dan anak-anak
lainnya ambil langkah seribu, kabur dari bioskop rombeng ini dan tak kembali lagi.
Di deretan tempat dudukku kulihat Samson yang duduk di ujung kiri hampir sama sekali tidak
menonton. la bersembunyi di ketiak Syahdan. Sebaliknya, Syahdan bersembunyi di ketiak A Kiong.
A Kiong bersembunyi di ketiak Kucai, Kucai di ketiakku. Aku dan Trapani di ketiak Mahar.
Trapani menjerit-jerit memanggil ibunya jika nenek sihir itu mengobrak-abrik kampung. Dan
Mahar menunduk seperti orang mengheningkan cipta.
Yang berdiri tegak tak bergerak hanya Harun, Sahara, dan Flo. Mereka tertawa terbahak-bahak
melihat S. Bagyo pontang-panting dikejar setan. Jika S. Bagyo berhasil lolos mereka bertepuk
tangan.
Ketika pulang, kami bergandengan tangan. Ketika melewati kuburan, tangan Trapani sedingin es.
Esoknya, saat istirahat siang Samson berkeras bahwa nenek sihir itulah yang diuber-uber oleh S.
Bagyo. Kami semua protes karena ceritanya sama sekali tidak begitu.
"Tahukah kau justru Bagyolah yang diuber-uber nenek sihir sepanjang film itu," Samson berkeras.
"Mana mungkin," bantah Kucai.
"Aku melihat sendiri kau menggigil ketakutan di bawah ketiak Syahdan," serang A Kiong.
Samson masih berkelit, "Apa kau sendiri menonton?
Setahuku hanya Sahara, Harun, dan Flo yang
tak sem-bunyi."
Sahara melirik kami dengan pandangan jijik, "Semua pria brengsek!" katanya ketus.
Harun mengangguk-angguk mendukung mutlak pernyataan itu.
"Biar kami hanya melirik sekali-sekali bukan ber-arti kami tak tahu jalan ceritanya," Mahar
memojokkan Samson.
Demi mendengar kata "melirik sekali-sekali" itu
Sahara semakin jijik.
"Semua pria menyedihkan!"
Samson membalas Mahar, "Ah! Tahu apa kau soal film, urus saja jambulmu itu!"
Kami semua tertawa geli, dan memang Mahar segera menyisir jambulnya.
Kami semua terlibat perang mulut, kecuali Trapani, ia diam melamun. Belakangan ini Trapani
semakin pendiam dan sering melamun. Aku paham apa yang terjadi. Samson malu mengakui bahwa
ia bersembunyi di bawah ketiak Syahdan. Ia tak ingin citranya sebagai pria macho hancur hanya
karena ketakutan nonton sebuah film. Perilakunya itu persis kaum oportunis di panggung politik
negeri ini.
Perdebatan semakin seru. Diperlukan seorang penengah dengan wawasan dan kata-kata cerdas
pamungkas untuk mengakhiri perseteruan ini. Sayangnya si cerdas itu sudah dua hari tak tampak
batang hidungnya. Tak ada kabar berita.
Ketika esoknya Lintang tak juga hadir, kami mulai khawatir. Sembilan tahun bersama-sama tak
pernah ia bolos. Saat ini sedang musim hujan, bukan saatnya kerja kopra. Bukan pula musim panen
kerang, sementara karet telah digerus bulan lalu. Pasti ada sesuatu yang sangat penting. Rumahnya
terlalu jauh untuk mencari berita.
Sekarang hari Kamis, sudah empat hari Lintang
tak muncul juga. Aku melamun memandangi tempat duduk di sebelahku yang kosong. Aku sedih
melihat dahan filicium tempat ia bertengger jika kami memandangi pelangi. Ia tak ada di sana.
Kami sangat kehilangan dan cemas. Aku rindu pada Lintang.
Kelas tak sama tanpa Lintang. Tanpanya kelas kami hampa kehilangan auranya, tak berdaya.
Suasana kelas menjadi sepi. Kami rindu jawaban-jawaban hebatnya, kami rindu kata-kata
cerdasnya, kami rindu melihat-nya berdebat dengan guru. Kami juga rindu rambut acak-acakannya,
sandal jeleknya, dan tas karungnya.
Bu Mus berusaha ke sana sini mencari kabar dan menitipkan pesan pada orang yang mungkin
melalui kampung pesisir tempat tinggal Lintang. Aku cemas membayangkan kemungkinan buruk.
Tapi biarlah kami tunggu sampai akhir minggu ini.
Senin pagi, kami semua berharap menjumpai Lintang dengan senyum cerianya dan kejutan-kejutan
barunya. Tapi ia tak muncul juga. Ketika kami sedang berunding untuk mengunjunginya, seorang
pria kurus tak beralas kaki masuk ke kelas kami, menyampaikan surat kepada Bu Mus. Begitu
banyak kesedihan kami lalui dengan Bu Mus selama hampir sembilan tahun di SD dan SMP
Muham-madiyah tapi baru pertama kali ini aku melihatnya menangis. Air matanya berjatuhan di
atas surat itu.
Ibunda guru,
Ayahku telah meninggal, besok aku akan ke sekolah. Salamku, Lintang.
Seorang anak laki-laki tertua keluarga pesisir miskin yang ditinggal mati ayah, harus menanggung
nafkah ibu, banyak adik, kakek-nenek, dan paman-paman yang tak berdaya, Lintang tak punya
peluang sedikit pun untuk melanjutkan sekolah. la sekarang harus mengambil alih menanggung
nafkah paling tidak empat belas orang, karena ayahnya, pria kurus berwajah lembut itu, telah mati,
karena pria cemara angin itu kini telah tumbang. Jasadnya dimakamkan bersama harapan besarnya
terhadap anak lelaki satu-satunya dan justru kematiannya ikut membunuh cita-cita agung anaknya
itu. Maka mereka berdua, orang-orang hebat dari pesisir ini, hari ini terkubur dalam ironi. Di bawah
pohon fiiicium kami akan mengu-capkan perpisahan. Aku hanya diam. Hatiku kosong. Perpisahan
belum dimulai tapi Trapani sudah menangis terisak-isak. Sahara dan Harun duduk bergandengan
tangan sambil tersedu-sedu. Samson, Mahar, Kucai, dan Syahdan berulang kali mengambil wudu,
sebenarnya dengan tujuan menghapus air mata. A Kiong melamun sendirian tak mau diganggu. Flo,
yang baru saja mengenal Lintang dan tak mudah terharu tampak sangat muram. la menunduk diam,
matanya berkaca-kaca.
Baru kali ini aku melihatnya sedih.
Kami melepas seorang sahabat genius asli didikan alam, salah seorang pejuang Laskar Pelangi
lapisan tertinggi. Dialah ningrat di antara kami. Dialah yang telah menorehkan prestasi paling
istimewa dan pahlawan yang mengangkat derajat perguruan miskin ini. Kuingat semua jejak kecerdasannya
sejak pertama kali ia memegang pensil yang salah pada hari pertama sekolah, sembilan
tahun yang lalu. Aku ingat semangat persahabatan dan kejernihan buah pikirannya. Dialah Newtonku,
Adam Smithku, Andre Ampereku.
Lintang adalah mercu suar. Ia bintang petunjuk bagi pelaut di samudra. Begitu banyak energi
positif, keceriaan, dan daya hidup terpancar dari dirinya. Di dekatnya kami terimbas cahaya yang
masuk ke dalam rongga-rongga otak, memperjelas penglihatan pikiran, memicu keingintahuan, dan
membuka jalan menuju pemahaman. Darinya kami belajar tentang kerendahan hati, tekad, dan
persahabatan. Ketika ia menekan tombol di atas meja mahoni pada lomba kecerdasan dulu, ia telah
menyihir kepercayaan diri kami sampai hari ini, membuat kami berani bermimpi melawan nasib,
berani memiliki cita-cita.
Lintang seumpama bintang dalam rasi Cassiopeia
yang meledak dini hari ketika menyentuh
atmosfer. Ketika orang-orang masih lelap tertidur. Cahaya ledakannya menerangi angkasa raya,
memberi terang bagi kecemerlangan pikiran tanpa seorang pun tahu, tanpa ada yang peduli.
Bagai meteor pijar ia berkelana sendirian ke planet-planet pengetahuan, lalu kelipnya meredup
dalam hitungan mundur dan hari ini ia padam, tepat empat bulan sebelum ia menyelesaikan SMP.
Aku merasa amat pedih karena seorang anak supergenius, penduduk asli sebuah pulau terkaya di
Indonesia hari ini harus berhenti sekolah karena kekurangan biaya. Hari ini, seekor tikus kecil mati
di lum-bung padi yang behimpah ruah.
Kami pernah tertawa, menangis, dan menari bersama di dalam lingkaran bayang kobaran api. Kami
tercengang karena terobosan pemikirannya, terhibur oleh ide-ide segarnya yang memberontak, tak
biasa, dan menerobos. Ia belum pergi tapi aku sudah rindu dengan sorot mata lucunya, senyum
polosnya, dan setiap kata-kata cerdas dari mulutnya. Aku rindu pada dunia sendiri di dalam
kepalanya, sebuah dunia kepandaian yang luas tak terbatas dan kerendahan hati yang tak bertepi.
Inilah kisah klasik tentang anak pintar dari keluarga melarat. Hari ini, hari yang membuat gamang
seorang laki-laki kurus cemara angin sembilan tahun yang lalu akhirnya terjadi juga. Lintang, sang
bunga meriam ini tak 'kan lagi melontarkan tepung sari. Hari ini aku kehilangan teman sebangku
selama sembilan tahun. Kehilangan ini terasa lebih menyakitkan melebihi kehilangan A Ling,
karena kehilangan Lintang adalah kesia-siaan yang mahabesar. Ini tidak adil. Aku benci pada
mereka yang berpesta pora di Gedong dan aku benci pada diriku sendiri yang tak berdaya
menolong Lintang karena keluarga kami sendiri melarat dan orangtua-orangtua kami harus berjuang
setiap hari untuk sekadar menyambung hidup.
Ketika datang keesokan harinya, wajah Lintang tampak hampa. Aku tahu hatinya menjerit, meronta-
ronta dalam putus asa karena penolakan yang hebat terhadap perpisahan ini. Sekolah, kawankawan,
buku, dan pelajaran adalah segala-galanya baginya, itulah dunianya dan seluruh
kecintaannya. Suasana sepi membisu, suara-suara unggas yang biasanya huh rendah di pohon
filicium sore ini lengang. Semua hati terendam air mata melepas sang mutiara ilmu dari lingkaran
pendidikan. Ketika kami satu per satu memeluknya tanda perpisahan, air matanya mengalir pelan,
pelukannya erat seolah tak mau melepaskan, tubuhnya bergetar saat jiwa kecerdasannya yang agung
tercabut paksa mening-galkan sekolah.
Aku tak sanggup menatap wajahnya yang pilu dan kesedihanku yang mengharu biru telah
mencurahkan habis air mataku, tak dapat kutahan-tahan sekeras apa pun aku berusaha. Kini ia
menjadi tangis bisu tanpa air mata, pehh sekali. Aku bahkan tak kuat mengucapkan sepatah pun
kata perpisahan. Kami semua sesenggukan. Bibir Bu Mus bergetar menahan tangis, matanya
semerah saga. Tak setitik pun air matanya jatuh. Beliau ingin kami tegar. Dadaku sesak
menahankan pemandangan itu. Sore itu adalah sore yang paling sendu di seantero Belitong, dari
muara Sungai Lenggang sampai ke pesisir Pangkalan Punai, dari Jembatan Mirang
sampai ke Tanjong Pandan. Itu adalah sore yang paling sendu di seantero jagad alam.
Saat itu aku menyadari bahwa kami se-sungguhnya adalah kumpulan persaudaran cahaya dan api.
Kami berjanji setia di bawah halilintar yang menyambar-nyambar dan angin topan yang menerbangkan
gunung-gunung. Janji kami tertulis pada tujuh tingkatan langit, disaksikan naga-naga
siluman yang menguasai Laut Cina Selatan. Kami adalah lapisan-lapisan pelangi terindah yang
pernah diciptakan Tuhan.Duqbelas tahun kemudian.
BAB XXXI
ZaalBatu
SEORANGwanita setengah baya berjalan de-ngan seorang pria bernama Dahroji, menghampiriku.
Masalah! Pasti masalah lagi!
"Kalau Nyonya mau marah, tumpahkan pada laki-laki berantakan ini," kata Dahroji. la pergi
menahan murka.
Wanita itu mengamatiku baik-baik. Dandanan-nya, huruf "r" dan "g" yang keluar dari tenggorokannya,
tarikan alisnya, serta gayanya memandang, mengesankan ia pernah sekian lama tinggal di
luar negeri dan ia muak dengan semua ketidakefisienan di negeri ini.
Agaknya ia memiliki masalah yang sangat ga-wat. Ya, memang gawat, surat restitusi bea masuk
lukisan dari luar negeri yang dikirim oleh kantor Duane terlambat ia terima karena aku salah sortir.
Seharusnya ia masuk kotak Ciawi tapi aku tak sengaja melemparkannya ke lubang Gunung Sindur.
Human error \
Telah tiga kali aku keliru minggu ini. Alasanku karena overload. Dahroji, ketua ekspedisi, tak mau
tahu kesulitanku. Volume surat meningkat tajam
dan banyak perluasan wilayah yang membuka wijk baru yang tak kukenal. Aku memandang kuyu
pada tiga karung surat bercap Union Postale Universele ketika nyonya yang masih seksi itu
komplain. Sejenak aku benci pada hidupku yang kacau balau. Salah satu ciri hidup yang tak sukses
adalah menerima semprotan pelanggan sebelum sempat sarapan pagi. Tapi sekian lama bekerja di
sini aku telah terlatih memadamkan sementara fungsi gendang telinga. Maka madam itu hanya
kulihat bergetar-getar seperti Greta Garbo dalam film bisu hitam putih.
"Hoe vaak moet ik je dat nog zeggenW" har-diknya sambil melengos pergi. Benar kan kataku?
Kira-kira maksudnya: saya sudah komplain berapa kali masih saja keliru!
Dan kembali aku termangu-mangu menatap tiga
karung surat tadi. Setelah terpuruk akibat
dikhotbahi nyonya itu aku masih harus bekerja keras menyortir semuanya karena pukul delapan
seluruh pengantar kilat khusus termin pertama akan berangkat dan karena aku adalah pegawai pos,
tukang sortir, bagian kiriman peka waktu, shift pagi, yang bekerja mulai subuh.
Aku sengsara batin karena ironi dalam hidupku. Rencana Aku dua belas tahun yang lalu untuk
menjadi seorang penulis dan pemain bulu tangkis ternama telah lenyap, kandas di dalam kotakkotak
sortir surat. Bahkan rencana Bku, yaitu menjadi penulis buku tentang bulu tangkis dan
kehidupan sosial, juga telah gagal meskipun di dalam hati aku
masih menyimpan komentar-komentar manis para mantan kampiun bulu tangkis.
Buku itu sebenarnya telah selesai kutulis, tidak tanggung-tanggung, seluruhnya mencapai 34 bab
dan hampir 100.000 kata. Untuk menulisnya aku telah melakukan riset yang intensif di federasi
bulu tangkis dan komite olahraga nasional serta menga-mati kehidupan sosial beberapa mantan
pemain bulu tangkis terkenal. Aku juga mempelajari budaya pop serta tren terbaru pengembangan
kepribadian. Tapi para penerbit tak sudi menerbitkan bukuku berdasarkan pertimbangan komersial.
Mereka lebih tertarik pada karya-karya sastra cabul, yaitu buku-buku yang penuh tulisan jorok
seperti kondom, masturbasi, dan orgasme karena buku-buku semacam itu lebih mendatangkan
keuntungan. Mereka, para penerbit itu, telah melupakan prinsip-prinsip men sana in corpore sano.
Aku berusaha membesarkan hati dengan berpretensi menyama-nyamakan diriku dengan John
Steinbeck yang tujuh kali ditolak penerbit tapi akhirnya bisa mengantongi Pulitzer. Aku juga tak
keberatan menjadi Mary Shelley yang hanya pernah sekali menulis buku Frankenstein lalu hilang
dalam kejayaan. Aku harap bukuku: Bulu Tangkis dan Pergauian dapat menjadi sebuah karya
fenomenal yang dikenang orang sepanjang masa. Setidaknya itulah sumbanganku untuk
kemanusiaan. Namun bagaimanapun aku berusaha menguatkan diri, kenyataannya aku hampir mati
lemas ditumpuki kegagalan demi kegagalan. Bagaimanapun dulu Pak
Harfan dan Bu Mus mengajariku agar tak gentar pada kesulitan apa pun, namun pada titik ini
dalam hidupku ternyata nasib telah menghantamku dengan technical knock out.
Pada suatu dini hari yang paling frustrasi, di bawah hujan deras, aku menumpuk empat bendel
master tulisanku beserta enam buah disket. Tumpukan itu kusimpul mati dengan tali jalin dan
pemberat setengah kilo berupa segel timah plombir untuk mengikat kantong pos. Aku berlari
menuju Jembatan Sempur lalu buku bulu tangkis rencana B ku itu, buku bergenre humaniora itu
sambil meme-jamkan mata dengan hati yang redam kulemparkan ke dasar Kali Ciliwung. Jika tak
tersangkut di celah batu-batu di dasar kali maka buku itu akan terapung-apung bersama banjir
kiriman ke Jakarta, hanyut terombang-ambing bersama cita-citaku.
Aku ingin melarikan diri ke satu-satunya tern-pat yang paling indah dalam hidupku, yang telah
kukenal sejak belasan tahun yang lalu. Sebuah desa cantik dengan taman bunga, pagar-pagar batu
kelabu yang mengelilinginya, dan jalan setapak yang ditudungi untaian dahan-dahan prem. Itulah
Edensor, eden berarti surga, nirwana pelarian dalam otak kecilku dari buku Herriot yang sangat
kumal karena telah puluhan kali kubaca. Semakin sukar hidupku, semakin sering aku membacanya.
Sayangnya aku tak bisa ke Edensor karena sampai hari ini tempat itu masih tetap hanya ada dalam
khayalanku.
Setiap pulang kerja aku sering duduk melamun
di pokok pohon randu, di pinggir Lapangan Sempur, dekat kamar kontrakanku. Menghadap ke Kali
Ciliwung aku memprotes Tuhan:
"Ya, Allah, bukankah dulu pernah kuminta jika aku gagal menjadi penulis dan pemain bulu tangkis
maka jadi-kan aku apa saja asal bukan pegawai pos! Dan jangan beri aku pekerjaan mulai subuh
...!!"
Tuhan menjawab doaku dulu persis sama se-perti yang tak kuminta. Begitulah cara Tuhan bekerja.
Jika kita menganggap doa dan pengabulan merupakan variabel-variabel dalam sebuah fungsi linier
maka Tuhan tak lain adalah musim hujan, sedikit banyak kita dapat membuat prediksi. Kuberi tahu
Kawan, cara bertindak Tuhan sangat aneh. Tuhan tidak tunduk pada postulat dan teorema mana
pun. Oleh karena itu, Tuhan sama sekali tak dapat diramalkan.
Maka inilah aku sekarang. Dalam asumsi yang konservatif petugas biro statistik menyebut orang
sepertiku sebagai mereka yang bekerja pada sektor jasa, mengonsumsi di bawah 2.100 kalori setiap
hari, dan berada dekat sekali dengan garis miskin. Miskin, kata itu demikian akrab sepanjang
hidupku, bagaikan sahabat baik, seperti mandi pagi. Sebenarnya sepanjang waktu aku meloncatloncat
di antara garis miskin itu, tergantung jam lembur yang diberikan Dahroji. Jika aku banyak
lembur maka bulan itu mereka dapat mempertimbangkanku dalam lapisan berpenghasilan
menengah ke bawah. Toh orang-orang statistik itu tidak membuat
parameter waktu bagi setiap kategori. Tapi
singkatnya begini saja, aku adalah bagian dari 57% rakyat miskin yang ada republik ini.
Hidup membujang, mandiri, terabaikan, bekerja sepuluh jam sehari, kisaran usia 25-30 tahun,
itulah demografi yang aku wakili. Secara psikografi identitasku adalah pria yang kesepian. Orang
marketing melihatku sebagai target market produk-produk minyak rambut, deodoran, peninggi
tubuh, peramping perut buncit, atau apa saja yang berkenaan dengan upaya peningkatan
kepercayaan diri. Dunia tak mau peduli padaku, dan negara hanya mengenalku me-lalui sembilan
digit nomor, 967275337, itulah nomor induk pegawaiku.
Tak ada bahagia pada pekerjaan sortir. Peker-jaan ini tidak termasuk dalam profesi yang
ditampilkan murid-murid SD dalam karnaval. Setiap hari berkubang dalam puluhan kantong pos
dari negeri antah berantah. Masa depan bagiku adalah pensiun dalam keadaan miskin dan rutin
berobat melalui fasilitas Jamsostek, lalu mati merana sebagai orang yang bukan siapa-siapa.
Setelah usai bekerja aku terlalu lelah untuk bersosialisasi. Aku menderita insomnia. Setiap malam
antara tidur dan terjaga aku terhipnotis cerita wayang golek dan suara kemerosok radio AM. Aku
bangun pagi-pagi buta ketika orang-orang Bogor masih meringkuk di tempat tidur mereka yang
nyaman. Aku merangkak-rangkak kedinginan, ter-seok-seok menuju kantor pos melewati bantaran
Kali Ciliwung yang masih diliputi kabut untuk kembali menyortir ribuan surat. Saat orangorang
Bogor
bangun dan mengibas-ngibaskan koran pagi di depan teh panas dan tangkupan roti, aku juga
sarapan makian dari madam Belanda tadi. Itulah hidupku sekarang, masa depanku tak jelas dan aku
sudah tak punya konsep lagi tentang masa depan. Semuanya serba tak pasti. Vang kutahu pasti
cuma satu hal: aku telah gagal. Aku mengutuki diri sendiri terutama ketika apel Korpri tanggal 17.
Hanya Eryn Resvaldya Novella satu-satunya hiburan dalam hidupku. la cerdas, agamais, cantik,
dan baik hati. Usianya 21 tahun. Belakangan aku memanggilnya awardee karena ia baru saja
menerima award sebagai mahasiswa paling bermutu di salah satu universitas paling bergengsi di
negeri ini di kawasan Depok. Ia mahasiswa universitas itu, jurusan psikologi. Ayah Eryn, abangku,
terkena PHK dan aku mengambil alih membiayai sekolahnya.
Lelah seharian bekerja lenyap jika melihat Eryn dan semangat belajarnya, jiwa positifnya, dan
intelegensia yang terpancar dari sinar matanya. Aku rela kerja lembur berjam-jam, membantu
menerje-mahkan bahasa Ing-gris, menerima ketikan, dan berkorban apa saja termasuk baru-baru ini
meng-gadaikan sebuah tape deck, hartaku yang paling berharga demi membiayai kuliahnya.
Pengalaman dengan Lintang telah menjadi trauma bagiku. Kadang-kadang aku bekerja begitu keras
demi Eryn untuk menghilangkan perasaan bersalah karena tak mampu membantu Lintang. Eryn
menimbulkan semacam perasaan bahwa semenyedihkan apa pun,
hidupku masih berguna. Tak ada yang dapat
dibanggakan dalam hidupku sekarang, tapi aku ingin mendedikasikannya pada sesuatu yang
penting. Eryn adalah satu-satunya arti dalam hidupku.
Saat ini Eryn sedang panik karena proposal skripsinya berulang kali ditolak. Sudan belasan kali hal
ini terjadi. Sejak kuliahnya selesai semester lalu ia telah menghabiskan waktu lima bulan hanya
untuk mencari topik skripsi yang bermutu. Bersama surat penolakan itu pembimbingnya
melampirkan lima belas lembar kertas berisi judul skripsi yang pernah ditulis. Aku melirik, benar
saja, sudah tiga puluh orang yang menulis tentang personality disorder, puluhan lainnya menulis
topik tentang kepuasan kerja, down syndrome, dan metode konseling anak. Tak terhitung yang telah
menulis skripsi mengenai autisme.
Pembimbingnya menuntut Eryn menulis sesuatu yang baru, berbeda, dan mampu membuat
terobosan ilmiah karena ia adalah mahasiswa cerdas pemenang award. Aku setuju dengan
pandangan itu. Eryn sebenarnya telah memiliki konsep tentang sesuatu yang berbeda itu. Dari
pembicaraannya yang meluap-luap aku menangkap bahwa ia telah mempelajari suatu gejala
psikologi di mana seorang individu demikian tergantung pada individu lain sehingga tak bisa
melakukan apa pun tanpa pasangannya itu. Kemudian ia pun mengajukan tema tersebut,
pembimbingnya setuju.
Masalahnya adalah gejala seperti itu sangat jarang terjadi sehingga Eryn tak kunjung
mendapatkan kasus. Memang terdapat beberapa
kasus dependensi tapi intensitasnya rendah, gejala sehari-hari saja yang tidak memerlukan
perawatan khusus sehingga dianggap kurang memadai untuk analisis mendalam. Eryn mencari
sebuah kasus ketergantungan yang akut.
Ia telah berkorespondensi dengan puluhan psikolog, psikiater, dosen-dosen universitas, lemba-galembaga
yang menangani kesehatan mental, dan para dokter di rumah sakit jiwa di seluruh negeri,
tapi hampir empat bulan berlalu kasusnya tak kunjung ditemukan. Eryn mulai frustrasi.
Namun agaknya nasib menyapa Eryn hari ini. Ketika menyortir aku menemukan sepucuk surat
yang ditujukan ke kontrakanku. Surat untuk Eryn dengan sampul resmi yang bagus sekali, dari
sebuah rumah sakit jiwa di Sungai Liat, Bangka.
"Awardee1.Seseorang dari rumah sakit jiwa agaknya jatuh hati padamu .,„¦" kataku setiba di rumah
kontrakanku.
Ia merampas surat dari tanganku, membacanya sekilas, lalu meloncat-locat gembira.
"Alhamdullilah, finally1. Cicik (paman), kita akan berangkat ke Sungai Liat!"
Eryn telah menemukan kasusnya. Seorang dokter
senior profesor tepatnya yang menjadi staf ahli
di rumah sakit jiwa Sungai Liat memberi tahu bahwa kasus langka yang dicari Eryn ditemukan di
sana. Dokter itu juga mengatakan bahwa kasus itu banyak diincar para ilmuwan, termasuk beberapa
kandidat Ph.D. untuk diteliti, tapi Eryn diprioritaskan karena prestasi kuliahnya.
Eryn memintaku cuti untuk mengantarnya ke rumah sakit jiwa itu. Apa dayaku menolak, bukankah
semuanya memang untuk mendukung dirinya. Lagi pula Sungai Liat ada di Pulau Bangka, tetangga
Pulau Belitong. Kami akan sekalian pulang kampung setelah ia riset.
Rumah sakit jiwa Sungai Liat sudah sangat tua. Orang Belitong menyebutnya Zaal Batu.
Barangkali zaman dulu dinding ruang perawatannya adalah batu. Karena di Belitong tidak ada
rumah sakit jiwa bahkan sampai sekarang maka orang Belitong yang mentalnya sakit parah sering
dikirim melintasi laut ke rumah sakit jiwa ini. Karena itu Zaal Batu bagi orang Belitong selalu
memberi kesan sesuatu yang mendirikan bulu kuduk, kelam, sakit, dan putus asa.
Sore itu mendung ketika kami tiba di Zaal Batu. Suara azan ashar bersahut-sahutan lalu sepi pun
mencekam. Kami memasuki gedung tua berwarna serba putih dengan plafon tinggi dan pilar-pilar.
Lalu kami melewati sebuah selasar panjang berlantai ubin tua berwarna cokelat dan bermotif jajaran
genjang simetris.
Beberapa jambangan bunga model lama gaya Belanda bederet-deret di sepanjang selasar itu.
Pemandangan lainnya tak berbeda dengan rumah sakit jiwa lainnya. Pintu-pintu besi dengan
gembok besar, kamar obat berisi botol-botol pendek, bau karbol, meja beroda, para perawat yang
berpakaian serba putih, dan para pasien yang berbicara sendiri atau memandang aneh. Terdengar
lamat-lamat suara cekikikan dan teriakan beberapa kelompok pasien yang sedang bercanda dengan
para perawat di halaman rumah sakit yang luas.
Setelah melewati selasar kami berhadapan dengan sebuah pintu jeruji yang dikunci dengan lilitan
rantai dan digembok. Kami terhenti di situ. Seorang perawat pria tergopoh-gopoh menghampiri
kami. Ia tahu kami sedang ditunggu, ia membuka pintu. Kami masuk melintasi sebuah ruangan
panjang. Ruangan yang terkunci rapat ini menam-pung beberapa pasien. Mereka mengikuti gerakgerik
kami dengan teliti.
Eryn tak berani jauh-jauh dari perawat tadi. Aku tak takut tapi sedih melihat penderitaan jiwa
mereka. Suasana di sini mencekam. Banyak pasien berusia lanjut dan meskipun kelihatan sehat tapi
kita segera tahu bahwa orang-orang ini sangat terganggu kewarasannya. Pandangan matanya penuh
tekanan, kesedihan, dan beban. Beberapa di antaranya bersimpuh di lantai atau mengguncangguncang
jerejak besi di jendela.
Aku memerhatikan beberapa wajah para pasien di balik batangan jeruji besi. Perlahan-lahan
batangan jeruji itu bergerak sendiri berselang-seling. Wujudnya menjelma menjadi puluhan pasang
kaki manusia. Di sela-sela kaki itu kulihat wajah yang telah sangat lama kukenal. Kesedihan rumah
sakit jiwa ini membuka ruangan gelap di kepalaku, tempat Bodenga bersembunyi.
Kami kembali terhenti di depan sebuah pintu besi. Kali ini pintu besi dua lapis. Setelah rantai
dibuka kami memasuki ruangan berupa lorong yang panjang. Sisi kiri kanan lorong adalah kamarkamar
perawatan. Suasana di lorong ini sunyi senyap. Sebagian besar kamar kosong dengan pintu
terbuka. Kamar yang diisi pasien tertutup rapat. Lamat-lamat terdengar suara orang meratap dari
balik pintu-pintu tertutup itu.
Aku mendengar suara langkah sepatu yang bergema dalam kesepian ruangan. Seorang pria berusia
enam puluhan mendekati kami. Beliau tersenyum. Wajahnya tenang, bersih, dan bening, tipikal
wajah yang sering tersiram air wudu. Jemari tangannya menggulirkan biji-biji tasbih, beliau
mengucapkan asma-asma Allah, beliau membuatku sangat segan, seorang intelektual yang rendah
hati sekaligus yang taat beragama. Profesor ini memiliki dua kualitas agung tersebut. Dengan sangat
santun beliau menyatakan terima kasih atas kedatangan kami. Namanya Profesor Yan.
"Ini kasus mother complex yang sangat eks-trem ...," kata profesor itu dengan suara berat, itu
seakan ikut merasakan penderitaan pasiennya.
"Tiga puluh delapan tahun di bidang ini baru kali ini aku menjumpai hal semacam ini. Anak muda
ini sedikit pun tak bisa lepas dari ibunya. Jika bangun tidur tidak melihat ibunya ia menjerit-jerit
histeris. Ketergantungan yang kronis ini menyebabkan
ibunya sendiri sekarang hampir terganggu jiwanya. Mereka telah menghuni tempat ini hampir
selama enam tahun ...."
Aku tersentak miris mendengar penjelasan beliau.
Eryn sendiri terperanjat. Ia berusaha menguatkan
diri mendengar kenyataan yang menghan-curkan hati itu. Aku menatap wajah Profesor Yan.
Ia adalah dokter jiwa yang amat berpengalaman tapi jelas ia prihatin dan terpengaruh dengan kasus
ini. Di sisi lain aku kagum pada psikologi dan orang-orang yang mendedikasikan hidupnya pada
bidang ini.
Penjelasan Profesor Yan melekat dalam pikiran-ku. Aku merinding karena merasa getir pada nasib
anak beranak itu. Anak muda yang malang. Ibunya yang tadinya sehat terpaksa hidup tidak normal.
Orangtua mana yang mampu menolak kasih sayang anaknya, meskipun rasa sayang itu berlebihan?
Mungkin ia lebih rela gila daripada membiarkan anaknya berteriak-teriak memerlukannya
sepanjang waktu. Mereka berdua pasti amat menderita. Enam tahun terpuruk di sini, betapa
mengerikan. Kadang-kadang nasib bisa demikian kejam pada manusia. Siapakah anak beranak yang
malang itu?
Profesor Yan membimbing kami menyelusuri lorong tadi menuju sebuah pintu paling ujung. Di
sana ada ruangan terpencil dan menyendiri. Beliau membuka pintu pelan-pelanm. Aku gugup
memba-yangkan pemandangan yang akan kulihat. Akankah aku kuat menyaksikan penderitaan
seberat itu? Apa sebaiknya aku menunggu di luar saja? Tapi Profesor Yan telanjur membuka pintu.
Engsel pintu ber-decit panjang, menimbulkan rasa gamang.
Kami berdiri di ambang pintu. Ruangan itu luas, tak berjendela, dan dindingnya polos tinggi
berwarna putih. Tak ada lukisan atau jambangan bunga. Begitu sepi, tak ada suara satu pun.
Penerangan hanya berasal dari sebuah bohlam dengan kap rendah sehingga plafon menjadi gelap.
Ruangan ini suram, penuh nuansa kepedihan dan keputusasaan. Dalam sorot lampu tak tampak
perabot apa pun kecuali sebuah bangku panjang kecil nun jauh di sudut ruangan.
Dan di bangku panjang itu, kira-kira lima belas langkah dari kami, duduk berdua rapat-rapat kedua
makhluk malang itu, seorang ibu dan anaknya. Gerak-gerik mereka gelisah, seperti tempat itu
sangat asing dan mengancam mereka. Mereka seakan memelas, memohon agar diselamatkan.
Dalam cahaya lampu yang samar tampak sang anak berpostur tinggi dan sangat kurus, rambutnya
panjang dan menutupi sebagian wajahnya. Jam-bang, alis, dan kumisnya tebal tak teratur. Kulitnya
putih. Air mukanya menimbulkan perasaan iba yang memilukan. la berpakaian rapi, bajunya adalah
kemeja putih lengan panjang, celananya berwarna gelap, dan sepatu kulitnya bersih mengilap.
Usianya kurang lebih tiga puluhan. la ketakutan. Sorot matanya yang teduh melirik ke kiri dan ke
kanan. la gugup dan sering menarik napas panjang.
Ibunya kelihatan puluhan tahun lebih tua dari usia sesungguhnya. Pancaran matanya menyimpan
kesakitan yang parah dan caranya menatap menjalarkan rasa pedih yang dalam. Lingkaran di
sekeliling matanya berwarna hitam dan ia amatlah kurus. Daya hidup telah padam dalam dirinya. Ia
memakai sandal jepit yang kebesaran dan tampak menyedihkan. Wajahnya jelas memperlihatkan
kerisauan yang amat sangat dan tekanan jiwa yang tak tertahankan.
Mereka berdua melihat kami sepintas-sepintas tapi kebanyakan menunduk. Sang anak mengapit
lengan ibu-nya. Ketika kami masuk, ia semakin merapatkan dirinya pada ibunya. Aku tak sanggup
menanggungkan pemandangan memilukan ini. Tanpa kusadari air mataku mengalir. Eryn pun ingin
menangis tapi ia berupaya keras menjaga sikap profesional sebagai seorang peneliti. Aku tak tahan
me-lihat anak beranak dengan cobaan hidup seberat ini. Mereka seperti dua makhluk yang terjerat,
cidera, dan tak berdaya. Aku minta diri keluar dari ruangan yang menyesakan dada itu.
Hampir selama satu setengah jam Eryn dibantu oleh profesor yang baik itu dalam melakukan
semacam wawancara pendahuluan dengan kedua pasien malang itu. Dari pintu yang terbuka aku
dapat melihat mereka berempat duduk di bangku tersebut. Kedua pasien itu masih terlihat gelisah.
Kemudian wawancara pun selesai dan Eryn memberi isyarat padaku untuk berpamitan pada ibu
dan anak itu. Aku masuk lagi ke ruangan, mencoba tersenyum seramah mungkin walaupun hatiku
hancur membayangkan penderitaan mereka. Aku
menyalami keduanya. Kali ini Eryn tak sanggup menahan air matanya. Lalu pelan-pelan kami
pamit keluar ruangan.
Profesor Yan dan Eryn berjalan di depanku. Mereka terlebih dahulu keluar ruangan, sementara aku
yang keluar terakhir meraih gagang pintu dan menutupnya. Tepat pada saat itu aku terperanjat
karena mendengar seseorang me-mang-gil namaku.
"Ikal ...," suara lirih itu berucap. Eryn dan Profesor Yan kaget. Mereka terhe-ran-heran, apa-lagi
aku. Kami saling berpandangan. Tak ada orang lain di ruangan itu kecuali kami bertiga dan kedua
makhluk malang tadi. Dan jelas suara itu berasal dari ruangan yang ba-ru saja kututup. Kami
berbalik, tapi ragu, maka aku tak segera membuka pintu.
"Ikal ...," panggilnya lagi.
"Mereka memanggil Cicik!" teriak Eryn mena-tapku takjub.
Salah seorang dari pasien itu jelas memanggil-ku.
Aku memutar gagang pintu dan menghambur ke dalam. Kuhampiri mereka dengan hati-hati.
Dalam jarak tiga meter aku berhenti. Mereka berdua bangkit. Aku mengamati mereka baik-baik,
berusaha keras mengenali kedua tubuh ringkih yang berdiri saling mencengkeram lengan masingmasing
dengan jari-jari yang kurus tak terawat. Rambut sang ibu yang kelabu terjuntai panjang
semrawut menutupi kedua matanya yang cekung dan berwarna abuabu.
Pipi anaknya basah karena air mata yang
mengalir pelan. Air matanya itu berjatuhan ke lantai. Bibirnya yang pucat bergetar mengucapkan
namaku berkali-kali, seakan ia telah bertahun-tahun menungguku, tangannya menjangkau-jangkau.
Ibunya terisak-isak dan menutup wajah de-ngan kedua tangannya. Aku tak mampu berkata apa pun
dan masih diliputi tanda tanya. Namun, tepat ketika aku maju selangkah untuk mengamati mereka
lebih dekat si anak menyibakkan rambut panjang yang menutupi wajahnya dan pada saat itu aku
tersentak tak alang kepalang. Aku terkejut luar biasa. Kurasakan seluruh tubuhku menggigil.
Rangka badanku seakan runtuh dan setiap persendian di tubuhku seakan terlepas. Aku tak percaya
dengan pemandangan di depan mataku. Aku merasa kalut dan amat pedih. Aku ingin berteriak dan
meledakkan tangis. Aku mengenal dengan baik kedua anak beranak yang malang ini. Mereka
adalah Trapani dan ibunya.
BAB XXXII
Agnostik
Satu titik dalam relativitas waktu: Saat inilah masa depan itu
TOKO Sinar Harapan tak banyak berubah, masih amburadul seperti dulu. Ketika bus reyot yang
membawaku pulang kampung melewati toko itu, di sebelahnya aku melihat toko yang bernama
Sinar Perkasa. Di situ ada seorang laki-laki yang menarik perhatianku. Pria itu agaknya seorang kuli
toko. Badannya tinggi besar dan rambutnya panjang sebahu diikat seperti samurai. Lengan bajunya
digulung tinggi-tinggi. la sengaja memperlihatkan otot-ototnya. Tapi wajahnya sangat ramah dan
tapaknya ia senang sekali menunaikan tugasnya. Belanjaan yang dipanggul kuli ini tak tanggungtanggung:
dua karung dedak di punggungnya, ban sepeda dikalungkan di lehernya, dan plastikplastik
kresek serta tas-tas belanjaan bergelantungan di lengan kiri kanannya. Ia seperti toko
kelontong berjalan. Di belakangnya berjalan terantuk-antuk seorang nyonya gemuk yang
memborong segala macam barang itu.
Setelah memuat belanjaan ke atas bak sebuah mobil pikap, pria bertulang besi tadi menerima
sejumlah uang. la mengucapkan terima kasih dengan menunduk sopan lalu kembali ke tokonya.
Toko berjudul Sinar Perkasa itu, sesuai sekali dengan penampilan kulinya. Pria itu menyerahkan
uang tadi kepada juragan toko yang kemudian mengibas-ngibaskan uang itu ke barang-barang
dagangannya lalu mereka berdua tertawa lepas layaknya dua sahabat baik. Wajah keduanya tak
lekang dimakan waktu.
Aku tersenyum mengenang nostalgia di Toko Sinar Harapan dan teringat bahwa dulu aku pernah
memiliki cinta yang ternyata tak hanya sedalam lubuk kaleng-kaleng cat yang sampai sekarang
masih berjejal-jejal di situ. Aku juga merasa ber-untung telah menjadi orang yang pernah mengungkapkan
cinta. Masih terasa indahnya sampai sekarang. Merasa beruntung karena kejadian itu
merupakan tonggak bagaimana secara emosional aku telah berevolusi. Dan agaknya cinta
pertamaku dulu amat berkesan karena ia telah melam-bungkanku ke puncak kebahagiaan sekaligus
membuatku menggelongsor karena patah hati di antara keranjang buah mengkudu busuk di toko itu.
Kita dapat menjadi orang yang skeptis, selalu
curiga, dan tak gampang percaya karena satu orang pernah menipu kita. Tapi ternyata dengan satu
kasih yang tulus lebih dari cukup untuk mengubah seluruh persepsi tentang cinta. Paling tidak itu
terjadi padaku. Meskipun kemudian setelah dewasa beberapa kali cinta memperlakukan aku dengan
amat buruk, aku tetap percaya pada cinta. Semua itu gara-gara wanita berparas kuku ajaib di Toko
Sinar Harapan itu. Kemanakah gerangan dia sekarang? Aku tak tahu dan tak mau tahu. Gambaran
cinta seindah lukisan taman bunga karya Monet itu biarlah seperti apa adanya. Kalau aku
menjumpai A Ling lagi bisa-bisa citra lukisan itu pudar karena mungkin saja A Ling sekarang
adalah A Ling dengan parises, selulit, pantat turun, susu kempes, gemuk, perut buncit, dan kantong
mata. Ia dulu adalah venus dari Laut Cina Selatan dan aku ingin tetap mengenangnya seperti itu.
Aku mengeluarkan dari tasku buku Seandainya Mereka Bisa Bicara yang dihadiahkan A Ling
padaku sebagai kenangan cinta pertama kami. Bus reyot yang terlonjak-lonjak karena jalan yang
berlubang-lubang membuat aku tak dapat membacanya. Ketika jarak antara bus dan Toko Sinar
Harapan perlahan mengembang aku merasa takjub bagaimana lingkaran hidup merupakan jalinan
aksi dan reaksi seperti postulat Isaac Newton atau hidup tak ubahnya se-kotak cokelat seperti kata
Forest Gump. Jika membuka kotak cokelat kita tak 'kan dapat menduga rasa apa yang akan kita
dapatkan dari bungkus-bungkus plastik lucu di dalamnya. Sebuah benda kecil yang tak
penting atau suatu kejadian yang sederhana pada masa yang amat lampau dapat saja menjadi
sesuatu yang kemudian sangat memengaruhi kehidupan kita.
Buku itu kugenggam erat di atas pangkuanku dan aku segera menyadari bahwa seluruh kehidupan
dewasaku telah terinspirasi oleh buku kumal yang selalu kubawa ke mana-mana itu. Dulu ketika
frustrasi karena berpisah dengan A Ling maka pesona Desa Edensor, Taman Daffodil dan jalan
pasar berlandaskan batu-batu bulat, serta hamparan sabana di bukit-bukit Derbyshire telah
menghiburku. Kemudian pada masa dewasa ini ketika kehidupanku di Bogor berada pada titik
terendah aku perlahan-lahan bangkit juga karena semangat yang dipancarkan oleh Herriot, sang
tokoh utama buku itu. Seperti ajaran Pak Harfan, Bu Mus, dan Kemuham-madiyahan, Herriot juga
mengajariku tentang optimisme dan bagaimana aku harus berjuang untuk meraih masa depanku.
Seminggu setelah kulemparkan naskah bulu tangkisku ke Kali Ciliwung aku membaca sebuah
pengumuman beasiswa pendidikan lanjutan dari sebuah negara asing. Aku segera menyusun
rencana C, yaitu aku ingin sekolah lagi! Kemudian setelah itu tak ada satu menit pun waktu kusiasiakan
selain untuk belajar. Aku membaca seba-nyak-banyaknya buku. Aku membaca buku sambil
menyortir surat, sambil makan, sambil minum, sambil tiduran mendengarkan wayang golek di radio
AM. Aku membaca buku di dalam angkutan umum, di dalam jamban, sambil mencuci pakaian,
sambil dimarahi pelanggan, sambil disindir ketua ekspedisi, sambil upacara Korpri, sambil
menimba air, atau sambil memperbaiki atap bocor. Bahkan aku membaca sambil membaca.
Dinding kamar kostku penuh dengan grafiti rumus-rumus kalkulus, GMAT, dan aturan-aturan
tenses. Aku adalah pengunjung perpustakaan LIPI yang paling rajin dan shift sortir subuh yang dulu
sangat kubenci sekarang malah kuminta karena dengan demikian aku dapat pulang lebih awal untuk
belajar di rumah. Jika beban pe-kerjaan demikian tinggi aku membuat resume bacaanku dalam
kertas-kertas kecil, inilah teknik jembatan keledai yang dulu diajarkan Lintang padaku. Kertaskertas
kecil itu kubaca sambil menunggu ketua pos menurunkan kantong-kantong surat dari truk.
Di rumah aku belajar sampai jauh malam dan penyakit insomnia ternyata malah mendukungku.
Aku adalah penderita insomnia yang paling produktif karena saat-saat tak bisa tidur kugunakan
untuk membaca. Jika kelelahan belajar aku melakukan penyegaran mental yaitu kembali membuka
buku Seandainya Mereka Bisa Bicara dan di sana kutemukan bagaimana Herriot menghadapi
kesulitan membuktikan dirinya di depan para petani Derbyshire yang sangat skeptis, keras kepala,
dan antiperubahan. Dari buku itu juga aku merasakan angin pagi lembah Edensor yang dingin
bertiup merasuki dadaku yang sesak setelah menyelusup di antara dedaunan
astuaria. Membaca semua itu
semangatku kembali terpompa dan hatiku semakin bening siap menerima pelajaran-pelajaran baru.
"Aku harus mendapatkan beasiswa itu!" demi-kian kataku dalam hati setiap berada di depan kaca.
Aku benar-benar bertekad mendapatkan beasiswa itu karena bagiku ia adalah tiket untuk
meninggalkan hidupku yang terpuruk. Lebih dari itu aku merasa berutang pada Lintang, A Ling,
Pak Harfan, Bu Mus, Laskar Pelangi, Sekolah Muhammadiyah, dan Herriot.
Kemudian tes demi tes yang mendebarkan berlang-sung selama berbulan-bulan, diawali dengan
sebuah tes pe-nyaringan pertama di sebuah stadion sepak bola yang dipenuhi peserta. Hampir tujuh
bulan kemudian aku berada pada tahap yang disebut penentuan terakhir. Penentuan terakhir
merupakan sebuah wawancara di sebuah lembaga yang hebat di Jakarta. Wawancara akhir ini
dilakukan oleh seorang mantan menteri yang berwajah tampan tapi senang bukan main pada rokok.
"Disgusting habit!"Sebuah kebiasaan yang menjijikkan, kata Morgan Freeman dalam sebuah film.
Aku mengenakan pakaian rapi dan untuk pertama
kalinya. Berdasi, memakai sedikit minyak
wangi, dan menyemir sepatu. Pulpen di saku dan kubawa map yang tak tahu berisi apa. Aku telah
menjadi tipikal orang muda yang spekulatif. Sebuah pemandangan yang menyedihkan
sesungguhnya.
Bapak perokok itu memanggilku, mempersilakanku duduk di depannya, dan mengamatiku dengan
teliti. Barangkali ia berpikir apakah anak kampung ini akan bikin malu tanah air di negeri orang.
Lalu ia membaca motivation ietterku yaitu suatu catatan alasan dari berbagai aspek yang dibuat
peserta mengapa ia merasa patut diberi beasiswa.
Mantan menteri itu mengisap rokoknya dalam-dalam, lalu ajaib sekali! Ia sama sekali tidak
mengeluarkan kembali asap rokok itu. Rupanya asap itu diendapkannya sebentar di dalam rongga
dadanya. Matanya terpejam ketika menikmati racun nikotin lalu disertai sebuah senyum puas yang
mengerikan ia mengembuskan asap rokok itu dekat sekali dengan wajahku. Mataku perih, aku
menahan batuk dan ingin muntah tapi apa dayaku, laki-laki di depan-ku ini memegang tiket masa
depanku dan tiket itu amat kuperlukan. Maka aku duduk bertahan sambil membalas senyumnya
dengan senyum basi ala pramugari sementara perutku mual.
"Saya tertarik dengan motivation ietter Anda, alasan dan cara Anda menyampaikannya dalam
kalimat Inggris sangat mengesankan," katanya.
Aku kembali tersenyum, kali ini senyum khas penjual asuransi.
"Belum tahu dia, orang Melayu lincah benar bersilat kata," kataku dalam hati.
Lalu sang mantan menteri membuka proposal penelitianku yang berisi bidang yang akan kutekuni,
materi riset, dan topik tesis dalam pendidikan beasiswa nanti.
"Ahhhh, ini juga menarik ...."
la ingin melanjutkan kata-katanya tapi agaknya rokok yang sangat dicintainya itu lebih penting
maka ia kembali memenuhi dadanya dengan asap. Aku berani bertaruh jika dirontgen maka rongga
dada dan seluruh isinya pasti telah berwarna hitam. Bapak ini terkenal sangat pintar bukan hanya di
dalam negeri tapi juga di luar negeri, sumbangannya tak kecil untuk bangsa ini, tapi bagaimana ia
bisa menjadi demikian bodoh dalam persoalan rokok ini?
"Hmmm ... hmmm ... sebuah topik yang me-mang patut dipelajah lebih jauh, menarik sekali, siapa
yang membimbing Anda menulis ini?" beliau tersenyum lebar dan asap masih mengepul di
mulutnya.
Aku tahu pertanyaan itu retoris, tak memerlu-kan jawaban, karena dia tahu seseorang tak mungkin
dibimbing untuk membuat proposal ter-sebut, maka aku hanya tersenyum.
"Bu Mus, Pak Harfan, Lintang, Sekolah Muham-madiyah, A Ling, dan Herriot!" Itulah jawaban
yang tak kuucapkan.
"Saya telah lama menunggu ada proposal riset semacam ini, ternyata datang dari seorang pegawai
kantor pos! Ke mana kau pergi selama ini anak muda?"
Kembali retoris dan aku kembali tersenyum. "Edensor!" Bisik hatiku.
Maka tak lama kemudian aku telah menjadi mahasiswa. Meskipun hanya langkah kecil aku merasa
telah membuat sebuah kemajuan dan sekarang aku dapat menilai hidupku dari perspektif
yang sama sekali berbeda. Aku lega terutama karena aku telah membayar utangku pada Sekolah
Muhammadiyah, Bu Mus, Pak Harfan, Lintang, Laskar Pelangi, A Ling, bahkan Herriot dan
Edensor. Setiap titik yang aku singgahi dalam hidupku selalu memberiku pelajaran berharga.
Sekolah Muhammadiyah
dan persahabatan Laskar Pelangi telah membentuk karakterku. A Ling,
Herriot, dan Edensor telah mengajariku optimisme dan menunjukkan bahwa jalinan nasib dapat
menjadi begitu menak-jubkan. Kemudian, meskipun aku tidak menyukai pekerjaan sortir, tapi
orang-orang hebat kawan sekerja di kantor pos Bogor telah mengajariku arti integritas bagi sebuah
badan usaha dan makna dedikasi pada pekerjaan pos yang mulia, yaitu mengemban amanah.
ADA orang-orang tertentu yang memendam cinta demikian rapi. Bahkan sampai mereka mati,
sekerling pun me-reka tak pernah memperlihatkan getar hatinya. Cinta mereka sesepi stambul lama
nan melankolis dengan pengarang yang tak pernah dikenal. Jika malam tiba mereka mendengusdengus
meratapi rindu, menampar muka sen-diri karena jengkel tak berani mendeklarasikan cinta
yang menggelitik perutnya. Cintanya tak pernah terungkap karena ngeri membayangkan risiko
ditolak. Lama-lama, seperti seorang narsis, mereka
menyukai mencintai seseorang di dalam hatinya sendiri. Cinta satu sisi, indah tapi merana tak
terperi. Mereka hidup dalam bayangan. Meng-ungkapkan cinta agaknya mengandung daya tarik
paling misterius dari cinta itu sendiri. Itulah yang dirasakan A Kiong selama belasan tahun.
Hampa karena cinta dan kecewa pada masa depan membuat A Kiong sempat menjalani hidup
sebagai seorang agnostik, yaitu orang yang percaya kepada Tuhan tapi tidak memeluk agama apa
pun, oleh karena itu ia tidak pernah beribadah. la mendaki puncak bukit keangkuhan di dalam
hatinya untuk berteriak lantang menentang segala bentuk penyembahan. Ia berkelana mengamati
agama demi agama, terombang ambing dalam kebingungan tentang keyakinan dan konsep keadilan
Tuhan. Hari demi hari ia semakin sesat. Ia kafir bagi agama mana pun.
Namun, menjelang dewasa ia mengalami suatu masa di saat setiap mendengar suara azan ia sering
disergap perasaan sepi nan indah yang menyelusup ke dalam kalbunya, membuatnya terpaku, dan
melelehkan air matanya. Panggilan shalat itu mengembuskan rasa hampa yang menyuruhnya
merenung. Ia cemas serasa akan mati esok pagi. Ia merenung dan pada suatu hari dengungan azan
magrib membuatnya berputar seperti gasing, perutnya naik memuntahkan seluruh makanan dan
minuman haram dari lipatan-lipatan ususnya, ia terjerembap tak berdaya seakan tulang belulangnya
hancur dihantam palu godam. Air matanya berlinang tak terbendung. Ia merangkak-rangkak
memohon ampunan. Ia telah dipilih oleh Allah untuk diselamatkan. A Kiong, makhluk pendusta
agama ini, bagian dari sebagian kecil orang yang amat beruntung, mendapat magfirah*.
Ia memeluk Islam, disunat, dan mengucapkan kalimat syahadat disaksikan Pak Harfan dan Bu
Mus. Bu Mus menganugerahkan sebuah nama untuknya: Muhammad Jundullah Gufron Nur
Zaman. Nama yang sangat hebat. Artinya tentara Allah, orang yang mendapat ampunan dan cahaya.
A Kiong tinggal sejarah, bagian dari sebuah masa lalu yang gelap. Ia segera menjadi muslim yang
taat. Hidupnya tenang, namun kesepian sepanjang malam masih merisaukannya.
Penerima cahaya ini menceritakan dengan se-penuh jiwa kepadaku bahwa yang merisaukannya itu
adalah cinta yang telah disimpannya sangat lama. Cinta yang tak terungkap. Tak seorang pun tahu
kalau Nur Zaman selama ini telah menjadi seekor pungguk. Wanita itu, katanya, telah membuat
malam-malamnya gelisah.
"Aku lemas karena paru-paruku basah digena-ngi air mata rindu," demikian ungkapan perasaannya
padaku. Laki-laki berkepala kaleng kerupuk ini bisa juga puitis.
"Berhari-hari terperangkap dalam bingkai kaca seraut wa-jah yang sama, tak dapat lagi kupikirkan
lagi hal-hal lain. Setiap melihat cermin yang terpantul hanya wajahnya. Aku tak mau makan, tak
bisa tidur ...," kenangnya. Romantis laksana opera sabun, sekaligus lucu dan menyedihkan.
Lalu setelah belasan tahun mengumpulkan keberanian, pada suatu malam, dengan basmallah, ia
menjumpai wanita itu dan langsung, di depan orangtuanya, menyatakan keinginannya melamar. Ia
pasrahkan semua keputusan kepada Allah. Ia siap hijrah ke Kanton naik kapal barang jika ditolak.
Ternyata wanita itu juga telah lama diam-diam menaruh hati padanya. Terberkatilah mereka yang
berani berterus terang. Wanita itu adalah Sahara.
Sekarang mereka sudah punya anak lima dan membuka toko kelontong dengan judul Sinar Perkasa
tadi. Mereka mempekerjakan seorang kuli dan memperlakukannya sebagai sahabat. Kulinya adalah
pria raksasa berambut sebahu seperti samurai itu, tak lain adalah Samson.
Jika waktu luang mereka bertiga mengunjungi Harun. Harun bercerita tentang kucingnya yang
berbelang tiga, melahirkan anak tiga, semuanya berbelang tiga, dan kejadian itu terjadi pada tanggal
tiga. Sahara mendengarkan penuh perha-tian. Kalau dulu Harun adalah anak kecil yang
terperangkap dalam tubuh orang dewasa, sekarang ia adalah orang dewasa yang terperangkap dalam
alam pikiran anak kecil.
"Aku mendapatkan kebahagiaan terbesar yang mungkin didapatkan seorang pria," kata Nur Zaman
padaku.
Ingatkah akan kata-kata itu? Bukankah dulu kata-kata itu pernah kuucapkan? Klise! Tidak, sama
sekali tidak klise bagi Nur Zaman. Ia adalah pria
terhormat yang telah memanfaatkan dengan baik waktu yang diberikan Tuhan. Ia berhasil menemukan
kebenaran hakiki melalui penderitaan pergolakan batin. Tuhan mencintai orang-orang
seperti ini.
BUS reyot itu menurunkan aku di seberang ja-lan di depan rumah ibuku. Aku mendengar lagu
Rayuan Pulau Kelapa di RRI, yang berarti wart a berita pukul 12. Sebuah siang yang panas dan
sunyi. Dan kesunyian itu bubar oleh suara klakson panjang dari sebuah mobil tronton kapasitas
sepuluh ton, gardan ganda, bertenaga turbo, dengan delapan belas ban berdiameter satu meter.
Seorang pria kecil terlonjak-lonjak di jok sopir. Ia terlalu kecil bagi truk raksasa pengangkut pasir
gelas ini.
"Pulang kampung juga kau akhirnya, Ikal. Hari yang sibuk! Datanglah ke proyek," teriaknya.
Aku melepaskan empat tas yang membebaniku tapi hanya sempat melambaikan tangan. Ia pun
pergi meninggalkan debu.
Esoknya aku berkunjung ke bedeng proyek pasir
gelas sesuai undangan sopir kecil itu. Bedeng itu
memanjang di tepi pantai, tak berpintu, lebih seperti kandang ternak. Inilah tempat beristirahat
puluhan sopir truk pasir yang bekerja siang malam
bergiliran 24 jam untuk mengejar tenggat waktu mengisi tongkang. Tongkang-tongkang itu dimuati
ribuan ton kekayaan bumi Belitong, tak tahu dibawa ke mana, salah satu perbuatan kongkalikong
yang mengangkangi hak-hak warga pribumi.
Aku masuk ke dalam bedeng dan melihat ke sekeliling. Di tengah bedeng ada tungku besar tempat
berdiang melawan dingin angin laut. Di pojok bertumpuk-tumpuk kaleng minyak solar, bungkus
rokok Jambu Bol, dongkrak, beragam kunci, pompa minyak, tong, jerigen air minum, semuanya
serba kumal dan berkilat. Panci hitam, piring kaleng, kotak obat nyamuk, kopi, dan mi instan
berserakan di lantai tanah. Selembar sajadah usang terhampar lesu. Sebuah kalender bergambar
wanita berbikini tergantung miring. Walaupun sekarang sudah bulan Mei tak ada yang berminat
menyobek kalender bulan Maret, karena gambar wanita bulan Maret paling hot dibanding bulan
lainnya.
Pria yang kemarin menyapaku, yang menyetir tronton itu, salah satu dari puluhan sopir truk yang
tinggal di bedeng ini, duduk di atas dipan, dekat tungku, berhadap-hadapan denganku. la kotor,
miskin, hidup membujang, dan kurang gizi, ia adalah Lintang.
Aku tak berkata apa-apa. Terlihat jelas ia kelelahan melawan nasib. Lengannya kaku seperti besi
karena kerja rodi tapi tubuhnya kurus dan ringkih. Binar mata kepintaran dan senyum manis yang
jenaka itu tak pernah hilang walaupun sekarang kulitnya kering berkilat dimakan minyak.
Rambutnya semakin merah awut-awutan. Lin- tang dan keseluruhan bangunan ini menimbulkan
rasa iba, iba karena kecerdasan yang sia-sia terbuang.
Aku masih diam. Dadaku sesak. Bedeng ini ber-diri di atas tanah semacam semenanjung, daratan
yang menjorok ke laut. Aku mendengar suara ... Bum ...! Bum ...! Bum ...! Aku melihat ke luar
jendela sebelah kananku. Sebuah tug-boat* penarik tongkang meluncur pelan di samping bedeng.
Suara motor tempel yang nendang menggetarkan tiang-tiang bedeng dan asap hitam mengepul
tebal. Gelombang halus yang ditimbulkan tugboat tersebut memecah tepian yang berkilat seperti
permukaan kaca berwarna-warni karena digenangi minyak.
Kupandangi terus tugboat yang melaju dan sekejap aku merasa tugboat itu tak bergerak tapi justru
aku dan bedeng itu yang meluncur. Lintang yang dari tadi mengamatiku membaca pikiranku.
"Einstein's simultaneous relativity...," katanya memulai pembicaraan. Ia tersenyum getir.
Kerinduannya pada bangku sekolah tentu membuatnya perih.
Aku juga tersenyum. Aku mengerti ia tidak mengalami apa yang secara imajiner baru saja aku
alami. Dua orang melihat objek yang sama dari dua sudut pandang yang berbeda maka pasti mereka
memiliki persepsi yang berbeda. Oleh karena itu, Lintang menyebutnya simultan. Sebuah konteks
yang relevan dengan perspektifku melihat hidup kami berdua sekarang.
Tak lama kemudian aku mendengar lagi suara
bum! Bum! Bum! Kali ini sebuah tugboat yang lain meluncur pelan dari arah yang berlawanan
dengan arah tugboat yang pertama tadi. Buritan tugboat yang pertama belum habis melewatiku
maka aku menoleh ke kiri dan ke kanan membandingkan panjang ke dua tugboat yang melewatiku
secara berlawanan arah.
Lintang mengobservasi perilakuku. Aku tahu ia kembali membaca isi kepalaku, keahliannya yang
selalu mem-buatku tercengang.
"Paradoks ...," kataku.
"Relatif...," kata Lintang tersenyum.
Aku menyebut paradoks karena ukuran yang kuper-kirakan sebagai subjek yang diam akan
berbeda dengan ukuran orang lain yang ada di tugboat meskipun untuk tugboat yang sama.
"Bukan, bukan paradoks, tapi relatif," sanggah Lintang.
"Ukuran objek bergerak dilihat oleh subjek yang diam dan bergerak membuktikan hipotesis bahwa
waktu dan jarak tidaklah mutlak tapi sebaliknya relatif. Einstein membantah Newton dengan pendapat
itu dan itulah aksi oma pertama teori relativitas yang melambungkan Einstein."
Ugghh, Lintang! Sejak kecil aku tak pernah punya kesempatan sedikit pun untuk berhenti
mengagumi tokoh di depanku ini. Man tan kawanku sebangku yang sekarang menjadi penghuni
sebuah bedeng kuli ternyata masih sharp1. Walaupun bola mata jenakanya telah menjadi kusam
seperti kelereng diamplas namun intuisi kecerdasannya
tetap tajam seperti alap-alap mengintai anak ayam. Aku beruntung sempat bertemu dengan
beberapa orang yang sangat genius tapi aku tahu Lintang memiliki bakat genius yang jauh melebihi
mereka.
Aku termenung lalu menatapnya dalam-dalam. Aku merasa amat sedih. Pikiranku melayang
membayangkan dia memakai celana panjang putih dan rompi pas badan dari bahan rajutan
poliester, melapisi kemeja lengan panjang berwarna biru laut, naik mimbar, membawakan sebuah
makalah di sebuah forum ilmiah yang terhormat. Makalah itu tentang terobosannya di bidang
biologi maritim, fisika nuklir, atau energi alternatif.
Mungkin ia lebih berhak hilir mudik keluar ne-geri, mendapat beasiswa bergengsi, dibanding
begitu banyak mereka yang mengaku dirinya intelektual tapi tak lebih dari ilmuwan tanggung tanpa
kontribusi apa pun selain tugas akhir dan nilai-nilai ujian untuk dirinya sendiri. Aku ingin membaca
namanya di bawah sebuah artikel dalam jurnal ilmiah. Aku ingin mengatakan pada setiap orang
bahwa Lintang, satu-satunya ahli genetika di Indonesia, orang yang telah menguasai operasi pohon
Pascal sejak kelas satu SMP, orang yang memahami filosofi diferensial dan integral sejak usia
demikian muda, adalah murid perguruan Muham-madiyah, temanku sebangku.
Namun, hari ini Lintang ternyata hanya seor-ang laki-laki kurus yang duduk bersimpuh menunggu
giliran kerja rodi. Aku teringat lima belas tahun yang
lalu ia memejamkan matanya tak lebih dari tujuh detik untuk menjawab soal matematika yang rumit
atau untuk meneriakkan Joan d'Arch! Merajai lomba kecerdasan, melejitkan kepercayaan diri kami.
Kini ia terpojok di bedeng ini, tampak tak yakin akan masa depannya sendiri. Aku sering beranganangan
ia mendapat kesempatan menjadi orang Melayu pertama yang menjadi matematikawan. Tapi
angan-angan itu menguap, karena di sini, di dalam bendeng tak berpintu inilah Isaac Newtonku
berakhir.
"Jangan sedih Ikal, paling tidak aku telah memenuhi harapan ayahku agar tak jadi nelayan ...."
Dan kata-kata itu semakin menghancurkan hatiku, maka sekarang aku marah, aku kecewa pada
kenyataan be-gitu banyak anak pintar yang harus berhenti sekolah karena alasan ekonomi. Aku
mengutuki orang-orang bodoh sok pintar yang menyombongkan diri, dan anak-anak orang kaya
yang menyia-nyiakan kesempatan pendidikan.
ALASAN orang menerima profesi tertentu kadang-kadang sangat luar biasa.Adaorang yang senang
menjadi kondektur karena hobinya jalan-jalan kelilingkota, ada yang gembira memandikan gajah di
kebun binatang karena hobinya main air, dan ada yang selalu meminta tugas ke luarkotaagar dapat
sekian lama meninggalkan istrinya. Tapi tak ada yang senang menyortirsuratuntuk alasan apa pun.
Oleh karena itu, ketika 10 karungsuratditumpahkan di depanku untuk disortir sedangkan tambahan
tenaga yang kuminta berulang-ulang tak terpenuhi, aku langsung hengkang meninggalkan meja
sortir itu, tak pernah kembali.
Sebagian orang menduduki profesinya sekarang sesuai cita-citanya, sebagian besar tak pernah
sama sekali menduga bahwa ia akan menjadi seperti apa adanya sekarang, dan sebagian kecil
memilih profesi karena pertemuan dengan seseorang.
Pertemuan dengan seseorang sering menjadi sebuah titik balik nasib. Jika tak percaya, tanyakan itu
pada Mahar, Flo, dan seluruh anggota Societeit de Limpai. Pertemuan dengan Tuk Bayan Tula dan
pesan beliau yang berbunyi: "Jika ingin lulus ujian, buka buku, belajar!" Ternyata menjadi kata-kata
keramat yang mampu memutar haluan hidup mereka.
Pada hari Sabtu, sehari sesudah Mahar mem-baca pesan Tuk, kami berdesak-desakkan di jendela
kelas menyaksikan Flo dan Mahar menemui Bu Mus di bawah pohon filicium. Ketiga orang itu
berdiri mematung dan tak banyak bicara. Lalu tampak kedua anak berandal itu bergantian mencium
tangan Bu Mus, guru kami yang bersahaja. Per-seteruan lama telah berakhir dengan damai.
Keesokan harinya Mahar membubarkan Societeit de Limpai, dan esoknya lagi, pada Senin pagi
yang biasa saja, kami menerima kejutan yang luar biasa, mengagetkan, dan
amat mengharukan, Flo datang ke sekolah mengenakan jilbab.
Mahar dan Flo berhasil lulus ujian caturwulan terakhir. Flo telah berubah total. la dulu seorang
wanita yang berusaha melawan kodratnya namun akhirnya ia menjadi wanita sejati. Momentum
dalam hidupnya jelas terjadi karena pertemuan dengan seseorang. Seseorang itu ada dua, yaitu
Mahar dan Tuk Bayan Tula. Kejadian itu telah memutarbalikkan hidupnya. Flo menempuh
perguruan tinggi di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan di Univer-sitas Sriwijaya. Setelah
lulus, ia menjadi guru TK di Tanjong Pandan dan bercita-cita membangun gerakan wanita
Muhammadiyah. Ia menikah dengan seorang petugas teller bank BRI mantan anggota Societeit, dan
keinginan lama Flo untuk menjadi laki-laki dibayar Allah dengan memberinya dua kali persalinan
yang melahirkan empat anak laki-laki yang tampan luar biasa dalam jarak hanya setahun. Dua kali
anak kembar!
Pesan Tuk Bayan Tula telah memberi pence-rahan bagi para anggota Societeit, bahwa tak ada yang
dapat dicapai di dunia ini tanpa usaha yang rasional. Sebuah pencerahan terang benderang yang
datang justru dari seorang tokoh dunia gelap, manusia separuh peri, bahkan banyak yang
menganggapnya manusia separuh iblis.
Paraanggota Societeit adalah orang-orang biasa, miskin, dan kebanyakan, namun mereka kaya raya
akan pengalaman batin dan petualangan penuh mara bahaya untuk mencari kebenaran hakiki.
Mereka memastikan setiap kesangsian, membuktikan prasangka dan mitos-mitos, serta menga-lami
sendiri apa yang hanya bisa diduga-duga orang. Mereka memuaskan sifat dasar keingin tahuan
manusia sampai batas akhir yang menguji keyakinan. Mereka adalah orang-orang yang menjemput
hidayah dan tidak duduk termangu-mangu menunggunya. Kini mereka menjadi orang-orang Islam
yang taat yang menjauhkan diri dari syirik. Di bawah pemimpin baru, pemain organ tunggal itu,
mereka mem-bentuk perkumpulan yang aktif melakukan dakwah dan mengislamkan komunitaskomunitas
terasing di pulau-pulau terpencil di perairan Bangka Belitong. Mereka laksana manusiamanusia
baru yang dilahirkan dari kegelapan dan kini berjalan tegak di ladang ijtihad di bawah
siraman air Danau Kautsar yang membersihkan hati.
Tuk Bayan Tula sendiri tak ada kabar berita-nya. Anggota Societeit adalah manusia terakhir yang
melihat beliau masih hidup. Dalam kaar (peta laut) terakhir perairan Belitong yang dipetakan oleh
TNI AL, Pulau Lanun sudah tak tampak. Di perairan ini sering sekali pulau-pulau kecil timbul dan
tenggelam karena badai atau ketidakstabilan permukaan air laut. Adapun pensiunan syah bandar
yang dulu mengumandangkan azan ketika anggota Societeit hampir tewas dilamun badai sekarang
menjadi muazin tetap di Masjid Al-Hikmah
Nasib, usaha, dan takdir bagaikan tiga bukit biru samar-samar yang memeluk manusia dalam lena.
Mereka yang gagal tak jarang menyalahkan aturan main Tuhan. Jika me-reka miskin mereka
mengatakan bahwa Tuhan, melalui takdir-Nya, memang mengharuskan mereka miskin.
Bukit-bukit itu membentuk konspirasi rahasia masa depan dan definisi yang sulit dipahami
sebagian orang. Seseorang yang lelah berusaha menunggu takdir akan mengubah nasibnya.
Sebaliknya, seseorang yang enggan mem-banting tulang menerima saja nasibnya yang menurutnya
tak 'kanberubah karena semua telah ditakdirkan. Inilah lingkaran iblis yang umumnya melanda para
pemalas. Tapi yang pasti pengalaman selalu menunjukkan bahwa hidup dengan usaha adalah mata
yang ditutup untuk memilih buah-buahan dalam keranjang. Buah apa pun yang didapat kita tetap
mendapat buah. Sedangkan hidup tanpa usaha ada-lah mata yang ditutup untuk mencari kucing
hitam di dakan kamar gelap dan kucingnya tidak ada. Mahar memiliki bukti untuk hipotesis ini.
la hanya berijazah SMA. Nasibnya seperti Lintang. Mereka adalah dua orang genius yang
kemampuannya dinisbikan secara paksa oleh tuntutan tanggung jawab pada keluarga. Mahar tak
bisa meninggalkan rumah untuk berkiprah di lingkungan yang lebih mendukung bakatnya sejak
ibunya sakit-sakitan karena tua. Sebagai anak tunggal ia harus merawat ibunya siang malam karena
ayahnya telah meninggal.
Mahar pernah menganggur dan setiap hari, tanpa berusaha, menunggu takdir menyapanya. Ia
mengharapkan su-rat panggilan dari Pemda untuk tenaga honorer. Ketika itu ia berpikir kalau takdir
menginginkannya menjadi se-orang guru kesenian maka ia tak perlu melamar. Ternyata cara
berpikir seperti itu tak berhasil.
Maka ia mulai berusaha menulis artikel-artikel kebudayaan Melayu. Artikelnya menarik bagi para
petinggi lalu ia dipercaya membuat dokumentasi permainan anak tradisional. Dokumentasi itu berkembang
ke bidang-bidang lain seperti kesenian dan bahasa yang membuka kesem-patan riset
kebudayaan
yang luas dan memungkinkannya menulis beberapa buku
Jika dulu ia tak menulis artikel maka ia tak 'kanpernah menulis buku. Melalui buku-buku itu ia
tertakdirkan menjadi seorang narasumber budaya. One thing leads to another. Dalam kasus Mahar
nasib adalah setiap deretan titik-titik yang dilalui sebagai akibat dari setiap gerakan-gerakan
konsisten usahanya dan takdir adalah ujung titik-titik itu. Sekarang Mahar sibuk mengajar dan
mengor-ganisasi berbagai kegiatan budaya.
Tentu saja pekerjaan-pekerjaan itu tak mampu menyokong nafkah ia dan ibunya maka honor kecil
tapi rutin juga Mahar peroleh dari orang pesisir yang
meminta bantuannya melatih beruk memetik buah kelapa. la sangat ahli dalam bidang ini. Dalam
tiga minggu seekor beruk sudah bisa mengguncang-guncang kelapa untuk membedakan mana
kelapa yang harus dipetik.
Lain pula cerita Syahdan. Syahdan yang kecil, santun, dan lemah lembut agaknya memang
ditakdirkan untuk menjadi pecundang yang selalu menerima perintah. Jika kami membentuk tim ia
pasti menjadi orang yang paling tak penting. Ia adalah seksi repot, tempat penitipan barang,
pengurus konsumsi, pembersih, tukang angkat-angkat, dan jika makan paling belakangan. Ia adalah
kambing hitam tempat tumpahan semua kesalahan, dia tak pernah sekalipun dimintai pertimbangan
jika Laskar Pelangi mengambil keputusan, lalu dalam lomba apa pun dia selalu kalah. Lebih dari itu
ia sangat menyebalkan karena sangat gagap teknologi. Ia sama sekali tak bisa diandalkan untuk halhal
berbau teknik, bahkan hanya untuk membetulkan rantai sepeda yang lepas saja ia sering tak
becus. Cita-citanya untuk menjadi aktor sangat tidak realistis, maka kami tak pernah berhenti
menyadarkannya dari mimpi itu, bahkan bertubi-tubi mencemoohnya. Namun tak disangka di balik
kelembutannya ternyata Syahdan adalah seorang pejuang. Semangat juangnya sekeras batu satam.
Setelah SMA ia berangkat keJakarta. Dengan map di ketiaknya ia melamar untuk menjadi aktor dari
satu rumah produksi ke rumah produksi lainnya, hanya bermodalkan satu hal: keinginan! Itu saja.
Aneh, setelah lebih dari setahun akhirnya ia benar-benar menjadi aktor!
Sayangnya sampai hampir tiga tahun berikut-nya ia masih saja seorang aktor figuran. Lalu ia bosan
berperan sebagai figuran makhluk-makhluk aneh: tuyul, setan, dan jin-jin kecil karena tubuhnya
yang mini dan berkulit gelap. Ia juga bosan menjadi pesuruh ini itu di sebuah grup sandiwara
tradisional kecil yang sering manggung di pinggiranJakarta. Tugas ini itu-nya itu antara lain
memikul genset dan mencuci layar panggung yang sangat besar. Lebih dari semua itu, menjadi
figuran dan pesuruh ternyata tak mampu menghidupinya. Di tengah kemelaratannya Syahdan
yangmalangiseng-iseng kursus komputer dan di tengah perjuangan mendapatkan kursus itu ia nyaris
menggelandang diJakarta.
Di luar dugaan, orang lain umumnya menge-tahui bakatnya ketika masih belia tapi Syahdan baru
tahu kalau ia berbakat mengutak-atik program komputer justru ketika sudah dewasa. Dengan cepat
ia menguasai berbagai bahasa pemrograman dan dalam waktu singkat ia sudah menjadi net-work
designer. Tahun berikutnya sangat mengejutkan. Ia mendapat beasiswa short course di bidang
computer net-work di Kyoto University, Jepang. Disanaia berhasil men-capai kualifikasi
keahliannya dan menjadi salah satu dari segelintir orangIndonesiayang memiliki sertifikat Sisco
Expert Network. Ia kembali ke Indonesia dan dua tahun kemudian Syahdan, pria liliput putra orang
Melayu, nelayan, jebolan sekolah gudang kopra Muhammadiyah telah menduduki posisi sebagai
Information Technology Manager di sebuah perusahaan multinasional terkemuka yang berkantor
pusat di Tangerang. Dari sudut pandang material Syahdan adalah anggota Laskar Pelangi yang
paling sukses. la yang dulu selalu menjadi penerima perintah, tukang angkat-angkat, dan tak becus
terhadap sesuatu yang berbau teknik, kini memimpin divisi inovasi teknologi dengan ratusan anak
buah.
Namun Syahdan tak pernah menyerah pada cita-citanya untuk menjadi aktor sungguhan. Suatu hari
ia meneleponku tanpa salam pembukaan dan tanpa basa-basi penutupan. Ia hanya mengatakan ini
dan tanpa sempat aku berkata apa-apa ia langsung menutup teleponnya.
"Kau dengar ini Ikal, aku ingin menjadi aktor!!11Syahdan tak pernah melepaskan mimpinya
karena
ia adalah seorang pejuang.
BAB XXXIII
Anakronisme
DAN inilah yang paling menyedihkan dari seluruh kisah ini. Karena tak selembar pun daun jatuh
tanpa sepengetahuan Tuhan maka tak absurd untuk menyamakan PN Timah dengan The Tower of
Babel di Babylonia. Sebuah analogi yang pas karena setelah membentuk provinsi baru kawasan itu
juga disebutBabel: Bangka Belitung.
Pada tahun 1987 harga timah dunia merosot dari 16.000 USD/metriks ton menjadi hanya 5.000
USD/metriks ton dan dalam sekejap PN Timah lumpuh. Seluruh fasilitas produksi tutup, puluhan
ribu karyawan terkena PHK.
Ketika berada di puncak komidi putar dulu, barangkali itu sebuah kemunafikan, seperti
halnyaBabylonia, sebab Tuhan menghukum keduanya dengan kehancuran berkeping-keping yang
meng-hinakan. Ternyata untuk musnah tak harus termaktub dalam Talmud. Tak ada firasat
sebelum-nya, Perusahaan Gulliver yang telah berjaya ratusan tahun itu mendadak lumpuh hanya
dalam hitungan malam. Maka Babel adalah inskripsi,
sebuah prasasti peringatan bahwa Tuhan telah menghancurkan dekadensi diBabyloniaseperti
Tuhan menghancurkan kecongkakan di Belitong. Segera setelah harga timah dunia turun, keadaan
diperparah oleh ditemukannya sumber suplai lain di beberapa negara, PN Timah pun megap-megap.
Orang Islam tidak diperbolehkan memercayai ramalan namun ingin rasanya mengenang mimpi
Mahar bertahun-tahun yang lalu di gua gambar tentang kehancuran sebuah kekuatan besar di
Belitong. Hari ini mimpi meracau itu terbukti.
Pemerintah pusat yang rutin menerima royalti dan deviden miliaran rupiah tiba-tiba seperti tak
pernah mengenal pulau kecil itu. Mereka mema-lingkan muka ketika rakyat Belitong menjerit
menuntut ketidakadilan kompensasi atas PHK massal. Habis manis sepah dibuang. Jargon persatuan
dan kesatuan menjadi sepi ketika ayam petelur telah menjadi mandul. Pulau Belitong yang dulu biru
berkilauan laksana jutaan ubur-ubur Ctenopore redup laksana kapal hantu yang terapung-apung tak
tentu arah, gelap, dan sendirian.
Dalam waktu singkat Gedong berada dalam status quo. Warga pribumi yang menahankan sakit hati
karena kesenjangan selama puluhan tahun, dan yang agak sedikit picik, menyerbu Gedong. Para
Polsus kocar-kacir ketika warga menjarah rumah-rumah Victoria mewah di kawasan prestisus tak
bertuan itu. Laksana kaum proletar membalas kesemena-menaan borjuis, mereka merubuhkan
dinding, menariki genteng, menangkapi angsa dan ayam kalkun, men-cabuti pagar, mencuri daun
pintu dan jendela, mencongkel kusen, memecahkan setiap kaca, mengungkit tegel, dan membawa
lari gorden.
Tanda-tanda peringatan "DILARANG MASUK BAGI YANG TIDAK MEMILIKI HAK"
diturunkan dan dibawa pulang untuk dijadikan koleksi seperti cinderamata pecahan batu
tembokBerlin. Sebagian penjarah yang marah duduk sebentar di sofa besar chesterfield dan makan
di meja terracotta yang mahal, berpura-pura menjadi orang staf sebelum mereka beramai-ramai
menjarahnya.
Rumah-rumahVictoriadi kawasan Gedong, negeri dongeng tempat puri dan Cinderella bersukaria
langsung berubah menjadi Bukit Carphatian tempat kastil keluarga Dracula. Jika malam kawasan
itu gelap gulita. Pohon-pohon beringin tak lagi imut tapi kini menunjukkan karakter asli-nya
sebagai pohon tempat kaum jin rajin beranak pinak. Daunnya yang rindang memayungi jalan raya
seakan siap memangsa siapa pun yang melintas di bawahnya. Danau-danau buatan berubah
menjadi habitat biawak dan tiang-tiang utama dari bangunan yang telah dijarah tampak seumpama
bangkai binatang besar atau tombak-tombak perang bangsa Troya yang panjang dan di puncak-nya
ditancapkan kepala-kepala manusia. Sekolah-sekolah PN bubar, berubah menjadi bangunan kosong
yang termangu-mangu sebagai jejak feodalisme. Kini sekolah-sekolah itu lebih cocok
menjadi lokasi shooting acava misteri. Ratusan siswa PN yang masih aktif dilungsurkan ke
sekolah-sekolah negeri atau sekolah kampung.
Rumah Kepala Wilayah Produksi PN yang berdiri amat megah seperti istana di Manggar, puncak
Bukit Samak dengan pemandangan spektakuler laut lepas dan sebuah generator listrik terbesar
seAsia Tenggara dijarah sehingga rata dengan tanah. Rumah Sakit PN yang hebat juga tak luput
dari anarkisme. Obat-obatan dihamburkan ke jalan, kursi dan meja roda dibawa pulang atau
dihancurkan. Sepintas aku masih mencium amis darah di atas brankar dan bau cairan kompres yang
tergenang dalam piring piala ginjal*, suatu bau busuk kekayaan yang dikumpulkan dalam pundipundi
ketidakadilan tanpa belas kasihan pada rakyat kecil.
Bentangan kawat telepon digulung. Kabel listrik
yang masih dialiri tegangan tinggi dikampak
sehingga menimbulkan bunga api seperti asteroid menabrak atmosfer. Kapal keruk digergaji
menjadi besi kiloan. Sebuah dinasti yang kukuh dan congkak hancur berantakan menjadi remahremah
hanya dalam hitungan malam, seiring dengan itu, reduplah seluruh metafora yang mewakili
kedigdayaan sebuah perusahaan yang telah membuat Belitong dijuluki Pulau Timah.
Yang terpukul knock out tentu saja orang-orang staf. Tidak hanya karena secara mendadak
kehilangan jabatan dan hancur citranya tapi sekian lama mapan dalam mentalitas feodalistik terorganisasi
yang inheren tiba-tiba menjadi miskin tanpa pelindungan sistem. Karakter terbunuh
secara besar-besaran. Verloop ke wisma-wisma timah yang mewah diJakartaatauBandungdua kali
setahun sekarang harus diganti dengan mencang-kul, memanjat, memancing, menjerat, menggali,
mendulang, atau menyelam untuk menghidupi keluarga. Anakronistis mungkin, sebab mereka
kembali hidup bersahaja seperti zaman antediluvium ketika orang Melayu masih menyembah bulan.
Karena tak terbiasa susah dan ditambah dengan
anak-anak yang tak mau berkompromi dalam
menurunkan standar hidup sementara mereka tengah kuliah di universitas-universitas swasta mahal
membuat orang-orang staf stres berke-panjangan. Tak jarang masalah mereka berakhir dengan
stroke, operasi jantung, mati mendadak, drop out massal, dan lilitan utang. Mereka seperti orang
tersedak sendok perak. Yang tak mampu menerima kenyataan dan hidup menipu diri sendiri didera
post power syndrome, biasanya tak bertahan lama dan segera check in di Zaal Batu. Komidi
berputar berbalik arah dalam kecepatan tinggi, penumpangnya pun terjungkal.
Kehancuran PN Timah adalah kehancuran agen kapitalis yang membawa berkah bagi kaum yang
selama ini terpinggirkan, yakni penduduk pribumi Belitong. Blessing in disguise, berkah tersamar.
Sekarang mereka bebas menggali timah di mana pun mereka suka di tanah nenek moyangnya dan
menjualnya seperti menjual ubi jalar.
Saat ini diperkirakan tak kurang dari 9.000 orang bekerja mendulang timah di Belitong. Mereka
menggali tanah dengan sekop dan mendulang tanah itu dengan kedua tangannya untuk memisahkan
bijih-bijih timah. Mereka bekerja dengan pakaian seperti tarzan namun menghasilkan 15.000 ton
timah per tahun. Jumlah itu lebih tinggi dari produksi PN Timah dengan 16 buah kapal keruk,
tambang-tambang besar, dan open pit mining, serta dukungan miliaran dolar aset. Satu lagi bukti
kegagalan metanarasi kapitalisme.
Ekonomi Belitong yang sempat lumpuh pelan-pelan menggeliat, berputar lagi karena aktivitas para
pendulang. Suatu profesi yang dulu dihukum sangat keras seperti pelaku subversi.
Tahun 1991 perguruan Muhammadiyah ditutup. Namun perintis jalan terang yang gagah berani ini
meninggalkan semangat pendidikan Islam yang tak pernah mati. Sekarang Belitong telah memiliki
dua buah pesantren. Pembangunan pesantren ini adalah harapan para tokoh Muhammadiyah sejak
lama. Generasi baru para legenda K.H. Achmad Dahlan, Zubair, K.A. Abdul Hamid, Ibrahim bin
Zaidin, dan K.A. Harfan Effendi Noor lahir silih berganti. Suatu hari nanti akan ada yang
mengisahkan hidup mereka laksana sebuah epik.
Tak dapat dikatakan bahwa seluruh alumni sekolah Muhammadiyah Belitong telah menjadi
orang yang suksesapalagi secara materialnamun para mantan pengajar sekolah itu patut bangga
bahwa mereka telah mewariskan semacam rasa bersalah bagi mantan muridnya jika mencoba-coba
berdekatan dengan khianat terhadap amanah, jika mempertimbangkan dirinya merupakan bagian
dari sebuah gerombolan atau rencana yang melawan hukum, dan jika membelakangi ayat-ayat
Allah. Itulah panggilan tak sadar yang membimbing lurus jalan kami sebagai keyakinan yang
dipegang teguh karena bekal dari pendidikan dasar Islam yang tangguh di sekolah miskin itu.
Perasaan beruntungku karena didaftarkan ayahku di 5D miskin itu puluhan tahun lalu terbukti dan
masih berlaku hingga saat ini.
Fondasi budi pekerti Islam dan kemuham-madiyahan yang telah diajarkan padaku menggema
hingga kini sehingga aku tak pernah berbelok jauh dari tuntunan Islam bagaimanapun ibadahku
sering berfluktuasi dalam kisaran yang lebar. Sepanjang pengetahuanku tak ada mantan warga
Muhammadiyah
yang menjadi bagian dari sebuah daftar para kriminal, khususnya koruptor. Pesan
Pak Harfan bahwa hiduplah dengan memberi sebanyak-banyaknya, bukan menerima sebanyakbanyaknya
terefleksi pada kehidupan puluh-an mantan siswa Muhammadiyah yang kukenal dekat
secara pribadi. Mereka adalah tipikal orang yang sederhana namun bahagia dalam kesederhanaan
itu.
Pak Harfan dan mantan pengajar perguruan Muhammadiyah hingga kini tak pernah berhenti
mendengungkan syiar Islam. Mereka bangga memikul takdir sebagai pembela agama. Bu Mus dan
guru-guru muda Muhammadiyah mendapat kesem-patan dari Depdikbud untuk mengikuti kursus
Pendidikan Guru (KPG) lalu diangkat menjadi PNS. Bu Mus sekarang mengajar Matematika di SD
Negeri 6 Belitong Timur. Beliau telah menjadi guru selama 34 tahun dan mengaku tak pernah lagi
menemukan murid-murid spektakuler seperti Lintang, Flo, dan Mahar.
BAB XXXIV
Gotik
AKUbangga duduk di sini di antara para panelis, yaitu para budayawan Melayu yang selalu
menimbulkan rasa iri. Sebuah benda segitiga dari plastik di depanku menyatakan eksistensiku:
Syahdan Noor Aziz Bin
Syahari Noor Aziz
Panelis
Aku terutama bangga pada sahabat lamaku Mahar Ahlan bin Jumadi Ahlan bin Zubair bin Awam,
cicit langsung tokoh besar pendidikan Belitong, Zubair. la meluncurkan bukunya hari ini. Sebuah
novel tentang persahabatan yang sangat indah. Ketika ia memintaku menjadi panelis, aku langsung
setuju. Aku mengambil cuti di antara kesibukanku diBandungsekaligus pulang kampung ke
Belitong.
Di antara hadirin ada Nur Zaman dan guruku, Bu Mus serta Pak Harfan.Adapula Kucai, sekarang
ia adalah Drs. Mukharam Kucai Khairani, MBA dan selalu berpakaian safari. Dulu di kelas otaknya
paling lemah tapi sekarang gelar akademiknya termasuk paling tinggi di antara kami. Nasib
memang aneh.
Kucai selalu berpakaian safari karena cita-citanya untuk menjadi anggota dewan rupanya telah
tercapai. la telah menjadi politisi walaupun hanya kelas kampung. la menjadi seorang ketua salah
satu fraksi di DPRD Belitong. Kucai sangat progresif. la bertekad menurunkan peringkat korupsi
bangsa ini dan ia geram ingin membongkar perilaku eksekutif yang sengaja membuat struktur baru
guna melegalisasi skenario besar, yaitu merampoki uang rakyat. Bersama Mahar ia juga berniat
mengem-balikan nama-nama daerah di Belitong kepada nama asli berbahasa setempat. Nama-nama
itu selama masa orde baru dengan konyol dibahasaIndonesiakan. Proyek prestisius mereka lainnya
adalah mematenkan permainan perosotan dengan pelepah pinang.
Tapi lebih dari semua itu aku rindu pada Ikal. Kasihan pria keriting yang pernah jadi tukang sortir
itu. Kelelahan mencari identitas, insomnia, dan terobsesi dengan satu cinta telah membuatnya agak
senewen. Kabarnya ia hengkang dari kantor pos lalu mendapat beasiswa untuk melanjutkan
pendidikan. Barangkali untuk tujuan sebenarnya: membuang dirinya sendiri.
Setelah acara peluncuran buku, aku, Nur Za-man, Mahar, dan Kucai mengunjungi ibu Ikal untuk
bersilaturahmi sekalian menanyakan kabar anaknya di rantau orang. Ketika bus umum yang kami
tumpangi melewati pasar Tanjong Pandan, aku melihat seorang pria yang sangat gagah seperti
seorang petinggi bank atau seperti petugas asuransi dariJakartayang sedang mengincar asuransi aset
di provinsi baruBabel.
Pria itu bercelana panjang cokelat teduh se-nada dengan warna ikat pinggangnya. Kemejanya jatuh
menarik di tubuhnya yang kurus tinggi dengan bahu bidang. Postur yang disukai para perancang
mode. Sepatu pantofelnya jelas sering disemir. Rambutnya lurus pendek disisir ke belakang.
Kulitnya putih bersih. Tak berlebihan, ia seperti Adrien Brody!
Sayangnya barang bawaannya sama sekali tak sesuai dengan penampilan gagahnya. Ia menenteng
plastik kresek be-lanjaan, ikatan daun saledri, kangkung, kardus, dan alat-alat dapur. Ia berjalan
tercepuk-cepuk mengikuti seorang ibu di depannya. Meskipun sangat repot dan kepanasan ta-pi ia
berseri-seri. Aku kenal pria ganteng itu, iaTrapani. Tahun lalu aku mendengar cerita pertemuannya
dengan Ikal di Zaal Batu. Ia mengalami kemajuan dan diizinkan pulang. Aku tak memberi tahu Nur
Zaman, Mahar, dan Kucai. Aku memandang ibu dan anak itu berjalan beriringan sampai jauh. Air
mataku mengalir. Nur Zaman, Mahar, dan Kucai tak tahu.
Aku terkenanglimabelas tahun yang lalu. Setelah tamat SMA, aku, Ikal,Trapani, dan Kucai
memutuskan untuk merantau mengadu nasib ke Jawa. Hari itu kami berjanji berangkat dengan
kapal barang dari Dermaga Olivir. Tapi sampai
soreTrapani tak datang. Karena kapal barang hanya
berangkat sebulan sekali maka terpaksa kami berangkat tanpa dia. Pada saat itu
rupanyaTrapanitelah mengambil keputusan lain. la tak datang ke dermaga karena ia tak mampu
meninggalkan ibunya. Setelah itu kami tak pernah mendengar kabarTrapani.
Sekarang kami duduk di beranda sebuah rumah panggung kuno khas Melayu, rumah ibu Ikal.
"Bagaimana kabarnya si Ikal itu, Ibunda?" ta-nya Mahar kepada ibu Ikal.
Ibu tua berwajah keras itu awalnya tadi sa-ngat ramah. Beliau menyatakan rindu kepada kami,
namun demi mendengar pertanyaan itu beliau menatap Mahar dengan tajam.
Mahar tersenyum kecut. Wajah ibu Ikal keli-hatan kecewa berat. Beliau diam. Tangannya
memegang sebilah pisau antip, mencengkeramnya dengan geram sehingga dua butir pinang terbelah
dua tanpa ampun. Salah satu belahan pinang jatuh berguling dan terjerumus di antara celah lantai
papan lalu diserbu ayam-ayam di bawah rumah, beliau tak sedikit pun peduli.
Si pemimpi itu pasti sudah bikin ulah lagi. Mahar
sedikit menyesal mengungkapkan pertanyaan
itu.
Ibu Ikal meramu tembakau, pinang, kapur sirih, dan gambir yang bertumpuk-tumpuk di dalam
kotak tembaga yang disebut keminangan. Lalu dua lembar daun sirih dibalutkan pada ramuan tadi
sehingga menjadi bola kecil. Beliau menggigit bola kecil itu dengan geraham di sudut mulutnya
seperti orang ingin memutuskan kawat dengan gigi, bersungut-sungut, dan bersabda dengan tegas:
"Terakhir ia mengirimiku sepucuksuratdan diselipkannya selembar foto dalam suratnya itu."
Beliau meludahkan cairan merah yang terbang melalui jendela rumah panggung sambil melilitkan
jilbabnya dua kali menutupi dagunya sehingga seperti cadar. Beliau jelas sedang marah.
"Rupanya dia dan kawan-kawannya sedang mengikuti semacam festival seni mahasiswa.
Wajahnya di foto itu di-coreng-moreng tak keruan tapi dia sebut itu seni?!!11
Kami menunduk tak berani berkomentar.
"Menurutnya itu seni lukis wajah, ya seni lukis wajah, apa itu... gotik! Ya gotik! Dia sebut itu seni
lukis wajah gotik! Dan dia sangat bangga pada coreng-morengnya itu!"
Beliau menghampiri kami yang duduk tertunduk melingkari meja tua batu pualam. Kami pun ciut.
"Bukan main anak muda Melayu zaman sekarang!!!"
Ibu Ikal mengepalkan tinjunya, kami ketakut-an, beliau mengacung-acungkan pisau antip, kami tak
berkutik, suara beliau meninggi
"Dia sebut itu seni??? Ha! Seni!! Barangkali dia ingin tahu pendapatku tentang seninya itu!!!"
Beliau benar-benar muntab, murka tak terkira-kira. Untuk kedua kalinya beliau menyemburkan
cairan merah sirih melalui jendela seperti anak-anak panah yang melesat.
"Pendapatku adalah wajahnya itu persis benar dengan wajah orang yang sama sekali tidak pernah
shalat!"
Demi mendengar kata-kata itu Kucai yang te-ngah memamah biak sagon tak bisa menguasai diri.
Dia berusaha keras menahan tawa tapi tak berhasil sehingga serbuk kelapa sagon terhambur ke
wajah Mahar, membuat jambul pengarang berbakat itu kacau balau. Kucai berulang kali minta maaf
pada ibu Ikal, bukan pada Mahar, tapi wajahnya meng-angguk-angguk takzim menghadap ke Nur
Zaman.
M O R A N
BARU kali ini Mahar menjadi penata artistik karnaval, dan karnaval ini tidak main-main,
inilah peristiwa besar yang sangat penting, karnaval 17 Agustus. Sebenarnya guru-guru
kami agak pesimis karena alasan klasik, yaitu biaya. Kami demikian miskin sehingga tak
pernah punya cukup dana untuik membuat karnaval yang representatif. Para guru juga
merasa malu karena parade kami kumuh dan itu-itu saja. Namun, ada sedikit harapan
tahun ini. Harapan itu adalah Mahar.
Karnaval 17 Agustus sangat potensial untuk meningkatkan gengsi sekolah, sebab
ada penilaian serius di sana. Ada kategori busana terbaik, parade paling megah, peserta
paling serasi, dan yang paling bergengsi: penampil seni terbaik. Gengsi ini juga tak
terlepas dari integritas para juri yang dipimpin oleh seorang seniman senior yang sudah
kondang, Mbah Suro namanya. Mbah Suro adalah orang Jawa, ia seniman Yogyakarta
yang hijrah ke Belitong karena idealisme berkeseniannya. Karena sangat idelais maka
tentu saja Mbah Suro juga sangat melarat.
Seperti telah diduga siapa pun, seluruh kategori—mulai dari juara pertama sampai
juara harapan ketiga—selalu diborong sekolah PN. Kadang-kadang sekolah negeri
mendapat satu dua sisa juara harapan. Sekolah kampung tak pernah mendapat
penghargaan apa pun karena memang tampil sangat apa adanya. Tak lebih dari
penggembira.
Sekolah-sekolah negeri mampu menyewa pakaian adat lengkap sehingga tampil
memesona. Sekolah-sekolah PN lebih keren lagi. Parade mereka berlapis-lapis, paling
panjang, dan selalu berada di posisi paling strategis. Barisan terdepan adalah puluhan
sepeda keranjang baru yang dihias berwarna-warni. Bukan hanya sepedanya,
pengendaranya pun dihias dengan pakaian lucu. Lonceng sepeda dibunyikan dengan
keras bersama-sama, sungguh semarak.
Pada lapisan kedua berjejer mobil-mobil hias yang dindandani berbentuk perahu,
pesawat terbang, helikopter, pesawat ulang alik Apollo, taman bunga, rumah adat
Melayu, bahkan kapal keruk. Di atas mobil-mobil ini berkeliaran putri-putri kecil
berpakaian putih bersih, bermahkota, dengan rok lebar seperti Cinderella. Putri-putri peri
ini membawa tongkat berujung bintang, melambai-lambaikan tangan pada para penonton
yang bersukacita dan melempar-lemparkan permen.
Setelah parade mobil hias muncullah barisan para profesional, yaitu para murid
yang berdandan sesuai dengan cita-cita mereka. Banyak di antara mereka yang berjubah
putih, berkacamata tebal, dan mengalungkan stetoskop. Tentulah anak-anak ini nanti jika
sudah besar ingin jadi dokter.
Ada juga para insinyur dengan pakaian overalldan berbagai alat, seperti test pen,
obeng ,dan berbagai jenis kunci. Beberapa siswa membawa buku-buku tebal, mikroskop,
dan teropong bintang karena ingin menjadi dosen, ilmuwan, dan astronom. Selebihnya
berseragam pilot, pramugari, tentara, kapten kapal, dan polisi, gagah sekali. Gurugurunya
—di bawah komando Ibu Frischa—tampak sangat bangga, mengawal di depan,
belakang, dan samping barisan, masing-masing membawa handy talky.
Setelah lapisan profesi tadi muncul lapisan penghibur yang menarik. Inilah
kelompok badut-badut, para pahlawan super seperti Superman, Batman, dan Captain
America. Balon-balon gas menyembul-nyembul dibawa oleh kurcaci dengan tali-tali
setinggi tiang telepon. Dalam barisan ini juga banyak peserta yang memakai baju
binatang, mereka menjadi kuda, laba-laba, ayam jago, atau ular-ular naga. Mereka
menari-nari raing dengan koreografi yang menarik. Mereka juga bernyanyi-nyanyi
sepanjang jalan, mendendangkan lagu anak-anak yang riang. Yang paling menponjol dari
penampilan kelompok ini adalah serombongan anak-anak yang berjalan-jalan memakai
engrang. Di antara mereka ada seorang anak perempuan dengan egrang paling tinggi
melintas dengan tangkas tanpa terlihat takut akan jatuh. Dialah Flo, dan dia melangkah ke
sana kemari sesuka hatinya tanpa aturan. Penata rombongan ini susah payah
menertibkannya tapi ia tak peduli. Ayah ibunya tergopoh-gopoh mengikutinya, berteriak-teriak
menyuruhnya berhati-hati, Flo berlari-lari kecil di atas egrang itu membuat kacau
barisannya.
Penutup barisan karnaval sekolah PN adalah barisan marching band. Bagian yang
paling aku sukai. Tiupan puluhan trambon laksana sangkakala hari kiamat dan dentuman
timpani menggetarkan dadaku. Marching bandsekolah PN memang bukan sembarangan.
Mereka disponsori sepenuhnya oleh PN Timah. Koreografer, penata busana, dan penata
musiknya didatangkan khusus dari Jakarta. Tidak kurang dari seratus lima puluh siswa
terlibat dalam marching bandini, termasuk para colour guardyang atraktif. Tanpa
marching bandsekolah PN, karnaval 17 Agustus akan kehilangan jiwanya.
Puncak penampilan parade karnaval sekolah PN adalah saat barisan panjang
marching bandmembentuk fomrasi dua kali putaran jajaran genjang sambil memberi
penghormatan di depan podium kehormatan. Dengan penataan musik, koregrafi, dan
busana yang demikian luar biasa, marching bandPN selalu menyabet juara pertama
untuk kategori yang paling bergengsi tadi, yaitu Penampil Seni Terbaik. Kategori ini
sangat menekankan konsep performing artdalam trofinya adalah idaman seluruh peserta.
Sudah belasan tahun terakhir, tak tergoyahkan, trofi tersebut terpajang abadi di lemari
prestisius lambang supremasi sekolah PN.
Podium kehormatan merupakan tempat terhormat yang ditempati makhlukmakhluk
terhormat, yaitu Kepala Wilayah Operasi PN Timah, sekretarisnya, seseorang
yang selalu membawa walky talky, beberapa pejabat tinggi PN Timah, Pak Camat, Pak
Lurah, Kapolsek, Komandan Kodim, para Kepala Desa, para tauke, Kepala Puskesmas,
para Kepala Dinas, Tuan Pos, Kepala Cabang Bank BRI, Kepala Suku Sawang, dan
kepala-kepala lainnya, beserta ibu. Podium ini berada di tengah-tengah pasar dan di
sanalah pusat penonton yang paling ramai. Masyarakat lebih suka menonton di dekat
podium daripada di pinggir-pinggir jalan, karena di podium para peserta diwajibkan
beraksi, menunjukkan kelebihan, dan mempertontonkan atraksi andalannya sambil
memberi penghormatan. Di sudut podium itulah bercokol Mbah Suro dan para juri yang
akan memberi penilaian.
Bagi sebagian warga Muhammadiyah, karnaval justru pengalaman yang kurang
menyenangkan, kalau tidak bisa dibilang traumatis. Karnaval kami hanya terdiri atas
serombongan anak kecil berbaris banjar tiga, dipimpin oleh dua orang siswa yang
membawa spanduk lambang Muhammadiyah yang terbuat dari kain belacu yang sudah
lusuh. Spanduk itu tergantung menyedihkan di antara dua buah bambu kuning seadanya.
Di belakangnya berbaris para siswa yang memakai sarung, kopiah, dan baju takwa.
Mereka melambangkan tokoh-tokoh Sarekat Islam dan pelopor Muhammadiyah tempo
dulu.
Samson selalu berpakaian seperti penjaga pintu air. Tentu bukan karena setelah
besar ia ingin jadi penjaga pintu air seperti ayahnya, tapi hanya itulah kostum karnaval
yang ia punya. Sedangkan pakaian tetap Syahdan adalah pakaian nelayan, juga sesuai
dengan profesi ayahnya. Adapun A Kiong selalu mengenakan baju seperti juri kunci
penunggu gong sebuah perguruan shaolin.
Sebagian besar siswa memakai sepatu bot tinggi, baju kerja terusan, dan helm
pengaman. Pakaian ini juga milik orangtuanya. Mereka memperagakan diri sebagai buruh
kasar PN Timah. Beberapa orang yang tidak memiliki sepatu bot atau helm tetap nekat
berparade memakai baju terusan. Jika ditanya, mereka mengatakan bahwa mereka adalah
buruh timah yang sedang cuti.
Selebihnya memanggul setandan pisang, jagung, dan semanggar kelapa. Ada pula
yang membawa cangkul, pancing, beberapa jerat tradisional, radio, ubi kayu, tempat
sampah, dan gitar. Agar lebih dramatis Syahdan membawa sekarung pukat, Lintang
meniup-niup peluit karena ia wasit sepak bola, sementara aku dan Trapani berlari ke sana
kemari mengibas-ngibaskan bendera merah karena kami adalah hakim garis.
Beberapa siswa memikul kerangka besar tulang belulang ikan paus, membawa
tanduk rusa, membalut dirinya dengan kulit buaya, dan menuntun beruk peliharaan—tak
jelas apa maksudnya. Seorang siswa tampak berpakaian rapi, memakai sepatu hitam,
celana panjang warna gelap, ikat pinggang besar, baju putih lengan panjang dan
menenteng sebuah tas koper besar. Siswa ajaib ini adalah Harun. Tak jelas profesi apa
yang diwakilinya. Di mataku dia tampak seperti orang yang diusir mertua.
Demikianlah karnaval kami seetiap tahun. Tak melambangkan cita-cita. Mungkin
karena kami tak berani bercita-cita. Setiap siswa disarankan memakai pakaian profesi
orangtua karena kami tak punya biaya untuk membuat atau menyewa baju karnaval.
Semuanya adalah wakil profesi kaum marginal. Maka dalam hal ini Kucai juga
berpakaian rapi seperti Harun dan ia melambai-lambaikan sepucuk kartu pensiun kepada
para penonton sebab ayahnya adalah pensiunan. Sedangkan beberapa adik kelasku
terpaksa tidak bisa mengikuti karnaval karena ayahnya pengangguran.
Satu-satunya daya tarik karnaval kami adalah Mujis. Meskipun bukan murid
Muhammadiyah namun tukang semprot nyamuk ini selalu ingin ikut. Dengan dua buah
tabung seperti penyelam di punggungnya dan topeng yang berfungsi sebagai kacamata
dan penutup mulut seperti moncong babi, ia menyemprotkan asap tebal dan anak-anak
kecil yang menonton di pinggir jalan berduyun-duyun mengikutinya.
Jika melewati podium kehormatan, biasanya kami berjalan cepat-cepat dan berdoa
agar parade itu cepat selesai. Nyaris tak ada kesenangan karena minder. Hanya Harun,
dengan koper zaman The Beatles-nya tadi yang melenggang pelan penuh percaya diri dan
melemparkan senyum penuh arti kepada para petinggi di podium kehormatan.
Mungkin dalam hati para tamu terhormat itu bertanya-tanya, “Apa yang dilakukan
anak-anak bebek ini?”
Kenyataan inilah yang memicu pro dan kontra di antara murid dan guru
Muhammadiyah setiap kali akan karnaval. Beberapa guru menyarankan agar jangan ikut
saja daripada tampil seadanya dan bikin malu. Mereka yang gengsian dan tak kuat mental
seperti Sahara jauh-jauh hari sudah menolak berpartisipasi. Maka sore ini, Pak Harfan,
yang berjiwa demokratis, mengadakan rapat terbuka di bawah pohon fillicium. Rapat ini
melibatkan seluruh guru dan murid dan Mujis.
Beliau diserang bertubi-tubi oleh para guru yang tak setuju ikut karnaval, tapi
beliau dan Bu Mus berpendirian sebaliknya. Suasana memanas. Kami terjebak di tengah.
“Karnaval ini adalah satu-satunya cara untuk menunjukkan kepada dunia bahwa
sekolah kita ini masih eksis di muka bumi ini. Sekolah kita ini adalah sekolah Islam yang
mengedepankan pengajaran nilai-nilai religi, kita harus bangga dengan hal itu!”
Suara Pak Harfan bergemuruh. Sebuah pidato yang menggetarkan. Kami bersorak
sorai mendukung beliau. Tapi tak berhenti sampai di situ.
“Kita harus karnaval! Apa pun yang terjadi! Dan biarlah tahun ini para guru tidak
ikut campur, mari kita beri kesempatan kepada orang-orang muda berbakat seperti Mahar
untuk menunjukkan kreativitasnya, tahukah kalian ... dia adalah seniman yang genius!”
Kali ini tepuk tangan kami yang bergemuruh, gegap gempita sambil berteriakteriak
seperti suku Mohawk berperang. Pak Harfan telah membakar semangat kami
sehingga kami siap tempur. Kami sangat mendukung keputusan Pak Harfan dan sangat
senang karena akan digarap oleh Mahar, teman kami sekelas. Kami mengelu-elukannya,
tapi ia tak tampak. Ooh, rupanya dia sedang bertengger di salah satu dahan filicium. Dia
tersenyum.
Sebagai kelanjutan keputusan rapat akbar, Mahar serta-merta mengangkat A
Kiong sebagai General Affair Assistant, yaitu pembantu segala macam urusan. A Kiong
mengatakan padaku tiga malam dia tak bisa tidur saking bangganya dengan penunjukan
itu. Dan telah tiga malam pula Mahar bersemadi mencari inspirasi. Tak bisa diganggu.
Kalau masuk kelas Mahar diam seribu bahasa. Belum pernah aku melihatnya
seserius ini. Ia menyadari bahwa semua orang berharap padanya. Setiap hari kami dan
para guru menunggu dengan was was konsep seni kejutan seperti apa yang akan ia
tawarkan. Kami menunggu seperti orang menunggu buku baru Agatha Christie. Jika kami
ingin berbicara dengannya dia buru-buru melintangkan jari di bibirnya menyuruh kami
diam. Menyebalkan! Tapi begitulah seniman bekerja. Dia melakukan semacam riset,
mengkhayal, dan berkontemplasi.
Dia duduk sendirian menabuh tabla, mencari-cari musik, sampai sore di bawah
filicium. Tak boleh didekati. Ia duduk melamun menatap langit lalu tiba-tiba berdiri,
mereka-reka koreografi, berjingkrak-jingkrak sendiri, meloncat, duduk, berlari
berkeliling, diam, berteriak-teriak seperti orang gila, menjatuhkan tubuhnya, berguling-guling di
tanah, lalu dia duduk lagi, melamun berlama-lama, bernyanyi tak jelas, tiba-tiba
berdiri kembali, berlari ke sana kemari. Tak ada ombak tak ada angin ia menyeruduk-nyeruduk
seperti hewan kena sampar.
Apakah ia sedang menciptakan sebuah master piece? Apakah ia akan berhasil
membuktikan sesuatu pada event yang mempertaruhkan reputasi ini? Apakah ia akan
berhasil membalikkan kenyataan sekolah kami yang telah dipandang sebelah mata dalam
karnaval selama dua puluh tahun? Apakah ia benar-benar seorang penerobos, seorang
pendobrak yang akan menciptakan sebuah prestasi fenomenal? Haruskan ia menanggung
beban seberat ini? Bagaimanapun ia masih tetap seorang anak kecil.
Kuamati ia dari jauh. Kasihan sahabatku seniman yang kesepian itu, yang tak
mendapatkan cukup apresiasi, yang selalu kami ejek. Wajahnya tampak kusut semrawut.
Sudah seminggu berlalu, ia belum juga muncul dengan konsep apa pun.
Lalu pada suatu Sabtu pagi yang cerah ia datang ke sekolah dengan bersiul-siul.
Kami paham ia telah mendapat pencerahan. Jin-jin telah meraupi wajah kucel kurang
tidurnya dengan ilham, dan Dionisos, sang dewa misteri dan teater, telah meniup ubun-ubunnya
subuh tadi. Ia akan muncul dengan ide seni yang seksi. Kami sekelas dan
banyak siswa dari kelas lain serta para guru merubungnya. Ia maju ke depan siap
mempresentasikan rencananya. Wajahnya optimis.
Semua diam siap mendengarkan. Ia sengaja mengulur waktu, menikmati
ketidaksabaran kami. Kami memang sudah sangat penasaran. Ia menatap kami satu per
satu seperti akan memperlihatkan sebuah bola ajaib bercahaya pada sekumpulan anak
kecil.
“Tak ada petani, buruh timah, guru ngaji, atau penjaga pintu air lagi utnuk
karnaval tahun ini!” teriaknya lantang, kami terkejut.
Dan ia berteriak lagi.
“Semua kekuatan sekolah Muhammadiyah akan kita satukan untuk satu hal!!!”
Kami hanya terperangah, belum mengerti apa maksudnya, tapi Mahar optimis
sekali.
“Apa itu Har? Ayolah, bagaimana nanti kami akan tampil, jangan bertele-tele!”
tanya kami penasaran hampir bersamaan. Lalu inilah ledakan ide gemilangnya.
“Kalian akan tampil dalam koreografi massal suku Masai dari Afrika!”
Kami saling berpandangan, serasa tak percaya dengan pendengaran sendiri. Ide
itu begitu menyengat seperti belut listrik melilit lingkaran pinggang kami. Kami masih
kaget dengan ide luar biasa itu ketika Mahar kembali berteriak menggelegar
melambungkan gairah kami.
“Lima puluh penari! Tiga puluh penabuh tabla! Berputar-putar seperti gasing, kita
ledakkan podium kehormatan!”
Oh, Tuhan, aku mau pingsan. Serta-merta kami melonjak girang seperti
kesurupan, bertepuk tangan, bersorak sorai senang membayangkan kehebohan
penampilan kami nanti. Mahar memang sama sekali tak bisa diduga. Imajinasinya liar
meloncat-loncat, mendobrak, baru, dan segar.
“Dengan rumbai-rumbai!” kata suara keras di belakang. Suara Pak Harfan sok
tahu. Kami semakin gegap gempita. Wajah beliau sumringah penuh minat.
“Dengan bulu-bulu ayam!” sambung Bu Mus. Kami semakin riuh rendah.
“Dengan surai-surai!”
“Dengan lukisan tubuh!”
“Dengan aksesori!”
Demikian guru-guru lain sambung-menyambung.
“Belum pernah ada ide seperti ini!” kata Pak Harfan lagi.
Para guru mengangguk-angguk salut dengan ide Mahar. Mereka salut karena
selain karena menampilkan sesuatu yang berbeda, menampilkan suku terasing di Afrika
adalah ide yang cerdas. Suku itu tentu berpakaian seadanya. Semakin sedikit
pakaiannya—atau dengan kata lain semakin tidak berpakaian suku itu—maka anggaran
biaya untuk pakaian semakin sedikit. Ide Mahar bukan saja baru dan yahud dari segi nilai
seni tapi juga aspiratif terhadap kondisi kas sekolah. Ide yang sangat istimewa.
Seluruh kalangan di perguruan Muhammadiyah sekarang menjadi satu hati dan
mendukung penuh konsep Mahar. Semangat kami berkobar, kepercayaan diri kami
meroket. Kami saling berpelukan dan meneriakkan nama Mahar. Ia laksana pahlawan.
Kami akan menampilkan sebuah tarian spektakuler yang belum pernah ditampilkan
sebelumnya. Dengan suara tabla bergemuruh, dengan kostum suku Masai yang eksotis,
dengan koreografi yang memukau, maka semua itu akan seperti festival Rio. Kami sudah
membayangkan penonton yang terpesona. Kali ini, untuk pertama kalinya, kami berani
bersaing.
Setelah itu, setiap sore, di bawah pohon filicium, kami bekerja keras berhari-hari
melatih tarian aneh dari negeri yang jauh. Sesuai dengan arahan Mahar tarian ini harus
dilakukan dengan gerakan cepat penuh tenaga. Kaki dihentakkan-hentakkan ke bumi,
tangan dibuang ke langit, berputar-putar bersama membentuk formasi lingkaran,
kemudian cepat-cepat menunduk seperti sapi akan menanduk, lalu melompat berbalik,
lari semburat tanpa arah dan mundur kembali ke formasi semula dengan gerakan seperti
banteng mundur. Kaki harus mengais tanah dengan garang. Demikian berulang-ulang.
Tak ada gerakan santai atau lembut, semuanya cepat, ganas, rancak, dan patah-patah.
Mahar menciptakan koreografi yang keras tapi penuh nilai seni. Asyik ditarikan dan
merupakan olah raga yang menyehatkan.
Tahukah Anda apa yang dimaksud dengan bahagia? Ialah apa yang aku rasakan
sekarang. Aku memiliki minat besar pada seni, akan membuat sebuah performing art
bersama para sahabat karib—dan kemungkinan ditonton oleh cinta pertama? Aku
mengalami kebahagiaan paling besar yang mungkin dicapai seorang laki-laki muda.
Kami sangat menyukai gerakan-gerakan nerjik rekaan Mahar dan kuat dugaanku
bahwa kami sedang menarikan kegembiraan suku Masai karena sapi-sapi peliharaannya
baru saja beranak. Selain itu selama menari kami harus meneriakkan kata-kata yang tak
kami pahami artinya seperti, “Habuna! Habuna! Habuna! Baraba...
baraba...baraba..habba...habba..homm!”
Ketika kami tanyakan makna kata-kata itu, dengan gaya seperti orang memiliki
pengetahuan yang amat luas sampai melampaui benua Mahar menjawab bahwa itulah
pantun orang Afrika. Aku baru tahu ternyata orang Afrika juga memiliki kebiasaan
seperti orang Melayu, gemar berpantun. Aku simpan baik-baik pengetahuan ini.
Namun mengenai maksud, ternyata aku salah duga. Semula aku menyangka
bahwa kami berdelapan—karena Sahara tak ikut dan Mahar sendiri menjadi pemain
tabla—adlaah anggota suku Masai yang gembira karena sapi-sapinya beranak. Tapi
ternyata kami adalha sapi-sapi itu sendiri. Karena setelah kami menari demikian riang
gembira, kemudian kami diserbu oleh dua puluh ekor cheetah. Mereka mengepung,
mencabik-cabik harmonisasi formasi tarian kami, meneror, menerkam, mengelilingi
kami, dan mengaum-aum dengan garang. Lalu situasi menjadi kritis dan kacau balau bagi
paras api dan pada saat itulah menyerbu dua puluh orang Moran atau prajurit Masai yang
sangat terkenal itu. Prajurit-prajurit ini menyelamatkan para sapi dan berkelahi dengan
cheetah yang menyerang kami. Gerakan cheetah itu direka-reka Mahar dengan sangat
genius sehingga mereka benar-benar tampak seperti binatang yang telah tiga hari tidak
makan. Sedangkan para Moran dilatih lebih khusus sebab menyangkut keterampilan
memainkan properti-properti seperti tombak, cambuk, dan parang.
Demikianlah cerita koreografi Mahar. Keseluruhan fragmen itu diiringi oleh
tabuhan tiga puluh tabla yang lantang bertalu-talu memecah langit. Para penabuh tabla
juga menari-nari dengan gerakan dinamis memesona. Hasil akhirnya adalah sebuah
drama seru pertarungan massal antara manusia melawan binatang dalam alam Afrika
yang liar, sebuah karya yang memukau, master piece Mahar.
Nuansa karnaval semakin tebal menggantung di awan Belitong Timur. Hari H
semakin dekat. Seluruh sekolah sibuk dengna berbagai latihan. Marching band sekolah
PN sepanjang sore melakukan geladi sepanjang jalan kampung. Baru latihannya saja
penonton sudah membludak. Meneror semangat peserta lain.
Tapi kami tak gentar. Situasi moril kami sedang tinggi. Melihat kepemimpinan,
kepiawaian, dan gaya Mahar kepercayaan diri kami meletup-letup. Ia tampil laksana para
event organizer atau para seniman, atau mereka yang menyangka dirinya seniman.
Pakaiannya serba hitam dengan tas pinggang berisi walkman, pulpen, kacamata hitam,
batu baterai, kaset, dan deodoran. Kami mengerahkan seluruh sumber daya civitas
akademika Muhammadiyah. Latihan kami semakin serius dan yang palihng sering
membaut kesalahan adalah Kucai. Meskipun dia ketua kelas tapi di panggung sandiwara
ini Maharlah yang berkuasa.
Mahar mencoba menjelaskan maksudnya dengan berbagai cara. Kadang-kadang
ia demikian terperinci seperti buku resep masakan, dan lebih sering ia merasa frustrasi.
Namun, kami sangat patuh pada setiap perintahnya walaupun kadang-kadang tidak
masuk akal. Tapi ini seni, Bung, tak ada hubungannya dengan logika.
“Dalam tarian ini kalian harus mengeluarkan seluruh energi dan harus tampak
gembira! Bersukacita seperti karyawan PN baru terima jatah kain, seprti orang Saqwang
dapat utangan, seperti para pelaut terdampar di sekolah perawat!”
Aku sungguh kagum dari mana Mahar menemukan kata-kata seperti itu. Ketika
istirahat A Kiong berbisik pada Samson, “Son, aku baru tahu kalau di Belitong ada
sekolah perawat di pinggir laut?”
Rupanya bisikan polos itu terdengar oleh Sahara yang kemduian, seperti biasa,
merepet panjang mencela keluguan A Kiong, “Apa kau tak paham kalau itu
perumpamaan! Banyak-banyaklah membaca buku sastra!”
BAB IXX
Sebuah Kejahatan Terencana
DAN tibalah hari karnaval. Hari yang sangat mendebarkan. Mahar merancang pakaian
untuk cheetah dengan bahan semacam terpal yang dicat kuning bertutul-tutul sehingga
dua puluh orang adik kelasku benar-benar mirip hewan itu. Wajah mereka dilukis seperti
kucing dan rambut mereka dicat kuning menyala-nyala dengan bahan wantek.
Tiga puluh pemain tabla seluruh tubuhnya dicat hitam berkilat tapi wajahnya dicat
putih mencolok sehingga menimbulkan pemandangan yang sangat aneh. Sedangkan dua
puluh Moran atau prajurit Masai sekujur tubuhnya dicat merah, mereka menggunakan
penutup kepala berupa jalinan besar ilalang, membawa tombak panjang, dan mengenakan
jubah berwarna merah yang sangat besar. Tampak sangat garang dan megah.
Tampaknya Mahar memberi perhatian istimewa pada delapan ekor sapi. Pakaian
kami paling artistik. Kami memakai celana merah tua yang menutup pusar sampai ke
bawah lutut. Seluruh tubuh kami dicat cokelat muda seperti sapi Afrika. Wajah dilukis
berbelang-belang. Pergelangan kaki dipasangi rumbai-rumbai seperti kuda terbang
dengan lonceng-lonceng kecil sehingga ketika melangkah terdengar suara gemerincing
semarak. Di pinggang dililitkan selendang lebar dari bahan bulu ayam. Kami juga
memakai beragam jenis aksesoris yang indah, yaitu anting-anting besar yang dijepit dan
gelang-gelang yang dibuat dari akar-akar kayu.
Yang paling istimewa adalah penutup kepala. Tak cocok jika disebut topi, tapi
lebih sesuai jika disebut mahkota seribu rupa. Mahkota ini sangat besar, dibuat dari lilitan
kain semacam stagen yang sangat panjang. Lalu berbagai jenis benda diselipkan, dijepit,
atau dijahit pada stagen itu. Puluhan bulu angsa dan belibis, berbagai jenis perdu
sepanjang hampir satu meter, dahan sapu-sapu, berbagai bunga liar, berbagai jenis daun,
dan bendera-bendera kecil. Empat hari Sahara membuat mahkota hebat ini. Lalu
punggung kami dipasangi sesuatu seperti surai kuda, bahannya—seperti tertulis pada
sketsa—adalah tali rafia. Kami adalah sapi yang anggun dan megah.
Inilah rancangan adiguna karya Mahar. Secara umum kami tidak tampak seperti
sapi. Dilihat dari belakang kami lebih mirip manusia keledai, dari samping seperti ayam
kalkun, dari atas seperti sarang burung bangau. Jika dilihat dari wajah, kami seperti
hantu.
Aksesori yang tampaknya biasa saja adlaah untaian kalung. Juga sesuai dengan
sketsa rancangan Mahar, kami akan memakai kalung besar yang terbuat dari benda-benda
bulat sebesar bola pingpong berwarna hijau. Tak ada yang istimewa dengan kalung ini
dan tak seorang pun mau membicarakannya. Kami sibuk membahas mahkota kami. Kami
yakin mahkota ini akan membuat orang kampung ternga-nga mulutnya dan wanita-wanita
muda di kawasan pasar ikan berebutan kirim salam.
Tak disangka ternyata kalung yang tak menarik perhatian itulah sesungguhnya
sentral ide seluruh koreografi ini. Tak ada seorang yang menduga bahwa pada untaian
anak-anak kalung itu Mahar menyimpan rahasia terdalam daya magis penampilan kami,
yang membuatnya tidak tidur tiga hari tiga malam. Sesungguhnya kalung itulah puncak
tertinggi kreativitas Mahar.
Setelah seluruh pakaian siap, Mahar mengeluarkan aksesori terakhir dari dalam
karung, yaitu kalung tadi. Jumlahnya delapan sejumlah sapi. Kami semakin girang. Tentu
Mahar telah bersusah payah sendirian membuatnya. Kalung itu dibuat dari buah pohon
aren yang masih hijau sebesar bola pingpong yang ditusuk seperti sate dengan tali rotan
kecil. Kami berebutan memakainya. Tak banyak pengetahuan kami mengenai buah hutan
ini. Sebelum parade kami berkumpul berpegangan tangan, menundukkan kepala untuk
berdoa, mengharukan.
Seperti telah kami duga, sambutan penonton di sepanajng jalan sangat luar biasa.
Mereka bertepuk tangan dan berlarian mengikuti dari belakang untuk melihat penampilan
kami di depan podium kehormatan.
Menjelang podium kami mendengar gelegar suara sepuluh unit trimpani, yaitu
drum terbesar. Suaranya menggetarkan dada dan ditimpali oleh suara membahana
puluhan instrumen brass mulai dari tuba, horn, trombon, klarinet, trompet, saksopon tenor
dan bariton yang dimainkan puluhan siswa. Marching band sekolah PN sedang beraksi!
Pakaian pemain marching band dibedakan berdasarkan instrumen yang
dimainkan. Yang paling gagah adalah barisan bass drum yang tampil menggunakan
pakaian prajurit Romawi. Mereka membuat helm bertanduk runcing dan benar-benar
mencetak aluminium menjadi rompi lalu mengecatnya dengan warna kuningan. Pemain
simbal memakai rompi berwarna-warni dan bawahan celana panjang biru yang
dimasukkan dalam sepatu bot Pendragon yang mahal setinggi lutut. Mereka seperti
sekawanan ksatria yang baru turun dari punggung kuda-kuda putih. Marching band PN
tampil semakin baik setiap tahun. Mereka selalu menunjukkan bahwa mereka yang
terbaik.
Sebagai entry podium kehormatan mereka melantunkan Glenn Miller’s In the
Mood dengan interpretasi yang pas. Penonton melenggak-lenggok diayun irama swing
yang asyik. Para colour guard serta-merta menyesuaikan koreografinya dengan gaya
kabaret khas tahun 60-an. Panggung kasino Las Vegas segera berpindah ke sudut pasar
ikan Belitong yang kumuh. Setiap siswa yang terlibat dalam marching band ini belum-belum sudah
mengumbar senyum kemenangan seolah seperti tahun-tahun lalu: Penampil
Seni Terbaik tahun ini pasti mereka sabet. Tapi jika menyaksikan mereka beraksi
agaknya keyakinan itu memang sangat beralasan.
Sebagai puncak atraksi di depan podium mereka membawakan Concerto for
Trumpet dan Orchestra yang biasa dilantunkan Wynton Marsalis. Dalam nomor ini
penampilan mereka amat mengagumkan. Agaknya mereka sudah bisa dikompetisikan di
luar negeri. Komposisi ini sesungguhnya adalah musik klasik karya Johann Hummel tapi
oleh Marching Band PN dibawakan kembali dalam aransemen big band dengan kekuatan
brass section yang memukau.
Bagian intro Concerto indah itu diisi atraksi lima belas pemain blira dengan
pecahan suara satu, dua, dan tiga. Lalu ikut bergabung hentakan-hentakan sepuluh pasang
simbal, bass drum, dan timpani. Tempo dan bahana mereka pelankan ketika puluhan
snare drum mengambil alih. Jiwa siapa pun yang mendengarnya akan tergetar. Belum
tuntas sensasi penonton dengan buaian snare drum yang cantik rancak tiba-tiba para
colour guard memasuki medan, membentuk formasi dan menampilkan tarian
kontemporer yang memikat. Bayangkan indahnya: sebuah big band dengan kekuatan
brasss, kostum yang gemerlapan, dan koreografi kontemporer.
Ribuan penonton bertepuk tangan kagum. Kemudian mereka bersorak-sorai
ketika tiga orang mayoret—ratu segala pesona—dengan sangat terampil melempar-lemparkan
tongkatnya tanpa membuat kesalahan sedikit pun. Para mayoret cantik,
bertubuh ramping tinggi, dengan senyum khas yang dijaga keanggunannya, meliuk-liuk
laksana burung merak sedang memamerkan ekornya.
Wanita-wanita muda yang meloncat dari gambar-gambar di almanak ini
mengenakan rok mini degnan stocking berwarna hitam dan sepatu bot Cortez metalik
tinggi sampai ke lutut. Sarung tangannya putih sampai ke lengan atas dan mereka
bergerak demikian lincah tanpa sedikit pun terhalangi hak sepatunya yang tinggi.
Topinya adalah baret putih yang diselipi selembar bulu angsa putih bersih seperti topi
Robin Hood. Mereka tidak sekadar mayoret, mereka adalah pergawati. Langkahnya cepat
panjang-panjang dan sering kali memekik memberi perintah. Pandangannya menyapu
seluruh penonton seperti tipuna sihir yang membius.
Wajahnya mencerminkan suatu kebiasaan bergaul dengan barang-barang impor
dan tidak mau menghabiskan waktu untuk soal remeh-temeh. Jika sore mereka berjalan-jalan
dengan beberapa ekor anjing chihuahua dan malam hari makan di bawah temaram
cahaya lilin. Tak pernah kekenyangan dan tak pernah berserdawa. Garis matanya
memperlihatkan kemanjaan, kesejahteraan dan masa depan yang gilang gemilang.
Mereka seperti orang-orang yang tak’kan pernah kami kenal namanya, seperti orang yang
berasal dari tempat yang sangat jauh dan hanya mampir sebentar untuk membuat kami
ternganga. Mereka seperti orang-orangy ang hanya memakan bunga-bunga putih melati
dan emngisap embun utnuk hidup. Jubahnya dari bahan sutera berkilat, berkibar-kibar
tertiup angin, menebarkan bau harum memabukkan.
Sementara di sini, di sudut ini, kami terpojok di pinggir, seperti segerombolan
spesies primata aneh yang menyembul-nyembul dari sela-sela akar pohon beringin.
Hitam, kumal, dan coreng-moreng, terheran-heran melihat gemerlap dunia. Tapi kami
segera membentuk barisan, tak surut semangat, tak sabar menunggu giliran.
Segera setelah ujung Marching Band PN meninggalkan arena podium dan
perlahan-lahan menghilang bersama lagu syahdu penutup sensasi: Georgia on My Mind,
diiringi tepuk tangan dan suitan panjang penonton, seketika itu juga, tanpa membuang
tempo, dengan amat ejli mencuri momen, secara sangat mendadak Mahar bersama tiga
puluh pemain tabla menghambur tak beraturan menguasai arena depan podium. Gerakan
mereka mengagetkan. Dengan dentuman tabla bertalu-talu serta tingkah tarian yang
sangat dinamis, penonton pun terperanjat. Mahar menyajikan pemandangan natural, asli,
yang sama sekali kontras dengan marching band modern. Melalui lantakan tabla sekuat
tenaga dan gerak tari seperti ratusan monyet sedang berebutan dengan tupai menjarah
buah kuini, Mahar menyeret fantasi penonton ke alam liar Afrika.
Penonton terbelalak menerima sajian musik etnik menghentak yang tak didugaduga.
Mereka berdesak-desakan maju merepotkan para pengaman. Para penonton terbius
oleh irama yang belum pernah mereka dengar dan pakaian serta tarian yang belum pernah
mereka lihat. Demi mendengar lengkingan tabla yang memecah langit, barisan Marching
Band PN terpecah konsentrasinya dan berbalik arah ke podium. Mereka membubarkan
diri tanpa komando lalu bergabung dengan para penonton yang terpaku. Mereka
keheranan melihat tarian liar yang tak seperti Campak Darat, yaitu tarian Belitong paling
kuno dengan gerakan tetap maju mundur, dan irama yang tak seperti Betiong yakni irama
asli Belitong yang biasa mereka dengar. Sebaliknya yang mereka saksikan adalah
gerakan rancak tanpa pola dan ekspresi bebas spontan dari tubuh-tubuh muda yang lentik
meliuk-liuk seperti gelombang samudra, garang seperti luak, dan menyengat laksana
lebah tanah. Koreografi Mahar berkarakter dance drumming dari suku-suku sub Sahara
yang mengandung fragmen survival ribuan tahun dari spesies yang hidup saling
memangsa. Inilah adzohu, sebuah manifestasi perjuangan eksistensi dalam metafora
gesture tubuh manusia yang memaknai ketukan tabla laksana tiupan mantra-mantra nan
magis. Koreografi ini mengandung tenaga gaib yang emnyihir. Mahar memvisualisasikan
alam ganas di mana hukum rimba berkuasa. Maka musik tari ini tak hanya mendetak
degup jantung karena tabla yang berdentum-dentum tapi membran vibrasinya juga
menggetarkan jiwa karena tenaga mistik sebuah ritual suci siklus hidup.
Penonton semakin merangsek ke depan dan mulai terpukau pada tarian etnik
Afrika yang eksotis. Mereka mengamati satu per satu wajah kami yang tersamar dalam
coreng moreng, ingin tahu siapa penampil tak biasa ini. Namun tanpa disadari tubuh
mereka bergerak-gerak patah-patah mengikuti potongan-potongan irama yang
dilantakkan dan tanpa diminta tepuk tangan, siulan, dan sorak-sorai ribuan penonton
membahana menyambut kejutan aksi seksi tabla. Penonton riuh rendah berdecak kagum.
Pada detik itu aku tahu bahwa penampilan kami telah berhasil. Mahar telah melakukan
entry dengan sukses. Semua seniman panggung mengerti jika entry telah sukses biasanya
seluruh pertunjukan akan selamat. Para hadirin telah terbeli tunai!
Kesuksesan entry pemain tabla mengangkat kepercayaan diri kami sampai level
tertinggi. Kami, delapan ekor sapi, yang akan tampil pada plot kedua, gemetar menunggu
aba-aba dari Mahar untuk menerjang arena. Kami tak sabar dan rasanya kaki sudah gatal
ingin mendemonstrasikan kehebatan mamalia menari. Kami adalah remaja-remaja
kelebihan energi dan lapar akan perhatian. Lima belas meter dari tempat kami berdiri
adalah arena utama dan kami mengambil ancang-ancang laksana peluru-peluru meriam
yang siap diledakkan. Sangat mendebarkan, apalagi penonton semakin menggila tak
terkendali mengikuti ketukan tabla. Mereka membentuk lingkaran yang rapat, ikut
menari, bertepuk tangan, bersuit-suit panjang, dan berteriak-teriak histeris.
“Tabahkan hati kalian, keluarkan seluruh kemampuan!” ledak Bu Mus memberi
semangat kepada kami, para mamalia. Pak Harfan sudah tidak bisa bicara apa-apa.
Tangannya membekap dada seperti orang berdoa.
Tapi di tengah penantian menegangkan itu aku merasakan sedikit keanehan di
lingkaran leherku. Seperti ada kawat panas menggantung. Aku juga merasa heran melihat
warna telinga teman-temanku yang berubah menjadi merah, demikian pula kalung kami,
membentuk lingkaran berwarna kelam di kulit. Aku merasakan panas pada bagian dada,
wajah, dan telinga, lalu rasa panas itu berubah menjadi gatal.
Dalam waktu singkat rasa gatla meningkat dan aku mulai menggaruk-garuk di
seputar leher. Sekarang kami sadar bahwa rasa gatal itu berasal dari getah buah aren yang
menjadi mata kalung kami. Hasil rancangan adibusana Mahar. Buah aren yang ditusuk
dengan tali rotan itu mengeluarkan getah yang pelan-pelan melelh di lingkaran leher.
Rasa gatal itu semakin menjadi-jadi tapi kami takb isa berbuat apa-apa karena untuk
melepaskan kalung itu berarti harus melepaskan mahkota. Dan melepaskan mahkota
besar yang beratnya hampir satu setengah kilogram ini bukan persoalan mudah. Mahkota
raksasa ini sengaja dirancang Mahar untuk dikenakan dengan lilitan tiga kali melalui
dagu sehingga tanpa bantuan seseorang tak mungkin membukanya sendiri. Tak mungkin
melakukan itu apalagi Mahar sekarang telah melakukan gerakan seperti menyembah-nyembah ke
arah kami. Itulah isyarat kami harus masuk dan beraksi.
Maka semua usaha untuk berbuat sesuatu pada kalung itu terlambat dan yang
terjadi berikutnya tak ‘kan pernah kulupakan seumur hidupku. Kami menyerbu arena
dengan semangat spartan. Tepuk tangan penonton bergemuruh. Pada awalnya kami
menari bersukacita sesuai dengan skenario. Lalu kami, para sapi ini, mulai bergerakgerak
aneh dan sedikit melenceng dari gerakan seharusnya karena kami diserang oleh
rasa gatal yang luar biasa.
Rasa gatal ini begitu dahsyat. Aku tak pernah merasakan gatal demikian hebat dan
jelas berasal getah buah aren muda yang menjadi mata kalung kami. Pertama-tama
rasanya panas, perih, lalu geli dan gatal sekali. Jika digaruk bukannya sembuh tapi akan
semakin menjadi-jadi, bertambah gatal dua kali lipat. Karena gerakan kami rancak
dengan tangan mengibas-ngibas ke sana kemari maka getah aren itu menyebar ke seluruh
tubuh. Sekarang seluruh tubuh kami dilanda gatal tak tertahankan.
Kami berusaha tidak menggaruk-garuk karena hal itu akan merusak koreografi,
kami bertekad mengalahkan Marching Band PN. Selain itu menggaruk hanya akan
memperparah keadaan, maka kami bertahan dalam penderitaan. Satu-satunya cara
mengalihkan siksaan gatal adalah dengan terus-menerus bergerak jumpalitan seperti
orang lupa diri. Maka sekarang kami bergerak sendiri-sendiri tak terkendali seperti orang
kesetanan. Kami berteriak-teriak, meraung, saling menanduk, saling menerkam, saling
mencakar, merayap, berguling-guling di tanah, menggelepar-gelepar. Semua itu tak
terdapat dalam skenario. Lintang komat-kamit tak jelas dan matanya memerah seperti
buah saga. Trapani sama sekali menguap ketampanannya, wajah manisnya berubah
menjadi wajah algojo yang sedang kalap. Sedangkan A Kiong menampar-nampar dirinya
sendiri dengan keras seperti orang kesurupan. Telinganya seolah mengeluarkan asap dan
wajahnya seperti kaleng biskuit Roma. Wajah kami memerah seperti terbakar api dan
urat-urat lengan bertimbulan menahankan gatal.
Kami bergerak demikian beringas, berjingkrak-jingkrak seperti sekaleng cacing
yang dicurahkan di atas aspal yang panas mendidih. Sebaliknya, melihat kami sangat
menjiwai, para pemain tabla pun terbakar semangatnya. Mereka mempercepat tempo
untuk mengikuti gerakan-gerakan liar kami. Kami menari dengan tenaga dua kali lipat
dari latihan dan gerakan dua kali lebih cepat dari seharusnya. Kami seolah berkejaran
dengan tabuhan tabla. Menimbulkan pemandangan yang menakjubkan. Bahkan orang
Afrika sendiri tak pernah menari sehebat ini.
Sesungguhnya maksud kami bukan itu. Tapi kami senewen menanggungkan
gatal. Penonton yang tidak memahami situasi mengira suara tabla itu mengandung sihir
dan telah membuat kami, delapan ekor sapi ini, kesurupan, maka mereka bertepuk tangan
gegap gempita karena kagum dengan daya magis tarian Afrika. Mereka berteriak-teriak
histeris memberi semangat dan salut kepada kami yang mampu mencapai penghayatan
setinggi itu. Penonton semakin merapat dan petinggi di podium kehormatan menghambur
ke depan meninggalkan tempat-tempat duduknya yang teduh dan nyaman. Mereka
berebutan menyaksikan kami dari dekat. Mereka takjub dengan sebuah pemandangan
aneh. Bagi mereka ini adalah ekspresi seni yang luar biasa. Sementara kami semakin
tunggang-langgang, berputar-putar seperti gasing. Kami sudah tak peduli dengan pantun
Afrika yang harusnya kami lantunkan. Teriakan kami sekarang menjadi:
“Hushhhhhhh ...hushh...hushhhh! Habbaa...habbbaaa... habbaaaa...!!!”
Penonton malah mengira itu mantra-mantra gaib. Aku melirik Mahar. Aneh
sekali, wajahnya tapak senang tak alang kepalang, gembira bukan main. Ia tampak sangat
setuju dengan seluruh gerakan gila kami walaupun tidak seperti yang dilatihkannya dulu.
“Terus Kawan, hebat sekali, ayo berguling-guling, inilah maksudnya,” bisiknya di
antara kami sambil berlari-lari memikul tabla. Aku mulai curiga. Tapi aku tak sempat
berpikir jauh karena kami sekarang sedang diserang oleh dua puluh ekor cheetah.
Suasana semakin seru. Kami semakin sinting karena gatal dan panas. Kami merasa sangat
haus, menderita dehidrasi. Ketika cheetah menyerang, kami berbalik menyerang. Kami
sudah lupa diri. Seharusnya hal ini tak terjadi. Skenarionya tidak begitu.
Skenarionya adalah kami seharusnya menguik-nguik ketakutan sampai prajurit
Masai, Moran yang gagah berani itu, datang sebagai pahlawan untuk menyelamatkan
kami. Tapi sebaliknya sekarang kami dengan beringas membalas serangan cheetah
karena kami tak mungkin diam, jika diam rasa gatal rasanya akan memecahkan pembuluh
darah kami.
Para cheetah kebingungan. Ketika mereka menerjang kami membalas, cheetah
berlari kocar-kacir dan kembali menyerang, demikian terjadi berulang-ulang. Namun
anehnya skenario yang kacau balau tak direncanakan ini justru memunculkan karakter
asli binatang yang pada suatu ketika bisa demikian ganas tanpa ampun dan pada keadaan
yang lain terbirit-birit ketakutan jika kekuatannya tak berimbang. Sebaliknya sekali lagi
kulirik Mahar. Ia senang sekali dengan improvisasi spontan ini, tabuhan tablanya
semakin ganas. Senyumnya mengembang. Tak pernah aku melihatnya sebahagia itu.
Surai kuda, selendang yang melilit pinggang, dan mahkota kami melambai-lambai
eksotis karena kami melonjak-lonjak tak terkendali. Kami menari seperti orang dirasuki
iblis yang paling jahat, seperti ditiup Lucifer sang raja hantu. Arena semakin membara
dan gairah tarian mendidih ketika dua puluh prajurit Masai menyerbu masuk untuk
menyelamatkan kami, yang terjadi adalah pertarungan dahsyat antara sapi dan prajurit
Masai melawan dua puluh ekor cheetah. Ada enam puluh penari termasuk pemain tabla
yang sekarang saling menyerang dalam hentakan musik Masai. Penonton riuh rendah
dalam kekaguman. Para fotografer sampai kehabisan film.
Pasir-pasir halus yang bertaburan di atas arena membubung menjadi debu tebal
yang mengaburkan pandangan. Debu itu mengelilingi kami yang berputar seperti pusaran
angin. Di tengah pusaran itu kami bertempur habis-habisan dalam sebuah ritual liar alam
Afrika yang kami tarikan seperit binatang buas yang terluka. Dalam kekacaubalauan
terdengar teriakan-teriakan hsiteris, auman binatang, dan suara tabla berdentum-dentum.
Keseluruhan koreografi yang menampilkan fragmen pertempuran manusia melawan
binatang dengan gerakan spontan di depan podium kehormatan itu ternyata menghasilkan
karya seni yang sulit dilukiskan dengan kata-kata. Sebuah formasi gerakan chaos orisinal
yang tercipta secara tidak sengaja. Para penonton tersihir melihat kami trance secara
kolektif, mereka tersentak dalam histeria menyaksikan pemandangan magis yang
menkjubkan. Sebuah pemandangan eksotis dari totalitas tarian yang menciptakan efek
seni yang luar biasa. Sebuah efek seni yang memang diharapkan Mahar, efek seni yang
akan membawa kami menjadi Penampil Seni Terbaik tahun ini, tak diragukan, tak ada
bandingannya.
Pak Harfan, Bu Mus, dan guru-guru kami sangat bangga dan seolah tak percaya
melihat murid-muridnya memiliki kemampuan seperti itu. Mereka tak sadar bahwa kami
menderita berat karena gatal dan gerakan kami tak ada hubungannya dengan Moran,
cheetah, dan bunyi-bunyian tabla yang memecah gendang telinga.
Tiga puluh menit kami tampil serasa tiga puluh jam. Kami, para sapi, memang
dirancang untuk meninggalkan arena pertama kali. Pemain tabla, cheetah, dan prajurit
Masai masih harus melanjutkan fragmen. Segera setelah meninggalkan arena kami berlari
pontang panting mencari air. Sayangnya air terdekat adalah sebuah kolam kangkung
butek di belakang sebuah toko kelontong. Kolam itu adalah tempat pembuangan akhir
ikan-ikan busuk yang tak laku dijual. Apa boleh buat, kami ramai-ramai menceburkan
diri di sana.
Kami tak melihat ketika penonton memberikan standing applause selama tujuh
menit. Kami tak menyaksikan guru-guru kami menangis karena bangga. Aku kagum
kepada Mahar, ia berhasil memompa kepercayaan diri kami dan dengan kepercayaan diri
ternyata siapa pun dapat membuat prestasi yang mencengangkan. Hal itu dibuktikan oleh
sekolah Muhammadiyah yang mampu mematahkan mitos bahwa sekolah kampung tidak
mungkin menang melawan sekolah PN dalam karnaval. Sayangnya saat itu kami tak
dapat bergembira seperti warga Muhammadiyah di podium dan kami juga tak mendengar
ketika ketua dewan juri, Mbah Suro, naik mimbar. Beliau mengucapkan pidato panjang
puji-pujian untuk kami:
“Sekolah Muhammadiyah telah menciptakan daripada suatu arwah baru dalam
karnaval ini. Maka dari itu mereka telah mencanangkan suatu daripada standar baru yang
semakin kompetitif dari pada mutu festival seni ini. Mereka mendobrak dengan ide
kreatif, tampil all out, dan berhasil menginterpretasikan dengan sempurna daripada
sebuah tarian dan musik dari negeri yang jauh. Para penarinya tampil penuh penghayatan,
dengan spontanitas dan totalitas yang mengagumkan sebagai suatu manifestasi daripada
penghargaan daripada mereka terhadap seni pertunjukan itu sendiri. Penampilan
Muhammadiyah tahun ini adalah daripada suatu puncak pencapaian seni yang gilang
gemilang dan oleh karena itu dewan juri tak punya daripada pilihan lain selian daripada
menganugerahkan penghargaan daripada penampila seni terbaik tahun ini kepada sekolah
Muhammadiyah!”
Wahai dewan juri yang terhormat, mari kuberitahukan pada bapak-bapak sekalian,
tahu apa bapak-bapak soal seni, interpretasi seni kami adalah interpretasi getah buah aren
yang gatalnya membakar lingkaran leher kami sampai ke pangkal-pangkal paha dengan
perasaan seperti memakan api. Itulah yang membuat kami menari seperti orang yang
tidak waras, dan itulah interpretasi seni kami.
Mendengar pidato itu para penonton kembali bergemuruh dan seluruh warga
Muhammadiyah bersorak-sorai senang karena sebuah kemenangan yang fenomenal.
Sebaliknya kami, delapan ekor ternak dalam koreografi hebat itu, tetap tak tahu
semua kejadian yang menggemparkan itu, dan kami juga masih tak tahu ketika Mahar
diarak warga Muhammadiyah setelah sekolah menerima trofi bergengsi Penampil Seni
Terbaik tahun ini. Trofi yang telah dua puluh tahun kami idamakan dan selama itu pula
bercokol di sekolah PN. Baru pertama kali ini trofi itu dibawa pulang oleh sekolah
kampung. Trofi yang tak ‘kan membuat sekolah kami dihina lagi.
Kami tak tahu semua itu karena ketika itu kami sedang berkubang di dalam
lumpur kolam kangkung, menggosok-gosok leher dengan daun genjer. Yang kami tahu
hanyalah bahwa Mahar telah membalas kami dengan setimpal karena pelecehan kami
padanya selama ini. Buah-buah aren itu sungguh merupakan sebuah rancangan kalung
etnik properti adi busana koreografi yang bernilai seni, hasil perenungan Mahar berjam-jam sambil
memandangi langit di bawah pohon filicium. Itulah sebuah perenungan
tingkat tinggi yang membuat hatinya bergejolak sepanjang malam karena girang akan
memberi kami pelajaran, sebuah perenungan pembalasan dendam yang telah ia
rencanakan dengan rapi selama bertahun-tahun.
Wajah manisnya pasti sedang tersenyum sekarang dan senyumnya tak berhenti
mengembang jika ia ingat penderitaan kami. Di kolam busuk luar biasa sehingga
merontokkan bulu hidung ini kami membayangkan Mahar melonjak-lonjak girang
disirami sinar agung prestasi dan kata-kata pujian setinggi langit. Sedangkan kami
agaknya memang patut dihukum di kolam perut ikan ini. Mahar membalas kami
sekaligus merebut penghargaan terbaik—sekali tepuk dua nyamuk tumbang. Pria muda
yang nyeni itu memang genius luar baisa, dan baginya pembalasan ini maniiiiis sekali,
semanis buah bintang.
BAB XX
Miang Sui
AWAN-AWAN kapas berwarna biru lembut turun. Mengapung rendah ingin menyentuh
permukaan laut yang surut jauh, beratus-ratus hektare luasnya, hanya setinggi lutut,
meninggalkan pohon-pohon kelapa yang membujur di sepanjang Pantai Tanjong
Kelayang. Aku tahu bahwa awan-awan kapas biru muda itu dapat menjadi penghibur
bagi mataku, tapi dia takkanpernah menjadi sahabat bagi jiwaku, karena sejak minggu
lalu aku telah menjadi sekuntum daffodilyang gelisah, sejak kukenal sebuah kosakata
baru dalam hidupku: rindu.
Kini setiap hari aku dilanda rindu pada nona kuku cantik itu. Aku rindu pada
wajahnya, rindu pada paras kuku-kukunya, dan rindu pada senyumnya ketika
memandangku. Aku juga rindu pada sandal kayunya, rindu pada rambut-rambut liar di
dahinya, rindu pada caranya mengucapkan huruf “r”, serta rindu pada caranya merapikan
lipatan-lipatan lengan bajunya.
Kadang-kadang aku bersembunyi di bawah pohon filicium, melamun sendiri,
dadku sesak sepanjang waktu. Aku segera mengerti bahwa aku adalah tipe laki-laki yang
tak kuat menahankan rindu. Lalu aku berpikir keras mencari jalan untuk meringankan
beban itu. Setelah melalui pengkajian berbagai taktik, akhirnya aku sampai pada
kesimpulan bahwa rinduku hanya bisa diobati dengan cara sering-sering membeli kapur
dan untuk itu Bu Mus adalah satu-satunya peluangku.
Maka aku mengerahkan segala daya upaya, memohon sepenuh hati, agar tugas
membeli kapur tulis diserahkan padaku, kalau perlu kapur tulis untuk seluruh kelas SD
dan SMP Muhammadiyah, sepanjang tahun ini.
“Bukankah kau paling benci tugas itu Ikal?”
Aku tersipu. Ironis, aku telah menemukan definisi ironi yang sebenarnya.
Penyebabnya tentu bukan karena Toko Sinar Harapan telah menjadi wangi, tapi semata-mata
karena ada putri Gurun Gobi menungguku disana. Maka ironi bukanlah persoalan
substansi, ia tak lain hanyalah soal kompensasi. Itulah definisi ironi, tak kurang tak lebih.
Bu Mus tak berminat mendebatku dan kulihat perubahan wajahnya. Pastilah
instingnya selama bertahun-tahun menjadi guru secara naluriah telah membunyikan
lonceng di kepalanya bahwa hal ini sedikit banyak berhubungan dengan urusan cinta
monyet. Dengan jiwa penuh pengertian dan sebuah senyum jengkel beliau mengiyakan
sambil menggeleng-gelengkan kepala.
“Asal jangan kau hilangkan lagi kapur-kapur itu, perlu kau tahu, kapur itu dibeli
dari uang sumbangan umat!”
Kemudian aku dan Syahdan menjadi tim yang solid dalam pengadaan kapur. Aku
menjadi semacam manajer pembelian, Syahdan tak perlu mengayuh sepeda, cukup duduk
di belakang, memegang kotak-kotak kapur kuat-kuat dan menjaga mulutnya rapat-rapat,
karena hubungan antar-rasadalah isu yang sensitif ketika itu. Kami menikmati
ketegangan perjanjian rahasia ini dan selama beberapa bulan setelah itu aku telah menjadi
tukang kapur yang berdedikasi tinggi. Sebaliknya Syahdan, tentu saja melalui
rekomendasiku pada Bu Mus, selalu ikut denganku. Ia gembira karena semakin lama
meninggalkan kelas sekligus leluasa mendekati putri tukang hok lo pan.
Sesampainya di toko biasanya aku langsung cepat-cepat masuk dan berdiri tegak
dengan saksama di tengah-tengah lautan barang kelontong. Minyak kayu putih kukipas-kipaskan di
bawah hidung untuk melawan bau tengik. Aku menyeka keringat dan tak
sabar menunggu menit-menit ajaib, yaitu ketika A Miauw memberi perintah kepada
burung murai batu di balik tirai yang terbuat dari keong-keong kecil itu.
Aku menghampiri kotak merpati saat ia menjulurkan kapur. Setiap kali ini terjadi
jantungku berdebar. Ia masih tetap tak berkata apa pun, diam seribu bahasa, demikian
juga aku. Tapi aku tahu ia sekarang tak lagi cepat-cepat menarik tangannya. Ia
memberiku kesempatan lebih lama memandangi kuku-kukunya. Hal itu cukup
membuatku demikian bahagia sampai seminggu berikutnya.
Demikianlah berlangsung selama beberapa bulan. Setiap Senin pagi aku dapat
menjumpai belahan jiwaku, walaupun hanya kuku-kukunya saja. Hanya sampai di situ
saja kemajuan hubungan kami, tak ada sapa, tak ada kata, hanya hati yang bicara melalui
kuku-kuku yang cantik. Tak ada perkenalan, tak ada tatap muka, tak ada rayuan, dan tak
ada pertemuan. Cinta kami adalah cinta yang bisu, cinta yang sederhana, dan cinta yang
sangat malu, tapi indah, indah sekali tak terperikan.
Kadang-kadang ia menjentikkan jarinya atau menggodaku sambil terus
memegang kotak kapur ketika akan kuambil sehingga kami saling tarik. Kadang kala ia
mengepalkan tinjunya, mungkin maksudnya: kenapa kamu terlambat? Sering telah
kusiapkan diri berminggu-minggu untuk sedikit saja memegang tangannya atau untuk
mengatakan betapa aku rindu padanya. Tapi setiap kali aku melihat kuku-kukunya,
semua kata yang telah ditulis rapi pun sirna, menguap bersama aroma keringat orang
Sawang dan seluruh keberanian lenyap tertimbun tumpukan lobak asin. Tirai yang terbuat
dari keong-keong kecil itu demikian kukuh untuk ditembus oleh mental laki-laki sekecil
aku.
Sudah dua musim berlalu, sudah dua kali orang-orang bersarung turun dari
perahu, aku merasa sudah saatnya untuk tahu siapa namanya. Namun sekali lagi,
walaupun sudah berhari-hari mengumpulkan keberanian untuk bertanya langsung ketika
tangannya menjuilur, aku menjadi bisu dan tuli. Aku begitu kerdil di depannya. Maka
kutugaskan Syahdan mencari informasi. Ia sangat girang mendapat tugas itu. Lagaknya
seperti intel Melayu, mengendap-endap, berjingkat-jingkat penuh rahasia.
“Namanya A Ling ...!” bisiknya ketika kami sedang khatam Al-Qur’an di Masjid
Al Hikmah. Jantungku berdetak kencang.
“Seangkatan dengan ktia, di sekolah nasional!” Dan pyarrr!! Kopiah resaman
Taikong Razak menghantam rihalan Syahdan.
“Jaga adatmu di muka kitab Allah anak muda!!”
Syahdan meringis dan kembali menekuri Khatamul Qur’an. Sekolah nasional
adalah sekolah khusus anak-anak Tionghoa. Aku menatap Syahdan dengan serius.
Sekolah nasional ...?
“Jangan sampai tahu ibuku,” kataku cemas, “Bisa-bisa kau kena rajam.”
Syahdan tak mau menanggapi peringatkanku yang tidak kontekstual dengan
infonya yang berharga tadi. Wajahnya mengisyaratkan bahwa ia punya kejutan lain.
“A Ling adalah sepupu A Kiong ...!”
Aku terkejut, rasanya seperti tertelan biji rambutan yang macet di tenggorokanku.
A Kiong, pria kaleng kerupuk itu! Mana mungkin dia punya sepupu bidadari?
Syahdan membaca pikiranku, ia mengangguk-angguk yakin memastikan, “Iya,
betul sekali, Kawan, A Kiong kita itu, tapi aku tak pasti, apakah A Kiong seperti itu
karena tumbal ilmu sesat, titisan yang keliru, atau anomali genetika?”
Syahdan vulgar dan sok tahu. Aku segera teringat pada A Kiong. Beberapa hari
ini ia belajar di kelas sambil berdiri karenalimabiji bisul padi bermunculan di pantatnya
sehingga ia tak bisa duduk. Tapi ia berkeras ingin tetap sekolah.
Aku tak dapat menggamabrkan perasaanku atas semua info ini. Kenyataan bahwa
A Ling adalah sepupu a Kiong membuatku bersemangat sekaligus waswas. Aku dan
Syahdan berunding serius membahas perkembangan ini dan kami putuskan untuk
menceritakan situasinya pada A Kiong. Kami menganggap dialah satu-satunya peluang
untuk menembus tirai keong itu.
Kami giring A Kiong menuju kebun bunga sekolah dan kami dudukkan di abngku
kecil dekat kelompok perdu kamar Beloperone, Pittosporum, dan kembang sepatu yang
saat itu sedang bersemi, tempat yang sempurna untuk bermusyawarah soal cinta.
“Mudahnya begini saja, Kiong,” kataku tak sabar. “Aku akan menitipkan padamu
suratdan puisi untuk A Ling, maukah kau memberikan padanya? Serahkan padanya
kalau kalian sembahyang di kelenteng, pahamkah engkau?”
Ia mengernyitkan dahinya, rambut landaknya berdiri tegak, wajahnya yang bulat
gemuk tampak semakin jenaka. Ketika ia melepaskan kembali kernyitannya itu pipinya
yang tembem jatuh berayun-ayun lucu. Dia adalah pria berwajah mengerikan tapi lucu.
“Mengapa tak kauberikan langsung padahal setiap Senin pagi kau bertemu
dengannya? Tidak masuk akal!” A Kiong tak mengucapkan kata-kata itu tapi inilah arti
kernyitannya itu. Aku juga menjawabnya dari dalam hati, semacam telepati. “Hei, anak
Hokian, sejak kapan cinta masuk akal?”
Aku menarik napas panjang, membalikkan badanku, memandang jauh ke
lapangan hijau pekarangan sekolah kami. Seperti sedang berakting dalam sebuah teater
aku merenggut daun-daun Dracaena, meremas-remasnya lalu melemparkannya ke udara.
“Aku malu, A Kiong, nyaliku lumpuh kalau berada satu meter darinya, aku adalah
seorang pria yang kompulsif, jika ceroboh aku takut ketahuan bapaknya, kalau itu terjadi,
tak terbayangkan akibatnya!”
Kudapat kata-kata itu dari majalah Aktuillangganan abangku, barangkali agak
kurang tepat, tapi apa peduliku. Demi mendengar kata-kata seperti naskah sandiwara
radio itu Syahdan memeluk erat-erat pohon petai cina di sampingnya. Aku kehabisan kata
untuk menjelaskan pada A Kiong bahwa titip-menitip dalam dunia percintaan
mengandung nilai romansa yang tinggi karena ada unsur-unsur kejutan disana.
Rupanya A Kiong menangkap keputusasaan dalam nada suaraku. Ia adalah siswa
yang tidak terlalu pintar tapi ia setia kawan. Sepanjang masih bisa diusahakan ia tak ‘kan
pernah membiarkan sahabatnya patah harapan. Luluh hatinya melihat aktingku. Sekarang
ia tersenyum dan aku menyembahnya seperti murid shaolin berpamitan pada suhunya
untuk memberantas kejahatan. Namun karena turunan darah wiraswasta leluhurnya, A
Kiong tentu menuntut kompensasi yang rasional. Aku tak keberatan menggarap PR tata
buku hitung dagangnya.
Lalu, tak terbendung, melalui A Kiong, puisi-puisi cintaku mengalir deras
menyerbu pasar ikan. Baginya itu hanyalah tugas mduha. Sebaliknya, ia mulai merasakan
kenikmatan eskalasi gengsi akibat nilai-nilai tata buku hitung dagang yang membaik.
Hubungan A Kiong, aku dan Syahdan adalah simbiosis mutualisme, seperti burung cako
dengan kerbau. Ia sama sekali tak menyadari bahwa persoalan titip menitip ini dapat
membawa risiko ia pecah kongsi dengan pamannya A Miauw.
Aku selalu mendesak A Kiong untuk menceritakan bagaimana wajah A Ling
ketika menerima puisi dariku.
“Seperti bebek ketemu kolam,” kata A Kiong penuh godaan persahabatan.
Dan pada suatu sore yang indah, di bulan Juli yang juga indah, di tempat duduk
bulat, sendirian di kebun bunga kami, aku menulis puisi ini untuk A Ling:
Bunga Krisan
A Ling, lihatlah ke langit
Jauh tinggi di angkasa
Awan-awan putih yang berarak itu
Aku mengirim bunga-bunga krisan untukmu
Ketika kumasukkan puisi ke dalam sampul surat, aku tersenyum, tak percaya aku
bisa menulis puisi seperti itu. Cinta barangkali dapat memunculkan sesuatu, kemampuan
atau sifat-sifat rahasia, yang tak kita sadari sedang bersembunyi di dalam tubuh kita.
Namun ketika itu aku selalu merasa heran mengapa A Ling selalu mengembalikan
puisiku? Barangkali di tokonya yang sesak tak ada lagi tempat untuk menyimpan kertas.
Demikianlah pikiranku, bukankah anak kecil selalu berpikir positif. Aku tak ambil pusing
soal itu lagi pula saat ini pikiranku sedang tak keruan karena pada kotak kapur yang
kuambil pagi ini ada tulisan:
Jumpai aku di acara sembahyang rebut
Tulisan tangan A Ling! Ini adalah lompatan raksasa dalam hubungan kami.
Bagiku catatan kecil ini sangat penting seperti katebelecepresiden untuk menaikkan gaji
seluruh pegawai negeri. Keinginanku melihat kembali wajah Michele Yeoh-ku setelah
insiden tirai dulu adlaah tabungan rindu dalam celengan tanah liat yang setiap saat
hampir meledak. Dan dalam waktu 92 jam, 15 menit, 10 detik dari sekarang aku akan
menjumpainya langsung. Di halaman kelenteng.
Hari-hari menjelang pertyemuan adalah hari-hari tak bisa tidur. Klasik sekali
memang, tapi apa boleh buiat karena memang itu kenyataannya maka harus kuceritakan.
Berkali-kali kubaca pesan di atas kotak kapur itu tapi masih tetap isinya tentang janji
ketemu. Dibaca dari arah mana pun, dari belakang seperti membaca huruf Arab, dari
depan, dari atas, dari jauh, dari dekat, dipantulkan di cermin, digerus dengan lilin, dibaca
dengan kaca pembesar, dibaca di balik api, ditaburi tepung terigu, diawasi lama-lama
seperti melihat gamabr tiga dimensi yang tersamar, isinya tetap sama yaitu “jumpai aku
di acara sembahyang rebut”. Itu adalah kalimat bahasa Indonesia yang jelas, bukan
idiom, bukan isyarat atau simbol. Aku seolah tak percaya dengan pesan itu tapi aku, si
Ikal ini, akan segera berjumpa dengan cinta pertamanya! Tak diragukan lagi, dunia boleh
iri.
Kotak kapur yang ada tulisan pesan A Ling itu kusimpan di kamarku seperti
benda koleksi yang bernilai tinggi. Syahdan dan A Kiong sampai bosan terus-menerus
mendengar kisahku tentang pesan itu. Mereka muak. Satu pelajaran berharga, orang yang
sedang jatuh cinta adalah orang yang egois. Aku seolah tak percaya pada apa yang akan
terjadi, mimpikah ini?
“Bukan, Kawan, bukan mimpi, mandilah bersih-bersih dan tunggu dia pukul
emapt sore di halaman kelenteng, saat persiapan sembahyang rebut. Dia wanita yang
baik, dia akan datang untuk janjinya,” nasihat A Kiong, event organizerpertemuan
penting ini, yang tiba-tiba menjadi amat bijaksana.
Chiong Si Ku atau sembahyang rebut diadakan setiap tahun. Sebuah acara
semarak di mana seluruh warga Tionghoa berkumpul. Tak jarang anak-anaknya yang
merantau pulang kampung untuk acara ini. Banyak hiburan lain ditempelkan pada ritual
keagamaan ini, misalnya panjat pinang, komidi putar, dan orkes Melayu, sehingga
menarik minat setiap orang untuk berkunjung. Dengan demikian ajang ini dapat disebut
sebagai media tempat empat komponen utama kelompok subetnik di kampung kami:
orang Tionghoa, orang Melayu, orang pulau bersarung, dan orang Sawang berkumpul.
Orang Sawang tak terlalu tertarik dengan hiburan-hiburan tadi tapi mata mereka
tak lepas dari tiga buah meja berukuran besar dengan panjang kira-kira 12 meter, lebar
dan tingginya kira-kira 2 meter. Di atas meja itu ditimbun berlimpah ruah barang-barang
keperluan rumah tangga, mainan, dan berjenis-jenis makanan. Barang-barang ini adalah
sumbangan dari setiap warga Tionghoa. Tak kurang dari 150 jenis barang mulai dari
wajan, radio transistor, bahkan televisi, berbagai jenis kue, biskuit, gula, kopi, beras,
rokok, bahan tekstil, berbagai botol dan kaleng minuman ringan, gayung, pasta gigi,
sirop, ban sepeda, tikar, tas, sabun, payung, jaket, ubi jalar, baju, ember, celana, buah
mangga, kursi plastik, batu baterai, sampai beragam produk kecantikan disusun
bertumpuk-tumpuk laksana gunung di atas meja-meja besar tadi. Daya tarik terkuat dari
sembahyang rebut adalah sebuah benda kecil yang disebut fung pu, yakni secarik kain
merah yang disembunyikan di sela-sela barang-barang tadi. Benda ini merupakan incaran
setiap orang karena ia perlambang hoki dan yang mendapatkannya dapat menjualnya
kembali pada warga Tionghoa dengan harga jutaan rupiah.
Meja itu diletakkan di depan sebuah Thai Tse Ya, yaitu patung raja hantu yang
dibuat dari bambu dan kertas-kertas berwarna-warni. Tinggi Thai Tse Ya mencapai 5
meter dengan diameter perut 2 meter. Ia adalah sesosok hantu raksasa yang
menyeramkan. Matanya sebesar semangka dan lidahnya panjang menjuntai seperti ingin
menjilati jejeran babi berminyak-minyak yang dipanggang berayun di bawahnya. Thai
Tse Ya tak lain adalah representasi sifat-sifat buruk dan kesialan manusia. Sepanjang sore
dan malam hari, warga Tionghoa yang Kong Hu Cu tentu saja melakukan sembahyang di
depan Thai Tse Ya ini.
Tepat tengah malam salah seorang paderi akan memukul sebuah tempayan besar
pertanda seluruh hadirin dapat mengambil—lebih tepatnya merebut—semua barang yang
ada di tiga meja besar tadi. Oleh karena itu Chiong Si Ku disebut juga acara sembahyang
rebut.
Ketika tempayan itu dipukul bertalu-talu tanda mulai berebut aku menyaksikan
salah satu peristiwa paling dahsyat yang pernah dilakukan manusia. Gunungan beratus-ratus jenis
barang tersebut lenyap dalam waktu tak lebih dari satu menit—25 detik lebih
tepatnya, dan tempat itu berubah menjadi kekacaubalauan yang tak tertuliskan kata-kata.
Debu tebal mengepul ketika ratusan orang dengan garang menyerbu meja-meja tinggi itu
dengan semangat seperti orang kesetanan. Tak jarang meja-meja itu hancur berantakan
dan para perebut cidera berat.
Mereka yang berhasil naik ke atas meja dengan gerakan secepat kilat
melemparkan barang-barang secara sistematis kepada rekan-rekannya yang menunggu di
bawah. Mereka yang bertindak sendiri naik ke atas meja dan memasukkan apa saja yang
ada di dekatnya ke dalam sebuah karung—juga dengan kecepatan kilat—sampai kadang
kala tak bisa menurunkan karungnya itu karena sudah di luar batas tenaganya.
Kadang kala belasan orang berebut sebuah barang sehingga terjadi semacam
perkelahian di tengah tumpukan barang dan beberapa di antaranya terjengkang, jatuh
menabrak barang-barang rebutan, lalu terjembab ke tanah. Para penonton tak sempat
bertepuk tangan tapi hanya terpana menyaksikan pemandangan sekilas yang mahadahsyat
sekaligus ngeri membayangkan bagaimana manusia bisa begitu serakah dan beringas.
Mereka yang tidak membawa karung memasukkan apa saja ke dalam seluruh
saku baju dan celana bahkan ke dalma bajunya sehingga tampak seperti badut. Dalam
situasi berebutan yang sangat cepat otak sudah tidak bisa menalar, kadang kala butir-butir
beras dan gula juga dimasukkan ke dalam saku celana. Mereka yang saku baju dan
celananya—bahkan bagian dalam bajunya—telah penuh memasukkan apa saja ke dalma
mulutnya, mereka makan apa saja, sebanyak mungkin, ketika masih berada di atas meja,
jika perlu mereka akan menyimpan barang di dalam lubang-lubang hidung dan telinga,
luar biasa!
Jika berhasil merebut radio transistor jangan harap akan membawanya pulang
dengan utuh karena ketika masih di atas meja radio itu akan direbut oleh lima belas orang
sekaligus sehingga yang tersisa hanya tombol-tombol atau antenanya saja. Prinsipnya tak
mengapa mendapatkan tombolnya saja asalkan orang lain juga tak mendapatkan radio
seutuhnya. Perkara radio itu menjadi hancur tak bisa dipakai adalah urusan lain yang tak
penting. Inilah manifestasi dasar keserakahan manusia. Chiong Si Ku adalah bukti nyata
tak terbantah terhadap teori yang dipercaya para antropolog tentang kecenderungan egois,
tamak, merusak, dan agresif sebagai sifat-sifat dasar homo sapiens.
Superstardalam Chiong Si Ku tentu saja orang-orang Sawang. Tanpa mereka
bisa-bisa acara ini kehlilangan sensasinya. Mereka sukses setiap tahun karena
pengorganisasian yang solid. Sejak sore mereka telah melakukan riset di mana posisi
barang-barang berharga, dari sudut mana harus menyerbu, berapa tenaga yang
diperlukan, dan mengkalkulasi perkiraan perolehan. Berhari-hari sebelum sembahyang
rebut mereka telah menyusun strategi. Pembagian tugasnya jelas, yaitu mereka yang
berbadan besar bertugas menjegal kelompok perebut lain, yang kecil menyerbu naik ke
atas meja seperti gerakan monyet: cepat, jeli, dan tangkas, dan sisanya menunggu di
bawah, siaga menangkap apa saja yang dilemparkan dari atas meja. Kelompok ini
beranggotakan sampai dua puluh orang. Seorang pria Sawang kurus bermata liar
ditugaskan khusus selama bertahun-tahun untuk menjarah fung pu. Ketika ia beraksi
ekspresinya datar seolah ia tak punya urusan dengan perebut-perebut serakah lainnya.
Tingkah lakunya persis budak yang dijanjikan merdeka oleh Siti Hindun jika berhasil
membunuh Hamzah sang panglima pada perang Uhud. Sang budak tak ada urusan
dengan perang Uhud, perang itu bukan perangnya, setelah menombak dada Hamzah ia
bergegas pulang. Demikian pula pria bermata liar ini. Ketika paderi memukul tempayan
pertama kali ia langsung memanjat meja seperti manusia laba-laba, lalu dengan cekatan
ia berjingkat-jingkat di antara lautan barang-barang. Matanya yang tajam nanar jelalatan
melacak ke sana kemari dan dalam waktu singkat ia mampu menemukan fung pu. Ia
selalu sukses meskipun paderi telah menyembunyikan benda kecil keramat itu dengan
amat rapi di antara tumpukan terdalam lipatan daster, di dalam salah satu dari puluhan
kaleng biskuit Khong Guan yang paling sulit dijangkau, di dalam karung ekmiri, di sela-sela
dedaunan tebu, bahkan di dalam buah jeruk kelapa. Setelah mendapatkan fung puia
menyelipkan carikan merah itu di pinggangnya dan melompat turun seperti pemilik ilmu
peringan tubuh. Ia tak sedikit pun peduli dengan barang-barang berharga lainnya serta
kecamuk ratusan pria kasar yang berebut dengan brutal. Sang legenda hidup Chiong Si
Ku itu mendarat ke bumi tanpa menimbulkan suara lalu sedetik kemudian ia menghilang
di tengah kerumunan massa membawa lari lambang supremasi Chiong Si Ku. Ia lenyap
di telan gelap, asap gaharu, dan aroma dupa.
Orang-orang Melayu, sebagaimana baisa, susah berorganisasi. Bukannya fokus
pada ikhtar untuk mencapai tujuan dan memenangkan persaingan tapi sebaliknya mereka
gemar sekali berpolitik sesama mereka sendiri. Tak terima jika dikoreksi dan jarang ada
yang mau berintrospeksi. Di antara mereka selalu saja berbeda pendapat dan mereka
senang bukan main dengan pertengkaran yang tak konstruktif. Tak mengapa tujuan tak
tercapai asal tak jatuh nama dalam debat kusir. Dan selalu terjadi suatu gejala yang paling
umum yaitu: yang paling bodoh dan paling tak berpendidikan adalah paling lantang dan
paling pintar kalau bicara. Jika orang Melayu membentuk sebuah tim maka setiap orang
ingin menjadi pemimpin. Akhirnya tim yang solid tak pernah terbentuk. Akibatnya dalam
sembahyang rebut mereka beroperasi secara individu dan berjuang secara soliter maka
yang berhasil dibawa pulang hanya tubuh yang remuk redam, sebatang tebu, beberapa
bungkus sagon, sebelah kaos kaki Mundo, beberapa butir kepala boneka, bibit kelapa
yang tak dipedulikan orang Sawang, dan pompa air—itu pun hanya sumbatnya saja.
Chiong Si Ku diakhiri dengan membakar Thai Tse Ya dengan harapan tak ada
sifat-sifat buruk dan kesialan melanda sepanjang tahun ini. Sebuah acara keagamaan tua
yang syarat makna, berseni, dan sangat memesona.
Pukul 3.30 selesai shalat Ashar.
Pesan di kotak kapur! Seperti message in a botle. Aku berdiri tegak di bawah
pohon seri di halaman kelenteng sambil memegangi sepedaku, menunggu. Anak-anak
muda Tionghoa hilir mudik. Mereka sibuk mendirikan Thai Tse Ya setinggi lima meter.
Ada A Kiong diantara mereka, ia berulang kali mengacungkan jempolnya
menyemangatiku.
“Tabahlah, Kawan, ambil semua risiko, begitulah hidup,” demikian barangkali
maksudnya.
Aku membalas dengan senyum kecut karena aku gelisah. Aku gelisah
membayangkan apa yang ada di pikiran seorang wanita muda Tionghoa tentang laki-laki
Melayu kampung seperti aku. Dan berada di tengah lingkungan mereka membuat aku
semakin ragu. Apa aku pulang saja? Tapi aku rindu. Dan rinduku telanjur berdarah-darah.
Seperti terjadi setiap hari, pukul 3.30 sore matahari masih terasa sangat panas dan
dengan berdiri di sini sebagian tubuhku tersiram cahayanya. Aku dapat merasakan
keringatku mengalir pelan di leher baju takwa putih berlengan panjang, baju terbaik yang
aku miliki, hadiah hiburan lomba azan. Jantungku berdetak kacau, aku gugup luar biasa.
Burung matahari akwanan tujuh ekor yang berkicau-kicau di dahan-dahan rendah seri
jelas-jelas menggodaku. Mereka berjingkat-jingkat dan ribut sekali. Kumbang juga
menerorku, seperti suara ambulans mereka sibuk melubangi kayu-kayu besar bercat
merah mencolok yang menyangga atap kelenteng. Suaranya merisaukanku. Aku tak sabar
menunggu.
Pukul 3.55
Sudah 25 menit aku mematung di sini, tak ada tanda-tanda kehadiran A Ling.
Wajah A Kiong menaruh belas kasihan padaku. Barangkali tadi aku tiba terlalu awal,
harusnya aku datang terlambat saja, atau tak datang sama sekali. Berbagai pikiran aneh
mulai merasukiku. Aku merasa lelah karena tegang. Kakiku kesemutan.
Mataku tak lepas-lepas memandang ke arah satu-satunya jalan yang
menghubungkan kelenteng dengan pasar ikan. Di sepanjang kiri kanan jalan ini tumbuh
berderet-deret pohon saga. Cabang-cabang atasnya bertemu meneduhi jalan di bawahnya
sehingga jalan ini tampak seperti gua. Setelah deretan pohon-pohon saga, jalan ini
berbelok ke kanan. Pinggir jalan ini dipagari bekas-bekas tulang bangunan yang terlantar.
Tulang-tulang bangunan itu dirambati dengan lebat tak beraturan ke sana kemari
oleh Bougainvillea spectabilisliar atau kembang kertas dan berakhir pada ujung sebuah
jalan buntu. Di ujung jalan ini berdiri toko Sinar Harapan, rumah A Ling. Maka berdiri
dua puluh meter persis di depan Thak Si Ya adalah posisi yang telah kuperhitungkan
dengan matang. Jika ia muncul di belokan itu, maka dari posisi ini aku dapat melihatnya
langsung berjalan anggun seperti burung sekretaris menuju ke arahku. Pasti ia akan
menunduk tersenyum-senyum, atau, seperti film India, ia akan berlari kecil membawa
seikat bunga, lalu merentangkan tangannya untuk memelukku. Ah, aku bermimpi.
Tapi ia tak muncul-muncul dan aku berulang kali mengusap mataku yang
kelelahan memelototi belokan itu. Kakiku penat dan aku mulai merasa pusing karena
ketegangan berkepanjangan. Sekarang Thak Si Ya telah berdiri, para pemuda Tionghoa
bertepuk tangan, sementara aku semakin gelisah. Aku melirik Thak Si Ya yang berdiri
tinggi tegak, matanya seram sekali mengawasi gerak gerikku.
Sekarang sudah pukul 3.57, tiga menit menjelang tenggat waktu.
Aku menghitung dengan jariku, jika sampai hitungan keenam puluh ia tak muncul
maka aku akan pergi saja. Aku kepanasan dan merasa mual. Karena tegang, perutku naik
membaut ngilu ulu hatiku. Kalau tadi pikiran yang bukan-bukan merasukiku, kini
pikiranku dilanda keraguan.
Apakah ia benar-benar seperti persepsiku selama ini? Apakah yang kuabyangkan
tentang dirinya akan sama sekali berbeda kenyataannya? Mungkinkah sekarang ia sedang
menyiangi tauge, lupa akan janjinya? Tahukah ia betapa berarti pesannya itu untukku?
Dan sekarang ia tak datang, betapa hancur hatiku. Ingin segera kukayuh sepeda ini, lari
sekencang-kencangnya menceburkan diri ke Sungai Lenggang.
Pukul 4.02, lewat sudah batas janji.
Tik! Tok! Tik! Tok! Tik! Tok!
Sudah 60! Hitunganku sampai. Ia ingkar!
Aku berada di puncak kegelisahan. Tanganku dingin, jantungku berdetak makin
cepat. Suara kumbang-kumbang semakin riuh merubung aku, menerorku tanpa ampun.
Ngiung! Ngiung! Ngiung ...
Dadaku sesak karena rindu dan marah, aku naiki sadel sepeda, sudah tak tahan
ingin berlalu dari neraka ini. Namun ketika aku akan mengayuh sepeda, aku mendengar
persis di belakangku suara itu. Suara yang lembut seperti tofu. Suara yang membuat
kumbang-kumbang terdiam bungkam. Inilah suara yang sejuk seperti angin selatan, suara
terindah yang pernah kudengar seumur hidupku, laksana denting harpa dari surga.
“Siapa namamu?”
Aku berbalik cepat dan terkejut.
Aku tak mampu mengucapkan sepatah kata pun. Karena di situ, persis di situ, tiga
meter di depanku, berdirilah ia, the distinguished Miss A Ling herself!Michele Yeoh-ku.
Ia datang dari arah yang sama sekali tak kuduga karena sebenarnya dari tadi ia sudah
berada di dalam kelenteng memerhatikanku, dan pada detik-detik terakhir aku akan
kecewa, ia hadir, memberiku kejutan listrik voltase tinggi, menghancurkan setiap butiran-butiran
darah merah di tubuhku. Setelah lima tahun mengenalnya, baru tujuh bulan yang
lalu pertama melihat wajahnya, setelah puluhan puisi yang kutulis untuknya, setelah
berton-ton rindu untuknya, baru sore ini dia akan tahu namaku.
Aku tergagap-gagap seeprti orang Melayu belajar mengaji.
Ia mengulum senyum, manis sekali tak terperikan. Hadir dalam balutan chong
kiun, baju acara penting yang memesona, di suatu bulan Juli yang meriah, ia turun ke
bumi bagai venus dari Laut Cina Selatan. Baju itu mengikuti lekuk tubuhnya dari atas
mata kaki sampai ke leher dan dikunci dengan kancing tinggi berbentuk seperti paku.
Tubuhnya yang ramping bertumpu di atas sepasang sandal kayu berwarna biru. Cantik
rupawan melebihi mayoret mana pun. Tingginya tak kurang dari 175 cm, jelas lebih
tinggi dariku.
Serasi dengan rumpun genayun yang tumbuh kurus menjulang di sampingnya ia
mengikat rambutnya menjadi satu ikatan besar dan ikatan itu ditegakkan tinggi-tinggi.
Beberapa helai rambut yang disatukan jatuh di atas pundak chong kiun berwarna lam set,
biru muda, dengan motif bunga ros besar-besar. Beberapa helai rambut lainnya dibiarkan
jatuh melintasi wajahnya yang teduh jelita. Kuku-kukunya yang cantik memegang hio
untuk sembahyang.
Ada sedikit kilasan kedewasaan pada pancaran matanya dibanding terakhir kami
bertemu. Teori yang memaksakan pendapat bahwa wanita bermata besar kelihatan lebih
cantik akan runtuh berantakan jika melihat A Ling. Matanya yang sipit sedikti tertarik ke
atas, senada dengan bentuk alis yang dibiarkan alami. Dalam lukisan wajah yang tirus
bentuk mata seperti itu menciptakan rasa kecantikan dengan karakter yang kaut. Inilah
pusat gravitasi pesona wajah A Ling.
Sejujurnya aku tak sanggup mengatasi keanggunan pada level seperti ini. Ini
bukan untukku. Aku merasa tak pantas. Bagiku ia seperti seseorang yang akan selalu
menjadi milik orang lain. Dan aku, tak lebih dari pengisi data nama dan alamat pada buku
simfoninya yang akan terlupakan sebulan setelah ini. Aku tak mungkin berada di dalam
liga ini. Aku rasanya ingin pulang saja. Ia membaca itu. Lalu memegang mata kiang lian,
seuntai kalung yang menggantung panjang di lehernya. Mata kalung itu batu giok dan
bertulisan Tionghoa. Aku tak paham makna tulisan itu.
“ Miang sui,” kata A Ling. Nasib, itulah artinya.
Dan lilin besar merah pun dinyalakan, cahayanya berkibar-kibar, ratusan
jumlahnya. Mata Thai Tse Ya berkilat-kilat karena lilin menyinari wajahnya dari bawah.
Ia tampak makin seram tapi aura A Ling membuatnya tak lebih dari boneka kertas yang
jenaka dan kumbang-kumbang yang nakal tadi tak berani muncul lagi.
A Ling menarik tanganku, kami berlari meninggalkan halaman kelenteng, terus
berlari melintasi kebun kosong tak terurus, menyibak-nyibakkan rumput apit-apit setinggi
dada, tertawa kecil menuju lapangan rumput halaman sekolah nasional. Kami
merebahkan diri kelelahan, memandangi awan senja berarakan.
“Aku membaca puisimu, Bunga Krisan, di depan kelas!” katanya serius. “Puisi
yang indah ....”
Aku melambung.
Wajah A Ling yang cantik berair karena keringat, seperti embun di permukaan
kaca. Ia bangkit, lalu berjalan hilir mudik di depanku yang memandanginya seperti bayi
melihat kelereng. Lalu dengan gaya seperti dosen ia menggenggam jemarinya, bercerita
penuh semangat tentang minatnya pada sketsa dan cita-citanya menjadi perancang
busana. Sebaliknya, aku menceritakan minatku pada seni. Di dekatnya aku merasa
berarti, merasa menjadi seseorang, di dekatnya aku merasa ingin menjadi seorang pria
yang lebih baik. Di dekatnya aku merasa seperti sedang berada dalam sebuah adegan
dalam film.
Dari lapangan itu kami kemudian berlari-lari menuju komidip utar. Bukankah
komidi putar adalah sebuah benda yang menakjubkan? Setelah seorang pria kumal
mengangkat sebuah tuas lalu benda itu secara mekanik memutar insan-insan yang
dimabuk cinta yang duduk berimpitan di dalam sebuah tempat seperti mentudung. Lalu
tiba-tiuba semuanya menjadi mudah karena semua hal disaksikan dari suatu jarak. Bagiku
mentudung-mentudung itu seumpama pelaminan di mana orang berusaha menikmati
keindahan cinta dalam kesederhanaan sensasi yang ditawarkan sebuah komidi putar.
Keindahan yang sederhana ini membuatku belajar menghargai cinta yang sekarang duduk
di sampingku. Inilah sore terindah dalam hidupku. Aku bertanya-tanya pada diri sendiri:
ke manakah nasib akan membawaku setelah ini? Dari putaran tertinggi komidi aku dapat
melihat lapangan tempat tadi kami memandangi awan.
BAB XXI
Rindu
DI sebuah buku aku melihatnya mengen-darai kuda dengan cara memeluk erat perut
hewan itu seperti prajurit Kubilai Khan. Matanya berkilat-kilat karena dewa mata tombak
telah melukai hatinya. Darahku menggelegak ketika ia mengendap-endap mendekati
seekor moose jantan. Dan aku tak kuasa membalik satu lembar terakhir saat ia
mengatakan bahwa ia akan mencampak-kan cinta wanita-wanita berdarah campuran
Tututni dan Chimakuan. Semua itu karena ia tak mau mencemari darah Indian Pequot
yang mengalir deras di tubuhnya, dan yang paling memilukan, karena ia adalah pria
terakhir dalam sukunya.
Maka air kelaki-lakiannya bersimbah di punggung-punggung kuda tak berpelana dan ia
mengembara sendirian di lautan padang rumput Vellowstone yang tak bertepi. Ia menjerit
sepanjang hari dan menari menantang matahari sehingga pandangan matanya gelap
gulita. Ia merangkak-rangkak, berdoa agar salah satu wanita dari sukunya akan muncul di
antara kawanan coyote seperti para dewa telah menghadirkan wanita-wanita Sguamish.
Tapi waktu yang mengutus angin juga telah tega mengkhianatinya, sehingga ia menjadi
tua, dan saat maut menagih janjinya, ia mati masih perjaka. Pagi itu langit melapangkan
kedua tangan, menyambut darah asli Pequot.
Chinookcuk, yang terakhir dari kaumnya itu adalah prajurit yang memutuskan untuk
mengucilkan diri karena ingin menjaga kesucian darah Pequot. Sama seperti suatu suku
terasing di Sepahua Amazon. Mereka melarikan diri jauh ke rimba yang dalam karena
ingin menghindarkan diri dari wabah kolera. Sejak tahun 1500 tak seorang pun pernah
melihat mereka. Isolated by choice, demikian para ahli menyebutnya, yaitu sikap sengaja
mengasingkan diri. Sedangkan yang mengumbar keberadaan dirinya seperti suku-suku
Osage, Huron, Lakmiut, Cherokee, Sawang, atau Melayu Belitong umumnya mengalami
hambatan-hambatan geografis sehingga terisolasi. Meskipun dalam kasus tertentu isolasi
sengaja itu juga terjadi karena pertimbangan komersial, misalnya Sheffield yang tiga
tahun lalu memutuskan untuk mengucilkan diri dengan menutup bandaranya karena tidak
menghasilkan keuntungan. Adapun suku-suku Perupian itu memang terasing karena
rimba belantara yang sulit ditembus, sungai-sungai yang liar, dan gunung gemunung
yang terjal.
Pada suatu ketika Melayu Belitong sempat terisolasi karena mereka tinggal di sebuah
pulau kecil yang dikelilingi samudra, sementara tidak semua peta memuat pulau ini.
Waktu itu di sana belum berdiri BTS-BTS atau antena gelombang mikro untuk telekomunikasi.
Satu-satunya akses suku ini kepada dunia luar adalah melalui sebuah pintu baja setebal 30
sentimeter. Bagi orang Belitong, pintu baja itu adalah tabir pemisah kehidupan jahiliah dan dunia
modern, sekaligus laksana teropong kapal selam yang timbul untuk melongok-longok dunia luar.
Pintu baja tulen itu menutup sebuah ruangan sempit rahasia yang menyimpan benda-benda keramat
berwarna-warni. Ruangan ini disebut ktuis dan merupakan bagian utama
dari sebuah kantor peninggalan Belanda. Jika pintu ini ditutup maka orang Melayu
Belitong merasa bahwa di dunia ini Tuhan hanya menciptakan mereka dan bumi berbentuk
lonjong. Kluis adalah jendela alam semesta bagi suku Melayu Belitong.
Oleh karena itu, kluis sangat penting dan kuncennya bukan orang sembarangan. Di dunia
ini hanya ia dan Tuhan yang tahu kombinasi sebelas digit nomor benteng pertama kluis.
Setelah memutar kombinasi itu ia harus melalui tiga tahap lagi untuk membukanya.
Pertama, ia harus memasukkan dua buah anak kunci tembaga kurus panjang ke dalam
dua lubang kunci dan memutarnya setengah lingkaran secara bersamaan. Kedua, ia
kembali memasukkan sebuah anak kunci besar yang harus diputar dengan kedua tangan
karena harus cukup tenaga untuk membalik enam buah batangan baja murni sebesar
lengan manusia dewasa dari penyekatnya inilah tuas kunci utama kluis. Dan
ketiga, setelah pintu besi 30 sentimeter itu terbuka ternyata masih ada lagi pintu besi
jeruji yang dikunci dengan gembok tembaga selebar telapak tangan.
Ruangan kluis ini tahan api dan jika diledakkan dengan dinamit 100 kilogram ia masih
tak akan bergerak. Di dalamnya gelap pekat tak ada udara, apabila terperangkap di sana
dipastikan akan mati lemas dalam waktu singkat. Jika pintu itu rusak, hanya seorang pria
tua bernama Hans Ritsema Van Horn dari Uttrech yang bisa membetulkannya.
Pengamanan dibuat demikian ketat berlapis-lapis karena dalam kluis itu terdapat benda-benda
keramat berwarna-warni, benda inilah sang penguasa waktu. Ia bukan sema-cam
lorong waktu yang dapat membalik tempo tapi ia lebih seperti time slider pada DVD
player,dan ia disimpan dalam portepel-portepel. Dengan Rp200, perangko kilat, tujuh
hari insya Allah sampai kepada alamat penerima, menuju tujuan kota mana pun di Pulau
Jawa, dan Rp75 adalah perangko biasa, jika ingin sampai saat Hari Raya Idul Adha maka
kirimlah sebelum Hari Raya Idul Fitri.Pria pemegang kunci kluis itu merupakan o-rang
terpilih dan Tuhan diam-diam telah menciptakan untuknya sebuah pekerjaan yang bukan
hanya bergaji rendah tapi juga unik dan bisa memacu otak sekaligus jantungnya. Dan
kepada pemangku pekerjaan inilah seharusnya kita, khusus nya kami, orang-orang
Melayu Belitong, menghaturkan terima kasih yang tak terperikan.Meskipun The Beatles
telah menunjukkan sedikit respek kepadanya dengan menulis lagu Mr. Postman, tapi
masih jarang sekali pujangga-pujangga Melayu yang tersohor merangkai gurindam,
mengarang puisi, atau sekadar menulis cerpen tentang kiprahnya.pekerjaan kuncen kluis
yang memacu otak dan jantung kumaksud di atas adalah pekerjaan Pak Pos yang
sekaligus menjadi kepala kantor pos di kecamatan-kecamatan. Dalam susunan organisasi,
mereka menamainya Pengurus Kantor Pos Pembantu, tapi di kampung kami beliau
disebut Tuan Pos. Beliaulah yang memungkinkan kami berkomunikasi dengan budaya
luar melalui benda keramat berwarna-warni, yaitu perangko-perangko itu, dan beliau pula
yang menyampaikan koran-koran terlambat sebulan dari Jakarta sehingga kami tahu rupa
kepala suku republik ini. Pada suatu kurun waktu pernah angin barat berkepan-jangan
berembus demikian kencang, akibatnya kapal-kapal harus memilih muatan secara selektif
dan orang-orang Belitong juga terpaksa memilih: mau makan beras atau makan kertas?
Karena di kampung kami tidak ada sawah maka kapal-kapal itu memutuskan untuk
membawa barang-barang penting saja, dan koran dianggap kurang penting. Maka Koran-koran itu
terlambat selama tiga puluh dua tahun. Kami tak tahu apa yang terjadi di
Jakarta. Tapi setelah koran-koran itu tiba kami tak kecewa meskipun telah terlambat
selama itu karena ternyata sang kepala suku masih orang yang sama.
Tuan Pos memacu otak karena ia menguras pikirannya untuk membuat perencanaan cash
flowdan benda pos guna keperluan bulan depan. Ia harus memperkirakan berapa orang
yang akan menarik tabanas, menguangkan wesel, menerima pensiun, dan mengirim surat,
kartu, dan paket. Lalu setelah sepanjang hari melayani pelanggan di loket, menjelang sore
Tuan Pos mengeluarkan sepeda untuk berkeliling kampung mengantar surat, ia pun
memacu jantungnya.
Tuan Pos kami adalah tuan sekaligus anak buah bagi dirinya sendiri karena semua
pekerjaan ia kerjakan sendiri. Beliau bekerja sejak subuh: memasak sagu untuk lem,
mengangkat karung paket, menjual perangko, menerima dan membayar tabanas dan
wesel, mencap surat. Kadang-kadang beliau membantu pelanggan menulis dan malah
membacakan surat cinta untuk para kekasih yang buta huruf. Ketika BUMN yang sok
progresif sekarang ribut soal Good Corporate Citizenship, Tuan Pos kami telah jauh-jauh
hari mempraktik-kannya. Beliau menyortir surat sejak su-buh dan mengantarnya di
bawah hujan dan panas. Sudah begitu tak jarang pula beliau menerima keluhan yang
pedas dari pelanggan. Sekilas dalam hati aku berdoa:
"Ya, Allah, cita-citaku adalah menjadi seorang penulis atau pemain bulu tangkis, tapi jika
gagal jadikan aku apa saja kalau besar nanti, asal jangan jadikan aku pegawai pos. Dan
jangan beri aku pekerjaan sejak subuh."
"APA anak-anak muda di kelas ini sudah boleh menerima surat cinta, Ibunda Guru?"
Itulah kata-kata dari sepotong kepala yang melongok dari balik daun pintu kelas kami. Bu
Mus tersenyum ramah pada Tuan Pos yang tiba-tiba muncul. Beliau biasa menerima
kiriman majalah syiar Islam Panji Masyarakat dari sebuah kantor Muhammadiyah di
Jawa Tengah. Tapi kali ini Tuan Pos membawa surat untukku.
Istimewa sekali! Inilah surat pertama yang kuterima dari Perum Pos. Dulu aku sering
mengantar nenekku ke kantor pos untuk mengambil pensiun. Tapi secara pribadi, baru
kali ini aku menerima layanan dari perusahaan umum yang sangat bersahaja ini, sahabat
orang kecil, pos giro. Aku bangga dan sekilas merasa menjadi orang yang agak sedikit
penting.
Apakah surat ini dari redaksi majalah Kawanku atau majalah Hai untuk puisi-puisi yang
tak pernah kukirimkan? Tentu saja tak mungkin. Surat ini dialamatkan ke sekolah, tak
ada nama dan alamat pengirimnya, sampulnya biru muda, indah, dan harum pula baunya.
Apakah salah alamat? Mungkin untuk Samson atau Sahara dari sahabat pena mereka di
Kuala Tungkai, Sungai Penuh, Lubuk Sikaping, atau Gunung Sitoli. Mengapa para
sahabat pena selalu berasal dari tempat-tempat yang namanya aneh? Atau mungkin untuk
Trapani yang tampan dari seorang pengagum rahasia?
Pak Pos tersenyum menggoda. Beliau mengeluarkan form xl3. Tanda terima kiriman penting.
"Surat ini untukmu, rambut ikal, cepat tanda tangan di sini, tak 'kan kuhabiskan waktuku
di sekolahmu ini, masih banyak kerjaan, sekarang musim bayar pajak, masih ratusan SPT
pajak harus diantar, cepatlah ...."
Pak Pos belum puas dengan godaannya.
"Ada gadis kecil datang ke kantor pos pagi-pagi. Mengirimimu kilat khusus dalam kota!
Mungkin asap hio membuatnya sedikit linglung, pakai perangko biasa pun pasti kuantar
hari ini. Ia berkeras dengan kilat khusus, begitu pentingkah urusanmu belakangan ini, ikal
mayang?" Aha, asap hio! Sekarang aku paham, kurampas surat itu. Dadaku berdebar-debar.
Menunggu waktu pulang untuk membuka isi surat itu rasanya seperti menunggu rakaat
terakhir shalat tarawih hari ketiga puluh. Saat itu imam membaca hampir setengah Surah
AlBaqarah sementara ketupat sudah menari-nari di depan mata.
Aku duduk sendiri di bawah filicium ketika seluruh siswa sudah pulang. Surat bersampul
biru itu berisi puisi.
Rindu
Cinta benar-benar telah menyusahkanku
Ketika kita saling memandang saat sembahyang
rebut
Malamnya aku tak bisa tidur karena wajahmu tak
mau pergi dari kamarku
Kepalaku pusing sejak itu...
Siapa dirimu?
Yang berani merusak tidur dan selera makanku ?
Yang membuatku melamun sepanjang waktu?
Kamu tak lebih dari seorang anak muda
pengganggu!
Namun ingin kukatakan padamu
Setiap malam aku bersyukur kita telah bertemu
Karena hanya padamu, aku akan merasa rindu....
A Ling
Aku terpaku memandangi kertas itu. Tanganku gemetar. Aku membaca puisi itu dengan
menanggung firasat sepi tak tertahankan yang diam-diam menyelinap. Aku bahagia tapi
dilanda kesedihan yang gelap, ada rasa kehilangan yang mengharu biru. Tak lama
kemudian aku melihat pagar-pagar sekolahku perlahan-lahan berubah menjadi kaki-kaki
manusia yang rapat berselang-seling. Ada seseorang duduk bersimpuh di tengah lapangan
dikelilingi kaki-kaki itu. Dan ada bangkai seekor buaya terbujur kaku disampingnya
Ia tampak samara-samar dan terlihat sangat putus asa. Lalu wajah samara laki-laki itu tampak
mendekat, ia menoleh ke arahku, air mata mengalir di pipinya yang carut marut berbintik-bintik
hitam. Hari itu aku paham bahwa kepedihan Bodenga yang kusaksikan bertahun-tahun lampau di
lapangan basket sekolah nasional telah melekat dalam benakku sebagai sebuah trauma, dan hari itu,
setelah sekian tahun berlalu, untuk pertama kalinya Bodenga mengunjungiku
BAB XXII
Early Morn'ng Blue
TEKANANdarahku terlalu rendah. Penderita hipo-tensi tidak bisa bangun tidur dengan
tergesa-gesa. Jika langsung berdiri maka pandangan mata akan berkunang-kunang lalu
bisa-bisa ambruk dan kembali tidur dalam bentuk yang lain. Sebuah konsekuensi yang
mengerikan.
Namun, Samson sungguh tak punya perasaan. Ia membabat kakiku tanpa ampun dengan
gulungan tikar lais saat aku se-dang tertidur lelap.
"Bangun!" hardiknya. "Wak Haji sudah datang, sebentar lagi azan, disiramnya kau
nanti!" Dan aku terbangkit mendadak, meracau tak keruan antara tidur dan terjaga,
tergagap-gagap. Kurasakan dunia berputar-putar, pandanganku gelap. Aku merangkak
berlindung di balik pilar agar tak ketahuan Wak Haji yang sedang membuka jendelajendela
masjid. Sempat kulihat Lintang, Trapani, Mahar, Syahdan, dan Harun terbiritbirit
menyerbu tempat wudu.
Tidur di ruang utama masjid adalah pelanggaran. Kami seharusnya tidur di belakang, di
ruangan beduk dan usungan jenazah. Aku tersandar tanpa daya pada pilar yang beku,
berusaha meregang-regangkan mataku, jantungku terengah-engah, aku bersusah payah
mengumpul-ngumpulkan nyawa.
Angin dingin menyerbu lewat jendela. Mataku terpicing mengintip keluar jendela. Sisa
cahaya bulan yang telah pudar jatuh di halaman rumput, sepi dan murung. Inilah early
morning blue,semacam hipokondria, perasaan malas, sakit, pesimis, dan kelabu tanpa
alasan jelas yang selalu melandaku jika bangun terlalu dini. Teringat puisi A Ling
untukku, aku ingin tidur lagi dan baru bangun minggu depan.
Setelah Wak Haji selesai mengumandangkan azan baru kurasakan jiwa dan ragaku
bersatu. Kucai yang telah mengambil wudu dengan sengaja melewatiku, jaraknya dekat
sekali, bahkan hampir melangkahiku. Ia menjentikjentikkan air ke wajahku. Kibasan
sarung panjangnya menampar mukaku.
"Pemalas!" katanya.
Malam minggu ini kami menginap di Masjid Al Hikmah karena setelah shalat subuh
nanti kami punya acara seru, yaitu naik gunung!
Gunung Selumar tidak terlalu tinggi tapi puncaknya merupakan tempat tertinggi di
Belitong Timur. Jika memasuki kampung kami dari arah utara maka harus melewati bahu
kiri gunung ini. Dari kejauhan, gunung ini tampak seperti perahu yang terbalik, kukuh,
biru, dan samar-samar. Di sepanjang tanjakan dan turunan menyusuri bahu kiri Gunung
Selumar berderet-deret rumah-rumah penduduk Selinsing dan Selumar. Mereka
memagari pekarangannya dengan bambu tali yang ditanam rapat-rapat dan dipangkas
rendah-rendah. Kampung kembar ini dipisahkan oleh sebuah lembah yang digenangi air
yang tenang. Danau Merantik, demikian namanya.
Jika mengendarai sepeda maka stamina tubuh akan diuji oleh sebuah tanjakan pendek
namun curam menjelang Desa Selinsing. Pemuda-pemuda Melayu yang berusaha
membuat kekasihnya terkesan tak 'kan membiarkannya turun dari sepeda. Mereka nekat
mengayuh sampai ke puncak, mengerahkan segenap tenaga, tertatih-tatih sehingga
sepeda tak lurus lagi jalannya. Setelah tanjakan Selinsing ini ditaklukkan maka sepeda
akan menukik turun. Sang pemuda akan tersenyum puas, meminta kekasihnya memeluk
pinggangnya erat-erat dan meyakinkannya bahwa ia kurang lebih tidak akan terlalu
memalukan nanti kalau dijadikan suami.
Pada tukikan ini sepeda akan meluncur turun dengan deras, menikung sedikit, sebanyak
dua kali, menelusuri lembah Danau Merantik, lalu disambut lagi oleh tanjakan kampung
Selumar. Kekasih mana pun akan maklum kalau diminta turun, karena tanjakan Selumar
meskipun tak securam tanjakan Selinsing namun jarak tanjaknya sangat panjang.
Baru seperempat saja menempuh tanjakan Selumar maka sepeda yang dituntun akan
terasa berat. Pagar bambu tali yang dibentuk laksana anak-anak tangga tampak
berbayang-bayang karena mata berkunang-kunang akibat kelelahan. Semakin ke puncak
langkah semakin berat seperti dibebani batu. Keringat bercucuran mengalir deras melalui
celah-celah leher baju, daun telinga, dan mata, sampai membasahi celana. Tapi saat
mencapai puncaknya, yaitu puncak bahu kiri Gunung Selumar, semua kelelahan itu akan
terbayar. Di hadapan mata terhampar luas Belitong Timur yang indah, dibatasi pesisir
pantai yang panjang membiru, dinaungi awan-awan putih yang mengapung rendah, dan
barisan rapi pohon-pohon cemara angin.
Dari puncak bahu ini tampak rumah-rumah penduduk terurai-urai mengikuti pola anak-anak Sungai
Langkang yang berkelak-kelok seperti ular. Kelompok rumah ini tak lagi
dipagari oleh bambu tali namun berselang-seling di antara padang ilalang liar tak bertuan.
Semakin jauh, jalur pemukiman penduduk semakin menyebar membentuk dua arah.
Pemukiman yang berbelok ke arah barat daya terlihat sayup-sayup mengikuti alur jalan
raya satu-satunya menuju Tanjong Pandan. Dan yang terdesak terus ke utara terputus
oleh aliran sebuah sungai lebar bergelombang yang tersambung ke laut lepas Sungai
Lenggang yang melegenda. Di seberang Sungai Lenggang rumah-rumah penduduk
semakin rapat mengitari pasar tua kami yang kusam.
Jangan terburu-buru menuruni lembah. Berhentilah untuk beristirahat. Sandarkan tubuh
berlama-lama di salah satu pokok pohon angsana tempat anak-anak tupai ekor kuning
rajin bermain. Dengarkan orkestra daun-daun pohon jarum dan jeritan histeris burung-burung kecil
matahari yang berebut sari bunga jambu mawar dengan kumbang hitam.
Nikmati komposisi lanskap yang manis antara gu-nung, lembah, sungai, dan laut.
Longgarkan kancing baju dan hirup sejuk angin selatan yang membawa aroma daun
Anthurium andraeanum,yaitu bunga hati yang tumbuh semakin subur beranak pinak
mengikuti ketinggian. Dinamakan bunga hati karena daunnya berbentuk hati.
Aku sendiri tak pasti, apakah aroma harum a-lami yang melapangkan dada itu berasal
andraeanumsendiri atau dari simbiosisnya, sebangsa fungi Clitocybe gibba yaitu jamur
daun tak bertangkai yang rajin merambati akar-akar familia keladi itu. Jamur ini bersemi
dalam suhu yang semakin lembap saat memasuki musim angin barat pada bulan-bulan
yang berakhiran ber. Bentuknya tegap, rendah, dan gemuk-gemuk.
Kami sudah sangat sering piknik ke Gunung Selumar dan agak sedikit bosan dengan
sensasinya. Biasanya kami tidak sampai ke puncak, sudah cukup puas dengan
pemandangan dari 75% ketinggiannya. Lagi pula komposisi batu granit di atas lereng
gunung ini membuat jalur pendakian ke puncak menjadi licin. Namun, kali ini aku amat
bergairah dan bertekad untuk mendaki sampai ke puncak. Laskar Pelangi menyambut
baik semangatku. Belum apa-apa mereka telah sibuk bercerita tentang pemandangan
hebat yang akan kami saksikan nanti dari puncak, yaitu seluruh jembatan di kampung
kami, kapal-kapal ikan, dan tongkang pasir gelas yang bersandar di dermaga.
Tapi aku tak peduli dengan semua pemandangan itu karena aku punya misi rahasia.
Rahasia ini menyangkut sebuah pemandangan menakjubkan yang hanya bisa disaksikan
dari puncak tertinggi Gunung Selumar. Rahasia ini juga berhubungan dengan bunga-bunga kecil
nan rupawan yang hanya tumbuh di puncak tertinggi. Mereka adalah bunga
liar Callistemon laevis atau bunga jarum merah, atau kalau beruntung, bunga kecil kuning
kelopak empat semacam Diplotaxis muralis.
Aku menyebutnya bunga rumput gunung, istilahku sendiri, karena ia senang menyelinap,
enam atau tujuh tangkai seperanakan, di antara rerumputan zebra liar di puncak-puncak
gunung dekat laut. Kelopaknya selebar ibu jari, berwarna kuning redup dan tangkai yang
menopangnya berwarna hijau muda dengan ukuran tak sepadan, natural, spontan, lucu,
dan cantik. Daun-daunnya tak dapat dikatakan indah karena bentuk dan warnanya, bukan
ukurannya, lebih seperti daun Vitex trifolia biasa. Namun jika kita siangi daunnya dan
berhasil mengumpulkan paling tidak 15 kuntum lalu disatukan dengan jumlah yang lebih
sedikit dari kuntum bunga jarum merah maka satu kata untuk mereka: fantastik!
Bunga jarum merah berbentuk jarum yang lebat dengan ujung bulat kecil-kecil berwarna
kuning. Ketika bunga jarum digabungkan dengan bunga rumput gunung tanpa diatur
maka mereka seolah berebutan tampil. Ikatlah mereka dengan pita rambut berwarna biru
muda dan tulislah sebuah puisi, maka Anda akan mampu mendinginkan hati wanita mana
pun.
Setelah tiga jam mendaki kami tiba di puncak. Lelah, haus, dan berkeringat, tapi tampak
jelas rasa puas pada setiap orang, sebuah ekspresi "telah mampu menaklukkan". Aku
yakin perasaan inilah yang memicu sikap obsesif setiap pendaki gunung profesional
untuk menaklukkan atap-atap dunia. Kiranya daya tarik mendaki gunung berkaitan
langsung dengan fitrah manusia. Lalu dengan hiruk pikuk sahut-menyahut teman-temanku, para
Laskar Pelangi, berkomentar tentang pemandangan yang terhampar luas di
bawah mereka.
"Lihatlah sekolah kita," pekik Sahara. Bangunan itu tampak menyedihkan dari jauh.
Rupanya dilihat dari sudut dan jarak bagaimanapun, sekolah kami tetap seperti gudang
kopra!
Lalu Kucai menunjuk sebuah bangunan,"Hai! Tengoklah! Itu masjid kita.
Seluruh khalayak meneriakinya, tak terima.
"Itu kelenteng, bodoh!" Dan mereka pun terbelah dalam dua kelompok debat kusir.
Sebagaimana biasa Mahar mulai berdongeng, menurutnya Gunung Selumar adalah
seekor ular naga yang sedang menggulung diri dan telah tidur panjang selama berabad-abad.
"Ular ini akan bangun nanti kalau hari kiamat. Kepalanya ada di puncak gunung ini.
Berarti tepat berada di bawah kaki-kaki kita sekarang! Dan ekornya melingkar di muara
Sungai Lenggang," katanya absurd.
"Maka jangan terlalu ribut di sini, nanti kalian kualat," tambahnya lagi belum puas
membodohi diri sendiri. Teman-temanku riuh rendah mendengar cerita itu dalam pro dan
kontra.
Tapi seperti biasa pula, A Kiong-lah yang selalu termakan dongeng Mahar, ia tampak
serius dan percaya seratus persen. Mungkin sebagai ungkapan rasa kagum atas cerita
yang sangat bermanfaat itu, dengan takzim ia memberikan bekal pisang rebusnya kepada
Mahar. Sikapnya seperti seorang anggota suku primitif menyerahkan upeti kepada dukun
yang telah menyembuhkannya dari penyakit kudis. Mahar menyambar upeti itu dan
secara kilat memasukkannya ke dalam sistem pencernaannya tanpa peduli bahwa dia
sedang dianggap sangat berwibawa oleh A Kiong. Meledaklah tawa Laskar Pelangi
melihat pemandangan itu. Namun A Kiong tetap serius, ia sama sekali tidak tertawa,
baginya kejadian itu tidak lucu.
Demikian pula aku. Aku juga tidak tertawa. Karena aku sedang merasa sepi di keramaian.
Mataku tak lepas me-mandang sebuah kotak persegi empat berwarna merah nun jauh di
bawah sana, atap sebuah rumah. Rumah A Ling.
Aku menyingkir dari kegirangan teman-temanku, sendirian menelusuri padang ilalang
rendah di puncak gunung, memetik bunga-bunga liar. Kupandangi lagi atap rumah A
Ling dan segenggam bunga liar nan cantik di dalam genggaman. Untuk inikah
aku mendaki gunung setinggi ini?
Panorama dari puncak ini seperti musik. In-tronya adalah gumpalan awan putih yang
mengapung rendah seolah aku dapat menjangkaunya. Lalu mengalir vokal dari suitansuitan
panjang burung-burung prigantil yang kadang-kadang begitu dekat dan nyaring,
sampai terdengar jauh samar-samar bersahut-sahutan dengan lengkingan-lengkingan
kecil kawanan murai batu. Reffrainnya adalah ribuan burung punai yang menyerbu
hamparan buah bakung yang masak menghitam seperti permadani raksasa. Musik
diakhiri secara fade out oleh jajaran panjang hutan bakau tang-kapan hujan yang
memagari anak-anak Sungai Lenggang, berkelok-kelok sampai tak tampak oleh
pandangan mata, ditelan muara-muara di sepanjang Pantai Manggar sampai ke Tanjong
Kelumpang.
Angin sejuk yang bertiup dari lembah menampar-nampar wajahku. Aku merasa tenang
dan akan kutulis puisi demi seseorang di balik tirai keong itu. Puisi inilah misi rahasiaku.
Jauh Tinggi
A Ling, hari ini aku mendaki Gunung Seiumar Tinggi, tinggi sekaii, sampai ke puncaknya
Hanya untuk melihat atap rumahmu Hatiku damai rasanya
BAB XXIII
Billitonite
SENIN pagi yang cerah. Sepucuk puisi dibungkus kertas ungu bermotif kembang api.
Bunga-bunga kuning kelopak empat dan kembang jarum merah primadona puncak
gunung diikat pita rambut biru muda. Tak juga hilang kesegarannya karena semalam
telah kurendam di dalam vas keramik. Tak sabar rasanya ingin segera kuberikan pada A
Ling.
Benda-benda ajaib ini adalah properti sekuel cinta pagi ini, dan skenarionya ada-lah:
ketika A Ling menyodorkan kotak kapur, aku serta-merta meletakkan bunga dan puisiku
ini ke tangannya yang terbuka. Tak perlu ada kata-kata. Biarlah ia menghapus air
matanya karena keindahan bunga-bunga liar dari puncak gunung. Biarlah ia membaca
puisiku dan merasakan kue keranjang tahun ini lebih enak dari tahun-tahun lalu.
Aku gugup dan bergegas menghampiri lubang kotak kapur segera setelah A Miauw
memberi perintah. Namun ketika tinggal dua langkah sampai ke kotak itu aku terkejut tak
alang kepalang. Aku terjajar mundur ke belakang dan nyaris terantuk pada kaleng-kaleng
minyak sayur. Aku terperanjat hebat karena melihat tangan yang menjulurkan kotak
kapur adalah sepotong tangan yang sangat kasar. Tangan itu bukan tangan A Ling!
Tangan itu sangat ganjil, seperti sebilah tembaga yang jahat. Bentuknya benar-benar
kebalikan dari tangan Michele Yeohku. Tangan itu berotot, dekil, hitam legam, dan
berminyak-minyak. Dari otot lengan atasnya menjalar urat-urat besar berwarna biru,
timbul dan berkejaran.
Sebuah gelang akar bahar, tidak tanggung-tanggung, melingkar tiga kali pada lengan
tembaga sepuhan tembaga itu. Ujung gelang diukir berbentuk kepala ular beracun kuat
pinang barik yang menganga lapar siap menyambar. Sedangkan pada pergelangan siku,
seperti dikenakan raksasa jahat dalam pewayangan, melekat gelang alumunium ketat
dengan kedua ujung berbentuk gerigi kunci, biasa dipakai untuk tujuan-tujuan melanggar
hukum. Memang tidak terdapat tato pantangan bagi orang Melayu yang tahu agama, tapi
pada tiga jari jemarinya terdapat tiga mata cincin yang mengancam.
Jari telunjuknya dibalut cincin batu satam terbesar yang pernah kulihat. Batu satam
adalah material meteorit yang unik karena di muka bumi ini hanya ada di Belitong.
Warnanya hitam pekat karena komposisi carbon acid dan mangaan, dan kepadatannya
lebih dari baja sehingga tidak mungkin bisa dibentuk. Batu-batu ini biasa bersembunyi di
lubang bekas tambang timah dan tak 'kan dapat ditemukan jika sengaja dicari. Hanya
nasib baik yang dapat mengeluarkan satam dari perut bumi. Tahun 1922 kompeni
menyebut batu ini billitonite dan dari sinilah Pulau Belitong mendapatkan namanya.
Tanpa sama sekali mempertimbangkan estetika, pemilik tangan itu mengikat benda
keramat dari tata surya itu apa adanya dengan kuningan murahan. Namun, ia
memakainya dengan bangga seolah dirinya penguasa langit.
Pada jari manisnya terpajang cincin bermata batu akik yang mengesankan seperti sebuah
batu kecubung asli Kalimantan yang amat berharga. Tapi aku tak bisa dibohongi. Batu itu
tak lebih dari sintetis hasil masakan plastik yang dipadatkan dengan kristal pada suhu
yang sangat tinggi. Pemakainya adalah seorang penipu. Yang ditipunya tak lain dirinya
sendiri.
Yang terakhir, di jari tengahnya, tampak pemimpin dari seluruh cincin yang
mengintimidasi dan pernyataan kecenderungan licik pemiliknya. Di situ menyeringai
angker sebuah mata cincin besar tengkorak manusia dengan mata berlubang. Cincin ini
dibuat dari bahan mur baja putih yang didapat secara kongkalikong dengan orang bengkel
alat berat PN Timah. Cara mengubah baja ini menjadi cincin membuat siapa pun
bergidik. Setelah dibentuk secara kasar dengan mesin bubut kemudian mur besar baja
putih mentah yang sangat keras itu dikikir secara manual selama berminggu-minggu.
Kebiasaan membuat cincin seperti ini sering dipraktikkan oleh karyawan PN Timah
dalam tingkatan kuli. Kerja keras rahasia berminggu-minggu itu hanya akan
menghasilkan sebuah cincin putih berkilauan yang jelek sekali. Sebuah kebiasaan yang
tak masuk akalku sampai sekarang.
Lalu kuku-kuku pemilik tangan ini, aduh! Minta ampun, bentuknya seperti paras kukukuku
yang terkena kutukan. Berbeda seperti langit dan bumi dibanding kuku-kuku A
Ling yang bertahun-tahun menyihir pandanganku. Kuku-kuku ini sangat tebal, kotor,
panjang tak beraturan, dan ujungnya pecah-pecah. Secara umum kuku-kuku ini mirip
sekali dengan sisik buaya.
Belum hilang rasa terkejutku, aku mendengar suara ketukan keras kuku-kuku besi itu di
permukaan papan dekat kotak kapur tanda tak sabar, maksudnya biar aku segera
mengambil kapur itu. Dari dalam terdengar suara gerutuan tak bersahabat. Karena kukukuku
itu sangat kasar maka ketukan itu terdengar demikian keras, membuatku semakin
gelisah. Tapi yang paling merisaukanku adalah karena aku tak menemukan A Ling. Ke
manakah gerangan Michele Yeohku?
"Apa yang terjadi?" Syahdan mendekatiku. "I-kal, tangan siapa seperti pentungan satpam
itu?"
Aku tak menjawab, tenggorokanku tercekik. Tangan itu tak asing bagiku. Itu adalah
tangan Bang Sad. Aku ingat ketika ia mengukir kepala ular pinang barik pada akar bahar
pemberian pria-pria berkerudung tempo hari. Pernah diceritakannya padaku bahwa
dibutuhkan waktu tiga minggu untuk membentuk akar panjang dari dasar laut itu menjadi
gelang >tiga lingkar. Akar yang tadinya lurus kencang ditaklukkan dengan cara
melumurinya dengan minyak rem dan mengasapinya dengan sabar di atas suhu tungku
yang terkendali.
Ketukan-ketukan itu terus menerorku. Bang Sad sungguh tak punya perasaan. Ia tak tahu
aku sedang panik, gugup, dan risau karena tak menjumpai A Ling seperti kebiasaan yang
telah berlangsung selama tujuh tahun. Baru kali ini terjadi hal di luar kebiasaan itu.
Situasi ini sangat membingungkan buatku. Otakku tak bisa berpikir.
Hanya Syahdan yang kiranya segera dapat mencerna keadaan, mengurai kebuntuan,
memecah kebekuan. Ia berinisiatif mengambil kotak kapur itu. Bang Sad menarik
tangannya seperti seekor binatang melata yang masuk kem-bali ke dalam sarangnya.
Syahdan mendekatiku yang ber-diri terpaku, wajahnya sendu. Ia ingin menunjukkan
simpati tapi aku juga tahu bahwa ia sendiri merasa gentar. A Miauw yang dari tadi
memerhatikan menghampiriku dengan tenang. Berdiri persis di sampingku ia menarik
napas pan-jang dan mengatur dengan hati-hati apa yang ingin diucap-kannya.
"A Ling sudah pigi Jakarta .... Nanti dia terbang naik pesawat pukul 9. Ia harus
menemani bibinya yang sekarang hidup sendiri, ia juga bisa mendapat sekolah yang
bagus di sana ...."
Aku tertegun putus asa. Rasanya tak percaya dengan apa yang kudengar. Terjawab sudah
firasatku ketika Bodenga mengunjungiku. Semangatku terkulai lumpuh.
"Kalau ada nasib, lain hari kalian bisa bertemu lagi." A Miauw menepuk-nepuk
pundakku.
Aku terdiam dan menunduk seperti orang sedang mengheningkan cipta. Tanganku
mencengkeram kuat ikatan bunga-bunga liar dan selembar puisi.
"Ia titip salam buatmu dan ia ingin kamu menyimpan ini ...."
A Miauw menyerahkan sebuah kado yang dibungkus kertas berwarna ungu bermotif
kembang api, persis sama dengan kertas sampul puisiku. Sebuah kebetulan yang hampir
mustahil. Aku tahu, sejak awal Tuhan telah mengamati baik-baik cinta yang luar biasa
indah ini.
Aku merasa seluruh barang dagangan yang ada di toko itu rubuh menimpaku. Dadaku
sesak. Aku melihat sekeliling dan terpikir akan sesuatu. Aku menarik tangan Syahdan
dan mengajaknya pulang.
Persis pukul 8.50 kami sampai di halaman sekolah, lalu berlari melintasi lapangan
menuju pokok pohon gayam tempat kami sering duduk bersama-sama mengamati
pesawat terbang yang datang dan pergi meninggalkan Tanjong Pandan. Kami mengambil
posisi terbaik sambil bersandar di pokok pohon itu. Kami diam dan terus menengadahkan
kepala, memicingkan mata, ke arah langit yang cerah biru menyilaukan.
Pukul 9.05.
Perlahan-lahan muncul sebuah pesawat Foker 28 melintas pelan di atas lapangan sekolah
kami. Aku tahu di dalam pesawat itu ada A Ling dan ia juga pasti sedang sedih
meninggalkan aku sendiri.
Aku mengamati pesawat yang per-gi membawa cinta pertamaku menembus awan-awan
putih nun jauh tinggi di angkasa tak terjangkau. Pesawat itu semakin lama semakin kecil
dan pandanganku semakin kabur, bukan karena pesawat itu semakin jauh tapi karena air
mata tergenang pelupuk mataku. Selamat tinggal belahan jiwaku, cinta pertamaku.
Setelah pesawat itu sama sekali menghilang Syahdan meninggalkanku sendirian. Tibatiba
aku disergap oleh perasaan sunyi yang tak tertahankan. Rasanya di dunia ini hanya
aku satu-satunya makhluk hidup. Daun-daun gayam yang rontok berbunyi seperti bilahbilah
seng yang berjatuhan di kesunyian malam.
Pohon gayam ini adalah satu-satunya pohon di tengah lapangan sekolahku yang sangat
luas dan aku duduk sendiri di bawahnya, kesepian. Aku baru saja ditinggalkan oleh
seseorang yang telah memenuhi hatiku sampai meluap-luap selama lima tahun terakhir
ini. Lalu dengan tiba-tiba pagi ini, ia begitu saja tercabut dari kehidupanku.
Aku membuka kado yang dititipkan A Ling. Di dalamnya terdapat sebuah buku berjudul
Seandainya Mereka Bisa Bicarakarya Herriot dan sebuah diary yang memuat berbagai
catatan harian dan lirik-lirik lagu. Aku membalik lembar demi lembar diary itu. Tak ada
yang istimewa dan tak ada yang khusus ditujukan untukku. Namun pada suatu halaman
aku membaca judul sebuah puisi yang rasanya aku kenal, judulnya Bunga Krisan. Pada
lembar-lembar berikutnya aku melihat seluruh puisi yang dulu pernah kukirimkan
kepadanya dan selalu ia kembalikan. A Ling menylin kembali seluruh puisiku dalam
diarynya.
BAB XXIV
Tuk Bayan Tula
ANGIN selatan, angin paling jinak, biasa berembus dengan kecepatan maksimum 10
mph. Angin lembut ini tiba-tiba mengamuk menjadi monster puting beliung dengan
kecepatan seribu kali lipat, 10.000 mph. Pohon dan mobil-mobil beterbangan seperti
bulu, aspal jalan terkelupas. Seluruh bangunan runtuh, bahkan fondasi rumah tercabut,
yang tersisa hanya lubang-lubang WC. Tepung sari Camellia dan Buxus yang tumbuh di
kebun liar peliharaan alam di puncak Gunung Samak terhambur ke udara, menimbulkan
pemandangan menyedihkan seperti nyawa-nyawa muda yang dicabut paksa oleh malaikat
maut dari jasad yang segar bugar. Semua itu gara-gara pembakaran minyak solar
berlebihan selama ratusan tahun dalam eksploitasi timah sehingga menimbulkan gas
rumah kaca. Gas itu tertumpuk di atas atmosfer Belitong dan segera menimbulkan efek
rumah kaca, menunggu hari untuk menjadi mara bahaya. Lalu senyawa gas rumah kaca
itu karbondioksida dan radiasi matahari memicu reaksi kimia yang mengubah tepung sari
yang bergentayangan di udara menjadi semacam bubuk mesiu dengan daya ledak sangat
tinggi seperti TNT. Karena kuantitasnya telah beraku mulasi demikian lama maka pada
suatu tengah hari saat orang-orang Melayu sedang mendengarkan musik pelepas lelah di
RRI, tanpa firasat apa pun, terjadilah katastropi itu. Sebuah ledakan yang sangat dahsyat
seperti ledakan nuklir menghantam Belitong. Orang-orang Belitong mengira kiamat telah
datang maka tak perlu menyelamatkan diri. Mereka terduduk pasrah di tangga-tangga
rumahnya, melongo melihat ekor ledakan yang kemudian membentuk cendawan raksasa
yang menutupi tanah kuno pulau itu sehingga gelap gulita. Dalam waktu singkat ajal
yang sebenarnya pun pelan-pelan menjemput, yakni ketika cendawan yang mengandung
radio aktif, merkuri, dan amoniak hanyut turun mengejar orang-orang Belitong yang
kocar-kacir mencari perlindungan. Mereka menyelinap ke gorong-gorong, menyelam di
sungai, sembunyi di dalam karung goni, terjun ke sumur-sumur, dan tiarap di got-got.
Tapi semua usaha itu sia-sia karena gas-gas kimia tadi larut dalam udara dan air.
Sebagian orang Belitong tewas di tempat, tertungging seperti ekstremis dibedil kompeni,
dan mereka yang selamat berubah menjadi makhluk-makhluk cebol berbau busuk.
Melihat penampilan orang Belitong seperti itu pemerintah pusat di Jakarta merasa malu
kepada dunia internasional dan tak sudi mengakui orang Belitong sebagai warga negara
republik. Karena itu Kabupaten Belitong dipaksa rela melakukan referendum. Walaupun
hanya sedikit orang Melayu Belitong yang ingin memisahkan diri dari NKRI tapi
pemerintah menganggap keputusan manusia-manusia cebol itu sebagai aklamasi sehingga
Belitong menjadi negara yang merdeka. Bisa dipastikan bahwa Belitong tidak mampu
menghidupi dirinya sendiri. Di sisi lain, efek rumah kaca yang demikian tinggi
mengakibatkan ekologi di sana tidak seimbang, permukaan air laut naik, dan suhu
menjadi terlalu panas. Dan saat itulah kebenaran yang hakiki datang. Bodenga yang telah
lama menghilang tiba-tiba muncul mengambil alih pemerintahan kabupaten, ia menindas
tandas orang-orang cebol yang telah memper-lakukan ia dan ayahnya dengan tidak adil.
Orang-orang cebol itu digiring olehnya dan digelontor ke muara Sungai Mirang agar
dimangsa buaya. Orang-orang cebol itu meregang nyawa dan dalam waktu singkat
mereka tewas ter-apung-apung seperti ikan kena tuba.
Itulah kira-kira isi kepala seorang pemimpi yang hampir gila karena frustrasi putus cinta
pertama.
Aku tak bisa berpikir jernih, bermimpi buruk, berhalusinasi, dan dihantui khayalankhayalan
aneh. Jika aku melihat ke luar jendela dan ada pelangi melingkar maka pelangi
iu menjadi monokrom. Jika aku mendengar kicauan prenjak maka ia berbunyi seperti
burung mistik pengabar kematian. Aku merasa setiap orang: para penjaga toko, Tuan Pos,
tukang parut kelapa, polisi pamong praja, dan para kuli panggul telah berkonspirasi
melawanku.
Meskipun selama lima tahun aku hanya dua kali berjumpa dengan Michele Yeohku tapi
perasaanku padanya melebihi segalanya. A Ling adalah sosok yang dapat menimbulkan
perasaan sayang demikian kuat bagi orang-orang yang secara emosional terhubung
dengannya. Ia cantik, pintar, dan baik. Cintanya penuh imajinasi dan kejutan-kejutan
kecil yang menyenangkan, mungkin itulah yang membuatku amat terkesan. Tapi rupanya
ketika ia melepaskan genggaman tangannya minggu lalu, saat itu pula nasib memisahkan
kami. Kini dirinya menjadi semakin berarti ketika ia sudah tak ada dan aku merasa getir.
Kepergian A Ling meninggalkan sebuah ruangan kosong, rongga hampa yang luas, dan
duka lara di dalam hatiku. Dadaku sesak karena rindu dan demi menyadari bahwa rindu
itu tak 'kan pernah terobati, aku rasanya ingin meledak. Aku selalu ingin menghambur ke
toko kelontong Sinar Harapan, tapi aku tahu tindakan dramatis seperti film India itu akan
percuma saja karena di sana aku hanya akan disambut oleh botol-botol tauco dan
tumpukan terasi busuk. Aku merana, merana sekali.
Aku merasa tak percaya, amat terkejut, dan tak sanggup menerima kenyataan bahwa
sekarang aku sendiri. Sendiri di dunia yang tak peduli. Jiwaku lumpuh karena ditinggal
kekasih tercinta, atau dalam bahasa puisi: aku mengharu biru tatkala kesepian melayap
mencekam dermaga jiwa, atau: batinku nelangsa berdarah-darah tiada daya mana kala ia
sirna terbang mencampak asmara.
Dan juga, laksana film India, perpisahan itu membuatku sakit. Seperti pertemuan pertama
dalam insiden jatuhnya kapur di hari yang bersejarah tempo hari, saat itu kebahagiaanku
tak terlukiskan kata-kata. Maka kini, saat perpisahan, kepedihanku juga tak tergambarkan
kalimat. Beberapa waktu lalu aku pernah menertawakan Bang Jumari yang menderita
diare hebat dan menggigil di siang bolong karena cintanya diputuskan oleh Kak Shita,
kakak sepupuku. Ketika itu aku tak habis pikir bagaimana kekonyolan seperti itu bisa
terjadi. Namun, kini hal serupa aku alami. Hukum karma pasti berlaku!
Selama dua hari aku sudah tidak masuk sekolah. Maunya hanya tergeletak saja di tempat
tidur. Kepalaku berat, napasku cepat, dan mukaku memerah. Ibuku memberiku Naspro
dan obat cacing Askomin. Tapi aku tak sembuh. Aku menderita panas tinggi.
Setelah Syahdan, Mahar dan pengikut setianya A Kionglah yang datang menjengukku.
Mahar memakai jas panjang sampai ke lutut seperti seorang dokter hewan dari Eropa dan
A Kiong tergopoh-gopoh di belakangnya menenteng sebuah tas koper laksana siswa
perawat yang sedang magang. Koper ini sangat istimewa karena di sana sini ditempeli
bekas peneng sepeda dan berbagai lambang pemerintahan sehingga mengesankan Mahar
seperti seorang pejabat penting kabupaten.
Syahdan sedang duduk di samping tempat tidurku ketika Mahar masuk ke kamar. A
Kiong dan Mahar tak mengucapkan sepatah kata pun, ekspresi mereka datar. Dengan
gerakan isyarat Mahar menyuruh Syahdan minggir.
Mahar berdiri persis di sampingku, memandangiku dengan cermat dari ujung kaki sampai
ujung rambut. Ia masih tetap tak bicara. Wajahnya serius seperti seorang dokter
profesional dan seolah dalam waktu singkat telah menyelesaikan diagnosisnya. Ia
menggeleng-gelengkankan kepalanya pertanda kasus yang dihadapi tidak sepele. Ia
menarik napas prihatin dan menoleh ke arah A Kiong.
"Pisau!" pekiknya singkat.
A Kiong cepat-cepat memutar nomor kombinasi koper lalu mengeluarkan sebilah pisau
dapur karatan. Aku dan Syahdan memerhatikan dengan khawatir. Pisau itu diberikan
dengan takzim pada Mahar yang menerimanya seperti seorang ahli bedah.
"Kunir!" perintah Mahar lagi, tegas dan keras.
A Kiong kembali merogoh sesuatu dari dalam koper dan segera menyerahkan kunir
seukuran ibu jari. Tanpa banyak cingcong Mahar memotong kunir dan dengan gerakan
sangat cepat tak sempat kuhindari ia menggerus kunir itu di keningku, melukis tanda
silang yang besar. Maka terpampanglah di keningku huruf X berwarna kuning. Lalu,
seperti telah sama-sama paham prosedur berikutnya, tanpa dikomando, A Kiong
mengambil dahan-dahan beluntas dari dalam koper, melemparkannya kepada Mahar yang
menyambutnya dengan tangkas dan langsung menampar-namparkan daun-daun itu ke
sekujur tubuhku tanpa ampun sambil komat-kamit.
Bukan hanya itu, sementara Mahar mengibas-ngibaskan daun-daun beluntas dengan
beringas, A Kiong serta-merta menyembur-nyemburkan air ke seluruh tubuhku termasuk
wajah melalui alat penyemprot bunga, sehingga yang terjadi adalah sebuah kekacauan.
Aku jadi berantakan dan basah seperti kucing kehujanan, namun aku tak berkutik karena
mereka sangat kompak, cepat, terencana, dan sistematis.
Tak lama kemudian mereka berhenti. Mahar menarik napas lega dan A Kiong dengan
wajah bloonnya ikut-ikutan bernapas lega sok tahu. Sebuah sikap gabungan antara
kebodohan dan fanatisme. Aku dan Syahdan hanya melongo, terpana, pasrah total.
"Tiga anak jin tersinggung karena kau kencing sembarangan di kerajaan mereka dekat
sumur sekolah ...," Mahar menjelaskan dengan gaya seolah-olah kalau dia tidak segera
datang nyawaku tak tertolong. Tak ada rasa bersalah dan niat menipu tecermin dari
wajahnya. Mahar dan A Kiong tampil penuh kordinasi dengan ketenangan mutlak tanpa
dosa. Mereka tak sedikit pun ragu atas keyakinanya pada metode penyembuhan dukun
yang konyol tak tanggung-tanggung.
"Merekalah yang membuatmu demam panas," sambungnya lagi sambil memasukkan
alat-alat kedokterannya tadi ke dalam koper, lalu dengan elegan menyerahkan koper itu
pada A Kiong. A Kiong menyambut tas itu seperti anggota Paskibraka menerima bendera
pusaka.
"Tapi jangan cemas, Kawan, barusan mereka sudah ku-usir, besok sudah bisa masuk
sekolah!"
Lalu tanpa basa-basi, tanpa pamit, mereka berdua langsung pulang. Hanya itu saja katakatanya.
Bahkan A Kiong tak mengucapkan sepatah kata pun. Aku terengah-engah.
Syahdan menutup wajahnya dengan tangannya.
Mahar memang sudah edan. Ia semakin tak peduli dengan buku-buku dan pelajaran
sekolah. Nilai-nilai ulangannya merosot tajam, bisa-bisa ia tidak lulus ujian nanti.
Sebenarnya ia murid yang pandai, belum lagi menghitung bakat seninya, tapi nafsu ingin
tahu yang terkekang terhadap dunia gaib membuatnya lebih senang memperdalam hal-hal
yang subtil. Belakangan ini keanehannya semakin menjadi-jadi, dan semua itu gara-gara
anak Gedong yang tomboi itu Flo atau mungkin gara-gara seorang dukun siluman
bernama Tuk Bayan Tula.
Sebulan yang lalu seluruh kampung heboh karena Flo hilang. Anak bengal penduduk
Gedong itu memisahkan diri rombongan teman-teman sekelasnya ketika hiking di
Gunung Selumar. Polisi, tim SAR, anjing pelacak, anjing kampung, kelompok pencinta
alam, para pendaki profesional dan amatir, para petualang, para penduduk yang
berpengalaman di hutan, para pengangguran yang bosan tak melakukan apa-apa, dan
ratusan orang kampung tumpah ruah mencarinya di tengah hutan lebat ribuan hektare
yang melingkupi lereng gunung itu. Kami sekelas termasuk di dalamnya.
Sampai senja turun Flo masih belum ditemukan. Bapak, Ibu, dan saudara-saudaranya
berulang kali pingsan. Guru-guru dan teman-teman sekelasnya menangis cemas. Segenap
daya upaya dikerahkan tapi belum ada tanda-tanda di mana ia berada. Susah memang,
hutan di gunung ini sangat lebat, sebagian belum terjamah, dan hutan itu ber-ujung di
lembah-lembah liar yang dialiri anak-anak sungai berbahaya.
Salak anjing, teriakan orang memanggil-manggil, dan suara belasan megafone bertalutalu
di lereng gunung. Para dukun tak mampu memberi petunjuk apa pun, ada saja
alasannya, tapi umumnya adalah bahwa para jin penunggu Gunung Selumar lebih sakti,
sebuah alasan klasik. Dari lengkingan megafone itu kami tahu nama anak perempuan
yang sedang hilang: Flo Menjelang sore sebuah lampu sorot besar yang biasa dipakai di
kapal keruk dibawa ke lereng gunung untuk memudahkan tim penyelamat. Orang-orang
dari kampung tetangga turut bergabung. Sekarang jumlah pencari mencapai ribuan. Hari
beranjak gelap dan keadaan semakin meng-khawatirkan. Kabut tebal yang menyelimuti
gunung sangat menyulitkan usaha pencarian. Wajah setiap orang mulai kelihatan cemas
dan putus asa. Tahun lalu dua orang anak laki-laki juga tersesat,setelah tiga hari mereka
ditemukan berpelukan di bawah sebatang pohon Medang, meninggal dunia karena
kelaparan dan hipotermia. Sinar merah lampu sirine mobil ambulans yang berputar-putar
menjilati sisi pohon-pohon besar, menciptakan suasana mencekam, seperti ada kematian
yang dekat.
Sudah delapan jam berlalu tapi Flo masih tak diketahui keberadaanya di tengah hutan
rimba gunung ini. Orang tua Flo dan para pencari mulai panik. Malam pun turun.
Kami merasa kasihan pada Flo. Kini ia seorang diri dalam gelap gulita rimba. Ia bisa saja
terjatuh, mengalami patah kaki atau pingsan. Atau mungkin saat ini ia sedang terisakisak,
ketakutan, lapar dan kedinginan di bawah sebatang pohon besar, dan suaranya telah
parau memanggil-manggil minta tolong. Anak perempuan yang seperti anak laki-laki itu
tentu tadi pagi tak menyadari konsekuensi keisengannya. Mungkin awalnya ia hanya
ingin menggoda teman-temannya. Tapi sekarang, keadaan bisa fatal.
Kontur gunung ini sangat unik. Jika berada di dalam hutannya banyak sekali komposisi
pohon dan permukaan tanah yang tampak sama. Maka jika melewati jalur itu seolah
seseorang merasa berada di tempat yang telah ia kenal, padahal tanpa disadari
langkahnya semakin menjauh tersasar ke dalam rimba. Jika Flo mengalami ini ia akan
tersasar jauh ke selatan menuju aliran anak-anak Sungai Lenggang yang sangat deras
berjeram-jeram menuju ke muara. Tak sedikit orang yang telah menjadi korban di sana.
Pada beberapa bagian di wilayah selatan ini juga terhampar dataran tanah luas yang
mengandung jebakan mematikan, yaitu kiumi, semacam pasir hidup yang kelihatan solid
tapi jika diinjak langsung menelan tubuh.
Namun, ia akan sial sekali jika tersasar ke utara. Di sana jauh lebih berbahaya. Ia
memasuki semacam pintu mati. Ia tak 'kan bisa kembali, sebuah point ofno return, karena
lereng gunung di bagian itu terhalang oleh ujung aliran sungai jahat yang disebut Sungai
Buta. Sungai Buta adalah anak Sungai Lenggang tapi alirannya putus hanya sampai di
lereng utara Gunung Selumar. Sungai itu seperti sebuah gang sempit yang buntu atau
seperti jalan yang berakhir di jurang. Orang kampung menamainya Sungai Buta sebagai
representasi keangkerannya. Buta lebih berarti gelap, tak ada petunjuk, terperangkap
tanpa jalan keluar, dan mati.
Sungai Buta demikian ditakuti karena permukaannya sangat tenang seperti danau, seperti
kaca yang diam. Tapi tersembunyi di bawah air yang tenang itu adalah maut yang
sesungguhnya, yaitu buaya-buaya besar dan ular-ular dasar air yang aneh-aneh. Buaya
sungai ini berperangai lain dan amat agresif, mereka mengincar kera-kera yang
bergelantungan di dahan rendah, bahkan menyambar orang di atas perahu. Pohon-pohon
tua ru1yang tinggi tumbuh dengan akar tertanam di dasar sungai ini, sebagian telah mati
menghitam, membentuk pemandangan yang sangat menyeramkan seperti sosok-sosok
hantu raksasa yang merenungi per mukaan sungai dan menunggu mangsa melintas.
Sungai Buta berbentuk melingkar, mengurung sisi utara Gunung Selumar. Jika Flo
tersesat ke sini ia tak mung-kin dapat kembali mundur karena tenaganya pasti tak akan
cukup untuk kembali mendaki punggung granit yang curam. Jika ia memaksa, sangat
mungkin ia akan terpeleset jatuh dan terhempas di atas batu-batu karang. Pilihan satusatunya
hanya berenang melintasi Sungai Buta yang horor dengan kelebaran hampir
seratus meter. Untuk menyeberangi sungai itu ia terlebih dahulu harus menyibaknyibakkan
hamparan bakung setinggi dada dan hampir dapat dipastikan pada langkahlangkah
pertama di area bakung itu riwayatnya akan tamat. Di sanalah habitat terbesar
buaya-buaya ganas di Belitong.
Di tengah kepanikan tersiar kabar bahwa ada seorang sakti mandraguna yang mampu
menerawang, tapi beliau tinggal jauh di sebuah Pulau Lanun yang terpencil. Ialah seorang
dukun yang telah menjadi legenda, Tuk Bayan Tula, demikian namanya. Tokoh ini
dianggap raja ilmu gaib dan orang paling sakti di atas yang tersakti, biang semua
keganjilan, muara semua ilmu aneh.
Banyak orang beranggapan Tuk Bayan Tula tak lebih dari sekadar dongeng, bahwa ia
sebenarnya tak pernah ada, dan tak lebih dari mitos untuk menakuti anak kecil agar
cepat-cepat tidur. Tapi banyak juga yang berani bersaksi bahwa ia benar-benar ada.
Bahkan diyakini beliau dulu pernah tinggal di kampung dan sempat menjadi penjaga
hutan larangan suruhan Belanda, pernah menjadi carik, dan pernah menjadi nakhoda
kapal yang berulang kali memimpin armada melanglang Selat Malaka. Menjadi
perompak barangkali.
Konon beliau memang memiliki bakat khusus di bidang ilmu antah berantah, karena
dalam usia muda beliau sudah menguasai budi suci. Ilmu ini sangat potensial membuat
penganutnya senang memanjat tiang bendera di tengah malam sebab menderita sakit
saraf. Jika tak kuat menahankan ilmu gaib budi suci, dalam waktu singkat seseorang bisa
menjadi gila. Tapi jika sukses, pemegangnya bisa membunuh orang bahkan tanpa
menyentuhnya. Tuk sudah khatam budi suci sejak usia belasan. Dalam usia itu beliau
juga sudah bisa mempraktikkan ilmu sekuntak, maka beliau mampu memadamkan
bohlam hanya dengan memandangnya sepintas. Namun, seiring tinggi ilmunya ia
semakin menjauhkan diri dari masyarakat dan telah berpantang kata untuk menjaga
kesaktiannya. Maka Tuk Bayan Tula tak 'kan pernah berucap lagi.
Kini Tuk menyepi di pulau tak berpenghuni. Nama Tuk Bayan Tula sendiri adalah nama
yang menciutkan nyali. Tuk adalah nama julukan lama, dari kata datuk untuk menyebut
orang sakti di Belitong. Bayan juga panggilan bagi orang berilmu hebat yang selalu
memakai nama binatang, dalam hal ini burung bayan. Tula, bahasa Belitong asli, artinya
kualat, mungkin jika kurang ajar dengan beliau orang bisa langsung kualat. Sedangkan
nama Pulau Lanun tempat tinggal Tuk sekarang juga tak kalah angker. Lanun berarti
perompak. Pulau itu tak berani didekati para nelayan karena di sanalah para perompak
yang kejam sering merapat. Namun, kabarnya para perompak itu kabur tunggang
langgang ketika Tuk Bayan Tula menguasai pulau itu. Banyak yang mengatakan para
perompak itu dipenggal Tuk dengan sadis. Kini Tuk tinggal sendirian di sana.
Berbagai cerita yang mendirikan bulu kuduk selalu dikait-kaitkan dengan tokoh siluman
ini. Ada yang mengatakan beliau sengaja mengasingkan diri di pulau kecil sebelah barat
sebagai tameng yang melindungi Pulau Belitong dari amukan badai. Ada yang percaya ia
bisa melayang-layang ringan seperti kabut dan bersembunyi di balik sehelai ilalang. Dan
yang paling menyeramkan adalah bahwa dikatakan Tuk telah menjadi manusia separuh
peri.
Anehnya, di balik keangkeran cerita yang berbau mistis itu semua orang menganggap
Tuk Bayan Tula adalah wakil dari alam bawah tanah dunia putih. Di beberapa wilayah di
Belitong beliau dianggap sebagai pahlawan yang telah membasmi para dukun hitam
nekromansi yang mengambil keuntungan melalui komunikasi dengan orang-orang yang
telah mati. Beliau dianggap ahli menyembuhkan penyakit yang disebabkan oleh praktik
klenik jahat untuk mencelakakan orang. Maka Tuk tak ubahnya Robin Hood, pahlawan
yang mencuri untuk menolong kaum papa, atau orang yang berbuat baik dengan cara
yang salah. Ada pula sebagian orang Belitong yang menganggap beliau bukan dukun,
tapi sekadar seorang eksentrik yang dianu-gerahi indra keenam.
Apakah Tuk Bayan Tula seseorang yang mengkhianati ajaran tauhid? Mungkinkah ia
sekadar seorang pahlawan pemusnah santet yang ingin mati sebagai martir? Ataukah ia
hanya seorang tua yang memutuskan hidup sendiri ka-rena bermasalah dengan perangkat
syahwat? Tak ada yang tahu pasti. Kisah kesaktian, gaya hidup, biografi, dan paradoks
kepahlawanan Tuk ketika dikonfrontasikan dengan keyakinan orang awam akan menjadi
sebuah misteri. Misteri ini mengandung daya tarik dunia bawah tanah, metafisika,
paranormal, fenomena-fenomena janggal, dan ilmu pengetahuan yang membakar rasa
ingin tahu sebagian orang. Sebagian dari orang itu adalah Mahar.
Dalam kasus Flo, keadaan paniklah yang menyebabkan orang-orang sudah tidak lagi
mengandalkan akal sehat sehingga berunding untuk minta bantuan Tuk Bayan Tula.
Kekalutan memuncak karena saat itu sudah tengah malam dan Flo tak juga diketahui
nasibnya. Maka diutuslah beberapa orang untuk menemui Tuk Bayan Tula. Utusan ini
bukan sembarangan, paling tidak terdiri atas orang-orang yang telah cukup
berpengalaman dalam urusan mistik sehingga cukup teguh hatinya jika digertak Tuk.
Mereka adalah seorang pawang hujan, seorang dukun angin, kepala suku Sawang, dan
seorang polisi senior. Utusan ini berangkat menggunakan speedboat milik PN Timah
yang berkecepatan sangat tinggi. Kami waswas menunggu mereka kembali, terutama
cemas kalau-kalau keempat orang utusan itu disembelih oleh sang manusia siluman
setengah peri.
Ketika matahari pagi mulai merekah, utusan tadi kembali. Kami senang menyambut
mereka dengan mengharapkan keajaiban yang tak masuk akal, tapi itu lebih baik dari
pada patah harapan sama sekali. Namun utusan ini tak membawa kabar apa-apa kecuali
sepucuk kertas dari Tuk Bayan Tula. Puluhan orang mengerumuni cerita mereka yang
mencengangkan. Mahar duduk paling depan.
"Ketika perahu merapat, anjing-anjing hutan melolong-lolong seolah melihat iblis
beterbangan," kata ketua utusan, seorang pawang hujan. Ia termasuk orang berilmu dan
dunia bawah tanah bukan hal baru baginya, tapi terlihat jelas ia takut dan merasa Tuk
tidak ada di liganya. Sama sekali bukan tandingannya.
"Tuk Bayan Tula tinggal di sebuah gua yang gelap, di jantung Pulau Lanun. Pulau itu
berbelok menyimpang dari jalur nelayan, jadi tak seorang pun akan ke sana. Perahuperahu
perompak yang telah beliau bakar berserakan di tepi pantai. Tak ada siapa-siapa di
pulau itu kecuali beliau sendiri dan tak terlihat ada tanaman kebun atau sumur air tawar,
tak tahulah Datuk itu makan minum apa."
Kemudian para anggota utusan yang lain sambung-menyambung, "Melihat wajahnya
dada rasanya berdetak, sungguh seseorang yang tampak sangat sakti dan berilmu ting-gi.
Ketika beliau keluar ke mulut gua seakan seluruh alam menunduk. Di sana kami
merasakan udara yang pe-nuh daya magis."
Cerita ini dikonfirmasikan oleh hampir seluruh anggota utusan, bahwa ketika Tuk Bayan
Tula berdiri kira-kira lima meter di depan mereka, mereka melihat kaki-kaki datuk itu tak
menyentuh bumi. Ia seperti kabut yang melayang.
"Tubuhnya tinggi besar, rambut, kumis, dan jenggot-nya lebat dan panjang, matanya
berkilat-kilat seperti burung bayan. Pakaiannya hanya selembar kain panjang yang dililitlilitkan.
Ia bertelanjang dada, dan sebilah parang yang sangat panjang terselip di
pinggangnya. Aku ketakutan melihatnya."
Kami mendengarkan dengan saksama, terutama Mahar yang tampak terpesona bukan
main. Mulutnya ternganga dan raut wajahnya memperlihatkan kekaguman yang amat
sangat pada Tuk Bayan Tula. Ia tampak begitu terpengaruh dan siap mengabdi pada
superstardunia gaib itu. Inilah fanatisme buta. Dalam imajinasinya mungkin Tuk Bayan
Tula sedang duduk di atas singgasana yang dibuat dari tulang belulang musuh-musuhnya.
Lalu beberapa ekor dedemit yang telah ditaklukkannya patuh melayaninya dengan
limpahan anggur-anggur putih. Ketika itu tak sedikit pun terlintas dalam pikirannya kalau
nanti Tuk Bayan Tula akan memutar jalan hidupnya dan jalan hidup perempuan kecil
yang sedang tersesat di rimba ini dengan sebuah kisah antiklimaks.
"Di depan mulut gua kami melihat empat lembar pelepah pinang raja tempat duduk telah
tergelar, seolah beliau telah tahu jauh sebelumnya kalau kami akan datang. Beliau
menemui kami, sedikit pun tidak tersenyum, sepatah pun tidak berkata."
Sang ketua utusan mengusap wajahnya yang masih kelihatan terkesiap karena pertemuan
langsungnya dengan tokoh sakti mandraguna Tuk Bayan Tula. Meskipun sudah beberapa
jam yang lalu ia masih belum bisa menghilangkan perasaan terkejutnya.
"Kami menceritakan maksud kedatangan kami. Beliau mendengarkan dengan
memalingkan muka. Belum selesai kami berkisah beliau langsung memberi isyarat
meminta sepucuk kertas dan pena, lalu beliau menuliskan sesuatu. Juga diisyaratkan agar
kami segera pulang dan hanya membuka tulisan beliau setelah tiba di sini. Di kertas
inilah beliau menulis."
Ketua utusan memperlihatkan gulungan kertas, semua orang merubungnya. Mahar
melihat gulungan itu dengan tatapan seperti melihat benda ajaib peninggalan makhluk
angkasa luar. Dengan gemetar sang ketua utusan membuka gulungan kertas itu dan di
sana tertulis:
INILAH PESAN TUK BAYAN TULA: JIKA INGIN MENEMUKAN ANAK
PEREMPUAN ITU MAKA CARILAH DIA DI DEKAT GUBUK LADANG YANG
DITINGGALKAN. TEMUKAN SEGERA ATAU
DIA AKAN TENGGELAM DI BAWAH AKAR BAKAU
Sebuah pesan yang mendirikan bulu tengkuk, lugas, dan mengancam atau lebih tepatnya
menakut-nakuti. Tapi harus diakui bahwa pesan ini mengandung sebuah tenaga. Pilihan
katanya teliti dan menunjukkan sebuah kualitas keparanormalan tingkat tinggi. Jika Tuk
Bayan Tula seorang penipu maka ia pasti penipu ulung, tapi jika ia memang dukun maka
ia pasti bukan dukun palsu yang oportunistik. Bagaimanapun pesan ini mengandung
pertaruhan reputasi yang pasti. Tidak ada kata tersembunyi, tak ada kata bersayap.
Intinya jelas: jika Flo tidak ditemukan di dekat gubuk ladang yang telah ditinggalkan
pemiliknya atau jika ia tidak ditemukan tewas hari ini di sela-sela akar bakau, maka sang
legenda Tuk Bayan Tula tak lebih dari seorang tukang dadu cangkir di pinggir jalan.
Semua makhluk yang senang memain-mainkan dadu adalah kaum penipu. Kalau itu
sampai terjadi rasanya aku ingin berangkat sendiri ke Pulau Lanun untuk menyita satusatunya
kain yang melilit tubuh Tuk. Tapi selain semua kemungkinan itu pesan tadi juga
harus diakui telah memberi harapan dan batas waktu, apa yang akan terjadi jika
semuanya terlambat?
Kebiasaan berladang berpindah-pindah masih berlangsung hingga saat ini. Namun
potensi kesulitan sangat mungkin muncul. Tak mudah menentukan yang mana yang
merupakan gubuk ladang. Gubuk telantar banyak terdapat di lereng gunung, yaitu gubuk
rahasia para pencuri timah. Para pendulang liar menggali timah nun jauh di lereng
gunung secara ilegal dan menjualnya pada para penyelundup yang menyamar sebagai
nelayan di perairan Bangka Belitong. Pencuri dan penyelundup timah adalah profesi yang
sangat tua. Aktivitas kriminal ini kriminal dari kaca mata PN Timah tentu saja telah ada
sejak orang-orang Kek datang dari daratan Tiongkok untuk menggali timah secara resmi
di Belitong dalam rangka mengerjakan konsesi dari kompeni, hari-hari itu adalah abad
ke-17.
PN Timah memperlakukan pelaku eksploitasi timah ilegal dan penyelundup dengan
sangat keras, tanpa perikemanusiaan. Pelakunya diperlakukan seolah pelaku tindak
pidana subversif. Di gunung-gunung yang sepi tempat para pendulang timah dianggap
pencuri dan di laut tempat penyelundup dianggap perompak, hukum seolah tak berlaku.
Jika tertangkap tak jarang kepala mereka diledakkan di tempat dengan AKA 47 oleh
manusia-manusia tengik bernama Polsus Timah.
Tim kami berangkat sejak pagi benar di bawah pimpinan Mahar. Kami bergerak ke utara,
ke arah jalur maut Sungai Buta. Belasan ladang terutama yang dekat sungai telah kami
kunjungi dan gubuknya telah kami obrak-abrik, kami juga mencari-cari di sela-sela akar
bakau, tapi hasilnya nihil. Flo raib seperti ditelan bumi. Suara kami sampai parau
memanggil-manggil namanya dan satu-satunya megafone yang dibekali posko telah habis
baterainya.
Dan pagi pun tiba, pencarian berlangsung terus. Dari walky talky kami pantau bahwa Flo
masih tetap misteri. Sekarang baterai walky talky mulai lemah dan hanya dapat
memonitor saja. Tidak hanya batu-batu baterai itu, sema-ngat kami pun melemah. Kami
mulai dihinggapi perasaan putus asa.
Dari setiap gubuk yang kami kunjungi dan tidak ditemukan Flo di dalamnya maka satu
kredit minus mengurangi reputasi Tuk. Sesudah hampir dua puluh gubuk yang nihil, saat
itu menjelang tangah hari, reputasi beliau pun makin pudar kalau bukan disebut hancur.
Kami mulai meragukan kesaktian dukun siluman itu. Mahar tampak agak tersinggung
setiap kali kami mengeluh jika menemukan gubuk yang kosong, apa lagi ada celetukan
yang melecehkan Tuk Bayan Tula.
"Kalau dia bisa berubah menjadi burung bayan, tak perlu susah-susah kita mencari-cari
seperti ini," desah Kucai sambil terengah-engah.
Berbagai pikiran buruk menghantui kepala yang penat dan tubuh yang lelah.
Ke manakah engkau gadis kecil? Mungkinkah anak gedongan itu telah tewas?
Parameter pencarian demikian luas. Flo bisa saja tidak menuruni lereng menuju ke
lembah melainkan naik terus ke puncak, atau berjalan berputar-putar mengelilingi lereng,
tersesat dalam fatamorgana sampai habis tenaganya. Mungkin juga ia telah tembus di sisi
barat daya dan memasuki perkampungan Tionghoa kebun di sana. Atau ia sedang dililit
ular untuk dibusukkan dan ditelan besok malam.
Mungkinkah ia telah berenang melintasi Sungai Buta? Bukankah ia anak tomboi yang
terkenal nekat tak kenal takut? Selamat atau sudah tamatkah riwayatnya? Perbekal-an air
dan makanan kami yang seadanya telah habis. Harun, Trapani, dan Samson sudah ingin
menyerah dan menyarankan kami kembali ke posko, tapi Mahar tak setuju, ia yakin
sekali pada kebenaran pesan Tuk Bayan Tula. Sebaliknya, bagi kami hanya bayangan
penderitaan Flo yang masih menguatkan hati untuk terus mencari. Jika ingat betapa ia
ketakutan, kelaparan, dan kedinginan, kelelahan kami rasanya dapat ditahankan.
Menjelang pukul 10 pagi, berarti telah 27 jam Flo lenyap. Kami sudah tak memedulikan
pesan Tuk. Bagi kami kecuali Mahar datuk itu tak lebih dari semua dukun-dukun lainnya,
palsu dan oportunistik. Kami memperlebar parameter pencarian sampai agak naik ke atas
ladang. Di setiap gubuk kami menemukan pemandangan yang sama, yaitu babi-babi
hutan yang kawin berpesta pora atau tikus-tikus pengerat bercengkrama di antara
dengungan kumbang yang bersarang di tiang-tiang gubuk yang lapuk.
Pukul 11, siang sudah, kami tiba di sebuah batu cadas besar yang menjorok. Kami
berkumpul di sana untuk mengistirahatkan sisa-sisa tenaga terakhir. Inilah ujung akhir
lereng utara karena setelah ini, nun setengah kilometer di bawah kami adalah wilayah
bahaya maut Sungai Buta. Kami tak 'kan turun ke wilayah yang dihindari setiap orang
itu, bahkan penjelajah profesional tak berani ke sana. Kami sudah putus asa dan setelah
beristirahat ini kami akan segera kembali ke posko. Kami telah gagal, Flo tetap nihil, dan
paling tidak di lereng utara Tuk Bayan Tula telah berdusta. Dari walky talky kami
memonitor bahwa di barat, timur, dan selatan Flo juga tak ditemukan, berati Tuk Bayan
Tula telah berdusta di empat penjuru angin.
Kami diam terpaku menerima berita itu. Wajah Mahar sembap seperti ingin menangis. Ia
seumpama kekasih yang dikhianati orang tersayang. Tuk telah melukai hatinya meskipun
ia sedikit pun tak kenal tokoh pujaannya itu. Ini risiko keyakinan yang rabun. Dan aku
sedih, bukan karena membayangkan kehancuran integritas Tuk atau perasaan Mahar yang
kecewa, tapi karena memikirkan nasib buruk yang menimpa Flo. Bisa saja ia tak 'kan
pernah ditemukan, hilang, raib. Bisa juga ia ditemukan tapi cuma tinggal berupa
kerangka yang dipatuki burung gagak. Ia juga mungkin ditemukan dalam keadaan
menyedihkan telah tercabik-cabik hewan buas. Dan yang paling tak tertahankan adalah
jika ia mati sia-sia secara memilukan karena pertolongan terlambat beberapa jam saja.
Sulit untuk bertahan hidup dalam suhu sedingin malam tadi tanpa makanan sama sekali.
Dan saat-saat sekarang ini sudah memasuki keadaan yang mulai terlambat itu. Mengapa
anak cantik kaya raya yang hidup di rumah seperti istana, dari keluarga terhormat,tanpa
trauma masa kecil, dan yang memiliki limpahan kasih sayang semua orang, serta
lingkungan seperti taman eden, ha-rus berakhir di tempat ganas ini? Aku tak sanggup
mem-bayangkan lebih jauh perasaan orangtuanya.
Aku terbaring kelelahan memandangi keseluruhan Gunung Selumar yang biru, agung,
dan samar-samar. Aku per-nah menulis puisi cinta di puncaknya dan gunung ini pernah
memberiku inspirasi keindahan yang lembut. Bahkan di sabana di atas sana tumbuh
bunga-bunga liar kuning kecil yang dapat membuat siapa pun jatuh cinta, bukan hanya
kepada bunganya, tapi juga kepada orang yang mempersembahkannya. Namun
kelembutan gunung ini, seperti kelembutan unsur-unsur alam lainnya, air, angin, api, dan
bumi, ternyata menyembunyikan kekejaman tak kenal ampun. Betapa teganya, toh
bagaimanapun nakalnya, Flo hanyalah seorang gadis kecil, permata hati keluarganya.
Kucai menepuk-nepuk bahu Mahar dan menghiburnya. Mahar memalingkan muka. Ia
menunduk diam. Matanya jauh menyapu pandangan ke Sungai Buta dan rawa-rawa
bakung di bawah sana. Kami bangkit, membereskan perlengkapan, dan mempersiapkan
diri untuk pulang. Sebelum kami melangkah pergi Syahdan yang mengalungkan teropong
kecil di lehernya mencoba-coba benda plastik mainan itu. Ia meneropong tepian Sungai
Buta. Saat kami ingin menuruni batu cadas itu tiba-tiba Syahdan berteriak, sebuah
teriakan nasib.
"Lihatlah itu, ada pohon kuini di pinggir Sungai
Buta."
Kami membalikkan badan terkejut dan Mahar serta-merta merampas teropong Syahdan.
Ia berlari ke bibir cadas dan meneropong ke bawah dengan saksama, "Dan ada gubuk!"
katanya penuh semangat.
"Kita harus turun ke sana!" katanya lagi tanpa berpikir panjang.
Kami semua terperanjat dengan usul sinting itu. Kucai yang dari tadi membisu
menganggap kekonyolan Mahar telahmelampaui batas. Sebagai ketua kelas ia merasa
bertanggung jawab.
"Apa kau sudah gila!" Ia menyalak dengan galak. Sorot matanya tajam, merah, dan
marah, walaupun yang ditatapnya adalah Harun yang berdiri melongo di samping Mahar.
"Mari aku jelaskan ke kepalamu yang dikaburkan asap kemenyan sehingga tak bisa
berpikir waras. Pertama-tama di bawah sana tak mungkin sebuah ladang. Tak ada orang
sinting yang mau berladang di pinggir Sungai Buta kecuali ia ingin mati konyol. Tak
tahukah kau cerita pengalaman orang lain, di situ buaya tidak menunggu tapi mengejar.
Dan ular-ular sebesar pohon kelapa melingkar-lingkar di sembarang tempat. Kalaupun itu
memang gubuk, itu gubuk pencuri timah. Berdasarkan pesan datuk setengah iblis anak
gedongan itu hanya ada di gubuk ladang yang ditinggalkan!"
Mahar menatap Kucai dengan dingin, Kucai semakin geram.
"Kalau kita turun ke sana, aku pastikan kita bisa menjadi Flo-Flo baru yang malah akan
dicari orang, menambah persoalan, merepotkan semuanya nanti. Tempat itu sangat
berbahaya, Har, pakai otakmu! Ayo pulang!!"
Mahar tetap sedingin es, ekspresinya datar. "Lagi pula mana mungkin anak perempuan
kecil itu dapat mencapai tempat ini. Batu ini adalah dinding utara terakhir. Kita telah
mendatangi puluhan gubuk ladang yang ditinggalkan, hasilnya nol, mendatangi satu
gubuk pencuri timah hasilnya akan tetap sama, ayolah pulang, Kawan, terimalah
kenyataan bahwa Tuk telah menipu kita, ayolah pulang, Kawan ..,," Kucai merendahkan
suaranya, mungkin ia sadar membujuk orang setengah gila tidak bisa dengan marahmarah.
Tapi Mahar tetap membatu, ia seperti menhir, masih belum bisa diyakinkan. Ia
tak 'kan menyerah semudah ini. Syahdan ikut menasihati dengan kata-kata pesimis.
"Sudah hampir tiga puluh jam Flo hilang, kita harus belajar realistis, mungkin ia memang
ditakdirkan menemui ajal di gunung ini. Tuhan telah memanggilnya dan gunung ini pun
mengambilnya."
Mahar tak bergerak. Kami beranjak meninggalkan tempat itu. Lalu dengan dingin Mahar
mengatakan ini, "Kalian boleh pulang, aku akan turun sendiri...."
Maka turunlah kami semua walaupun kami tahu tak 'kan menemukan Flo di pinggir
Sungai Buta. Hal itu sangat muskil, sangat mustahil. Semuanya menggerutu dan kami
mengutuki Syahdan yang tadi iseng-iseng meneropong dengan teropong plastik jelek
mainan anak-anak itu. Dia menyesal. Tapi semuanya telah telanjur, sekarang kami
pontang panting menuruni punggung lereng yang curam, berkelak-kelok di antara batubatu
besar dan menerabas kerimbunan gulma yang sering menusuk mata.
Kami menuju ke sebuah gubuk pencuri timah di wi-layah maut pinggiran Sungai Buta
hanya untuk menemani Mahar, menemani ia memuaskan egonya, membuktikan padanya
bahwa insting tidak harus selalu benar, dan melindunginya dari ketololannya sendiri.
Walaupun kami benci pada kefanatikannya tapi ia tetap teman kami, anggota Laskar
Pelangi, kami tak ingin kehilangan dia. Kadang-kadang persahabatan sangat menuntut
dan menyebalkan. Pelajaran moral nomor lima: jangan bersahabat dengan orang yang
gila perdukunan.
Kira-kira satu jam kemudian, tepat tengah hari, kami telah berada di lembah Sungai Buta.
Wilayah ini merupakan blank spot untuk frekuensi walky talky sehingga suara kemerosok
yang sedikit menghibur dari alat itu sekarang mati dan tempat ini segera jadi mencekam.
Untuk pertama kalinya aku ke sini dan rasa angkernya memang tidak dibesar-besarkan
orang. Kenyataannya malah terasa lebih ngeri dari bayanganku sebelumnya. Kami
memasuki wilayah yang jelas-jelas menunjukkan permusuhan pada pendatang. Wilayah
ini seperti dikuasai oleh suatu makhluk teritorial yang buas, asing, dan sangat jahat.
Kerasak-kerasakgelap di pokok pohon nipah yang digenangi air seperti kerajaan jin dan
tempat sarang berkembang biaknya semua jenis bangsa-bangsa hantu. Biawak berbagai
ukuran melingkar-lingkar di situ, sama sekali tak takut pada kehadiran kami, beberepa
ekor di antaranya malah bersikap ingin menyerang.
Hanya sedikit orang pernah ke sini dan di antara yang sedikit itu dan yang paling tolol
adalah kami. Kami berjalan dalam langkah senyap berhati-hati. Semuanya mengeluarkan
parang dari sarungnya dan terus-menerus menoleh ke kiri dan kanan serta membentuk
formasi untuk melindungi punggung orang terdekat. Kami mendengar suara sesuatu
ditangkupkan dengan sangat keras dan mengerikan disertai suara kibasan air yang besar.
Kami diam tak membahas itu, kami tahu suara itu tangkupan mulut buaya yang besarnya
tak terkira. Ada juga suara bayi-bayi buaya yang berkeciak dan pemandangan beberapa
ekor ular bergelantungan di dahan-dahan pohon. Kami terus merangsek maju seperti
sedang mengintai musuh.
Pondok itu kira-kira seratus meter di depan kami. Semakin dekat, semakin jelas dan
mencengangkan karena tempat itu agaknya memang bekas sebuah ladang yang
ditinggalkan. Kami menemukan kawat-kawat bekas pagar dan dari kejauhan melihat
pohon-pohon kuini, jambu bol, dan sawo. Siapa orang luar biasa yang berani berladang di
sini?
Jarak ladang ini dekat sekali dengan pinggiran Sungai Buta, bisa dipastikan sangat
berbahaya. Pemiliknya pasti ingin mendekati air tanpa mempertimbangkan keselamatan.
Sebuah tindakan bodoh. Atau mungkinkah karena ketololannya itulah maka riwayat sang
pemilik telah berakhir di tepi sungai ini sehingga ladangnya sekarang tak bertuan? Tapi
ada hal lain, yaitu siapa pun pemilik tersebut terutama jika ia masih hidup maka ia pasti
tak sanggup memelihara ladang ini karena hama perompak tanaman juga luar biasa di
sini. Kawanan kera sampai mencapai lima kelompok, saling berebutan lahan dengan
serakah. Belum lagi tupai, lutung, babi hutan, musang, luak, dan tikus pengerat, hewanhewan
ini sudah keterlaluan.
mi berjingkat-jingkat tangkas di atas akar-akar bakau yang cembung berselang-seling.
Akar-akar ini seperti menopang pohonnya yang rendah. Tak kami temukan Flo
tersangkut di bawah akar-akar itu, satu lagi konfirmasi penipuan Tuk Bayan Tula. Setelah
yakin Flo tak ada di bawah akar bakau, kami pelan-pelan mendekati ladang.
Semakin dekat ke lokasi ladang kami dapat melihat dengan jelas sebuah gubuk beratap
daun nipah. Lalu ada suatu pemandangan yang agak menarik, yaitu salah satu dahan
pohon jambu mawar yang berdaun amat lebat bergoyang-goyang hebat seperti ingin
dirubuhkan. Jambu mawar itu tumbuh persis di samping gubuk. Pastilah itu ulah lutung
besar yang sepanjang waktu selalu lapar.
Kami mendekati pohon jambu mawar itu dengan waspada. Kami menyusun semacam
strategi penyergapan untuk memberi pelajaran pada lutung rakus itu. Kami mengendapendap
seperti pasukan katak baru keluar dari rawa untuk merebut sebuah gudang senjata.
Di ladang telantar ini tumbuh subur ilalang setinggi dada dan pohon-pohon singkong
yang sudah centang perenang dirampok hewan-hewan liar. Buah-buah sawo yang masih
muda, putik-putik jambu bol, dan buah kuini muda juga berserakan di tanah karena
dijarah secara sembrono oleh hama hewan-hewan itu. Bahkan buah-buahan ini tak
sempat masak. Binatang-binatang tak tahu diri!
Lutung besar yang sedang berpesta pora di dahan jambu mawar itu tak menyadari
kehadiran kami. Ia semakin menjadi-jadi, mengguncang-guncang dahan jambu itu hingga
daun dan bakal buahnya berjatuhan, kurang ajar sekali. Kami semakin dekat dan berjinjitjinjit
tak menimbulkan suara. Kami ingin menangkapnya basah sehingga ia semaput
ketakutan, inilah hiburan kecil di tengah ketegangan menyelamatkan nyawa manusia.
Setelah tiba saatnya kami bersama-sama menghitung hingga tiga dan melompat serentak,
menghambur ke bawah dahan itu sambil bertepuk tangan dan berteriak sekeras-kerasnya
untuk mengejutkan sang lutung. Tapi tak sedikit pun diduga situasi berbalik seratus
delapan puluh derajat, karena sebaliknya, ketika kami menyerbu justru kami yang
terkejut setengah mati tak alang kepalang, rasanya ingin terkencing-kencing. Kami tak
percaya dengan penglihatan kami dan terkaget-kaget hebat karena persis di atas kami, di
sela-sela dedaunan yang sangat rimbun, bertengger santai seekor kera besar putih yang
tampak riang gembira menunggangi sebatang dahan seperti anak kecil kegirangan main
kuda-kudaan, wajahnya seperti baru saja bangun tidur dan belum sempat cuci muka. Ia
tertawa terbahak-bahak sampai keluar air matanya melihat wajah kami yang terbengongbengong
pucat pasi. Flo yang berandal telah ditemukan!
BAB XXV
Rencana B
AKU terengah-engah basah kuyup. Syahdan memandangi aku dengan prihatin. Kami saling
berpandangan lalu tertawa. Tawaku semakin keras seiring tangis di dalam hati tentu saja. Tangis
karena mendapati diri sampai sakit karena dera putus cinta. Mahar telah habis-habisan menjadikanku
kelinci percobaan. "Anak-anak jin yang ter-singgung?" Ke mana perginya akal sehatnya? Dia
patut mendapat nomor 7 dalam teori gila versi ibuku. Tapi aku tahu dia sesungguhnya bermaksud
baik.
Setelah Mahar, A Kiong dan daun-daun beluntasnya pergi tanpa pamit lalu datang Bu Mus dan
teman-teman sekolahku yang lain. Syahdan mengadukan kelakuan Mahar, tapi Bu Mus menunjukkan
wajah tak peduli. Beliau sudah cukup lama dibuat pusing oleh Mahar dan tak berminat
menam-bah beban berat hidupnya dengan memikirkan dukun palsu itu.
Beliau mengeluarkan pil ajaib APC. Besoknya aku sudah bisa berangkat ke sekolah dan aku tahu
persis yang menyembuhkanku adalah pil APC. Begitu melihatku memasuki kelas A Kiong
langsung menya-lami Mahar. Mahar menaikkan alisnya, mengangkat bahunya, dan menganggukangguk
seperti burung penguin selesai kawin. Itulah gerakan khas Mahar yang sangat menyebalkan.
"Apa kubilang!" barangkali itulah maknanya.
Mahar mengelus-elus koper bututnya dan A Kiong semakin fanatik padanya. Mereka berdua
tenggelam dalam kesesatan memersepsikan diri sendiri.
Rupanya fisikku memang telah sembuh tapi hatiku tidak. Pulang dari sekolah aku kembali disergap
perasaan sedih. Tak mudah melupakan A Ling. Dadaku kosong karena kehilangan sekaligus sesak
karena rindu. Aku terbaring kuyu di atas dipan memandangi diary dan buku Herriot kenangkenangan
darinya. Untuk mengalihkan kesedihan aku mengambil buku Seandainya Mereka Bis a
Bicara itu dan dengan malas aku berusaha membacanya.
Sudah kuniatkan dalam hati bahwa jika buku itu membosankan maka setelah halaman pertama ia
akan langsung kutangkupkan di wajahku karena aku ingin tidur. Lalu kata demi kata berlalu.
Setelah itu kalimat demi kalimat dan dilanjutkan dengan paragraf demi paragraf. Aku tak berhenti
membaca dan beberapa kali membaca paragraf yang sama berulang-ulang. Tanpa kusadari dalam
waktu singkat aku telah berada di halaman 10 tanpa sedikit pun sanggup menggeser posisi tidurku.
Seluruh perasaan gundah, putus asa, dan air mata rindu yang tadi sudah menggenang di pelupuk
mataku diisap habis oleh lembar demi lembar buku itu.
Buku ajaib itu bercerita tentang perjuangan seorang dokter hewan muda di zaman susah tahun
30an. Dokter muda itu, Herriot sendiri, bekerja nun jauh di sebuah desa terpencil di bagian antah
berantah di Inggrissana. Desa kecil itu bernama Edensor.
Mulutku ternganga dan aku menahan napas ketika Herriot menggambarkan keindahan Edensor:
"Lereng-lereng bukit yang tak teratur tampak seperti berjatuhan, puncaknya seperti bergulingguling
tertelan oleh langit sebelah barat, yang bentuknya seperti pita kuning dan merah tua ....
Pegunungan tinggi yang tak berbentuk itu mulai terurai menjadi bukit-bukit hijau dan lembahlembah
luas. Di dasar lembah tampak sungai yang berliku-liku di antara pepohonan. Rumah-rumah
petani yang terbuat dari batu-batu yang kukuh dan berwarna kelabu tampak seperti pulau di tengah
ladang yang diusahakan. Ladang itu terbentang ke atas seperti tanjung yang hijau cerah di atas
lereng bukit .... Aku sampai di taman bunga mawar, kemudian ke taman asparagus, yang tumbuh
jadi pohon yang tinggi. Lebih jauh ada pohon arbei dan tumbuhan frambos. Pohon buah terdapat di
mana-mana. Buah persik, buah pir, buah ceri, buah prem, bergantung-an di atas tembok selatan,
berebut tempat dengan bunga-bunga mawar yang tumbuh liar."
Aku terkesima pada desa kecil Edensor. Aku segera menyadari bahwa ada keindahan lain yang
memukau di dunia ini selain cinta. Herriot rneng-gambarkan Edensor dengan begitu indah dan
memengaruhiku sehingga ketika ia bercerita tentang jalan-jalan kecil beralaskan batu-batu bulat di
luar rumah praktiknya rasanya aku dapat mencium harum bunga daffodil dan astuaria yang
menjalar di sepanjang pagar peternakan di jalan itu. Ketika ia bercerita tentangpadangsabana yang
terhampar di Bukit Derbyshire yang mengelilingi Edensor rasanya aku terbaring mengistirahatkan
hatiku yang lelah dan wajahku menjadi dingin ditiup angin dari desa tenang dan cantik itu. Aku
telah jatuh hati dengan Edensor dan menemukannya sebagai sebuah tempat dalam khayalanku
setiap kali aku ingin lari dari kesedihan.
Sebaliknya aku semakin mencintai A Ling. Ia dengan bijak telah mengganti kehadirannya dengan
kehadiran Edensor yang mampu melipur laraku. A Ling meninggalkan buku Herriot untukku tentu
karena sebuah alasan yang jelas. Selanjutnya, aku membaca buku Herriot berulang-ulang sehingga
hampir hafal. Ke mana pun aku pergi buku itu selalu kubawa dalam tas sandang bututku. Buku itu
adalah representasi A Ling dan pengobat jiwaku. Jika aku merasa risau dan sedih maka aku segera
mengalihkan pikiranku dengan membayangkan aku sedang duduk di bangku rendah di tengah
taman anggur di Edensor. Kumbang-kumbang berdengung huh rendah, mataku menatap lembut
Pegunungan Pennines yang biru di Derbyshire dan angin lembah
yang sejuk mengembus wajahku, menguapkan semua kepedihan, resah, dan kesulitan hidupku
di sudut kampung kumuh panas di Belitong ini. Aneh memang, jikaTrapaniseluruh hidupnya seolah
dipengaruhi oleh lagu Wajib Be/ajar maka kini seluruh hidupku terinspirasi oleh buku Seandainya
Mereka Bisa Bicara, terutama oleh Desa Edensor yang ada di buku itu. Jika beban hidup demikian
memuncak rasanya aku ingin sekali berada di Edensor. Punguk merindukan bulan tentu saja. Mana
mungkin anak Melayu miskin nun di Pulau Belitongsanamengangankan berada di sebuah tempat di
Inggris. Bermimpi pun tak pantas.
Sebaliknya, karena Edensor aku segera merasa pulih jiwa dan raga. Edensor memberiku alternatif
guna memecah penghalang mental agar tak stres berkepanjangan karena terus-terusan terpaku pada
perasaan patah hati. A Ling telah memberi racun cinta sekaligus penawarnya. Aku mulai tegar
meskipun tak 'kanada lagi Michele Yeoh. Aku siap menyesuaikan diri dengan kenyataan baru. Aku
sudah ikhlas meninggalkan cetak biru kehidupan indahasmarapertamaku yang bertaburan wangi
bunga dalam ritual rutin pembelian kapur tulis.
Inilah asyiknya menjadi anak kecil. Patah hati karena cinta yang telah berlangsung sekian
tahunlimatahun! bisa pulih dalam waktu tiga hari dan disembuhkan oleh sebuah desa bernama
Edensor di tempat antah berantah di Inggrissanadan hanya diceritakan melalui sebuah buku, ajaib.
Sedangkan orang dewasa bisa-bisa memerlu-kan waktu tiga tahun untuk mengobati frustrasi
karena hancurnya cinta platonik tiga minggu. Apakah semakin dewasa manusia cenderung menjadi
semakin tidak positif? Aku belajar berjiwa besar, berusaha memahami esensi konsep virtual dan
fisik dalam hubungan emosional. Bukankah jika mencintai seseorang kita harus membiarkan ia
bebas? Apabila hal semacam ini dialami oleh seorang dewasa mungkin ia tak mau lagi melihat
kapur tulis seumur hidupnya.
Kini aku akan mengenang A Ling sebagai bagi-an terindah dalam hidupku. Aku tetap rajin, dengan
naluri cinta yang sama, dengan semangat yang sama, berangkat dengan Syahdan setiap Senin pagi
untuk membeli kapur, meskipun sekarang aku disambut oleh sebilah tangan beruang dan kuku-k
uku burung nazar pemakan bangkai. Setiap membeli kapur aku tetap mengikuti prosedur yang sama
dan menikmati kronologi perasaanku di tengah kepe-ngapan Toko Sinar Harapan. Aku
menyimulasikan urutan-urutan sensasi keindahan cinta pertama seolah A Ling masih menungguku
di balik tirai-tirai rapat yang terbuat dari keong-keong kecil itu.
Sering kali sekarang aku bertanya pada diri sendiri: berapakah jumlah pasangan yang telah
mengalami cinta pertama, lalu hanya memiliki satu cinta itu dalam hidupnya, menikah, dan
kemudian hanya terpisahkan karena Tuhan memanggil salah satu dari mereka? Sedikit sekali! Atau
malah mungkin tidak ada! Sepertinya kedua jawaban tersebut bisa menjadi hipotesis yang
meyakinkan untuk pertanyaan dangkal semacam itu. Karena itulah yang umumnya terjadi dalam
dunia nyata.
Maka aku memiliki pandangan sendiri mengenai perkara cinta pertama ini, yaitu cinta pertama
memang tak 'kanpernah mati, tapi ia juga tak 'kanpernah survive. Selain itu aku telah menarik
pelajaran moral nomor enam dari pengalaman cinta pertamaku yaitu: jika Anda memiliki
kesempatan mendapatkan cinta pertama di sebuah toko kelontong, meskipun toko itu bobrok dan
bau tengik, maka rebutlah cepat-cepat kesempatan itu, karena cinta pertama semacam itu bisa
menjadi demikian indah tak terperikan!
Aku melihat ke belakang, membuat evaluasi kemajuan hidupku, dan bersyukur telah mengenal A
Ling. Jika berpikir positif, ternyata mengenal seseorang
secara emosional memberikan akses pada
sebuah bank data kepribadian tempat kita dapat belajar banyak hal baru. Hal-hal baru itu bagiku
pada intinya satu: wanita adalah makhluk yang tak mudah diduga. Maka banyak orang berpikir
keras mengurai sifat-sifat rahasia wanita, Paul I. Wellman misalnya dengan tesis Dewi
Aphroditenya. Ia menggambarkan wanita sebagai makhluk yang di dalam dirinya berkecamuk
pertentangan-perten-tangan, mengandung pergolakan abadi, sopan tapi berlagak, sentimental
sekaligus bengis, beradab namun ganas.
Bagiku, aku masih tak mengerti wanita, namun sepertinya ada semacam komposisi kimiawi
tertentu di dalam tubuh mereka yang menyebabkan lelaki
dengan komposisi kimiawi tertentu pula merasa betah di dekatnya. Maka cinta adalah reaksi
kimia sehingga keanehan dapat terjadi, se-orang pangeran tampan kaya raya bisa saja ditolak oleh
se-orang gadis penjaga pintu tol, dan seorang wanita public relation officer di sebuah BUMN yang
sangat luas pergaulannya bisa saja tergila-gila setengah mati dengan seorang laki-laki penyendiri
yang eksentrik. Itulah wanita, maka siapa pun ia, seorang dewi agung dalam mitologi Yunani atau
sekadar seorang penjaga toko kelontong bobrok di Belitong, masing-masing menyimpan rahasia
untuk dirinya sendiri, rahasia yang tak 'kanpernah diketahui siapa pun.
Wanita seperti apakah A Ling? Inilah yang paling
menarik dari kisah cinta monyet ini. Setelah
berpisah dengannya, aku baru mengerti tipe semacam ini. Ia bukanlah pribadi mekanis yang
mengungkapkan perasaan secara eksplisit. Ia memiliki pendirian yang kuat dan amat percaya diri.
Ia model wanita yang memegang pertanggung jawaban pada setiap gabungan huruf-huruf yang
meluncur dari mulutnya. Dan ini menimbulkan respek karena aku tahu banyak orang harus
berulang-ulang meyakinkan dirinya sendiri dan pasangannya dengan kata-kata basi berbusa-busa,
bahwa mereka masih saling mencintai, sungguh mengibakan! A Ling tak ingin menghabiskan
waktu berurusan dengan pola respons aksi reaksi cinta picisan yang klise, retoris, dan
membosankan.
Aku belajar berjiwa besar atas seluruh kejadi-an dengan A Ling. Sekarang aku memiliki cinta yang
baru dalam tas bututku: Edensor. Sudah selama 115 jam, 37 menit, 12 detik aku kehilangan A Ling
dan saat ini kuputuskan untuk berhenti mengiba-iba mengenang cinta pertama itu.
Akhirnya, aku mampu melangkah menyeberangi garis ujian tabiat mengasihani diri dan sekarang
aku berada di wilayah positif dalam menilai pengala-manku. Aku mulai bangkit untuk menata diri.
Aku mempelajari metode-metode ilmiah modern agar dapat bangkit dari keterpurukan. Aku rajin
membaca berbagai buku kiat-kiat sukses, pergaulan yang efektif, cara cepat menjadi kaya, langkahlangkah
menjadi pribadi magnetik, dan bunga rampai manajemen pengembangan pribadi.
Aku berhenti membuat rencana-rencana yang tidak realistis. Filosofi just do it, itulah prinsipku
sekarang, lagi pula bukankah John Lennon mengatakan life is what happens to us while we are busy
making plans1. Sesuai saran buku-buku psikologi praktis yang mutakhir itu aku mulai
menginventarisasi bidang minat, bakat, dan kemampuanku. Dan aku tak pernah ragu akan
jawabannya yaitu: aku paling piawai bermain bulu tangkis dan aku punya minat sangat besar dalam
bidang tulis-menulis.
Kesimpulan itu kuperoleh karena aku selalu menjadi juara pertama pertandingan bulu tangkis
kelurahan U 19 dan pialanya berderet-deret di rumahku. Piala itu demikian banyak sampai ada yang
dipakai ibuku untuk pemberat tumpukan cucian, ganjal pintu, dan penahan dinding kandang
ayam.Adajuga piala yang dipakai menjadi sema-cam palu untuk memecahkan buah kemiri, dan
sebuah piala berbentuk panjang bergerigi dari pertandingan terakhir sering dimanfaatkan ayahku
untuk menggaruk punggungnya yang gatal.
Lawan-lawanku selalu kukalahkan dengan skor di bawah setengah. Kasihan mereka, meskipun
telah berlatih mati-matian berbulan-bulan dan setiap pagi makan telur setengah masak dicampur
jadam dan madu pahit, tapi mereka selalu tak berkutik di depanku. Kadang-kadang aku beraksi
dengan mela-kukan drop shot sambil salto dua kali atau menangkis sebuah smash sambil koprol.
Jika aku sedang ingin, aku juga biasa melakukan semacam pukulan straight dari celah-celah kedua
selang-kangku dengan posisi membelakangi lawan, tak jarang aku melakukan itu dengan tangan
kiri!
Lawan yang tak kuat mentalnya melihat ulah-ku akan emosi dan jika ia terpancing marah maka
pada detik itulah ia telah kalah.Parapenonton bergemuruh melihat hiburan di lapangan bulu tangkis.
Jika aku bertanding maka pasar menjadi sepi, warung-warung kopi tutup, sekolah-sekolah
memulangkan murid-muridnya lebih awal, dan kuli-kuli PN membolos. "Si kancil keriting",
demikianlah mereka menjulukiku. Lapangan bulu tangkis di samping kantor desa membludak.
Mereka yang tak kebagian tempat berdiri di pinggir lapangan sampai naik ke pohon-pohon kelapa
di sekitarnya.
Kukira semua fakta itu lebih dari cukup bagiku untuk menyebut bulu tangkis sebagai potensi
seperti dinyatakan dalam buku-buku pengembangan diri itu. Dan minat besar lainnya adalah
menulis. Tapi memang tak banyak bukti yang mengonfirmasi potensiku di bidang ini, kecuali
komentar A Kiong bahwasuratdan puisiku untuk A Ling sering membuatnya tertawa geli. Tak tahu
apa artinya, bagus atau sebaliknya.
Maka aku mulai mengonsentrasikan diri untuk mengasah kemampuan kedua bidang ini. Seperti
juga disarankan oleh buku-buku ilmiah itu maka aku membuat program yang jelas, terfokus, dan
memantau dengan teliti kemajuanku. Buku itu juga menyarankan agar setiap individu membuat
semacam rencana A dan rencana B.
Rencana A adalah mengerahkan segenap sum-ber daya untuk mengembangkan minat dan
kemampuan pada kemampuan utama atau dalam bahasa bukunya core competency, dalam kasusku
berarti bulu tangkis dan menulis. Setelah tahap pengembangan itu selesai lalu bergerak pelan tapi
pasti menuju tahap profesionalisme dan tahap aktualisasi diri, yaitu muncul menggebrak secara
memesona di hadapan publik sebagai yang terbaik. Kemudian akhir dari semua usaha sistematis
ilmiah dan terencana itu adalah mendapat pengakuan kejayaan prestasi, menjadi orang tenar atau
sele-briti, hidup tenang, sehat walafiat, bahagia, dan kaya raya. Sebuah rencana yang sangat indah.
Setiap kali membaca rencana Aku aku mengalami kesulitan untuk tidur.
Demikianlah, rencana A sesungguhnya adalah apa yang orang sebut sebagai kata-kata ajaib
mandraguna: cita-cita. Dan aku senang sekali memiliki cita-cita atau arah masa depan yang sangat
jelas, yaitu: menjadi pemain bulu tangkis yang berprestasi dan menjadi penulis berbobot. Jika
mungkin sekaligus kedua-duanya, jika tidak mungkin salah satunya saja, dan jika tidak tercapai
kedua-duanya, jadi apa saja asal jangan jadi pegawai pos.
Cita-cita ini adalah kutub magnet yang menggerakkan jarum kompas di dalam kepalaku dan
membimbing hidupku secara meyakinkan. Setelah selesai merumuskan masa depanku itu sejenak
aku merasa menjadi manusia yang agak berguna.
Jika aku menengok sahabat sekelasku mereka juga ternyata memiliki cita-cita yang
istimewa.Saharamisalnya, ia ingin mejadi pejuang hak-hak asasi wanita. Dia mendapat inspirasi
cita-citanya itu dari penindasan luar biasa terhadap wanita yang dilihatnya di film-filmIndia. A
Kiong ingin menjadi kapten kapal, mungkin karena ia senang berpergian atau mungkin topi kapten
kapal yang besar dapat menutupi sebagian kepala kalengnya itu. Kucai menyadari bahwa dirinya
memiliki sedikit banyak kualitas sebagai seorang politisi yaitu bermulut besar, berotak tumpul,
pendebat yang kompulsif, populis, sedikit licik, dan tak tahu malu, maka cita-citanya sangat
jelas: ia ingin jadi seorang wakil rakyat, anggota dewan.
Tak ada angin tak ada hujan, tanpa ragu dan malu-malu, Syahdan ingin menjadi aktor. Ia sedikit
pun tidak menunjukkan kapasitas atau bakat akting, bahkan dalam pertunjukan teater kelas kami
Syahdan tidak bisa memba-wakan peran apa pun yang mengandung dialog karena ia selalu
membuat kesalahan. Karena itu Mahar memberinya peran sederhana sebagai tukang kipas putri raja
yang selama pertunjukan tidak mengucapkan sepatah kata pun. Tugasnya hanya mengipas-ngipasi
sang putri dengan benda semacam ekor burung merak, itu pun masih sering tak becus ia lakukan.
Semua orang menyarankan agar Syahdan meninjau kembali cita-citanya tapi ia bergeming. Ia tak
peduli dengan segala cemoohan, ia ingin menjadi aktor, tak bisa diganggu gugat.
"Cita-cita adalah doa, Dan," begitulah nasihat bijak dariSahara. "Kalau Tuhan mengabulkan
doamu, dapatkah kaubayangkan apa jadinya dunia perfilmanIndonesia?"
Sedangkan Mahar sendiri mengaku bahwa ia mampu menerawang masa depannya. Dan dalam
terawangannya itu ia dengan yakin mengatakan bahwa setelah dewasa ia akan menjadi seorang
sutradara sekaligus seorang penasihat spiritual dan hypno therapis 1 1 e rn a m a.
Cita-cita yang paling sederhana adalah milik Samson. Ia memang sangat pesimis dan hanya ingin
menjadi tukang sobek karcis sekaligus sekuriti di Bioskop Kicong karena ia bisa dengan gratis
menonton film. Ia memang hobi menonton film. Selain itu profesi tersebut dapat memelihara citra
machonya. Adapun Trapani yang baik dan tampan ingin menjadi guru. Ketika kami tanyakan
kepada Harun apa cita-citanya ia menjawab kalau besar nanti ia ingin menjadiTrapani.
Semua ini gara-gara Lintang. Kalau tak ada Lintang mungkin kami tak 'kanberani bercita-cita.
Vang ada di kepala kami, dan di kepala setiap anak kampung di Belitong adalah jika selesai sekolah
lanjutan pertama atau menengah atas kami akan mendaftar menjadi tenaga langkong (calon karyawan
rendahan di PN Timah) dan akan bekerja bertahun-tahun sebagai buruh tambang lalu pensiun
sebagai kuli. Namun, Lintang memperlihatkan sebuah kemampuan luar biasa yang menyihir
kepercayaan diri kami. Ia membuka wawasan kami untuk melihat kemungkinan menjadi orang lain
meskipun kami dipenuhi keterbatasan. Lintang sendiri bercita-cita menjadi seorang matematikawan.
Jika ini tercapai ia akan menjadi orang Melayu pertama yang menjadi matematikawan,
indah sekali.
Pribadi yang positif, menurut buku, tidak boleh hanya memiliki satu rencana, tapi harus memiliki
rencana alternatif yang disebut dengan istilah yang sangat susah diucapkan, yaitu contingency
plan1. Rencana alternatif itu disebut juga rencana B. Rencana B tentu saja dibuat jika rencana A
gagal. Prosedurnya sederhana yakni: lupakan, tinggalkan, dan buang jauh-jauh rencana A dan
mulailah mencari minat dan kemampuan baru, setelah ditemukan maka ikuti lagi prosedur seperti
rencana A. Inilah buku resep kehidupan yang bukan main hebatnya hasil karya para pakar psikologi
praktis yang bersekongkol dengan para praktisi sumber daya manusia dan penerbit buku tentu saja.
Seorang pribadi yang efektif dan efisien harus sudah memiliki rencana A dan rencana B sebelum ia
keluar dari pekarangan rumahnya. Tapi aku tak tahan membayangkan rencana B dalam hidupku
karena selain bulu tangkis dan menulis aku tak punya kemampuan lain. Sebenarnya ada tapi
sungguh tak bisa dipertanggungjawabkan, yaitu kemampuan mengkhayal dan bermimpi, aku agak
malu mengakui ini. Aku tak punya kecerdasan seperti Lintang dan tak punya bakat seni seperti
Mahar. Aku berpikir keras untuk memformulasikan rencana B. Namun sangat berun-tung, setelah
berminggu-minggu melakukan perenungan akhir-nya tanpa disengaja aku mendapat inspirasi untuk
me-rumuskan sebuah rencana B yang hebat luar biasa.
Rencana B ku ini sangat istimewa karena aku tidak perlu meninggalkan rencana A. Para pakar
sendiri mungkin belum pernah berpikir sejauh ini. Rencana B-ku sifatnya menggabungkan minat
dan kemampuan yang ada pada rencana A. Intinya jika aku gagal meniti karier di bidang bulu
tangkis dan tak berhasil sebagai penulis sehingga semua penerbit hanya sudi menerima tulisanku
untuk dijual menjadi kertas kiloan, maka aku akan menempuh rencana B yaitu: aku akan menulis
tentang bulu tangkis!
Aku menghabiskan sekian banyak waktu untuk membuat rencana B ini agar sebaik rencana A,
yaitu sampai tahap-tahap yang paling teknis dan operasional. Oleh karena itu, aku telah punya
ancang-ancang judul bukuku, seluruhnya ada tiga yaituTATA CARA BERMAIIM BULU
TANGKIS, FAEDAH BULU TANGKIS, atauBULU TANGKIS UNTUK PERGAULAN.
Rencana B ini kuanggap sangat rasional karena aku telah melihat bagaimana pengaruh bulu tangkis
pada orang-orang Melayu pedalaman. Jika musim Thomas Cup atau All England maka di kampung
kami bulu tangkis bukan hanya sekadar olahraga tapi ia menjadi semacam budaya, semacam jalan
hidup, seperti sepak bola bagi rakyat Brasil. Pada musim itu ilalang tanah-tanah kosong dibabat,
pohon-pohon pinang ditumbangkan untuk dibelah dan dijadikan garis lapangan bulu tangkis, dan
gengsi kampung dipertaruhkan habis-habisan dalam pertandingan antardusun. Jika malam tiba
kampung menjelma menjadi semarak karena lampu petromaks menerangi arena-arena bulu tangkis
dan teriakan para penonton yang gegap gempita. Di sisi lain aku percaya bahwa ratusan kaum pria
yang tergila-gila pada bulu tangkis lalu pulang ke rumah kelelahan akan mengalihkan mereka dari
rutinas malam sehingga dapat menekan angka kelahiran anak-anak Melayu. Sungguh besar manfaat
bulu tangkis bagi kampung kami yang minim hiburan. Fenomena ini meyakinkanku bahwa
tulisanku tentang bulu tangkis akan mencapai suatu kedalaman dan kategori yang disebut para
sastrawan pintar zaman sekarang sebagai buku dalam genre humaniora!
Buku itu akan ditulis setelah melalui riset yang serius dan melibatkan studi literatur serta
wawancara yang luas. Jika beruntung aku akan mengusahakan agar mendapat semacam kata
pengantar sekapur sirih dari Ferry Sonneville dan dengan sedikit kerja sama dengan penerbit aku
sudah mengkhayalkan akan mendapat banyak komentar berisi pujian dari para pakar di sampul
belakang buku itu.
Misalnya Liem Swie King, ia akan berkomentar, "Ini adalah sebuah buku yang sangat bermanfaat
untuk meningkatkan kepercayaan diri, membangun network, dan menambah kawan."
Komentar Lius Pongoh agak lebih singkat: "Sebuah buku yang memberi pencerahan."
Seorang birokrat dari komite olah raga me-nyumbangkan pujian yang filosofis: "Belum pernah ada
buku olahraga ditulis seperti ini, penulisnya sangat memahami makna men sana incorpore sano."
Demikian pula pujian seorang seksolog yang gemar bermain bulu tangkis: "Buku wajib bagi Anda
yang memiliki kelebihan berat badan dan kesulitan membina hubungan."
Rudy Hartono memuji habis-habisan: "Sebuah buku yang menggetarkan!"
Sedangkan komentar dari Ivana Lie adalah:
BAB XXVI
Be There or Be Damned !
"APAKAH Ananda sudah memiliki rencana A dan rencana B?"
Itulah pertanyaan pertama Bu Mus kepada Mahar sekaligus awal pidato panjang untuk menasihati
tindakannya yang sudah keterlaluan. la sudah berbelok ke jalan gelap dunia hitam, ia harus segera
disadarkan. Pelajaran praktik olahraga yang sangat kami sukai dibatalkan. Semuanya harus masuk
kelas dalam rangka menghakimi Mahar dan mengembali- kannya ke jalan yang lurus. Layar pun
turun, rol-rol film drama diputar.
Mahar menunduk. Ia pemuda yang tampan, pintar, berseni, tapi keras pendiriannya.
"Ibunda, masa depan milik Tuhan .,„¦" Aku melihat cobaan yang dihadapi seorang guru. Wajah Bu
Mus redup. Seorang sahabat pernah mengatakan bahwa guru yang pertama kali membuka mata kita
akan huruf dan angka-angka sehingga kita pandai membaca dan menghitung tak 'kanputus-putus
pahalanya hingga akhir hayatnya. Aku setuju dengan pendapat itu. Dan tak hanya itu yang
dilakukan seorang guru. Ia juga membuka hati kita yang gelap gulita.
"Artinya Ananda tidak punya sebuah rencana yang positif, tak pernah lagi mau membaca buku dan
mengerjakan PR karena menghabiskan waktu untuk kegiatan perdukunan yang membelakangi ayatayat
Allah."
Bu Mus mulai terdengar seperti warta berita RRI pukul 7. Lintasan berita: "Nilai-nilai ulanganmu
merosot tajam. Kita akan segera menghadapi ulangan caturwulan ke tiga, setelah itu caturwulan
terakhir menghadapi Ebtanas. Nilaimu bahkan tak memenuhi syarat untuk melalui caturwulan tiga
ini. Jika nanti ujian antaramu masih seperti ini, Ibunda tidak akan mengizinkanmu ikut kelas
caturwulan terakhir. Itu artinya kamu tidak boleh ikut Ebtanas."
Ini mulai serius, Mahar tertunduk makin dalam. Kami diam mendengarkan dan khotbah berlanjut.
Berita utama: "Hiduplah hanya dari ajaran AlQur'an, hadist, dan sunatullah, itulah pokok-pokok
tuntunan Muhammadiyah. Insya Allah nanti setelah besar engkau akan dilimpahi rezeki yang halal
dan pendamping hidup yang sakinah."
Disambung berita penting: "Klenik, ilmu gaib, takhayul, paranormal, semuanya sangat dekat
dengan pemberhalaan. Syirik adalah larangan tertinggi dalam Islam. Ke mana semua kebajikan dari
pelajaran aqidah setiap Selasa? Ke mana semua hikmah dari pengalaman jahiliah masa lam-pau
dalam pelajaran tarikh Islam? Ke mana etika kemuhammadiyahan?"
Suasana kelas menjadi tegang. Kami harap
Mahar segera minta maaf dan menyatakan pertobatan tapi sungguh sial, ia malah menjawa
b dengan nada bantahan.
"Aku mencari hikmah dari dunia gelap Ibunda dan penasaran karena keingintahuan. Tuhan akan
memberiku pendamping dengan cara yang misterius ii
Kurang ajar betul, Bu Mus bersusah payah menahan emosinya. Aku tahu beliau sebenarnya ingin
langsung me-labrak Mahar. Air mukanya yang sabar menjadi merah. Beliau segera keluar ruangan
menenangkan dirinya.
Kami serentak menatap Mahar dengan tajam. Alis Sahara bertemu, tatapan matanya kejam sekali.
"Minta maafsana! Tak tahu diuntung!" hardikSahara.
Kucai selaku ketua kelas ambil bagian, suara-nya menggelegar, "Melawan guru sama hukumnya
dengan melawan orangtua, durhaka! Siksa dunia yang segera kauterima adalah burut! Pangkal
pahamu akan membesar seperti timun suri hingga langkahmu ngangkang!" Keras sekali Kucai
menghardik Mahar tapi yang dipelototinya Harun.
Wajah Mahar aneh. Ia seperti sangat menye-sal dan merasa bersalah tapi di sisi lain tampak yakin
bahwa ia sedang mempertahankan sebuah argumen yang benar, menurut versinya sendiri tentu saja.
Persis ketika kami ingin memprotes Mahar secara besar-besaran tiba-tiba Bu Mus masuk lagi ke
dalam ruangan dan menyemprotkan pokok berita, "Camkan ini anak muda, tidak ada
hikmah apa pun dari kemusyrikan, yang akan kau dapat dari praktikpraktik
klenik itu adalah kesesatan yang semakin lama semakin dalam karena
sifat syirik yang berlapis-lapis. Iblis mengipasngipasimu setiap kali kau kipasi bara api
kemenyan-kemenyan itu."
Mahar mengerut. la tampak sangat bersalah telah membuat ibunda gurunya muntab. Bu Mus
ternyata bisa juga emosi dan tak berhenti sampai di
situ, "Sekarang kau harus mengambil sikap karena ini
Belum selesai ultimatum itu tiba-tiba terde-ngar assalamu'alaikum . Bu Mus menjawab dan
mempersilakan masuk kepala sekolah kami, seorang bapak berwajah penting, dan seorang anak
perempuan tapi seperti laki-laki. Anak perempuan ini berpostur tinggi, dadanya rata, pantatnya juga
rata. la seperti sekeping papan Sepatunya bot Wrangler navigator yang mahal dan itu adalah sepatu
laki-laki. Kaus kakinya lucu, berwarna-warni meriah berlapis-lapis seperti sarang lebah dan
menutupi tempurung lutut. la jelas bukan orang Muhammadiyah karena semua wanita Muhammadiyah
berjilbab. la memakai rok besar dari bahan wol bermotif kotak-kotak besar merah seperti kilt
orang-orang Skotlandia. Kilt itu menutupi ujung atas kaus kakinya tadi sehingga tak ada sedikit pun
celah kulit kakinya yang terbuka. Rambutnya pendek, kulitnya putih bersih sangat halus, dan
wajahnya cantik. Secara umum ia tampak seperti seorang pemuda Skotlandia yang imut.
Bapak berwajah orang penting tadi berusaha tersenyum ramah.
"Ini anak saya, Flo," katanya pelan-pelan.
"Dia sudah tidak ingin lagi sekolah di sekolah PN dan sudah membolos dua minggu. Dia bersikeras
hanya ingin sekolah di sini."
Orang penting ini menggaruk-garuk kepalanya. Setiap kata-katanya adalah batu berat puluhan kilo
yang ia seret satu per satu. Nada bicaranya jelas sekali seperti orang yang sudah kehabisan akal
mengatasi anaknya itu. Kami semua termasuk kepala sekolah tersipu menahan tawa. Bu Mus yang
baru saja marah juga tersenyum. Sebuah senyum terpaksa karena kami semua sudah tahu reputasi
Flo. Beliau sudah pusing tujuh keliling menghadapi Mahar dan sekarang harus ditambah lagi satu
anak setengah laki-laki setengah perempuan yang sudah pasti tak bisa diatur! Hari ini adalah hari
yang sial dalam hidup Bu Mus.
Flo sendiri acuh tak acuh, ia tak tersenyum dan hanya menatap bapaknya. Anak cantik ini
berkarakter tegas, pasti, tahu persis apa yang ia inginkan, dan tak pernah ragu-ragu, sebuah
gambaran sikap yang mengesankan. Bapak-nya juga menatap anaknya, suatu tatapan penuh
kekalahan yang pedih. Lalu bapaknya melihat sekeliling ruangan kelas kami yang seperti ruang
interogasi tentara Jepang, tatapannya semakin pedih. Dengan pasrah ia menyampaikan ini.
"Maka saya serahkan anak saya pada Ibu, jika ia menyulitkan, Bapak Kepala Sekolah sudah tahu di
mana harus menemui saya. Menyesal harus saya sampaikan bahwa ia pasti akan menyulitkan."
Kami tertawa dan bapaknya tersenyum pahit. Flo masih cuek seolah semua kata-kata itu tak ada
maknanya, laksana angin lewat saja. Kepala Sekolah dan orang penting itu mohon diri. Kepala
Sekolah kami tersenyum simpul sambil memandang Bu Mus penuh arti.
Bu Mus memandangi Flo dari samping Mahar yang baru saja dimarahinya habis-habisan dan Flo
yang berandal berdiri tegak di depan kelas seperti orang mengambil pose untuk peragaan kaus kaki
Italia model terbaru. Meskipun seperti laki-laki tapi ia sesungguhnya gadis remaja yang menawan,
dan kulitnya indah luar biasa. Di kelas ini ia laksana Winona Ryder yang diutus UNICEF untuk
membesarkan hati para penderita lepra di sebuah kampung kumuh diSudan.
Flo menyilangkan kakinya, bahunya yang ku-rus bidang mekar seperti memiliki bantalan di
pundak-pundaknya. Ia sangat memesona. Semua mata menghunjam ke arahnya. Sebuah pemandangan
yang tak biasa. Jika diamati dengan saksama, di balik kedua bola matanya yang gelap coklat
seperti buah hamlam tersembunyi kebaikan yang sangat besar.
Semuanya diam, Flo juga diam. Kami berharap Flo akan memecah kekakuan dengan memperkenalkan
dirinya. Tapi ia tak melakukan itu dan Bu Mus juga tak memintanya mengenalkan diri
karena dua alasan: Flo jelas tak senang dengan formalitas,
kedua: siapa yang tak kenal Flo? Namanya melambung gara-gara hilang di Gunung Selumar tempo
hari dan reputasinya semakin top karena baru-baru ini menjuarai pertarungan kick boxing. Ia
mengKO hampir seluruh lawannya padahal ia satu-satunya petarung wanita. Maka Bu Mus
mengambil inisiatif sambil tersenyum bersahabat.
"Baiklah, selamat datang di kelas kami, setelah ini pelajaran kemuhammadiyahan, silakan Ananda
duduk disanadenganSahara"
Saharasenang bukan main karena selama sembilan tahun hanya ia satu-satunya wanita di kelas
kami. Selama ini ia duduk sendirian dan sekarang ia akan punya teman sesama jenis. Ia mengusapusap
kursi kosong di sampingnya dan menampilkan bahasa tubuh selamat datang. Tapi di luar
dugaan ternyata Flo tak beranjak Wajahnya tak menunjukkan minat sama sekali. Dia membatu dan
meman-dang jauh ke luar jendela. Kami bingung, lalu Flo kembali meman-dang kami dan kami
terkejut ketika dengan pasti ia menun-juk Tarapani sambil bersabda:
"Aku hanya ingin duduk di samping Mahar!" Luar biasa! Kalimat pertama yang meluncur dari
mulut kecil makmurnya itu setelah baru saja beberapa menit menginjakkan kaki di sekolah
Muhammadiyah adalah sebuah pembangkangan! Pembangkangan bukanlah hal yang biasa di
perguruan kami. Kami tak pernah sekali pun dengan sengaja menyatakan pembangkangan, kami
bahkan memanggil guru kami ibunda guru.
Kami terperanjat, demikian pula Bu Mus. Air muka sabarnya menjadi keruh. Baru saja beliau
memikir-kan kemungkinan kerusakan etika Muhammadiyah yang akan dibuat Mahar dan murid
baru separuh pria ini, tiba-tiba sekarang dua ekor angin tornado ini ingin bersekutu. Berat sekali
cobaan hidup Bu Mus. Wajah Bu Mus sembap. Flo menunjukkan wajah tak mau berkompromi dan
Bu Mus sudah tahu bahwa percuma melawan dia. Lagi pula bagi Flo dirinya bukanlah wanita, maka
ia tak mau duduk denganSahara. Di sisi lain ia menganggapTrapaniharus mengalah karena ia adalah
seorang wanita. Transeksual memang sering membingungkan.
Trapanikebingungan karena dia sudah sembilan tahun terbiasa duduk sebangku dengan Mahar dan
Bu Mus harus mengambil keputusan yang sulit. Beliau memberi isyarat padaTrapaniagar lungsur.
Flo menghambur ke kursi bekasTrapanidi samping Mahar. Mahar serta-merta mengeluarkan tiga
ma-cam sikap khasnya yang menyebalkan: menaikkan alis, mengangkat bahu, dan menganggukangguk.
Kami muak melihatnya tapi ia tampak senang bukan main. Seperti dugaannya, Tuhan telah
memberinya pendamping secara misterius. Sebuah doa yang langsung dikabulkan di tempat.
Bajingan kecil itu memang selalu beruntung. Sebaliknya,Trapanikehilangan teman sebangku dan ia
sekarang harus duduk denganSaharayang temperamental.Saharasendiri sangat tidak suka
menerimaTrapani. Ia mengaum, alisnya bertemu.
Flo tampak kaku duduk di kelas kami dan seluruh ruangan itu sama sekali tidak merepre-sentasikan
setiap jenis sandang yang dikena-kannya. Kelas rombeng ini juga tak cocok dengan kulit putih dan
raut mukanya yang penuh sinar kekayaan. Apa yang dicari anak kaya ini di sekolah miskin yang tak
punya apa-apa? Mengapa ia ingin menukar gemerlap sekolah PN dengan sekolah gudang kopra?
Buah khuldi di pekarangan siapa yang telah dimakannya sehingga dia terusir dari
tamanedenGedong?
Tidak, ia tidak dicampakkan oleh sekolah PN tapi ia sengaja ingin pindah ke sekolah
Muhammadiyah
atas kemauan sendiri, tanpa tekanan dari pihak mana pun dan dalam keadaan
sehat walafiat jasmani dan rohani, hanya pikirannya saja yang sedikit kacau.
Pada hari-hari pertama kami terkagum-kagum dengan berbagai perlengkapan sekolahnya yang
menurut ia biasa saja. Ia memiliki enam macam tas yang dipakai berbeda-beda setiap hari. Tas hari
Jumat paling menarik karena ber-umbai-rumbai seperti tas Indian. Ia juga memiliki banyak kotak.
Kotak khusus untuk beragam penggaris: ada penggaris busur, penggaris segitiga, penggaris siku,
dan beragam ukuran penggaris segi empat. Kotak lainnya berisi jangka-jangka kecil, berbagai jenis
pensil, pulpen, dan penghapus seperti kue lapis yang dapat menimbulkan rasa lapar. Lalu ada
serutan yang lucu serta sapu tangan handuk kecil di dalam tas rajutan ibunya.
Di dalam tas rajutan kecil itu ada berjejal-jejal uang kertas yang dimasukkan dengan sembrono
oleh Flo. Jika ia membuka tas itu sering kali uang tadi berjatuhan ke lantai. Jumlah uang itu
semakin hari semakin banyak dan membuat tasnya menjadi gendut. Flo tidak bisa membelanjakan
uang itu di sekolah Muhammadiyah karena tak ada yang bisa dibeli. Uang itu memiliki nama yang
sangat asing bagi kami: uang saku. Sesuatu yang seumur-umur tak pernah kami dapat-kan dari
orangtua kami.
Sebagian besar benda-benda itu belum pernah kami lihat. Ia amat berbeda dengan kami dalam
semua hal. Ia seumpama bangau Hokaido yang anggun tersasar ke kandang itik. Setiap pagi ia
diantar sopirnya dengan sebuah mobil mewah tentu saja setelah ia sarapan dari semacam benda
yang dapat membuat roti meloncat.
Sejak kami menjadi pahlawan kesiangan yang menemukan Flo ketika ia hilang di Gunung Selumar
tempo hari ia memang telah mengenal kami, terutama Mahar dan reputasinya. Flo hengkang dari
sekolah PN karena didorong oleh kepribadiannya yang pembosan, cenderung antikemapanan,
tergila-gila dengan pemberontakan, dan keinginannya menjadi anggota Laskar Pelangi yang unik.
Tapi ada alasan lain yang tak banyak orang tahu, dan ini agak berbahaya, yaitu ia tergila-gila pada
Mahar. Ia mengagumi Mahar bukan sebagai pribadi tapi sebagai seorang profesional muda
perdukunan.
Karena orangnya memang ekstrovert dan ber-pikiran terbuka maka kami segera akrab dengan Flo.
Pada sebuah sore yang dingin setelah hujan lebat Flo kami inisiasi di dahan tertinggi filicium dan
sejak sore itu ia resmi kami bai'at sebagai anggota Laskar Pelangi. Saat pelangi melingkar dan
guruh bersahut-sahutan membahana di atas langitBelitong Timur,iamengucapkan janji setia
persaudaraan.
Ternyata Flo adalah pribadi yang sangat menyenangkan. Ia memiliki kemampuan beradaptasi yang
luar biasa. Ia cantik dan sangat rendah hati, sehingga kami betah di dekatnya. Ia tak pernah segan
menolong dan selalu rela berkorban. Terbukti bahwa di balik sifatnya keras kepala tersimpan
kebaikan hati yang besar.
Aneh, di sekolah Muhammadiyah yang tak punya fasilitas apa pun Flo sangat
bersemangat.Adasesuatu yang menggerakkannya. Ia tak pernah sehari pun bolos dan bersikap
sangat santun kepada para pengajar. Konon bapaknya sampai mengucapkan terima kasih kepada
kepala sekolah kami dan Bu Mus. Ia datang lebih pagi dari siapa pun, menyapu seluruh sekolah,
menimba berember-ember air dan menyiram bunga tanpa diminta. Sekolah ini adalah jembatan jiwa
baginya.
Flo sangat dekat dengan Mahar. Mereka saling tergantung dan saling melindungi. Hubungan
mereka sangat unik. Dengan bersama Mahar dan berada di sekolah Muhammadiyah Flo seperti
berada di dunia yang memang diidamkannya selama ini. Ia seperti orang yang telah menemukan
identitas setelah bersusah payah mencarinya melalui pemberontak-an-pemberontakan sinting.
Demikian pula Mahar, ia merasa menemukan satu-satunya orang yang memahaminya, tak pernah
melecehkannya, dan menghargai setiap kelakuan anehnya. Maka mereka seperti Star sky and Hutch
atau Harley Davidson and The Marlboro Man, gandeng renteng kesanakemari persisTrapanidan
ibunya.
Mahar benar-benar telah mendapatkan pen-damping. Mereka sering tampak berduaan, berbicara,
bertukar pikiran sampai berjam-jam. Orang yang melihatnya akan menyangka mereka berpacaran.
Seorang pemuda tampan dan seorang anak gadis cantik yang tomboi, siang malam tak terpisahkan.
Saling tergila-gila, serasi sekali. Tapi kenyataannya mereka sama sekali tidak punya hubungan
emosional semacam itu. Mereka memang tergila-gila tapi kekasih hati mereka adalah dunia gelap
mistik dan klenik.
Dunia gelap itulah yang memicu adrenalin Flo dan itu jugalah salah satu tujuannya mendekati
Mahar. Berbeda dengan A Kiong yang juga mengabdi kepada Mahar tapi memosisikan diri sebagai
murid, Flo sebaliknya memosisikan diri sebagai rekan. Persekutuan mereka membawa kemajuan
yang pesat dalam elaborasi dunia metafisik karena ditunjang oleh sumber daya yang dimiliki Flo.
Mereka mempelajari dengan saksama fenomena-fenomena aneh melalui majalah-majalah luar
negeri dan buku-buku ilmiah karangan psychist ternama. Kalau dulu Mahar berurusan dengan
primbon atau prasasti dan istilah-istilah kuntilanak, jenglot, Dalbho anak genderuwo, dan pocong,
sekarang referensinya meningkat menjadi paranormal-phernalia, UFO codes, science fictions news,
dan The Anomaiist, dan bicaranya juga menjadi lebih maju dan keren, kalau dulu kemenyan, tuyul,
kerasukan setan, dan santet, sekarang menjadi istilah-istilah paranormal asing seperti exorcism,
clairevoyance, sightings, dan poltergeist.
Mahar tertarik pada mitologi, hubungan supranatural dengan antropologi, sejarah, cerita rakyat,
arkeologi, kekuatan penyembuhan, ilmu-ilmu purba, ritual, dan kepercayaan berhala. Maka sedikit
banyak ia menganggap dirinya seorang ilmuwan supranatural. Sebaliknya, Flo adalah petualang
sejati. Ia kurang tertarik dengan aspek ilmu dan keyakinan dalam kejadian-kejadian mistik tapi ia
ingin mengalami manifestasi berbagai teori dan fenomena magis dalam praktik. Karena tujuan
utama pendalaman mistik Flo adalah untuk menguji dirinya sendiri, sampai sejauh mana ia bisa
menoleransi rasa takutnya. Ia kecanduan getar-getar mara bahaya dunia lain. Flo sedikit lebih parah
sintingnya dibanding Mahar.
Maka untuk merealisasikan semua tujuan itu dan untuk menikmati hobinya, mereka berdua
menyusun sebuah rencana sistematis. Langkah awal mereka adalah membentuk sebuah organisasi
rahasia para penggemar paranormal. Setelah kasakkusuk
sekian lama, tak dinyana ternyata mereka mampu menemukan anggota-anggota se-paham
yang sangat antusias. Mereka membentuk sebuah perkumpulan yang disebut Societeit de Limpai
dan melakukan pertemuan rutin serta aktivitas perklenikan secara diam-diam.
Semakin lama aktivitas itu semakin tinggi dan tak jarang melibatkan perjalanan yang jauh. Tak
terbayangkan ke mana keingintahuan dapat membawa manusia: ke gunung tertinggi, ke gua yang
gelap, melintasipadang, menuruni ngarai, me-nyeberangi lumpur, sungai, dan laut. Sing-kat-nya,
organisasi bawah tanah ini sangat sibuk dan menuntut pengadministrasian jadwal, dana, dan
properti sehingga mereka membutuhkan bantuan seorang sekretaris merangkap bendahara!
Ketika aku ditawari posisi itu, aku segera menyambarnya. Meskipun tidak ada honornya sepeser
pun tapi aku merasa terhormat menjadi seorang sekretaris dari sebuah gerombolan orang-orang
yang bersahabat dengan hantu. Aku juga bangga karena jabatan itu menunjukkan bahwa aku punya
cukup integritas untuk memegang uang, artinya paling tidak aku bisa dipercaya walaupun hanya
dipercaya oleh orang-orang yang sudah tidak lurus pikirannya.
Tugasku sederhana dan cukup diatur melalui sebuah buku register. Tugas tersebut adalah mencatat
iuran anggota, menyimpan uangnya, dan mencatat barang-barang pribadi milik anggota yang akan
dijual atau digadaikan guna membeli peralatan dan membiayai ekspedisi. Tugas lainnya adalah
mengatur pertemuan rahasia. Biasanya undangan dibuat oleh bosku, Mahar atau Flo, dan aku harus
mengedarkannya pada seluruh anggota. Seperti sore ini misalnya, Flo menyerahkan undangan
padaku, isinya:
Rapat mendesak, Los V/B pasar ikan, Pk. 7
tepat.
Be thereor be damned!
BAB XXVII
Detik-Detik Kebenaran
DAL AM sebuah bangunan berarsitektur art deco, di ruangan oval yang ingar-bingar, kami
terpojok: aku,Sahara, dan Lintang.
Kembali kami berada dalam sebuah situasi yang mempertaruhkan reputasi. Lom-ba kecerdasan.
Dan kami berkecil hati melihat murid-murid negeri dan sekolah PN membawa buku-buku teks yang
belum pernah kami lihat. Tebal berkilat-kilat dengan sampul berwarna-warni, pasti buku-buku
mahal. Sebagian peserta berteriak-teriak keras menghafal-kan nama-nama kantor berita.
Risikonya tentu jauh lebih besar dari karnaval dulu. Lomba kecerdasan adalah arena terbuka untuk
mempertontonkan kecerdasan, atau jika sedang bernasib sial, mempertontonkan ketololan yang tak
terkira. Dan semua nasib sial itu akan ditanggung langsung oleh aku,Sahara, dan Lintang. Kami
adalah regu F pada lomba memencet tombol ini. Bagaimana kalau kami tak mampu menjawab dan
hanya membawa pulang angka nol?
Persoalan klasiknya adalah kepercayaan diri. Inilah problem utama jika berasal dari lingkungan
marginal dan mencoba bersaing. Kami telah dipersiapkan dengan baik oleh Bu Mus. Beliau
memang menaruh harapan besar pada lomba ini lebih dari beliau berharap waktu kami karnaval
dulu. Bu Mus pontang-panting mengumpulkan contoh-contoh soal dan bekerja sangat keras melatih
kami dari pagi sampai sore. Bu Mus melihat lomba ini sebagai media yang sempurna untuk
menaikkan martabat sekolah Muhammadiyah yang bertahun-tahun selalu diremehkan. Bu Mus
sudah bosan dihina. Sayangnya sekeras apa pun beliau membuat kami pintar dan menguatkan
mental kami, mendorong-dorong, membujuk, dan mengajari kami agar tegar, kami tetap gugup.
Semua yang telah dihafalkan berminggu-minggu lenyap seketika, jalan pikiran menjadi buntu. Aku
berusaha menenangkan diri dengan membayangkan duduk bersemadi di ataspadangrumput hijau di
tempat yang paling tenang dalam imajinasiku: Edensor, tapi upaya ini juga gagal.
"Persetan kepercayaan diri, pokoknya dengar pertanyaannya baik-baik, pencet tombolnya cepatcepat,
dan jawab dengan benar," demikian kataku.Saharamengangguk, Lintang tak peduli.
Kami duduk menghadapi sebuah meja mahoni yang besar, panjang, indah, dan dingin. Seluruh
teman sekelasku dan guru-guru hadir untuk menyemangati kami. Ruangan penuh sesak oleh para
pendukung setiap sekolah. Aku, Lintang, danSaharamengerut di balik meja itu. Kami berpakaian
amat sederhana dan sepatu cunghai Lintang masih menebarkan bau hangus.
Pendukung yang paling dominan tentu saja pendukung sekolah PN. Jumlahnya ratusan dan
menggunakan seragam khusus dengan tulisan mencolok di punggungnya: VINI, VIDI, VICI,
artinya AKU DATANG, AKU LIHAT, AKU MENANG. Benar-benar menjatuhkan mental lawan.
Sekolah PN mengirim tiga regu, masing-masing regu A, B, dan C. Anggota regu itu adalah yang
terbaik dari yang terbaik. Mereka diseleksi secara khusus dengan amat ketat dan standar yang
sangat tinggi. Beberapa peserta itu pernah menjuarai lomba cerdas cermat tingkat provinsi bahkan
ada yang telah dikirim untuk tingkat nasional. Pakaian anggota regu juga sangat berbeda. Mereka
mengenakan jas warna biru gelap yang indah, sepatu yang seragam dengan celana panjang
berwarna serasi, dan mereka berdasi.
Tahun ini mereka dipersiapkan lebih matang, sistematis, dan secara amat ilmiah oleh seorang guru
muda yang terkenal karena kepandaiannya. Guru ini membuat simulasi situasi lomba sesungguhnya
dengan bel, dewan juri, stop watch, dan antisipasi variasi-variasi soal. Guru yang cemerlang ini
baru saja mengajar di PN, dulu ia bekerja di sebuah perusahaan asing di unit riset dan
pengembangan kemudian ditawari mengajar di PN dengan gaji berlipat-lipat dan janji beasiswa S2
dan S3. Ia lulus cum laude dari Fakultas MIPA sebuah universitas negeri ternama. Tahun ini ia
terpilih sebagai guru teladan provinsi. Ia mengajar fisika, Drs. Zulfikar, itulah namanya.
Pendukung kami dipimpin oleh Mahar dan Flo. Meskipun hanya berjumlah sedikit tapi semangat
mereka menggebu. Mereka membawa dua buah bendera besar Muhammadiyah yang telah lapuk
dan berbagai macam tabuh-tabuhannya seperti para suporter sepak bola.Parapelajar PN yang
menganggap Flo pengkhianat melirik kejam pada-nya, tapi seperti Lintang, Flo juga tak peduli.
Walaupun besar sekali kemungkinan tim kami dipermalukan oleh kecerdasan tim PN dalam lomba
ini, tapi Flo tak ragu sedikit pun membela habis-habisan sekolahnya, sekolah kampung
Muhammadiyah.
Di antara pendukung kami adaTrapanidan ibunya, kedua anak beranak ini saling bergandengan
tangan. Aku melihat pelajar-pelajar wanita berbisik-bisik, tertawa cekikikan, dan terus-menerus
melirik-nya karena semakin remajaTrapanisemakin tampan. la ramping, berkulit putih bersih,
tinggi, berambut hitam lebat, di wajahnya mulai tumbuh kumis-kumis tipis, dan matanya seperti
buah kenari muda: teduh, dingin, dan dalam.
Sesungguhnya dalam seleksi tim yang akan mewakili sekolah kamiTrapanitelah terpilih. Skornya
lebih tinggi dibanding skorSaharanamun nilai geografinya lebih rendah. Kekuatan tim kami adalah
matematika, hitungan-hitungan IPA, biologi, dan bahasa Inggris yang semuanya tak diragukan ada
di tangan Lintang. Aku agak baik pada bidangbidang
kewarganegaraan, tarikh Islam, fikih, budipekerti, dan sedikit bahasaIndonesia. Yang
paling lemah dalam tim kami adalah geografi dan ahli geografi kami adalahSahara. Maka demi
kekuatan timTrapanidengan lapang dada memberi kesem-patan padaSaharauntuk
tampil.Trapaniadalah pria muda yang amat tampan dan berjiwa besar.
"Tabahkan hatimu, Ikal ...," itulah nasihatTrapanipelan
padaku.
Sementara di meja mahoni yang megah itu Lintang diam seribu bahasa, kelelahan, selayaknya
orang yang memikul seluruh beban pertaruhan nama baik. Aku tak henti-henti berkipas, bukan
kepanasan, tapi hatiku mendidih karena gentar. Tak pernah sekali pun sekolah kampung menang
dalam lomba ini, bahkan untuk diundang saja sudah merupakan kehormatan besar.
Lintang sudah membatu sejak subuh tadi. Di atas truk terbuka yang membawa kami ke
ibukotakabupaten ini,Tanjong Pandan,iamembisu seperti orang sakit gigi parah. Ia memandang
jauh. Tak mampu kuartikan apa yang berkecamuk di dadanya. Ayah, Ibu, dan adik-adiknya juga
ikut. Mereka, termasuk Lintang, baru pertama kali ini pergi ke Tanjong Pandan.
Saharaduduk di tengah. Aku dan Lintang di samping kiri dan kanannya. Ekspresi Lintang datar, ia
tersandar lesu tanpa minat. Agaknya ia demikian minder, berkecil hati, dan malu berada di
lingkungan yang sama sekali asing baginya. Ia hanya menatap Ayah, Ibu, dan adik-adiknya yang
berpakaian amat sederhana, duduk saling merapatkan diri di pojok, tampak bingung dalam suasana
yang hiruk pikuk. Aku mencoba berkonsentrasi tapi gagal. Lintang danSaharasudah tak bisa
diharapkan.
Kulihat tangan para peserta lain mulai meraba tombol di depan mereka, siap
menyalak.Saharakelihatan pucat, seperti orang bingung. la yang telah ditugasi dan dilatih khusus
memencet tombol sedikit pun tak mampu mendekatkan jarinya ke benda bulat itu. la sudah pasrah
atas kemungkinan kalah mutlak.Saharamengalami demam panggung tingkat gawat. Sementara
otakku tak bisa lagi dipakai untuk berpikir. Keributan yang terjadi ketika peserta lain mencoba-coba
tombol dan mikrofon terdengar bagaikan teror bagi kami. Kami tak sedikit pun mencoba bendabenda
itu. Kami sudah kalah sebelum bertanding.Parapendukung Muhamma-diyah membaca
kegentaran kami. Mereka tampak prihatin.
Suasana semakin tegang ketika ketua dewan juri bangkit dari tempat duduknya, memperkenalkan
diri, dan menyatakan lomba dimulai. Jantungku berdegup kencang,Saharapucat pasi, dan Lintang
tetap diam misterius, ia bahkan memalingkan wajah keluar melalui jendela.
Dan inilah detik-detik kebenaran itu. Pertanya-an ditujukan kepada semua peserta yang harus
berlomba cepat memencet tombol agar dapat menjawab dan jika keliru akan kena denda. Aku tak
berani melihat para penonton. Dan Bu Mus tak berani melihat wajah kami. Wajahnya dipalingkan
ke lampu besar di tengah ruangan yang berjuntai-juntai laksana raja gurita. Baginya ini adalah
peristiwa terpenting selamalimabelas tahun karier mengajarnya. Beliau benar-benar menginginkan
kami menang dalam lomba ini, karena beliau tahu lomba ini sangat penting artinya bagi sekolah
kampung seperti Muhammadiyah. Wajahnya kusut menang-gung beban, mungkin beliau juga telah
bosan bertahun-tahun selalu diremehkan.
Tak lama kemudian seorang wanita anggun yang bergaun jas cantik berwarna merah muda berdiri.
Beliau meminta penonton agar tenang karena beliau akan mengajukan pertanyaan. Suaranya indah,
bertimbre berat, dan tegas seperti penyiar RRI.
Wanita itu mendekatkan wajahnya pada mikrofon
dan menegakkan lembaran kertas di depannya
seperti orang akan membaca Pancasila. Detik-detik kebenaran yang hakiki dan men-cemaskan
tergelar di depan kami. Seluruh peserta memasang telinga baik-baik, siap menyambar tombol, dan
siaga mendengar berondongan pertanyaan.
Suasana mencekam ....
Pertanyaan pertama bergema.
"Ia seorang wanita Prancis, antara mitos dan realita ...."
Kring! Kriiiiiiiingggg! Kriiiiiiiiiiiiinnnggggg!
Wanita anggun itu tersentak kaget karena pertanya-annya secara mendadak dipotong oleh suara
sebuah tombol meraung-raung tak sabar. Aku danSaharajuga terperanjat tak alang kepalang
karena baru saja sepotong lengan kasar dengan kecepatan kilat menyambar tombol di depan kami,
tangan Lintang!
"Regu F!" kata seorang pria anggota dewan juri lainnya. Wajahnya seperti almarhum Benyamin S.
la memakai jas dan dasi kupu-kupu.
"Joan D'Arch,Loire Valley,France!" jawab Lintang
membahana, tanpa berkedip, tanpa keraguan
sedikit pun, dengan logat Prancis yang sengau-sengau aduhai.
"Seratusss!" Benyamin S. tadi membalas disam-but tepuk tangan gemuruh para penonton. Kulihat
bendera Muhammadiyah berkibar-kibar.
"Pertanyaan kedua: Terjemahkan dalam kalimat integral dan hitung luas wilayah yang dibatasai
oleh y = 2x dan x = 5."
Lintang kembali menyambar tombol secepat kilat
dan jawabannya serta-merta memecah ruangan.
"Integral batas 5 dan 0, 2x minus x kali dx, hasilnya: dua belas komalima!"
Luar biasa! tanpa ada kesangsian, tanpa membuat catatan apa pun, kurang dari 5 detik, tanpa
membuat kesalahan sedikit pun, dan nyaris tanpa berkedip.
"Seratussssss!" lengking Benyamin S. Mendengar lengkingan Benyamin S. pendukung kami
melonjak-lonjak seperti orang kesurupan. Suara mereka huh rendah laksana kawanan kum-bang
kawin. Flo melompat-lompat sambil menge-luarkan jurus-jurus kick boxing.
"Pertanyaan ketiga: Hitunglah luas dalam jarak integral 3 dan 0 untuk sebuah fungsi 6 plus Sx
minus x pangkat 2 minus 4 x."
Lintang memejamkan matanya sebentar, ia tak membuat catatan apa pun, semua orang
memandangnya dengan tegang, lalu kurang dari 7 detik kembali ia melolong.
"Tiga belas setengah!"
Tak sebiji pun meleset, tak ada ketergesa-gesaan, tak ada keraguan sedikit pun.
"Seratusssss!" balas Benyamin S. sambil menggeleng-gelengkan kepalanya karena takjub melihat
kecepatan daya pikir Lintang. Pendukung kami bersorak sorai histeris gegap gempita. Mereka
mendesak maju karena perlombaan semakin seru. Ayah, Ibu, dan adik-adik Lintang berusaha
berdiri dan bergabung dengan pendukung kami yang lain. Mereka tersenyum lebar dan kulihat ayah
Lintang, pria cemara angin itu, wajahnya berseri-seri penuh kebanggaan pada anaknya, matanya
yang kuning keruh berkaca-kaca.
Sementara para peserta lain terpana dan berkecil hati. Lintang menjawab kontan, bahkan ketika
mereka belum selesai menulis soal itu dalam kertas catatan yang disedia-kan panitia. Beberapa di
antaranya membanting pensil tanpa ampun.Trapaniyang kalem mengangguk-angguk pelan. Pak
Harfan bertepuk tangan girang sekali seperti anak kecil, wajahnya menoleh kesanakemari. "Lihatlah
murid-muridku, ini baru murid-muridku ...," itu mungkin makna ekspresi wajahnya. Bu Mus
bergerak maju ke depan, wajah kusutnya telah sirna menjadi cerah. Sekarang beliau berani
mengangkat wajahnya, matanya juga berkaca-kaca dan bibirnya bergumam, "Subhanallah,
subhanallah ……."
Ibu jas merah muda berupaya keras mene-nangkan penonton yang riuh dan berdecak-decak kagum,
terutama menenangkan pendukung kami yang tak bisa menguasai diri. Beliau melanjutkan
pertanyaan.
"Selain menggunakan teknik radiocarbon untuk
menentukan usia sebuah temuan arkeologi, para ahli juga .,…"
Kring! Khiiiiiiingggg!
Kembali Lintang mengamuk, dan ia menjawab lantang.
"Thermoiuminescent dating1.Penentuan usia melalui pelepasan energi sinar dalam suhu panas!"
"Seratussss!"
Berikutnya hanyalah kejadian yang persis sa-ma dengan pertanyaan itu. Wanita cantik berjas merah
muda itu tak pernah sempat menyelesaikan pertanyaannya. Lintang menyambar setiap soal tanpa
memberikan kesempatan sekali pun pada peserta lain.
Ratusan penonton terkagum-kagum. Warga Muhammadiyah di ruangan itu berjingkrak-jingkrak
sambil saling memeluk pundak. Vang paling bahagia adalah Harun. Dia memang senang dengan
keramaian. Aku melihatnya bertepuk-tangan tak henti-henti, berteriak-teriak memberi semangat,
tapi wajahnya tak melihat ke arah kami, ia menoleh keluar jendela. Kiranya ia sedang memberi
semangat kepada sekelompok anak perempuan yang sedang bermain kasti di halaman.
Di tengah hiruk pikuk para penonton aku sempat
mendengar jawaban-jawaban tangkas Lintang:
"Vincent Van Gogh, menyasszonytanc , The Hunch back of Notredame, paradoks air, Edgar Alan
Poe, medula spinalis, Dian Fossey, artropoda, 300 ribu kilometer per detik. Basedow, dacty/orhiza
mocu-iata, ancyostoma duodenaie, Stone Henge, Platy-helminthes, endoskeleton, Serebrum,
Langerhans, fiuoxetine hydrochioride, 8,5 menit cahaya, extremely low frequency, molekul chirai
...."
Ia tak terbendung, aku merinding melihat kecerdasan sahabatku ini. Peserta lain terpesona
dibuatnya. Mereka seperti terbius sebuah kharisma kuat kecerdasan murni dari seorang anak
Melayu pedalaman miskin, murid sekolah kampung Muhammadiyah yang berambut keriting merah
tak terawat dan tinggal di rumah kayu doyong beratap daun nun jauh terpencil di pesisir.
Parapeserta sekolah PN merasa geram karena tak kebagian satu pun jawaban. Maka mereka
mencoba berspekulasi. Tujuannya bukan untuk menjawab tapi untuk menjegal Lintang. Mereka
berusaha secara tidak rasional memencet tombol secepat mungkin. Sebuah tindakan tolol yang
berakibat denda karena tak mampu menginter-pretasikan seluruh konteks pertanyaan. Sedangkan
Lintang, seperti dulu pernah kuceritakan, anak ajaib kuli kopra ini, memiliki kemampuan yang
menga-gumkan untuk menebak isi kepala orang.
Dominasi Lintang membuat beberapa penonton terusik egonya dan penasaran ingin menguji
Einstein kecil ini maka insiden pun terjadi. Ketika itu juri menanyakan:
"Terobosan pemahaman ilmiah terhadap konsep warna pada awal abad ke-16 memulai penelitian
yang intens di bidang optik. Ketika itu banyak ilmuwan yang percaya bahwa campuran cahaya dan
kegelapanlah yang menciptakan warna, sebuah pendapat yang rupanya keliru. Kekeliruan itu
dibuktikan dengan memantulkan cahaya pada sekeping lensa cekung .,„¦"
Khiiiiing! Kriiiiing! Kring! Lintang menyalak-nyalak.
"Cincin Newton!"
"Seratussss!"
Sekali lagi suporter kami bergemuruh jumpali-tan, tapi tiba-tiba seseorang di antara penonton
menyela, "Saudara ketua! Saudara ketua! Saudara ketua dewan juri! Saya kira pertanyaan dan
jawaban itu keliru besar!"
Seluruh hadirin sontak diam dan melihat ke a-rah seorang pemuda yang kecewa ini. Oh, Drs.
Zulfikar, guru fisika teladan dari sekolah PN itu. Gawat! Urusan ini bisa runyam. Sekarang pandangan
seluruh hadirin menghunjam ke arah guru muda yang otak cemerlangnya sudah kondang ke
mana- mana. Untuk diajar privat olehnya bahkan harus antre. la harapan yang akan melanjutkan
tradisi lama sekolah PN sebagai pemenang pertama lomba kecerdasan ini dan ia sudah
mempersiapkan timnya demikian sempurna. Ia tak ingin dipermalukan dan ia tak
pernah berurusan dengan sesuatu yang tidak terbaik. Sekarang apa yang akan ia perbuat? Aku
danSaharawaswas tapi Lintang tenang-tenang saja. Drs. itu angkat bicara dengangayaakademisi
tulen:
"Percobaan dengan lensa cekung tidak ada kaitannya dengan bantahan terhadap teori awal yang
meyakini bahwa warna dihasilkan oleh campuran cahaya dan kegelapan. Dan sebaliknya,
pemahaman terhadap penciptaaan warna bukanlah persoalan optik, kecuali dewan juri ingin
membantah Descartes atau Aristoteles. Soal optik dan spektrum warna adalah dua macam hal yang
berbeda. Situasi ini ambigu, di sini kita menghadapi tiga kemungkin-an, pertanyaan yang salah,
jawaban yang keliru, atau kedua-duanya tak berdasar dalam arti tidak kontekstual!"
Aduh...! Komentar ini sudah di luar daya jang-kau akalku, asing, tinggi, dan jauh. Ini sudah
semacam debat mempertahankan tesis S2 di depan tiga orang profesor. Tapi tidakkah sedikit
banyak kata-kata sang Drs. itu berbentuk U, kritis namun berputar-putar? Dan ia pintar sekali
membimbang-kan dewan juri dengan menyintir pendapat Rene Descartes, siapa yang berani
membantah sinuhun ilmu zaman lawas itu? Mudah-mudahan Lintang punya argumentasi. Kalau
tidak kami akan habis di sini. Aku membatin dengan cemas tapi tak tahu akan berbuat apa. Pak
Harfan bertelekan pinggang lalu menunduk dan Bu Mus merapatkan kedua tangannya di
atas dadanya seperti orang berdoa,
wajahnya prihatin ingin membela kami tapi beliau tak berdaya karena serangan Drs. Zulfikar
memang sudah ter-lalu canggih. Bu Mus tampak tak tega melihat kami. Aku memandangSaharadan
ia cepat-cepat memalingkan muka, ia menoleh keluar jendela seolah tak mengenal kami. Wajahnya
menunjukkan ekspresi bahwa saat itu ia sedang tidak duduk di situ.
Parapenonton dan dewan juri terlihat bingung atas bantahan yang supercerdas itu. Jangankan
menjawab bahkan sebagian tak mengerti apa yang dipersoalkan. Tapi seseorang memang harus mePDF
by Kang Zusi
nyelamatkan situasi ini, maka ketua dewan juri bangkit dari tempat duduknya. Lintang masih
tenang-tenang saja, ia tersenyum sedikit, santai sekali.
"Terima kasih atas bantahan yang hebat ini, apa yang harus saya katakan, bidang saya adalah
pendidikan moral Pancasila ...," kata ketua dewan juri.
Si Drs. bersungut-sungut, ia merasa di atas angin. Ekor matanya seolah mengumumkan kalau ia
sudah khatam membaca buku Principia karya Isaac Newton, bahwa ia juga pelanggan jurnal-jurnal
fisika internasional, bahwa ia kutu laboratorium yang kenyang pengalaman eksperimen, bahkan
seolah fisikawan Christiaan Huygens itu uwaknya. Pria ini adalah seorang fresh graduate yang
sombong, ia memperlihatkan karakter manusia sok pintar yang baru tahu dunia. Bicaranya di
awang-awang dengangayaseperti Pak Habibie. Ia mengutip buku asing disanasini tak keruan,
menggunakan istilah-istilah aneh karena ingin mengesankan dirinya luar biasa. Tapi kali ini, aku
jamin dia akan menelan APC, pil pahit segala penyakit andalan orang kampung Belitong yang amat
manjur.
Karena merasa sudah menang dengan kritiknya guru muda itu meningkatkan sifat buruk dari
sombong menjadi tak tahan pada godaan untuk meremehkan.
"Atau barangkali anak-anak SMP Muhammadi-yah ini atau dewan juri bisa menguraikan
pendekatan optik Descartes untuk menjelaskan fenomena warna?"
Keterlaluan! Seluruh hadirin tentu mengerti bahwa kalimat bernada menguji itu sesungguhnya tak
perlu. Pak Zulfikar hanya ingin menghina sekaligus melumpuhkan mental kami dan dewan juri
karena ia yakin bahwa kami tak mengerti apa pun mengenai Descartes. Dengan demikian ia dapat
menganulir pertanyaan awal tadi sekaligus menja-tuhkan martabat majelis ini. Yang menyakitkan
adalah ia dengan jelas menekankan kata SMP Muhammadiyah untuk megingatkan semua orang
bahwa kami hanyalah sebuah sekolah kampung yang tak penting.
Aku memang tak mengerti pendekatan optik tapi aku tahu sedikit sejarah penemuan fenomena
warna. Aku tahu bahwa Descartes bekerja dengan prisma dan lembaran-lembaran kertas untuk
menguji warna, bukan murni dengan manipulasi optik.
Newton-lah sesungguhnya sang guru besar optik. Pak Zulfikar jelas sok tahu dan dengan mulut
besarnya ia mencoba menggertak semua orang melalui kesan seolah ia sangat memahami teori
warna. Aku geram dan ingin membantah Drs. congkak ini tapi pengetahuanku terbatas. Tabiat Pak
Zulfikar adalah persoalan klasik di negeri ini, orang-orang pintar sering bicara meracau dengan
istilah yang tak membumi dan teori-teori tingkat tinggi bukan untuk menemukan sebuah karya
ilmiah tapi untuk membodohi orang-orang miskin. Sementara orang miskin diam terpuruk, tak
menemukan kata-kata untuk membantah.
Aku menatap Lintang, memohon bantuannya jika nanti aku angkat bicara melawan kezaliman Drs.
itu. Aku sangat perlu dukungannya. Tapi bagaimana nanti kalau ternyata aku yang keliru?
Bagaimana kalau aku diserang balik bertubi-tubi? Ah, risikonya terlalu tinggi, bisa-bisa aku
dipermalukan. Ini juga persoalan klasik bagi orang yang memiliki pengetahuan
setengah-setengah
sepertiku. Maka dadaku berkecamuk antara ingin melawan dan ragu-ragu. Tapi aku sangat marah
karena sekolahku dihina dan aku jengkel karena aku tahu bahwa Drs. itu membawa-bawa nama
Descartes secara keliru dan tidak adil guna keuntungannya sendiri.
Melihatku demikian gusar Lintang tersenyum kecil padaku. Sebuah senyum damai. Aku tahu,
seperti biasa, ia dapat membaca pikiranku dengan benderang. Ia membalas tatapanku dengan
lembut seakan mengatakan, "Sabar Dik, biar Abang bereskan persoalan ini ...." Wajahnya
tenang sekali. Aku dan Sahara ciut. Kami mengerut di ketiak kiri kanan pendekar ilmu pengetahuan
yang sakti mandraguna andalan kami ini.
Mendengar tantangan Pak Zulfikar yang tak bersahabat tadi bapak ketua dewan juri yang baik
menarik napas panjang. Beliau menoleh ke arah para koleganya, anggota dewan juri. Semuanya
menggeleng-gelengkan kepala. Lalu beliau mencoba menengahi dengan diplomatis dan sangat
merendah. "Maafkan Bapak Guru Muda, atas nama dewan juri saya terpaksa mengatakan bahwa
pengetahuan kami agaknya belum sampai ke sana."
Kata-katanya demikian bersahaja. Kasihan bapak
tua itu. Ia seorang guru senior yang rendah hati
dan sangat disegani karena dedikasinya selama puluhan tahun di dunia pendidikan Belitong. Beliau
tampak malu dan putus asa. Lalu beliau mengalihkan pandangan ke arah regu F, regu kami, Lintang
tersenyum dan mengangguk kecil padanya. Tanpa diduga ketua dewan juri mengatakan, "Tapi
mungkin anak Muhammadiyah yang cemerlang ini bisa membantu."
Suasana sunyi senyap dalam nuansa yang sangat tidak mengenakkan, dan semakin tidak enak
karena sang Drs. kembali mengudara dengan komentar sengak tanpa perasaan.
"Saya harap argumentasi mereka bisa setepat jawabannya tadi!"
Semakin keterlaluan! Ia sengaja memprovokasi Lintang dan kali ini Lintang terpancing, ia angkat
bicara.
"Jika bantahan Bapak mengenai pertanyaan yang tidak kontekstual dengan jawaban, mungkin saja
bantahan semacam itu bisa diterima. Dewan juri menanyakan sesuatu yang jawabannya sudah
tertera di kertas yang dibacakan ibu pembaca soal. Saya yakin di sana tertulis cincin Newton dan
kami menjawab cincin Newton, berarti kami berhak atas angka seratus. Maka kalaupun itu memang
tidak kontekstual, itu hanya berarti dewan juri menanyakan sesuatu yang benar dengan cara yang
keliru ...."
Pak Zulfikar tak terima.
"Dengan kata lain pertanyaan nomor itu gugur karena bisa saja peserta lain menduga arah
jawaban yang keliru!" Lintang tak sabar.
"Tidak ada yang keliru! Kecuali Bapak tidak memedulikan substansi dan ingin menggugurkan nilai
kami karena persoalan remeh-temeh."
Pak Zulfikar tersinggung, ia menjadi marah, dan suasana berubah tegang.
"Kalau begitu jelaskan pada saya substansinya! Karena bisa saja kalian mendapat nilai melalui
kemampuan menebak-nebak jawaban secara untung-untungan tanpa memahami persoalan
sesungguhnya!"
Wah, ini sudah kurang ajar. Sahara menyeringai, setelah sekian lama menghilang ke alam lain
kini ia kembali dalam penjelmaan seekor leopard,
alisnya bertemu. Para penonton dan dewan juri tercengang, terlongong-longong dalam adu
argumentasi ilmiah tingkat tinggi yang memanas. Mereka bahkan tak mampu memberi satu
komentar pun, persoalan ini gelap bagi mereka. Tapi aku tersenyum senang karena aku tahu kali ini
guru muda yang sok tahu ini akan kena batunya.
Bantahannya yang terakhir itu adalah pelecehan. Lintang tersengat harga dirinya, wajahnya merah
padam, sorot matanya tak lagi jenaka. Lintang, yang baru sekali ini menginjak Tanjong Pandan,
berdiri dengan gagah berani menghadapi guru PN yang arogan jebolan perguruan tinggi terkemuka
itu. Sembilan tahun sangat dekat dengan Lintang, baru kali ini aku melihatnya benar-benar muntah,
maka inilah cara orang genius mengamuk:
"Substansinya adalah bahwa Newton terang-terangan berhasil membuktikan kesalahan teori-teori
warna yang dikemukakan Descartes dan Aristoteles! Bahkan yang pa-ling mutakhir ketika itu,
Robert Hooke. Perlu dicatat bahwa Robert Hooke mengadopsi teori cahaya berdasarkan filosofi
mekanis Descartes dan mereka semua, ketiga orang itu, menganggap warna memiliki spektrum
yang terpisah. Melalui optik cekung yang kemudian melahirkan dalil cincin, Newton membuktikan
bahwa warna memiliki spektrum yang kontinu dan spektrum warna sama sekali tidak dihasilkan
oleh sifat-sifat kaca, ia semata-mata produk dari sifat-sifat hakiki cahaya!"
Drs. Zulfikar terperangah, penonton tersesat dalam teori fisika optik, sekadar mengangguk sedikit
saja sudah tak sanggup. Dan aku girang tak alang kepalang, dugaanku terbukti! Rasanya aku ingin
meloncat dari tempat duduk dan berdiri di atas meja mahoni mahal berusia ratusan tahun itu sambil
berteriak kencang kepada seluruh hadirin: "Kalian tahu, ini Lintang Samudra Basara bin Syahbani
Maulana Basara, orang pintar kawanku sebangku! Rasakan kalian semua!" Sekarang ekspresi
Sahara seperti leopard yang sedang mencabik-cabik predator pesaing, ia mengaum, alisnya bertemu
seperti sayap elang, dan Lintang masih belum puas.
"Newton mengatakan, kecuali Bapak ingin nyangkal manuskrip ilmiah yang tak terbantahkan
selama 500 tahun hasil karya ilmuwan yang disebut Michael Hart sebagai manusia paling hebat
setelah Nabi Muhammad, bahwa tebal tipisnya partikel transparan menentukan warna yang ia
pantulkan. Itulah persamaan ketebalan lapisan udara antara optik sebagai dasar dalil warna cincin.
Semua itu hanya bisa diobservasi melalui optik, bagaimana Bapak bisa mengatakan perkara-perkara
ini tidak saling berhubungan?"
Sang Drs. terkulai lemas, wajahnya pucat pasi. Ia membenamkan pantatnya yang tepos di bantalan
kursi seperti tulang belulangnya telah dipresto. Ia kehabisan kata-kata pintar, kacamata minusnya
merosot layu di batang hidungnya yang bengkok. Ia paham bahwa berpolemik secara membabi buta
dan berkomentar lebih jauh tentang sesuatu yang tak terlalu ia kuasai hanya akan
memperlihatkan ketololannya sendiri di mata orang genius seperti Lintang. Maka ia mengibarkan
saputangan putih, Lintang telah menghantamnya knock out. Ia dipaksa Lintang menelan pil APC
yang pahit tanpa air minum dan pil manjur itu kini tersangkut di tenggorokannya. Sekali lagi para
pendukung kami berjingkrak-jingkrak histeris seperti doger monyet. Pak Harfan mengacungkan dua
jempolnya tinggi-tinggi pada Lintang. "Bravo! Bravo!" teriaknya girang. Bu Mus yang berpakaian
paling sederhana dibanding guru-guru lain mengangguk-angguk takzim. Ia terlihat sangat bangga
pada murid-murid miskinnya, matanya berkaca-kaca dan dengan haru beliau berucap lirih,
"Subhanallah ... Subhanallah ...."
Selanjutnya, mekanisme lomba menjadi monoton, yaitu ibu cantik membacakan pertanyaan yang
tak selesai, suara kriiiiiing, teriakan jawaban Lintang, dan pekikan seratussss dari Benyamin S. Aku
terpaku memandang Lintang, betapa aku menyayangi dan kagum setengah mati pada sahabatku ini.
Dialah idolaku. Pikiranku melayang ke suatu hari bertahun-tahun yang lalu ketika sang bunga pilea
ini membawa pensil dan buku yang keliru, ketika ia beringsut-ingsut naik sepeda besar 80 kilometer
setiap hari untuk sekolah, ketika suatu hari ia menempuh jarak sejauh itu hanya untuk menyanyikan
lagu Padamu Negeri. Dan ha-ri ini ia meraja di sini di majelis kecerdasan yang amat terhormat ini.
Seperti Mahar, Lintang berhasil mengharumkan
nama per-guruan Muhammadiyah. Kami adalah sekolah kampung pertama yang menjuarai perlomPDF
by Kang Zusi
baan ini, dan dengan sebuah kemenangan mutlak. Air yang menggenang seperti kaca di mata Bu
Mus dan laki-laki cemara angin itu kini menjadi butir-butiran yang berlinang, air mata kemenangan
yang mengobati harapan, pengorbanan, dan jerih payah.
Hari ini aku belajar bahwa setiap orang, bagai-mana pun terbatas keadaannya, berhak memiliki
cita-cita, dan keinginan yang kuat untuk mencapai cita-cita itu mampu menimbulkan prestasiprestasi
lain sebelum cita-cita sesungguhnya tercapai. Keinginan kuat itu juga memunculkan
kemampuan-kemampuan besar yang tersembunyi dan keajaiban-keajaiban di luar perkiraan. Siapa
pun tak pernah membayangkan sekolah kampung Muhammadiyah yang melarat dapat mengalahkan
raksasa-raksasa di meja mahoni itu, tap/ keinginan yang kuat, yang kami pelajah dari petuah Pak
Harfan sembilan tahun yang lalu di hari pertama kami masuk SD, agaknya terbukti. Keinginan kuat
itu telah mem-belokkan perkiraan siapa pun sebab kami tampil sebagai juara pertama tanpa
banding. Maka barangkali keinginan kuat tak kalah penting dibanding cita-cita itu sendiri.
Ketika Lintang mengangkat tinggi-tinggi trofi besar kemenangan, Harun bersuit-suit panjang
seperti koboi memanggil pulang sapi-sapinya, dan di sana, di sebuah tempat duduk yang besar, ibu
Frischa berkipas-kipas kegerahan, wajahnya menunjukkan sebuah ekspresi seolah saat itu dia
BAB XXVIII
Societeit de Limpai
MEREKA menyebut diri mereka Societeit de Limpai, sederhananya: Kelompok Limpai. Limpai
adalah binatang legendaris jadi-jadian yang menakutkan dalam mitologi Belitong. Sebuah karakter
fabel yang menarik karena beberapa cerita rakyat memberikan definisi yang berbeda bagi makhluk
mitos ini. Orang-orang pesisir menganggapnya sebagai semacam peri yang hidup di gununggunung.
Di Belitong bagian tengah ia dipercaya berbentuk binatang besar berwarna putih seperti
gajah atau mammoth, Sebaliknya di utara ia adalah angin yang jika marah akan menumbangkan
pohon-pohon dan merebahkan batang-batang padi.
Ada pula beberapa wilayah yang mengartikan-nya sebagai bogey yakni hantu hitam dan besar.
Orang-orang muda semakin salah mengerti. Bagi mereka Limpai adalah urban legend maka ia bisa
saja incubus yaitu setan yang menyaru sebagai pria tampan atau death omen yang dapat menyamar
menjadi apa saja. Disebut salah mengerti karena sebenarnya akar cerita Limpai terkait dengan
ajaran kuno turun-temurun di Belitong agar masyarakat tidak semena-mena memperlakukan
hutan dan sumber- sumber air. Ajaran itu mengandung tenaga sugestif ketakutan terhadap kualat
karena hutan dan sumber-sumber air dijaga oleh hantu Limpai. Namun, dewasa ini sebagian besar
orang melihat wujud Limpai tak lebih dari kabut yang melayang-layang di dalam kepala yang
bodoh, tipis iman, senang bergunjing, dan kurang kerjaan, itulah Limpai.
Societeit de Limpai merupakan organisasi rahasia bentukan orang-orang aneh dan aku adalah
sekretaris organisasi yang unik ini. Societeit beroperasi diam-diam. la semacam organisasi tanpa
bentuk. Tak diketahui kapan, di mana mereka biasa berkumpul, dan apa yang mereka bicarakan.
Jika secara tak sengaja ada yang memergoki mereka, mereka segera mengalihkan pembicaraan,
bahkan menganggap saling tak kenal satu sama lain. Tindak tanduknya demikian disamarkan bukan
karena mereka
mengusung sebuah misi yang amat berbahaya, anarkis, komunis, atau melawan
hukum, tapi lebih karena mereka menghindarkan diri dari ejekan khalayak karena kekonyolannya.
Sebab Societeit adalah kumpulan manusia tak berguna yang memiliki kecintaan berlebihan pada
dunia klenik dan mistik. Para peminat klenik dalam masyarakat kami selalu jadi bahan tertawaan.
Mereka tidak populer karena barangkali tidak seperti pada budaya lain di tanah air, orang-orang
Melayu khususnya di Belitong me-mang tidak terlalu meminati dunia perdukunan.
Maka Societeit de Limpai pada dasarnya tidakmendapat tempat di kampung kami.
Namun bagi para anggota Societeit, organisasi mereka adalah organisasi yang sangat serius.
Anggotanya hanya sembilan orang dan untuk menjadi anggota syaratnya berat bukan main.
Anggota paling senior saat ini berusia 57 tahun, pensiunan syah bandar, dan yang termuda adalah
dua orang remaja berusia 16 tahun. Enam orang lainnya adalah seorang petugas teller di BRI
cabang pembantu, seorang Tionghoa tukang sepuh emas, seorang pengangguran, seorang pemain
organ tunggal, seorang mahasiswa teknik elektro drop out yang membuka sebuah bengkel sepeda,
dan Mujis, si tukang semprot nyamuk. Anehnya ketua kelompok ini justru yang termuda itu. Ialah
bapak pendiri organisasi yang disegani anggotanya karena pengetahuannya yang luas tentang dunia
gelap, pevalienan, serta koleksinya yang lengkap tentang cerita kabar angin atau cerita konon
kabarnya. la tak lain tak bukan adalah Mahar yang fenomenal. Sedangkan anak remaja satunya
tentu saja Flo. Adapun aku hanya seorang sekretaris dan pembantu umum, maka tidak dihitung
sebagai anggota kehormatan.
Aktivitas Societeit sangat padat. Mereka melakukan ekspedisi ke daerah-daerah angker, menyelidiki
kejadian-kejadian mistik, berdiskusi dengan para spiritual di seantero Belitong, dan
memetakan mitologi lokal, baik Folklor maupun urban legend dalam suatu mitografi yang menarik.
Dalam banyak sisi dapat dianggap bahwa para anggota Societeit
sesungguhnya adalah orang-orang pemberani yang sangat penasaran ingin membongkar rahasia
fenomena
ganjil dan memiliki skeptisisme yang tak mau dikompromikan. Jika belum melihat dan
merasakan sendiri, mereka tak 'kan percaya. Societeit dengan brilian telah mengadopsi sosok
Limpai yang mistis sebagai metafora sehingga mereka bisa disebut orang-orang antusias, ilmuwan,
orang gila, atau musyrikin tergantung sudut pandang setiap orang menilainya. Sama seperti
perbedaan perspektif setiap orang dalam memaknai Limpai.
Dalam pembuktiannya terhadap fenomena paranormal
mereka sering menggunakan metode ilmiah
sehingga mereka dapat juga disebut sebagai ilmuwan tentu saja ilmuwan dalam definisi mereka
sendiri. Ke arah inilah Mahar telah berkembang, bukan ke arah pencapaian-pencapaian seni yang
seharusnya menjadi rencana A baginya, dan dengan kehadiran Flo, kesia-siaan bakat itu semakin
menjadi-jadi.
Dalam menjalankan tugas sintingnya mereka melengkapi diri dengan perangkat elektronik, misalnya
beragam alat perekam audio video, perangkat-perangkat sensor, dan berbagai jenis teropong. Di
bawah supervisi mahasiswa elektro yang drop out itu mereka merakit sendiri detektor medan
elektro magnet yang dapat membaca gelombang area observasi dalam kisaran 2 sampai 7 miligauss
karena mereka yakin aktivitas kaum lelembut berada dalam kisaran tersebut. Mereka juga
menciptakan sensor frekuensi yang dapat mengenali frekuensi sangat
rendah sampai di bawah 60 hertz karena menurut akal sesat mereka dalam frekuensi itulah kaum
setan alas sering berbicara. Selain semua elektronik
yang canggih itu pada setiap ekspedisi mereka
juga membekali diri dengan kemenyan, gaharu, jimat telur biawak, buntat, dan penangkal bala, serta
seekor ayam kate kampung karena seekor ayam dianggap paling cepat tanggap kalau iblis
mendekat.
Mereka secara rutin berkelana. Suatu ketika mereka memasuki Hutan Genting Apit, tempat paling
angker di Belitong. Hutan ini menyimpan ribuan cerita seram dan yang paling menonjol adalah
fenomena ectoplasmic mist yakni kabut yang bercengkerama sendiri dan secara alamiah atau
mungkin setaniah membentuk wujud-wujud tertentu seperti manusia, hewan, atau raksasa. Tak
jarang bentuk-bentuk ini tertangkap kamera film biasa. Para pengendara yang melalui kawasan ini
sangat disarankan untuk tidak melirik kaca spion karena hantu-hantu penghuni lembah ini biasa
menumpang sebentar di jok belakang.
Di lembah ini mereka memasang alat-alat elektronik tadi di cabang-cabang pohon untuk
mendeteksi gerakan, suara, dan bentuk-bentuk tak biasa lalu menganalisisnya. Kemudian Genting
Apit menjadi semacam laboratorium alam bagi Societeit. Tempat yang selalu dihindari orang
mereka kunjungi seumpama orang piknik ke pantai saja.
Tak ayal Societeit juga mendatangi kuburan-kuburan keramat, bermalam di lokasi-lokasi yang
terkenal keseramannya, mengumpulkan cerita-cerita takhayul, dan mencari benda-benda magis
pusaka warisan antah berantah. Mereka diam di tempat yang ditinggalkan orang karena takut,
mereka justru menunggu makhluk-makhluk halus yang membuat orang lain terbirit-birit. Semakin
lama Societeit semakin bergairah dengan aktivitas-nya meskipun di sisi lain masyarakat juga
semakin mencemooh mereka. Mereka dianggap orang-orang aneh yang menghambur-hamburkan
waktu untuk hal-hal tak bermanfaat.
Tak semua kegiatan Societeit tak berguna. Adakalanya pendekatan ilmiah mereka malah mampu
mematahkan mitos. Misalnya dalam kasus api anggun di atas sebatang pohon jemang besar. Telah
puluhan tahun berlangsung para pengendara sering ketakutan ketika melintasi sebuah tikungan
menuju Manggar karena pada puncak sebuah pohon jemang besar persis di seberang tikungan itu
sering tampak api berkobar-kobar. Jemang Hantu, demikian juluk-an tempat angker itu. Kejadian
itu selalu tengah malam setelah turun hujan dan sudah menjadi cerita seram yang melegenda.
Sulit untuk mengatakan bahwa para pengendara
telah salah lihat apalagi berbohong karena di
antara mereka yang telah menyaksikan peman-dangan horor itu adalah Zaharudin bin Abu Bakar,
ustad muda kampung kami yang pantang berdusta.
Maka Societeit turun tangan melakukan sema-cam riset. Setelah sepanjang sore turun hujan
malamnya mereka mengendap-endap di sekitar jemang angker tadi untuk melakukan
pengamatan. Tak lama setelah lewat tengah malam mereka memang menyaksikan api berkobarkobar
di puncak pohon itu namun pada saat itu pula mengerti jawabannya. Mereka berhasil
menghancurkan mitos angker pohon jemang yang telah puluhan tahun menciutkan nyali orang
kampung.
Letupan api itu sesungguhnya berasal dari ka-bel listrik tegangan tinggi yang korslet karena air
hujan. Tiang kabel itu berjarak kira-kira 120 meter dari puncak pohon dan ketinggian keduanya
sepadan sehingga jika dilihat dari jauh sebelum memasuki tikungan seolah-olah letupan korslet
yang menimbulkan bunga-bunga api itu berkobar-kobar dari puncak pohon jemang.
Jika tiba dari pengembaraan mistiknya, Mahar dan Flo selalu membawa cerita-cerita seru ke
sekolah. Misalnya suatu hari mereka berkisah bahwa di tengah sebuah hutan yang gelap mereka
menemukan kuburan dengan ukuran tambak hampir tiga kali enam meter dan jarak antara kedua
misannya hampir lima meter. Karena orang Melayu selalu memasang misan di sekitar kepala dan
ujung kaki maka dapat diperkirakan ukuran jasad yang terkubur di bawahnya adalah ukuran
manusia yang luar biasa besar.
Flo memulai kisah bahwa ia menemukan piring-piring dari tanah liat di sekitar kuburan
dengan ukuran seperti dulang dan kondisinya masih utuh. la juga menemukan berbagai jenis kendi
yang tidak rusak dan terkubur dangkal. Flo dengan dingin saja memberi tahu kami bahwa ia tidur
paling dekat dengan misan-misan itu dan tak sedikit pun merasa takut. Ia menceritakan sebuah
pengalaman yang menderikan bulu kuduk seolah sebuah cerita lucu tentang baru saja meminumkan
susu pada anak-anak kucing persia di rumahnya. Ingin kukatakan padanya bahwa gerabah-gerabah
arkeologi itu memang tidak rusak tapi yang rusak adalah otaknya.
Sebaliknya versi Mahar jauh lebih menarik. Ia memberi penjelasan pengetahuan tentang hubu-ngan
beberapa kuburan purba bertambak super besar di Belitong dengan teori-teori para arkeolog
terkenal seperti Barry Chamis atau Harold T. Wilkins yang percaya bahwa pada suatu masa yang
lampau manusia-manusia raksasa pernah menjelajahi bumi. Ia membuat analogi yang menarik,
logis, dan lengkap dengan analisis waktu tentang kuburan itu dengan hal ikhwal tengkorak manusia
raksasa Pasnuta yang ditemukan di Omaha atau kerangka tak utuh manusia yang digali dari situssitus
kuburan
purba di Dataran Tinggi Golan. Jika direkonstruksi kerangka-kerangka itu
membentuk manusia setinggi hampir enam meter.
Maka cerita Mahar selalu mengandung ilmu. Dia memang seorang eksentrik yang berdiri di area
abu-abu antara imajinasi dan kenyataan, tapi tak
diragukan bahwa ia cerdas, pemikirannya terstruk-tur dengan baik, dan pengetahuan dunia gaibnya
amat luas. Mahar dan Flo duduk santai pada cabang rendah filicium seperti para paderi tukang cerita
dari sebuah kuil Sikh dan kami, para Laskar Pelangi, bersimpuh membentuk lingkaran, terce-ngang
dengan mata berbinar-binar mendengar keajaiban-keajaiban petilasan mereka dalam dunia magis.
Adapun orang lain dari kejauhan hanya akan melihat ikatan persahabatan Laskar Pelangi yang
demikian indah.
Pada kesempatan lain mereka bercerita tentang
petualangan mencari sebuah gua purba
tersembunyi yang belum pernah dijamah siapa pun. Gua itu konon berada di tengah rimba dan
eksistensinya hanya berdasarkan mitos samar turun-temurun dari sebuah komunitas kecil terasing
yang hidup seperti suku primitif di barat daya Belitong. Mereka menyebutnya gua gambar. Tak
tahu apa maksud nama itu dan bagi mereka gua itu adalah gua gaib yang tak 'kan pernah ditemukan.
Mendengar kisah itu Societeit berdiri telinga-nya dan merasa tertantang.
Ketika Societeit mendatangi komunitas yang hanya terdiri dari sebelas kepala keluarga dan
mencari informasi tentang gua gambar, pawang suku di sana menertawakan mereka.
"Ananda tak 'kan menemukan gua itu, karena gua itu adalah gua siluman. Gua itu hanya akan
menampakkan diri di malam hari yang paling gelap, itu pun hanya bisa dilihat oleh orang-orang
gunung terpilih yang tak kita kenal."
Orang-orang gunung adalah cerita konon yang
lain. Kami menyebutnya orang Tungkup. Mereka tinggal di gunung dan juga tak pernah dilihat
orang kampung.
"Selama tiga hari tiga malam kami berjalan kaki menembus rimba belantara liar untuk mencari gua
itu. Pohon-pohon di sana sebesar pelukan empat orang dewasa dengan kanopi menjulang ke langit,"
demikian cerita Mahar.
"Saking lebatnya hutan itu sinar matahari tak mampu menembus permukaan tanah. Pohon-pohon
berlumut, gelap dan lembap, penuh lintah, kelelawar, kadal, macan akar, luak, dan ular-ular besar,"
sambung Flo meyakinkan.
"Kami hampir putus asa, tapi beruntung, pe-ngetahuan Mujis yang baik tentang kontur hutan
akhirnya membimbing kami menuruni sebuah lembah curam di antara dua gunung dan di dasar
lembah itu, pas menjelang magrib, kami menemukan sebuah gua!"
Kami ternganga-nganga, merapatkan lingkaran duduk, mendekati dua petualang sejati yang sangat
hebat ini, tak sabar mendengar kelanjutan cerita.
"Kami belum yakin apakah itu gua gambar se-perti dimaksud komunitas kuno itu. Wilayah itu
sangat sulit ditempuh. Mulut gua sangat sempit dan ditutupi akar-akar mahoni raksasa, seperti jarijari
yang sengaja menyamarkan," demikian kata Flo ekspresif. Ah, Flo yang cantik, ramping, atletis,
dan berkulit putih seindah anggrek bulan, dikombinasikan
dengan cerita petualangan mendebarkan penuh getaran marabahaya di tengah hutan rimba dan
sebuah gua misteri, sungguh sebuah perpaduan yang mem-buat dirinya tampak semakin indah.
mentalitas dan prinsip-prinsip hidup Flo yang tak biasa, telah menjadikan dirinya seorang wanita
yang sangat memesona.
"Ketika kami mendekat, kami terkejut karena beberapa ekor biawak dan musang yang garang
berloncatan keluar dari gua." Mahar dan Flo sambung menyambung.
"Setelah menyiangi akar-akar itu akhirnya kami berhasil masuk ke dalam gua."
"Di dalamnya amat lebar dan memanjang, men-julur ke bawah seperti sumur yang landai, dingin,
gelap, dan ada suara riak-riak air."
"Ternyata di tengah gua itu ada aliran air yang deras!"
Cerita semakin seru, seperti cerita petualangan
Indian Winnetou, kami duduk terpaku menyimak.
"Kami mencoba menelusuri gua itu, bau amis kotoran kelelawar menyengat hidung dan membuat
perut mual. Sarang laba-laba hitam besar menutupi celah-celah gua seperti tirai putih berjuntaijuntai.
Laba-laba itu demikian besar sehingga cecak dan kelelawar tersangkut di jaringnya dan
mengering karena darahnya telah diisap serangga maut itu. Lintah merayapi dinding gua, mengincar
darah anak-anak kelelawar." Mengerikan.
"Rantai makanan di dalam gua adalah singkat,
tidak se-perti subekosistem lain di luar!" Flo menambahi.
"Kami terus merambah masuk sampai beratus-ratus meter tapi tak menemukan tanda-tanda gua itu
akan berakhir."
"Gua itu seperti tak berujung ...," Mahar berce-rita dengan penuh penghayatan sehingga kami
merasa seperti berada di dalam gua yang sangat mencekam itu. Kami merasakan udara dingin,
kegelapan, ketakutan, dan seakan mendengar pekik keleawar dan percikan air di dalamnya.
"Tapi suara aliran air tadi semakin lama sema-kin bergemuruh, kami perkirakan di depan kami ada
jurang di bawah tanah yang amat berbahaya, maka kami memutus-kan untuk beristirahat."
Wajah Mahar serius, nyali kami ciut ketika menatap-nya, dan dia melanjutkan cerita seperti orang
berbisik.
"Kami agak merapat ke dinding gua untuk menyiapkan peralatan tidur, ketika aku menaikkan
lampu aki untuk mendapat bentangan cahaya yang lebih besar, aku terkejut melihat bayangan
goresan-goresan berpola yang samar di dinding licin itu ...."
Menegangkan sekali. Kami semakin merapat, Sahara menggigit jarinya, A Kiong berkali-kali
menarik napas panjang, Samson tak berkedip, Lintang menyimak penuh perhatian, Syahdan
ketakutan, Trapani memeluk Harun.
"Kami semua saling berpandangan lalu serentak menaikkan lampu, dan
kami tersentak melihat sekeling kami."
Aku menahan napas ....
"Ternyata kami dikelilingi oleh ribuan goresan simbol-simbol purba atau huruf-huruf hieroglif
primitif yang terhampar di dinding gua, menjalar-jalar misterius sampai ke stalagmit dan stalagtit!"
Rasanya aku mau meloncat dari tempat duduk, dan perut bawahku ngilu menahan kencing karena
perasaan tegang yang meluap-luap. Kami terpana, bahkan tak mampu mengucapkan sepatah kata
pun. Dadaku berdegup kencang.
"Kemudian di langit-langit gua terdapat bebera-palukisan paleolitikum yang menggambarkan
orang-orang yang tak berpakaian sedang memakan mentah-mentah seekor burung besar yang mirip
kalong."
"Sebuah gua antediluvium dengan seni lukis gua yang memukau!" sambung Flo.
Sekarang kami mengerti mengapa komunitas terasing tadi menyebut gua itu gua gambar.
"Ada lukisan kucing pohon, tombak kayu, ular tanah, bulan, dan bintang-bintang."
"Kami memutuskan untuk tidur di bagian itu ...," kata Mahar pelan. Raut wajahnya
memperlihatkan bahwa ia masih memiliki sebuah kejutan lain yang tak kalah misteriusnya. Maka
dada kami tak reda berdegup.
"Aku tak bisa tidur sepanjang malam. Ketika semua anggota Societeit terlelap karena kelelahan aku
melamun dan memerhatikan dengan saksama simbol-simbol yang berserakan tak teratur memenuhi
dinding dan langit-langit gua."
Kami terpaku, pasti akan terjadi sesuatu yang ajaib.
"Lalu aku merasa simbol-simbol itu seperti diam-diam terangkai sendiri dan membisikkan sesuatu
ke telingaku...."
Oh, jantungku berdebar-debar.
"Tapi semuanya tak jelas, hingga aku merasa lelah dan memejamkan mata."
Kami menunggu kejutan besar itu.
"Namun tak lama kemudian, antara tidur dan terjaga, aku mendengar suara gemerisik seperti jutaan
semut mendekatiku, dan agaknya ribuan simbol-simbol samar itu menjadi hidup lalu memberiku
semacam mimpi, semacam wangsit, semacam gambaran masa depan ... semua ini tak pernah
kuceritakan pada siapa pun!"
Kami semakin merapat, sangat penasaran.
"Apakah wangsit itu saudaraku Mahar??!!" A Kiong berteriak tak sabar menunggu terkuaknya
sebuah misteri besar. la sedikit merayu. Suaranya tercekat dan bergetar. Bahkan Flo tampak tegang.
Rupanya ia sendiri belum pernah mendengar wangsit ini.
Mahar menarik napas panjang sekali, agaknya ia merasa berat membocorkan kisah ini. "Begini ...,"
katanya serius.
"Mimpi itu memperlihatkan bahwa sebuah ke-kuatan besar di Pulau Belitong akan segera runtuh.
Orang-orang Melayu Belitong akan jatuh melarat dan kembali berperikehidupan seperti
zaman purba
dulu, yaitu bernafkah secara bersahaja dari hasil-hasil laut dan hutan. Sebaliknya, du-nia luar akan
maju demikian pesat. Penggunaan kompu-ter akan merasuki seluruh segi kehidupan. Penggunaan
komputer yang merajalela itu menyebabkan praktik-praktik akuntansi tak lama lagi akan punah ...."
BAB XXIX
Pulau Lanun
SEPERTI layaknya sesuatu yang sederhana, maka tragedi atau drama semacam opera sabun tak
pernah terjadi di sekolah Muhammadiyah. Sekolah itu demikian teduh dalam kiprahnya, tenang
dalam kesahajaannya, bermartabat dalam kesederhanaan-nya, dan tenteram dalam kemiskinannya.
Namun kali ini berbeda, mendung tebal ber-gelayut rendah siap menumpahkan murka di atap
sekolah itu karena dua warganya semakin lama semakin tidak waras sehingga kelangsungan
pendidikan keduanya terancam. Lebih dari itu tingkah laku keduanya merongrong reputasi sekolah
Muhammadiyah yang ketat menjaga nilai-nilai moral Islami. Dan tak tanggung-tanggung,
rongrongan itu berupa pelanggaran paling berat dalam konteks moral itu sendiri yakni:
kemusyrikan! Kedua makhluk dramatis itu tentu saja sudah sangat dikenal: Mahar dan Flo.
Seiring dengan euforia organisasi rahasia So-cieteit yang mereka inisiasi, nilai-nilai ulangan Mahar
dan Flo persis penerjun yang terjun dengan parasut cadangan yang tak mengembang terjun
bebas. Rapor terakhir mereka memperlihatkan deretan angka merah seperti punggung dikerok.
Umumnya angka-angka biru hanya untuk mata pelajaran pembinaan kecakapan khusus, yaitu
kejuruan agraria, kejuruan teknik, ketatalaksanaan, dan bahasa Indonesia, itu pun hanya untuk
bidang bercakap-cakap dan mengarang. Nilai Flo adalah yang paling parah. Matematika, bahasa
Inggris, dan IPA hanya mendapat angka 2. Meskipun bapaknya telah menyumbang papan tulis baru,
lonceng, jam dinding, dan pompa air untuk Muhammadiyah namun Bu Mus tak peduli, beliau tak
sedikit pun sungkan menganugerahkan angka-angka bebek berenang itu di rapor Flo karena
memang itulah nilai anak Gedong itu.
Mahar dan Flo berada dalam situasi kritis dan sangat mungkin dilungsurkan ke kelas bawah karena
tidak bisa mengikuti Ebtanas. Surat peringatan telah mereka terima tiga kali. Menanggapi masalah
gawat ini diam-diam Bapak Flo melakukan konspirasi dengan Bu Frischa untuk menghasut Flo agar
kembali ke sekolah PN. Lagi pula di sekolah PN Bu Frischa telah menjamin nilai yang tak
memalukan di rapor Flo. Untuk keperluan penghasutan itu Bu Frischa mengutus seorang guru pria
muda yang flamboyan di se-kolah PN agar dapat mendekati Flo.
Sore itu kami sekelas baru saja pulang menon-ton pertandingan sepak bola dan melewati pasar. Bu
Frischa dan guru flamboyan tadi sedang berbelanja. Flo yang mengenakan celana dan jaket jin belel
mendekati Bu Frischa seperti gaya berjalan
koboi yang akan duel tembak.
"Nama saya Flo, Floriana," kata Flo sambil berusaha menyalami Bu Frischa. Pria flamboyan itu
mengangguk santun dan melemparkan senyum termanisnya untuk Flo.
"Tolong bilang pada pria tengik ini, saya tak 'kan pernah meninggalkan Bu Muslimah dan sekolah
Muham-madiyah ...."
Flo berlalu begitu saja, Bu Frischa dan sang pria flamboyan terpana, dan ide untuk menghasutnya
tak pernah terdengar lagi.
Nilai—nilai rapor Mahar dan Flo hancur karena agaknya mereka sulit berkonsentrasi sebab terikat
pada komitmen-komitmen kegiatan organisasi, dan lebih dari itu, karena mereka semakin tergilagila
dengan mistik. Hari demi hari pendidikan mereka semakin memprihatinkan. Tapi bukan Mahar
dan Flo namanya kalau tidak kreatif. Mereka sadar bahwa mereka menghadapi tradeoff, dua sisi
yang harus saling menyisihkan, memilih sekolah atau memilih kegiatan organisasi paranormal.
Sekolah sangat penting namun godaan untuk berkelana menyibak misteri gaib sungguh tak
tertahankan. Mereka tidak ingin meninggalkan keduanya.
Lalu tak tahu siapa yang memulai tiba-tiba mereka muncul dengan satu gagasan yang paling
absurd. Karena tak ingin kehilangan sekolah dan tak ingin meninggalkan hobi klenik maka mereka
berusaha menggabungkan keduanya. Mahar dan Flo akan mencari jalan keluar mengatasi
kemerosotan nilai sekolah melalui cara yang mereka paling mereka kuasai, yaitu melalui jalan
pintas dunia gaib perdukunan. Sebuah oara tidak masuk akal yang unik, lucu, dan mengandung
mara bahaya.
Mahar dan Flo sangat yakin bahwa kekuatan supranatural dapat memberi mereka solusi gaib atas
nilai—nilai yang anjlok di sekolah. Dan mereka tahu seorang sakti mandraguna yang dapat
membantu mereka dan kesaktiannya telah mereka buktikan sendiri melalui pengalaman pribadi.
Orang sakti ini secara ajaib telah menunjukkan jalan untuk menemukan Flo ketika ia raib ditelan
hutan Gunung Selumar tempo hari. Orang supersakti itu tentu saja Tuk Bayan Tula. Menurut
anggapan mereka masalah sekolah ini hanyalah masalah kecil seujung kuku yang tak ada artinya
bagi raja dukun itu. Mereka percaya manusia setengah peri itu bisa dengan mudah membalikkan
angka enam menjadi sembilan, empat menjadi delapan, dan merah menjadi biru.
Setelah menemukan rencana solusi yang sangat
andal itu Mahar dan Flo tertawa girang sekali
sampai meloncat-loncat. Flo menunjukkan keka-gumannya pada kreativitas Mahar dalam
memecah-kan masalah mereka. Mendung yang menghiasi wajah mereka setiap kali dimarahi Bu
Mus kini sirna sudah. Di dalam kelas mereka tampak sumringah walaupun tidak sedikit pun belajar.
Seluruh anggota Societeit menyambut antusi-as ide ketuanya untuk mengunjungi Tuk Bayan Tula.
Para anggota ini sebenarnya telah lama mengidamkan pertemuan dengan Tuk, idola mereka itu,
namun niat itu terpendam karena mereka takut mengungkapkannya, bahkan membayangkannya saja
mereka tak berani. Apalagi tersiar kabar bahwa Tuk tak menerima semua orang. Hanya nasib yang
menentukan apakah Tuk berkenan atau tidak. Dan tragisnya, jika Tuk tak berkenan biasanya yang
mengunjunginya tak pernah kembali pulang. Ketika Mahar berinisiatif ke sana para anggota
menyambut usulan yang memang telah mereka tunggu-tunggu. Mereka siap menerima risiko asal
dapat melihat wajah Tuk walau hanya sekali saja.
Kunjungan ke Pulau Lanun untuk menjumpai Tuk merupakan ekspedisi paling penting dan puncak
seluruh aktivitas paranormal Societeit. Mereka mempersiapkan diri dengan teliti dan mengerahkan
seluruh sumber daya karena perjalanan ke Pulau Lanun tak mudah dan biayanya sangat mahal.
Mereka harus menyewa perahu dengan kemampuan paling tidak 40 PK, jika tidak maka akan
memakan waktu sangat lama dan tak 'kan kuat melawan ombak yang terkenal besar di sana.
Kemudian mereka harus menyewa seorang nakhoda yang berpengalaman dari suku orang-orang
berkerudung. Karena ia berpengalaman dan tak mau mati konyol sebab ia tahu reputasi Tuk maka
harga jasa nakhoda ini juga sangat mahal.
Akibatnya Mahar rela menggadaikan sepeda
warisan kakeknya, Flo menjual kalung, cincin, gelang, dan merelakan tabungan uang saku selama
dua bulan yang ada dalam tas rajutannya. Mujis melego hartanya yang paling berharga, yaitu
sebuah radio transistor dua band merk Philip, si peng-angguran menggaruk-garuk sampah untuk
tambahan ongkos, sang mahasiswa drop out meminjam uang pada bapaknya, dan si pemain organ
tunggal menggadaikan elec-tone Yamaha PSR sumber nafkahnya.
Adapun orang Tionghoa yang menjadi tukang sepuh emas memecahkan celengan ayam jago
disaksikan tangisan anak-anaknya, si petugas teller BRI kerja lembur sampai tengah malam, sang
pensiunan syah bandar menggadaikan lemari kaca yang digotong empat orang dan menimbulkan
keributan besar dengan istrinya, sementara aku sendiri merelakan koleksi uang kunoku dibeli murah
oleh Tuan Pos.
Kami berdebar-debar menunggu hari H dan ketika uang patungan digelar di atas meja gaple,
terkumpul uang sebanyak Rp 1,5 juta! Luar biasa. Uang yang sebagian besar logam itu bergemerincingan
bertumpuk-tumpuk. Aku gemetar karena seumur hidupku tak pernah melihat uang sebanyak
itu, apalagi karena sebagai sekretaris Societeit aku harus menyimpannya. Aku genggam uang itu
dan terkesiap pada perasaan menjadi orang kaya. Ternyata jika kita telah menjadi orang miskin
sejak dalam kandungan, perasaan itu sedikit menakutkan. Kami bersorak karena inilah dana
terbesar yang berhasil kami kumpulkan. Aku menyimpan uang itu di dalam saku dan terus-menerus
memegangnya. Tiba-tiba semua orang tampak seperti pencuri. Kadang-kadang uang memang punya
pengaruh yang jahat. Setelah mendapatkan perahu dan bernegosiasi alot dengan nakhoda akhirnya
pas tengah hari kami berangkat.
Pada awalnya perjalanan cukup lancar, ikan lumba-lumba berkejaran dengan haluan perahu, cuaca
cerah, angin bertiup sepoi-sepoi, dan semua penumpang bersukacita. Namun, menjelang sore angin
bertiup sangat kencang. Perahu mulai ter-banting-banting tak tentu arah, meliuk-liuk mengikuti
ombak yang tiba-tiba naik turun dengan kekuatan luar biasa. Dan ombak itu semakin lama semakin
tinggi. Dalam waktu singkat keadaan tenang berubah menjadi horor. Semakin ke tengah laut perahu
semakin tak terkendali. Sama sekali tak diduga sebelumnya ombak mendadak marah dan langit
mulai mendung. Badai besar akan menghantam
kami. Semua penumpang pucat pasi. Terlambat
untuk kembali pulang, lagi pula perahu sudah tak bisa diarahkan.
Kadang-kadang sebuah gelombang yang dah-syat menghantam lambung perahu hingga terdengar
suara seperti papan patah. Aku menyangka perahu kami pecah dan kami akan karam dan berserakan
di laut lepas ini. Gelombang itu mengangkat perahu setinggi empat meter kemudian
menghempaskannya seolah tanpa beban. Kami terhunjam bersama
ombak besar yang menimbulkan lautan buih putih meluap-luap mengerikan. Ombak sudah
demikian ganas, sedangkan badai yang sesungguhnya belum tiba.
Aku melihat wajah nakhoda yang sudah ber-pengalaman itu dan jelas sekali ia cemas, membuat
kami menjadi semakin gamang. Nakhoda menunjuk jauh ke arah depan, di sana tampak sebuah
pemandangan yang membuat kami merinding hebat, yaitu gumpalan awan gelap bergerak pasti
menuju ke arah kami dengan kilatan-kilatan halilintar sam-bung menyambung di dalamnya. Badai
besar akan segera datang menggulung kami.
Nakhoda mencoba membalikkan arah perahu tapi mesin 40 PK itu tak berdaya dan jika menelusuri
gelombang yang demikian tinggi nakhoda khawatir perahu akan tertelungkup. Maka tak ada pilihan
baginya kecuali menyonsong awan yang gelap kelam itu. Kami tak berdaya seperti diombangambingkan
oleh sebuah tangan raksasa dan tangan itu justru mengumpankan kami kepada badai.
Dalam waktu singkat badai sudah tiba di atas kami dan angin puting beliung memboyakkan perahu
tanpa ampun. Hujan sangat lebat dan suasana menjadi gelap. Sambaran-sambaran kilat yang sangat
dekat dengan perahu menimbulkan pemandangan yang menciutkan nyali.
Ketika pusaran angin menusuk permukaan laut, kira-kira dua puluh meter di samping kami, seluruh
tubuhku gemetar melihat semburan air besar tumpah di atas perahu. Perahu berputar-putar di
tempat seperti gasing. Kami terpeleset dan
telentang di sepanjang geladak, berusaha saling memegangi agar tak tumpah dari perahu. Nakhoda
bertindak cepat menurunkan layar yang koyak dihantam angin, menutup palka, menjauhkan bendabenda
tajam, dan mematikan mesin. Lalu ia berteriak kencang memerintahkan kami agar mengikat
tubuh masing-masing ke tiang layar. Kami melilit-lilitkan tali beberapa kali seputar lingkar
pinggang dan menyimpulkan ujungnya dengan simpul mati kemudian mengikatkan diri dengan cara
yang sama ke tiang layar. Usaha ini dilakukan agar kami tak terpelanting ke laut.
Kami segera sadar bahwa situasi telah menjadi gawat, nyawa kami berada di ujung tanduk. Begitu
cepat alam berubah dari pelayaran yang damai beberapa waktu lalu hingga menjadi usaha mempertahankan
hidup yang mencekam saat ini. Kami dibukakan Allah sebuah lembar kitab yang nyata
bahwa kuasaNya demikian besar tak terbatas. Kami berkumpul membentuk lingkaran kecil
mengelilingi tiang layar. Tangan kami bertumpuk-tumpuk berusaha menggengam tiang itu. Bahu
kami saling bersentuhan satu sama lain. Kami seperti orang yang bersatu padu menjelang ajal.
Hampir satu jam kami masih tak tentu arah. Aku melihat haluan perahu berpendar-pendar dan
kepalaku pusing seolah akan pecah. Ketika kulihat Mujis menghamburkan muntah, perutku serasa
diaduk-aduk dan dalam waktu singkat aku pun muntah. Pemandangan berikutnya adalah setiap
orang di atas perahu menyemburkan seluruh isi
perutnya, termasuk nakhoda kapal yang telah ber-pengalaman puluhan tahun. Aku mencapai
tingkat puncak mabuk laut ketika tak ada lagi yang bisa dimuntahkan dan yang keluar hanya cairan
bening yang pahit. Semua penumpang perahu menga-laminya.
Kami sudah pasrah di atas perahu yang ter-angkat tinggi lalu terhempas dahsyat bak sepotong busa
di atas samudra yang mengamuk. Inilah pengalaman terburuk dalam hidupku. Saat itu aku amat
menyesal telah ikut campur dalam ekspedisi orang-orang gila Societeit untuk menemui seorang
dukun yang bahkan tak peduli dengan hidupnya sendiri. Tak adil mempertaruhkan nyawa untuk
orang yang tidak menghargai nyawa. Aku memandang permukaan laut yang biru gelap dengan
kedalaman tak terbayangkan dan dunia asing di bawah sana. Aku merasa sangat ngeri jika
tenggelam.
Wajah nakhoda tak memperlihatkan harapan sedikit pun. la juga telah mengikatkan tubuhnya ke
tiang layar. la terpekur menunduk dalam, tangan-nya yang kuat dan tua berurat-urat memegang kuat
tiang layar, berebutan dengan tangan-tangan kami. Jika kami tenggelam maka di dasar laut mayat
kami akan melayang-layang di ujung simpul-simpul tali yang mengikat tubuh kami seperti suraisurai
gurita. Sebagian besar penumpang mengalirkan air mata putus asa. Namun, Flo sama sekali
tak menangis. Sebelah tangannya menggenggam tiang layar, bibirnya membiru, dan wajahnya
menengadah
menantang langit. Wanita itu tak pernah takluk pada apa pun.
Tak ada tanda-tanda ombak akan reda, bahkan
semakin menjadi-jadi. Tinggal menunggu waktu
kami akan terbenam karam. Dan saat yang menakutkan itu datang ketika dari jauh kami melihat
gelombang yang sangat tinggi, hampir tujuh meter. Inilah gelombang paling besar dalam badai ini.
Kami gemetar dan berteriak histeris. Dalam waktu beberapa detik hentakan gelombang dahsyat itu
menerjang perahu dan mematahkan tiang layar yang sedang kami pegang. Tiang itu patah dua dan
bagian yang patah meluncur deras menuju buritan rnerttbingkas* tiga keping papan di lambung
perahu sehingga kapal bocor dan air masuk berlimpah-limpah. Mujis, Mahar, dan orang Tionghoa
yang berpegangan pada sisi belakang layar tertendang patahan tadi dan terpelanting ke geladak. Jika
tak dihalangi tutup palka mereka sudah jadi santapan samudra. Mereka menjerit-jerit ketakutan,
menim-bulkan kepanikan yang mencekam. Aku berpikir inilah akhir hayatku, akhir hayat kami
semua, laut ini akan segera memerah karena ikan-ikan hiu berpesta pora. Namun pada saat paling
genting itu aku mendengar samar-samar suara orang berteriak. Rupanya syah bandar melepaskan
pegangannya dari tiang layar dan mengumandangkan azan berulang-ulang. Kami masih terlonjaklonjak
dengan hebat dan air mulai menggenangi geladak tapi lonjakan perahu tiba-tiba reda.
Anehnya segera setelah azan itu selesai perlahan-lahan gelombang turun.
Gelombang laut yang meluap-luap berbuih me-ngerikan tiba-tiba surut seperti dihisap kembali oleh
awan yang gelap. Kami terkesima pada perubahan yang drastis. Ombak ganas menjadi semakin
jinak.
Hanya dalam waktu beberapa menit angin ber-henti bertiup seperti kipas angin yang dimatikan.
Badai yang mencekam nyawa lenyap seketika seperti tak pernah terjadi apa-apa. Tak lama
kemudian seberkas sinar menyelinap di antara gumpalan awan hitam, mengintip-intip dari gumpalan-
gumpalan kelam yang memudar. Meskipun kami tak tahu sedang berada di perairan mana
namun kami bersyukur kepada Allah berulang-ulang, bahkan menangis haru. Setidaknya harapan
muncul kembali. Lalu kami bergegas menimba air yang memenuhi perahu. Permukaan laut yang
luas tak terbatas menjadi amat tenang seperti permukaan danau.
Kami memandang jauh ke laut dan tak berkata-kata karena masih gentar pada bencana yang baru
saja mengancam. Flo tersenyum puas. la telah membuktikan bahwa ketika maut tercekat di
kerongkongannya ia tetap tak takut. Sebelum menemui Tuk Bayan Tula, ia telah mencapai salah
satu tujuannya. Pengalaman seperti tadilah yang sesungguhnya ia cari.
Awan perlahan-lahan menjadi gelap, bukan karena akan badai tapi karena senja telah turun.
Nakhoda berusaha memperkirakan posisi kami. Ia membaca bulan dan bintang di atas langit yang
cerah karena cahaya purnama hari kedua belas. Ia
menghidupkan mesin dan perahu bergerak pelan menuju arah sesuai hempasan badai. Berarti badai
tadi telah membuang kami jauh tapi ke arah yang memang kami tuju. Tak lama kemudian nakhoda
kembali mematikan mesin.
Beliau berjalan menuju haluan dan menyuruh kami diam. Pantulan sinar bulan berkilau-kilauan di
permukaan laut lepas sejauh mata memandang. Perahu pelan-pelan menembus benteng kabut yang
tebal. Sunyi senyap seperti suasana danau di tengah rimba. Ada perasaan seram diam-diam
menyelinap.
Nakhoda mengawasi jauh ke depan dengan mata ta-jamnya yang terlatih. Kami cemas mengantisipasi
bahaya lain yang akan datang, mungkin perompak, mungkin binatang yang besar, atau
mungkin badai lagi. Kami melihat bayangan hitam gelap di depan kami tapi sangat tak jelas karena
tertutup halimun yang semakin tebal. Kami ketakutan. Tiba-tiba nakhoda menunjuk lurus ke depan
dan mengatakan sesuatu dengan suaranya yang serak.
"Pulau Lanun!"
Kami serentak berdiri terperangah dan tepat ketika beliau selesai menyebutkan nama pulau itu
terdengarlah lolongan segerombolan anjing meleng-king-lengking mendiriikan bulu kuduk, seperti
me-nyambut tamu tak diundang.
Teronggok sepi seperti sebuah benda asing yang dikelilingi samudra, Pulau Lanun tampak kecil
sekali. Ada puluhan pohon kelapa di sisi timurnya
dan daun-daun kela-pa itu berkilauan laksana lampu-lampu neon yang berkibar-kibar karena
pantulan sinar purnama. Di tengah pulau tumbuh pohon-pohon besar yang rindang di antara ilalang
dan bongkahan-bongkahan batu. Lolongan anjing semakin panjang dan menjadi-jadi ketika perahu
menyelusuri naungan dahan-dahan bakau, men-dekati Pulau Lanun. Pada bagian ini cahaya bulan
tak tembus dan terang hanya kami dapat dari lampu pelita kecil yang berayun-ayun di tiang layar.
Di bawah naungan daun-daun bakau itu kami disergap perasaan takut yang sulit dijelaskan.
Di dalam hati aku mencoba merekonstruksi perasaan yang dialami utusan pawang angin tempo hari
dan sejauh ini semuanya tepat. Mereka mengatakan nuansa magis mulai terasa ketika perahu
mendekati pulau, hal itu benar. Saat perahu merapat rasanya tengkuk ditiup-tiup oleh angin yang
jahat dari mulut ribuan hantu tak kasatmata yang membuntuti kami. Ada sebuah pengaruh mistis
dan udara kuburan. Ada rasa kemurtadan, peng-khianatan, dan pembangkangan pada Tuhan. Ada
jerit kesakitan dari binatang yang dibantai untuk ritual sesat dan tercium bau amis darah, bau mayatmayat
lama yang sengaja tak dikubur, bau asap dupa untuk memanggil iblis, dan bau ancaman
kematian.
Kabut yang beterbangan agaknya makhluk suruhan gentayangan yang mengawasi setiap gerakgerik
kami. Bangkai-bangkai perahu perompak yang pemiliknya telah dipenggal Tuk Bayan Tula
berserakan hitam dan hangus. Pakaian-pakaian lengkap manusia memperlihatkan mayat mereka tak
pernah diurus sang datuk. Jika ia ingin menyembelih kami tak ada hukum yang akan membela kami
di sini. Kami seperti menyerahkan leher memasuki sumur sarang makhluk jadi-jadian karena tak
mampu mengekang nafsu ingin tahu.
Anjing-anjing yang melolong dalam kesenyapan malam tak tampak bentuknya. Kadang kala terdengar
seperti bayi yang menangis atau nenek tua yang memohon ampun karena jilatan api neraka.
Suara-suara ini mematahkan semangat dan menciutkan nyali. Sungguh besar sugesti Tuk Bayan
Tula dan sungguh hebat pengaruh magis legendanya sehingga menciptakan kesan mencekam
seperti ini. Saat itu kuakui bahwa beliau apa pun bentuknya memang orang yang berilmu sangat
tinggi. Daya bius magis Tuk Bayan Tula menisbikan pengalaman bertaruh dengan maut ketika
badai menghantam perahu kami beberapa waktu yang lalu. Seperti kharisma binatang buas yang
membuat mangsanya tak berkutik sebelum diterkam, demikianlah kharisma Tuk Bayan Tula.
Walaupun sinar purnama kedua belas terang tapi semuanya tampak kelam. Kami berjalan pelan
beriringan menuju kelompok pohon-pohon rindang dan batu-batu tadi. Di situlah Tuk Bayan Tula,
orang tersakti dari yang paling sakti, raja semua dukun, dan manusia setengah peri tinggal. Kami
gemetar namun tampak jelas setiap anggota Societeit telah menunggu momen ini sepanjang
hidupnya.
Tiba-tiba, seperti dikomando, suara lolongan anjing berhenti, diganti oleh kesenyapan yang
mengikat. Burung-burung gagak berkaok-kaok nyaring di puncak pohon bakau yang tumbuh subur
sampai naik ke daratan. Suasana semakin seram ketika kami menerabas ilalang dan menjumpai
beberapa punsuk menyembul-nyembul seperti iblis bersembuyi di celah-celah perdu tebal. Punsuk
adalah istilah orang Kek untuk menyebut gundukan tanah seperti makam-makam kuno. Punsuk
selalu identik dengan rumah berbagai makhluk halus, lebih dari itu karena ia kelihatan seperti
kuburan-kuburan Belanda, maka padang kecil ini terkesan sangat angker.
Akhirnya, kami tiba di sebuah rongga yang disebut gua oleh utusan dulu. Gua itu adalah celah
antara dua batu be-sar yang bersanding tidak simetris. Itulah rumah Tuk Bayan Tula. Kengerian
semakin mencekam tapi apa pun yang terjadi semuanya telah terlambat karena kami melihat sebelas
pelepah pinang tergelar di mulut rongga batu. Kami menjual dan datuk telah membeli. Kami
telah disambut dan harus siap dengan risiko apa pun.
Kami tak langsung duduk karena dilanda ketakutan apa-lagi di dalam gua terlihat kain tipis
berkelebat lalu pelan-pelan seperti asap yang mengepul dari tumpukan kayu basah yang dibakar
muncul sebuah sosok tinggi besar. Dengan mata kepalaku sendiri aku menyaksikan bahwa sosok itu
tidak menginjak bumi. Ia seperti mengambang di
udara, bergerak maju mundur seumpama benda tak berbobot. Belum pernah seumur hidupku
menyaksikan
pemandangan seajaib itu. Dialah sang orang sakti, manusia setengah peri, Tuk Bayan
Tula.
Tanpa sempat kami berpikir tiba-tiba sosok itu melesat seperti angin dan telah berdiri tegap kukuh
di depan kami. Kami terperanjat, serentak terjajar mundur, dan nyaris lari pontang-panting. Tapi
kami menguatkan hati. Tuk Bayan Tula berada dua meter dari kami yang takzim mengelilinginya.
Beliau adalah seseorang yang sungguh-sungguh mencitrakan dirinya sebagai orang sakti berilmu
setinggi langit. Kain hitam melilit-lilit tubuhnya, parang panjangnya masih sama dengan cerita
utusan dulu, rambut, kumis, dan jenggotnya lebat tak terurus, berwarna putih bercampur cokelat.
Tulang pipinya sangat keras mengisyaratkan ia mampu melakukan kekejaman yang tak
terbayangkan dan dan alisnya mencerminkan ia tak takut pada apa pun bah-kan pada Tuhan.
Namun, yang paling menonjol adalah matanya yang berkilat-kilat seperti mata burung, seluruhnya
berwarna hitam. Sedikit banyak, apa pun yang akan terjadi, aku merasa beruntung pernah melihat
legenda hidup ini.
Tuk diam mematung. Seluruh anggota Societeit memandanginya. Bertarung nyawa ke pulau ini
agaknya terbayar karena telah melihat tokoh panutan mereka. Tak sedikit pun keramahan
ditunjukkan Tuk. Lalu beliau duduk dan kami juga duduk di sebelas pelepah pinang yang secara
misterius telah beliau sediakan. Mahar tampak
sangat terpesona dengan sang datuk, baginya ini mimpi yang menjadi kenyataan. Tapi ia masih tak
berani mendekat karena takut. Maka Flo bangkit menghampiri Mahar, menarik tangannya, dan
wanita muda luar biasa itu tanpa tedeng aling-aling menyeret Mahar menghadap datuk.
Selanjutnya dengan amat berhati-hati Mahar berbisik pada sang datuk. Tuk memandang jauh ke
samudra yang berkilauan tak peduli meskipun Mahar menceritakan bahaya maut yang kami alami
untuk menjumpainya. Suara Mahar terdengar sayup-sayup
"... ombak setinggi tujuh meter...."
"... badai ... angin puting beliung ... tiang la-yar patah ... azan ...."
Tuk Bayan Tula mendengarkan tanpa minat. Mahar melanjutkan kisahnya hingga sampai kepada
tujuan utama kedatangannya.
"... saya dan Flo akan diusir dari sekolah ...."
"... sudah mendapat surat peringatan karena nilai-ni-lai yang merah ...."
"... minta tolong agar kami bisa lulus ujian ........ "
"... minta tolong Datuk, tak ada lagi harapan lain ...."
"... dimarahi orangtua dan guru setiap hari ...."
Kami diam seribu basa dan terus-menerus memandangi Tuk dari ujung kaki sampai ujung rambut.
Tiba-tiba tak dinyana, Datuk memalingkan wajahnya pada Mahar dan Flo. Kedua anak nakal itu
pucat pasi. Tuk memegang pundak Mahar sambil mengangguk-angguk. Mahar berseri-seri bukan
main seperti korban longsor dicium presiden. Para anggota Societeit tampak bangga ketuanya
disentuh dukun sakti pujaan hati mereka. Mahar mengerti apa yang harus dilakukan. Ia mengeluarkan
sepucuk surat dan sebuah pena lalu me-nyerahkannya dengan penuh hormat pada Tuk.
Datuk itu mengambilnya dan dengan kecepatan yang tak masuk akal beliau kembali masuk ke
dalam gua.
Selanjutnya terjadi sesuatu yang sangat aneh. Dari dalam gua terdengar suara keras bantinganbantingan
seperti sepuluh orang sedang berkelahi. Kami terlonjak dari tempat duduk, berkumpul
rapat-rapat, mamandang waspada ke dalam gua. Kami mendengar suara auman seekor binatang
buas bersuara menakutkan yang belum pernah kami dengar sebelumnya.
Jelas sekali di dalam sana Tuk Bayan Tula sedang
bertarung habis-habisan dengan makhlukmakhluk
besar yang ganas. Rupanya untuk meme-nuhi permintaan Mahar beliau harus
mengalahkan ribuan hantu. Seberkas penyesalan tampak di wajah Mahar. Ia tak sanggup
menanggungkan beban jika tokoh kesayangannya harus tewas karena permohonannya.
Debu mengepul dari pasir lantai gua karena makhluk-makhluk liar bergumul di dalamnya. Kami
bergidik cemas tapi tak berani mendekat. Kami menunduk memejamkan mata membayangkan
risiko maut. Lalu piring kaleng, panci, tulang-tulang ikan,
tempurung kelapa, tungku, cangkir, cambuk,
parang, dan sendok terlempar keluar gua dan ber-serakan di dekat kami. Di antara benda-benda itu
terdapat primbon, penanggalan tradisional Bali, peta laut, dan beberapa kitab lama bertulisan tangan
bahasa Melayu kuno dan Kek.
Pertempuran demikian seru hingga akhirnya terdengar jeritan kekalahan. Lalu kami melihat
puluhan sosok bayangan lelembut berbentuk seperti jasad terbungkus kain kafan hitam beterbangan
melesat cepat keluar dari dalam gua menembus pucuk-pucuk pohon santigi menghilang ke arah
laut. Anjing-anjing hutan kembali melolong agaknya lolongan anjing-anjing itu memaki-maki
gerombolan hantu yang telah dikalahkan Tuk Bayan Tula.
Tuk Bayan Tula kembali hadir di mulut gua dalam
keadaan terengah-engah, compang-camping,
dan berantakan. Aku sangat prihatin melihat orang sakti sampai terseok-seok seperti itu. Demi
memenuhi permintaan Mahar dan Flo agar tak diusir dari sekolah beliau telah mempertaruhkan
jiwa.
Tuk mengangkat gulungan kertas pesannya tinggi-tinggi seakan mengatakan, "Lihatlah wahai
manusia-manusia cacing tak berguna, siapa pun, kasat atau siluman tak 'kan sanggup melawanku.
Aku telah membinasakan iblis-iblis dari dasar neraka untuk membuat keajaiban yang membalikkan
hukum alam. Nilai-nilai ujianmu akan melingkar sendiri dalam kegelapan untuk menyelamatkanmu
di sekolah tua itu. Terimalah hadiahmu, karena engkau anak muda pemberani yang telah menantang
maut untuk menemuiku ...."
Tuk menyerahkan gulungan kertas itu yang disambut Mahar dengan kedua tangannya seperti
gelandangan yang hampir mati kelaparan menerima sedekah. Mahar memasukkan gulungan kertas
ke dalam tempat bekas bola badminton dengan amat hati-hati dan menutupnya rapat-rapat seperti
arsitek menyimpan cetak biru bangunan rahasia tempat menyiksa aktivis. Kotak itu dimasukkannya
ke dalam jaketnya. Tuk memberi isyarat agar kertas itu dibuka setelah kami tiba di rumah dan
menunjuk ke perahu agar kami segera angkat kaki. Tak sempat kami mengucapkan terima kasih,
secepat kilat, seperti angin Tuk Bayan Tula lenyap dari pandangan, sirna ditelan gelap dan asap
dupa gua persemayamannya.
Kami lari terbirit-birit menuju perahu. Nakhoda segera menghidupkan mesin. Kami langsung kabur
pulang. Mahar memegangi kotak bola badminton di jaketnya tak lepas-lepas. Wajahnya senang
bukan main. Flo juga tersenyum lega. Kertas itulah sertifikat asuransi pendidikan mereka. Kami
semua sepakat akan membuka surat itu besok se-pulang sekolah di bawah ffficium.
Tengah hari itu banyak orang berkumpul di bawah pohon filicium. Seluruh teman sekelasku,
seluruh anggota Societeit termasuk nakhoda yang juga menyatakan minat mendaftar sebagai
anggota baru, dan para utusan terdahulu yaitu dua orang dukun, kepala suku Sawang, dan seorang
polisi senior. Karena berita kami mengunjungi Tuk Bayan
Tula telah tersebar ke seantero kampung maka dalam waktu singkat reputasi Societeit melejit.
Semua orang tahu betapa besarnya risiko mengunjungi Pulau Lanun, yaitu ombak yang ganas, ikanikan
hiu, dan kekejaman Tuk Bayan Tula sendiri. Maka dalam pembukaan pesan Tuk siang ini
banyak sekali yang hadir. Kulihat ada Tuan Pos, para calon anggota baru Societeit yang
bersemangat karena reputasi baru organisasi, beberapa penjaga dan pemilik warung kopi, beberapa
orang tukang gosip, tukang ikan, juragan-juragan perahu, dan beberapa penggemar para normal
tingkat pemula.
Setelah seluruh guru pulang Mahar dan Flo keluar dari kelas dengan wajah berseri-seri.
Langkahnya ringan karena beban hancurnya nilai-nilai ulangan yang telah sekian lama menggelayut
di pundak mereka akan segera sirna. Mereka yakin sekali pesan Tuk akan menyelamatkan masa
depannya. Parapsikologi, metafisika, dan paranormal terbukti bisa memasuki area mana pun,
demikian kesan di wajah keduanya. Lalu kesan lain: kalian boleh membaca buku sampai bola mata
kalian meloncat tapi Tuk Bayan Tula akan membuat kami tampak lebih pintar, atau: bel-ajarlah
kalian sampai muntah-muntah dan kami akan terus mengembara mengejar pesona dunia gaib, tapi
tetap naik kelas sampai tingkat berapa pun.
Mahar dengan cermat mengeluarkan kotak bola
badminton, ia membuka tutupnya pelan-pelan.
Mengambil gulungan kertas itu dan mengangkatnya tinggitinggi.
Baginya itulah dokumen deklarasi
kemerdekaan dirinya dan Flo dari penjajahan dunia pendidikan yang banyak menuntut. Mahar
meme-gangi gulungan itu kuat-kuat dan sebelum membukanya ia memberikan sebuah pidato
singkat:
"Nasib baik memihak para pemberani!" Itulah pembukaan pidatonya, sangat filosofis
seperti Socrates sedang memberikan pelajaran filsafat pada muridmuridnya.
Anggota Societeit mengangguk-angguk setuju.
"Inilah pesan yang kami dapatkan dengan su-sah payah. Kami mengikatkan diri pada tiang layar
karena nyawa kami tinggal sejengkal dan kami memuntahkan cairan terakhir yang rasanya pahit
untuk mendapatkan keajaiban ini!"
Anggota Societeit bertepuk tangan bangga mendengar pidato hebat ketuanya. Demi menyak-sikan
pembukaan pesan ini sang teller BRI bolos kerja sedangkan bapak Tionghoa tukang sepuh emas
menutup tokonya. Mahar melanjut-kan pidato dengan berapi-api.
"Kami rela menggadaikan harta benda kesa-yangan dan berani mengambil risiko dimusnahkan dari
muka bumi oleh Tuk Bayan Tula, tapi akhirnya kami bisa membuktikan bahwa Societeit de Limpai
bukan organisasi sembarangan!"
Mahar berpidato penuh wibawa di hadapan para pengikutnya lalu seperti biasa ia mengeluarkan
bahasa tubuhnya yang khas: menaikkan alis, mengangkat bahu, dan mengangguk-angguk.
"Kami menyaksikan sendiri bahwa Tuk Bayan Tula bertempur habis-habisan untuk memberi kita
pesan pada kertas ini!! Sebagai ketua Societeit, saya merasa mendapat respek dengan perlakuan
beliau itu."
Anggota Societeit kembali bertepuk tangan bergemuruh. Wajah Flo tampak semakin cantik ketika
ia gembira.
"Maka, inilah prestasi tertinggi Societeit de Limpai."
Mahar mengangkat lagi gulungan kertas pesan Tuk Bayan Tula tinggi dan akan segera
membukanya.
Semua orang merubung ingin tahu. Beberapa peminat, termasuk aku, sampai naik ke atas dahandahan
rendah filicium agar dapat membaca pesan Tuk. Tangan Mahar gemetar memegang gulungan
kertas keramat itu dan wajah Flo memerah menahan girang, ia melonjak-lonjak tak sabar menunggu
kejutan yang menyenangkan. Semua orang merasa tegang dan sangat ingin tahu. Mahar perlahanlahan
membuka gulungan kertas itu dan di sana, di kertas itu tertulis dengan jelas:
INILAH PESAN TUK-BAYAN-TULA UNTUK
KALIANBERDUA,
KALAU INGIN LULUS UJIAN:
BUKA BUKU,BELAJARLAH
BAB XXX
Elvis Has Left the Building
KAMIsedang benci pada Samson karena sikapnya yang keras kepala. Kami berdebat hebat di
bawah pohon filicium. Sembilan lawan satu. Tapi ia dengan konyol tetap memperjuangkan
pendiriannya, tak mau kalah.
Duduk perkaranya adalah semalam kami baru saja menonton film Puiau Putri yang dibintangi S.
Bagyo. Di film itu S. Bagyo dkk. terdampar di sebuah pulau sepi yang hanya dihuni kaum wanita.
Kerajaan atau berarti lebih tepatnya keratuan di pulau itu sedang diteror seorang ne-nek sihir
berwajah seram. Jika ia tertawa, ingin rasanya kami terkencing-kencing.
Kami menonton film yang diputar sehabis ma-grib itu di bioskop MPB (Markas Pertemuan Buruh)
yang khusus disediakan oleh PN Timah bagi anak-anak bukan orang staf. Sebuah bioskop kualitas
misbar dengan 2 buah pengeras suara lapangan merk TOA. Karena lantainya tidak didesain
selayaknya bioskop maka agar penonton yang paling belakang tidak terhalang pandangannya, di
bagian belakang disediakan bangku tinggi-tinggi.
Dan kami, sepuluh orang termasuk Flo duduk berjejer di bangku paling belakang.
Anak-anak orang staf menonton di tempat yang berbeda, namanya Wisma Ria. Di sana film diputar
dua kali seminggu. Penonton dijemput dengan bus berwarna biru. Tentu saja di bioskop itu juga
terpampang peringatan keras "DILARANG MASUK BAGI YANG TIDAK MEMILIKI HAK".
Kami tak menduga sama sekali kalau film yang berjudul indah Putau Putri tersebut adalah film
horor. Membaca judulnya kami pikir kami akan melihat beberapa putri cantik melumuri tubuhnya
dengan semacam krim dan lari berlarian sambil tertawa cekikikan di pinggir pantai.
"Asyik," kata Kucai berbinar-binar.
Namun, perkiraan kami meleset. Baru beberapa menit film dimulai nenek sihir itu muncul dengan
tawanya yang mengerikan. Yang cekikikan adalah kaum dedemit. S. Bagyo dan kawan-kawan lari
terbirit-birit. Dari belakang aku dapat menyaksikan seluruh penonton, anak-anak kuli PN Timah,
tiarap setiap nenek jahat itu muncul di layar. Beberapa anak perempuan menangis dan anak-anak
lainnya ambil langkah seribu, kabur dari bioskop rombeng ini dan tak kembali lagi.
Di deretan tempat dudukku kulihat Samson yang duduk di ujung kiri hampir sama sekali tidak
menonton. la bersembunyi di ketiak Syahdan. Sebaliknya, Syahdan bersembunyi di ketiak A Kiong.
A Kiong bersembunyi di ketiak Kucai, Kucai di ketiakku. Aku dan Trapani di ketiak Mahar.
Trapani menjerit-jerit memanggil ibunya jika nenek sihir itu mengobrak-abrik kampung. Dan
Mahar menunduk seperti orang mengheningkan cipta.
Yang berdiri tegak tak bergerak hanya Harun, Sahara, dan Flo. Mereka tertawa terbahak-bahak
melihat S. Bagyo pontang-panting dikejar setan. Jika S. Bagyo berhasil lolos mereka bertepuk
tangan.
Ketika pulang, kami bergandengan tangan. Ketika melewati kuburan, tangan Trapani sedingin es.
Esoknya, saat istirahat siang Samson berkeras bahwa nenek sihir itulah yang diuber-uber oleh S.
Bagyo. Kami semua protes karena ceritanya sama sekali tidak begitu.
"Tahukah kau justru Bagyolah yang diuber-uber nenek sihir sepanjang film itu," Samson berkeras.
"Mana mungkin," bantah Kucai.
"Aku melihat sendiri kau menggigil ketakutan di bawah ketiak Syahdan," serang A Kiong.
Samson masih berkelit, "Apa kau sendiri menonton?
Setahuku hanya Sahara, Harun, dan Flo yang
tak sem-bunyi."
Sahara melirik kami dengan pandangan jijik, "Semua pria brengsek!" katanya ketus.
Harun mengangguk-angguk mendukung mutlak pernyataan itu.
"Biar kami hanya melirik sekali-sekali bukan ber-arti kami tak tahu jalan ceritanya," Mahar
memojokkan Samson.
Demi mendengar kata "melirik sekali-sekali" itu
Sahara semakin jijik.
"Semua pria menyedihkan!"
Samson membalas Mahar, "Ah! Tahu apa kau soal film, urus saja jambulmu itu!"
Kami semua tertawa geli, dan memang Mahar segera menyisir jambulnya.
Kami semua terlibat perang mulut, kecuali Trapani, ia diam melamun. Belakangan ini Trapani
semakin pendiam dan sering melamun. Aku paham apa yang terjadi. Samson malu mengakui bahwa
ia bersembunyi di bawah ketiak Syahdan. Ia tak ingin citranya sebagai pria macho hancur hanya
karena ketakutan nonton sebuah film. Perilakunya itu persis kaum oportunis di panggung politik
negeri ini.
Perdebatan semakin seru. Diperlukan seorang penengah dengan wawasan dan kata-kata cerdas
pamungkas untuk mengakhiri perseteruan ini. Sayangnya si cerdas itu sudah dua hari tak tampak
batang hidungnya. Tak ada kabar berita.
Ketika esoknya Lintang tak juga hadir, kami mulai khawatir. Sembilan tahun bersama-sama tak
pernah ia bolos. Saat ini sedang musim hujan, bukan saatnya kerja kopra. Bukan pula musim panen
kerang, sementara karet telah digerus bulan lalu. Pasti ada sesuatu yang sangat penting. Rumahnya
terlalu jauh untuk mencari berita.
Sekarang hari Kamis, sudah empat hari Lintang
tak muncul juga. Aku melamun memandangi tempat duduk di sebelahku yang kosong. Aku sedih
melihat dahan filicium tempat ia bertengger jika kami memandangi pelangi. Ia tak ada di sana.
Kami sangat kehilangan dan cemas. Aku rindu pada Lintang.
Kelas tak sama tanpa Lintang. Tanpanya kelas kami hampa kehilangan auranya, tak berdaya.
Suasana kelas menjadi sepi. Kami rindu jawaban-jawaban hebatnya, kami rindu kata-kata
cerdasnya, kami rindu melihat-nya berdebat dengan guru. Kami juga rindu rambut acak-acakannya,
sandal jeleknya, dan tas karungnya.
Bu Mus berusaha ke sana sini mencari kabar dan menitipkan pesan pada orang yang mungkin
melalui kampung pesisir tempat tinggal Lintang. Aku cemas membayangkan kemungkinan buruk.
Tapi biarlah kami tunggu sampai akhir minggu ini.
Senin pagi, kami semua berharap menjumpai Lintang dengan senyum cerianya dan kejutan-kejutan
barunya. Tapi ia tak muncul juga. Ketika kami sedang berunding untuk mengunjunginya, seorang
pria kurus tak beralas kaki masuk ke kelas kami, menyampaikan surat kepada Bu Mus. Begitu
banyak kesedihan kami lalui dengan Bu Mus selama hampir sembilan tahun di SD dan SMP
Muham-madiyah tapi baru pertama kali ini aku melihatnya menangis. Air matanya berjatuhan di
atas surat itu.
Ibunda guru,
Ayahku telah meninggal, besok aku akan ke sekolah. Salamku, Lintang.
Seorang anak laki-laki tertua keluarga pesisir miskin yang ditinggal mati ayah, harus menanggung
nafkah ibu, banyak adik, kakek-nenek, dan paman-paman yang tak berdaya, Lintang tak punya
peluang sedikit pun untuk melanjutkan sekolah. la sekarang harus mengambil alih menanggung
nafkah paling tidak empat belas orang, karena ayahnya, pria kurus berwajah lembut itu, telah mati,
karena pria cemara angin itu kini telah tumbang. Jasadnya dimakamkan bersama harapan besarnya
terhadap anak lelaki satu-satunya dan justru kematiannya ikut membunuh cita-cita agung anaknya
itu. Maka mereka berdua, orang-orang hebat dari pesisir ini, hari ini terkubur dalam ironi. Di bawah
pohon fiiicium kami akan mengu-capkan perpisahan. Aku hanya diam. Hatiku kosong. Perpisahan
belum dimulai tapi Trapani sudah menangis terisak-isak. Sahara dan Harun duduk bergandengan
tangan sambil tersedu-sedu. Samson, Mahar, Kucai, dan Syahdan berulang kali mengambil wudu,
sebenarnya dengan tujuan menghapus air mata. A Kiong melamun sendirian tak mau diganggu. Flo,
yang baru saja mengenal Lintang dan tak mudah terharu tampak sangat muram. la menunduk diam,
matanya berkaca-kaca.
Baru kali ini aku melihatnya sedih.
Kami melepas seorang sahabat genius asli didikan alam, salah seorang pejuang Laskar Pelangi
lapisan tertinggi. Dialah ningrat di antara kami. Dialah yang telah menorehkan prestasi paling
istimewa dan pahlawan yang mengangkat derajat perguruan miskin ini. Kuingat semua jejak kecerdasannya
sejak pertama kali ia memegang pensil yang salah pada hari pertama sekolah, sembilan
tahun yang lalu. Aku ingat semangat persahabatan dan kejernihan buah pikirannya. Dialah Newtonku,
Adam Smithku, Andre Ampereku.
Lintang adalah mercu suar. Ia bintang petunjuk bagi pelaut di samudra. Begitu banyak energi
positif, keceriaan, dan daya hidup terpancar dari dirinya. Di dekatnya kami terimbas cahaya yang
masuk ke dalam rongga-rongga otak, memperjelas penglihatan pikiran, memicu keingintahuan, dan
membuka jalan menuju pemahaman. Darinya kami belajar tentang kerendahan hati, tekad, dan
persahabatan. Ketika ia menekan tombol di atas meja mahoni pada lomba kecerdasan dulu, ia telah
menyihir kepercayaan diri kami sampai hari ini, membuat kami berani bermimpi melawan nasib,
berani memiliki cita-cita.
Lintang seumpama bintang dalam rasi Cassiopeia
yang meledak dini hari ketika menyentuh
atmosfer. Ketika orang-orang masih lelap tertidur. Cahaya ledakannya menerangi angkasa raya,
memberi terang bagi kecemerlangan pikiran tanpa seorang pun tahu, tanpa ada yang peduli.
Bagai meteor pijar ia berkelana sendirian ke planet-planet pengetahuan, lalu kelipnya meredup
dalam hitungan mundur dan hari ini ia padam, tepat empat bulan sebelum ia menyelesaikan SMP.
Aku merasa amat pedih karena seorang anak supergenius, penduduk asli sebuah pulau terkaya di
Indonesia hari ini harus berhenti sekolah karena kekurangan biaya. Hari ini, seekor tikus kecil mati
di lum-bung padi yang behimpah ruah.
Kami pernah tertawa, menangis, dan menari bersama di dalam lingkaran bayang kobaran api. Kami
tercengang karena terobosan pemikirannya, terhibur oleh ide-ide segarnya yang memberontak, tak
biasa, dan menerobos. Ia belum pergi tapi aku sudah rindu dengan sorot mata lucunya, senyum
polosnya, dan setiap kata-kata cerdas dari mulutnya. Aku rindu pada dunia sendiri di dalam
kepalanya, sebuah dunia kepandaian yang luas tak terbatas dan kerendahan hati yang tak bertepi.
Inilah kisah klasik tentang anak pintar dari keluarga melarat. Hari ini, hari yang membuat gamang
seorang laki-laki kurus cemara angin sembilan tahun yang lalu akhirnya terjadi juga. Lintang, sang
bunga meriam ini tak 'kan lagi melontarkan tepung sari. Hari ini aku kehilangan teman sebangku
selama sembilan tahun. Kehilangan ini terasa lebih menyakitkan melebihi kehilangan A Ling,
karena kehilangan Lintang adalah kesia-siaan yang mahabesar. Ini tidak adil. Aku benci pada
mereka yang berpesta pora di Gedong dan aku benci pada diriku sendiri yang tak berdaya
menolong Lintang karena keluarga kami sendiri melarat dan orangtua-orangtua kami harus berjuang
setiap hari untuk sekadar menyambung hidup.
Ketika datang keesokan harinya, wajah Lintang tampak hampa. Aku tahu hatinya menjerit, meronta-
ronta dalam putus asa karena penolakan yang hebat terhadap perpisahan ini. Sekolah, kawankawan,
buku, dan pelajaran adalah segala-galanya baginya, itulah dunianya dan seluruh
kecintaannya. Suasana sepi membisu, suara-suara unggas yang biasanya huh rendah di pohon
filicium sore ini lengang. Semua hati terendam air mata melepas sang mutiara ilmu dari lingkaran
pendidikan. Ketika kami satu per satu memeluknya tanda perpisahan, air matanya mengalir pelan,
pelukannya erat seolah tak mau melepaskan, tubuhnya bergetar saat jiwa kecerdasannya yang agung
tercabut paksa mening-galkan sekolah.
Aku tak sanggup menatap wajahnya yang pilu dan kesedihanku yang mengharu biru telah
mencurahkan habis air mataku, tak dapat kutahan-tahan sekeras apa pun aku berusaha. Kini ia
menjadi tangis bisu tanpa air mata, pehh sekali. Aku bahkan tak kuat mengucapkan sepatah pun
kata perpisahan. Kami semua sesenggukan. Bibir Bu Mus bergetar menahan tangis, matanya
semerah saga. Tak setitik pun air matanya jatuh. Beliau ingin kami tegar. Dadaku sesak
menahankan pemandangan itu. Sore itu adalah sore yang paling sendu di seantero Belitong, dari
muara Sungai Lenggang sampai ke pesisir Pangkalan Punai, dari Jembatan Mirang
sampai ke Tanjong Pandan. Itu adalah sore yang paling sendu di seantero jagad alam.
Saat itu aku menyadari bahwa kami se-sungguhnya adalah kumpulan persaudaran cahaya dan api.
Kami berjanji setia di bawah halilintar yang menyambar-nyambar dan angin topan yang menerbangkan
gunung-gunung. Janji kami tertulis pada tujuh tingkatan langit, disaksikan naga-naga
siluman yang menguasai Laut Cina Selatan. Kami adalah lapisan-lapisan pelangi terindah yang
pernah diciptakan Tuhan.Duqbelas tahun kemudian.
BAB XXXI
ZaalBatu
SEORANGwanita setengah baya berjalan de-ngan seorang pria bernama Dahroji, menghampiriku.
Masalah! Pasti masalah lagi!
"Kalau Nyonya mau marah, tumpahkan pada laki-laki berantakan ini," kata Dahroji. la pergi
menahan murka.
Wanita itu mengamatiku baik-baik. Dandanan-nya, huruf "r" dan "g" yang keluar dari tenggorokannya,
tarikan alisnya, serta gayanya memandang, mengesankan ia pernah sekian lama tinggal di
luar negeri dan ia muak dengan semua ketidakefisienan di negeri ini.
Agaknya ia memiliki masalah yang sangat ga-wat. Ya, memang gawat, surat restitusi bea masuk
lukisan dari luar negeri yang dikirim oleh kantor Duane terlambat ia terima karena aku salah sortir.
Seharusnya ia masuk kotak Ciawi tapi aku tak sengaja melemparkannya ke lubang Gunung Sindur.
Human error \
Telah tiga kali aku keliru minggu ini. Alasanku karena overload. Dahroji, ketua ekspedisi, tak mau
tahu kesulitanku. Volume surat meningkat tajam
dan banyak perluasan wilayah yang membuka wijk baru yang tak kukenal. Aku memandang kuyu
pada tiga karung surat bercap Union Postale Universele ketika nyonya yang masih seksi itu
komplain. Sejenak aku benci pada hidupku yang kacau balau. Salah satu ciri hidup yang tak sukses
adalah menerima semprotan pelanggan sebelum sempat sarapan pagi. Tapi sekian lama bekerja di
sini aku telah terlatih memadamkan sementara fungsi gendang telinga. Maka madam itu hanya
kulihat bergetar-getar seperti Greta Garbo dalam film bisu hitam putih.
"Hoe vaak moet ik je dat nog zeggenW" har-diknya sambil melengos pergi. Benar kan kataku?
Kira-kira maksudnya: saya sudah komplain berapa kali masih saja keliru!
Dan kembali aku termangu-mangu menatap tiga
karung surat tadi. Setelah terpuruk akibat
dikhotbahi nyonya itu aku masih harus bekerja keras menyortir semuanya karena pukul delapan
seluruh pengantar kilat khusus termin pertama akan berangkat dan karena aku adalah pegawai pos,
tukang sortir, bagian kiriman peka waktu, shift pagi, yang bekerja mulai subuh.
Aku sengsara batin karena ironi dalam hidupku. Rencana Aku dua belas tahun yang lalu untuk
menjadi seorang penulis dan pemain bulu tangkis ternama telah lenyap, kandas di dalam kotakkotak
sortir surat. Bahkan rencana Bku, yaitu menjadi penulis buku tentang bulu tangkis dan
kehidupan sosial, juga telah gagal meskipun di dalam hati aku
masih menyimpan komentar-komentar manis para mantan kampiun bulu tangkis.
Buku itu sebenarnya telah selesai kutulis, tidak tanggung-tanggung, seluruhnya mencapai 34 bab
dan hampir 100.000 kata. Untuk menulisnya aku telah melakukan riset yang intensif di federasi
bulu tangkis dan komite olahraga nasional serta menga-mati kehidupan sosial beberapa mantan
pemain bulu tangkis terkenal. Aku juga mempelajari budaya pop serta tren terbaru pengembangan
kepribadian. Tapi para penerbit tak sudi menerbitkan bukuku berdasarkan pertimbangan komersial.
Mereka lebih tertarik pada karya-karya sastra cabul, yaitu buku-buku yang penuh tulisan jorok
seperti kondom, masturbasi, dan orgasme karena buku-buku semacam itu lebih mendatangkan
keuntungan. Mereka, para penerbit itu, telah melupakan prinsip-prinsip men sana in corpore sano.
Aku berusaha membesarkan hati dengan berpretensi menyama-nyamakan diriku dengan John
Steinbeck yang tujuh kali ditolak penerbit tapi akhirnya bisa mengantongi Pulitzer. Aku juga tak
keberatan menjadi Mary Shelley yang hanya pernah sekali menulis buku Frankenstein lalu hilang
dalam kejayaan. Aku harap bukuku: Bulu Tangkis dan Pergauian dapat menjadi sebuah karya
fenomenal yang dikenang orang sepanjang masa. Setidaknya itulah sumbanganku untuk
kemanusiaan. Namun bagaimanapun aku berusaha menguatkan diri, kenyataannya aku hampir mati
lemas ditumpuki kegagalan demi kegagalan. Bagaimanapun dulu Pak
Harfan dan Bu Mus mengajariku agar tak gentar pada kesulitan apa pun, namun pada titik ini
dalam hidupku ternyata nasib telah menghantamku dengan technical knock out.
Pada suatu dini hari yang paling frustrasi, di bawah hujan deras, aku menumpuk empat bendel
master tulisanku beserta enam buah disket. Tumpukan itu kusimpul mati dengan tali jalin dan
pemberat setengah kilo berupa segel timah plombir untuk mengikat kantong pos. Aku berlari
menuju Jembatan Sempur lalu buku bulu tangkis rencana B ku itu, buku bergenre humaniora itu
sambil meme-jamkan mata dengan hati yang redam kulemparkan ke dasar Kali Ciliwung. Jika tak
tersangkut di celah batu-batu di dasar kali maka buku itu akan terapung-apung bersama banjir
kiriman ke Jakarta, hanyut terombang-ambing bersama cita-citaku.
Aku ingin melarikan diri ke satu-satunya tern-pat yang paling indah dalam hidupku, yang telah
kukenal sejak belasan tahun yang lalu. Sebuah desa cantik dengan taman bunga, pagar-pagar batu
kelabu yang mengelilinginya, dan jalan setapak yang ditudungi untaian dahan-dahan prem. Itulah
Edensor, eden berarti surga, nirwana pelarian dalam otak kecilku dari buku Herriot yang sangat
kumal karena telah puluhan kali kubaca. Semakin sukar hidupku, semakin sering aku membacanya.
Sayangnya aku tak bisa ke Edensor karena sampai hari ini tempat itu masih tetap hanya ada dalam
khayalanku.
Setiap pulang kerja aku sering duduk melamun
di pokok pohon randu, di pinggir Lapangan Sempur, dekat kamar kontrakanku. Menghadap ke Kali
Ciliwung aku memprotes Tuhan:
"Ya, Allah, bukankah dulu pernah kuminta jika aku gagal menjadi penulis dan pemain bulu tangkis
maka jadi-kan aku apa saja asal bukan pegawai pos! Dan jangan beri aku pekerjaan mulai subuh
...!!"
Tuhan menjawab doaku dulu persis sama se-perti yang tak kuminta. Begitulah cara Tuhan bekerja.
Jika kita menganggap doa dan pengabulan merupakan variabel-variabel dalam sebuah fungsi linier
maka Tuhan tak lain adalah musim hujan, sedikit banyak kita dapat membuat prediksi. Kuberi tahu
Kawan, cara bertindak Tuhan sangat aneh. Tuhan tidak tunduk pada postulat dan teorema mana
pun. Oleh karena itu, Tuhan sama sekali tak dapat diramalkan.
Maka inilah aku sekarang. Dalam asumsi yang konservatif petugas biro statistik menyebut orang
sepertiku sebagai mereka yang bekerja pada sektor jasa, mengonsumsi di bawah 2.100 kalori setiap
hari, dan berada dekat sekali dengan garis miskin. Miskin, kata itu demikian akrab sepanjang
hidupku, bagaikan sahabat baik, seperti mandi pagi. Sebenarnya sepanjang waktu aku meloncatloncat
di antara garis miskin itu, tergantung jam lembur yang diberikan Dahroji. Jika aku banyak
lembur maka bulan itu mereka dapat mempertimbangkanku dalam lapisan berpenghasilan
menengah ke bawah. Toh orang-orang statistik itu tidak membuat
parameter waktu bagi setiap kategori. Tapi
singkatnya begini saja, aku adalah bagian dari 57% rakyat miskin yang ada republik ini.
Hidup membujang, mandiri, terabaikan, bekerja sepuluh jam sehari, kisaran usia 25-30 tahun,
itulah demografi yang aku wakili. Secara psikografi identitasku adalah pria yang kesepian. Orang
marketing melihatku sebagai target market produk-produk minyak rambut, deodoran, peninggi
tubuh, peramping perut buncit, atau apa saja yang berkenaan dengan upaya peningkatan
kepercayaan diri. Dunia tak mau peduli padaku, dan negara hanya mengenalku me-lalui sembilan
digit nomor, 967275337, itulah nomor induk pegawaiku.
Tak ada bahagia pada pekerjaan sortir. Peker-jaan ini tidak termasuk dalam profesi yang
ditampilkan murid-murid SD dalam karnaval. Setiap hari berkubang dalam puluhan kantong pos
dari negeri antah berantah. Masa depan bagiku adalah pensiun dalam keadaan miskin dan rutin
berobat melalui fasilitas Jamsostek, lalu mati merana sebagai orang yang bukan siapa-siapa.
Setelah usai bekerja aku terlalu lelah untuk bersosialisasi. Aku menderita insomnia. Setiap malam
antara tidur dan terjaga aku terhipnotis cerita wayang golek dan suara kemerosok radio AM. Aku
bangun pagi-pagi buta ketika orang-orang Bogor masih meringkuk di tempat tidur mereka yang
nyaman. Aku merangkak-rangkak kedinginan, ter-seok-seok menuju kantor pos melewati bantaran
Kali Ciliwung yang masih diliputi kabut untuk kembali menyortir ribuan surat. Saat orangorang
Bogor
bangun dan mengibas-ngibaskan koran pagi di depan teh panas dan tangkupan roti, aku juga
sarapan makian dari madam Belanda tadi. Itulah hidupku sekarang, masa depanku tak jelas dan aku
sudah tak punya konsep lagi tentang masa depan. Semuanya serba tak pasti. Vang kutahu pasti
cuma satu hal: aku telah gagal. Aku mengutuki diri sendiri terutama ketika apel Korpri tanggal 17.
Hanya Eryn Resvaldya Novella satu-satunya hiburan dalam hidupku. la cerdas, agamais, cantik,
dan baik hati. Usianya 21 tahun. Belakangan aku memanggilnya awardee karena ia baru saja
menerima award sebagai mahasiswa paling bermutu di salah satu universitas paling bergengsi di
negeri ini di kawasan Depok. Ia mahasiswa universitas itu, jurusan psikologi. Ayah Eryn, abangku,
terkena PHK dan aku mengambil alih membiayai sekolahnya.
Lelah seharian bekerja lenyap jika melihat Eryn dan semangat belajarnya, jiwa positifnya, dan
intelegensia yang terpancar dari sinar matanya. Aku rela kerja lembur berjam-jam, membantu
menerje-mahkan bahasa Ing-gris, menerima ketikan, dan berkorban apa saja termasuk baru-baru ini
meng-gadaikan sebuah tape deck, hartaku yang paling berharga demi membiayai kuliahnya.
Pengalaman dengan Lintang telah menjadi trauma bagiku. Kadang-kadang aku bekerja begitu keras
demi Eryn untuk menghilangkan perasaan bersalah karena tak mampu membantu Lintang. Eryn
menimbulkan semacam perasaan bahwa semenyedihkan apa pun,
hidupku masih berguna. Tak ada yang dapat
dibanggakan dalam hidupku sekarang, tapi aku ingin mendedikasikannya pada sesuatu yang
penting. Eryn adalah satu-satunya arti dalam hidupku.
Saat ini Eryn sedang panik karena proposal skripsinya berulang kali ditolak. Sudan belasan kali hal
ini terjadi. Sejak kuliahnya selesai semester lalu ia telah menghabiskan waktu lima bulan hanya
untuk mencari topik skripsi yang bermutu. Bersama surat penolakan itu pembimbingnya
melampirkan lima belas lembar kertas berisi judul skripsi yang pernah ditulis. Aku melirik, benar
saja, sudah tiga puluh orang yang menulis tentang personality disorder, puluhan lainnya menulis
topik tentang kepuasan kerja, down syndrome, dan metode konseling anak. Tak terhitung yang telah
menulis skripsi mengenai autisme.
Pembimbingnya menuntut Eryn menulis sesuatu yang baru, berbeda, dan mampu membuat
terobosan ilmiah karena ia adalah mahasiswa cerdas pemenang award. Aku setuju dengan
pandangan itu. Eryn sebenarnya telah memiliki konsep tentang sesuatu yang berbeda itu. Dari
pembicaraannya yang meluap-luap aku menangkap bahwa ia telah mempelajari suatu gejala
psikologi di mana seorang individu demikian tergantung pada individu lain sehingga tak bisa
melakukan apa pun tanpa pasangannya itu. Kemudian ia pun mengajukan tema tersebut,
pembimbingnya setuju.
Masalahnya adalah gejala seperti itu sangat jarang terjadi sehingga Eryn tak kunjung
mendapatkan kasus. Memang terdapat beberapa
kasus dependensi tapi intensitasnya rendah, gejala sehari-hari saja yang tidak memerlukan
perawatan khusus sehingga dianggap kurang memadai untuk analisis mendalam. Eryn mencari
sebuah kasus ketergantungan yang akut.
Ia telah berkorespondensi dengan puluhan psikolog, psikiater, dosen-dosen universitas, lemba-galembaga
yang menangani kesehatan mental, dan para dokter di rumah sakit jiwa di seluruh negeri,
tapi hampir empat bulan berlalu kasusnya tak kunjung ditemukan. Eryn mulai frustrasi.
Namun agaknya nasib menyapa Eryn hari ini. Ketika menyortir aku menemukan sepucuk surat
yang ditujukan ke kontrakanku. Surat untuk Eryn dengan sampul resmi yang bagus sekali, dari
sebuah rumah sakit jiwa di Sungai Liat, Bangka.
"Awardee1.Seseorang dari rumah sakit jiwa agaknya jatuh hati padamu .,„¦" kataku setiba di rumah
kontrakanku.
Ia merampas surat dari tanganku, membacanya sekilas, lalu meloncat-locat gembira.
"Alhamdullilah, finally1. Cicik (paman), kita akan berangkat ke Sungai Liat!"
Eryn telah menemukan kasusnya. Seorang dokter
senior profesor tepatnya yang menjadi staf ahli
di rumah sakit jiwa Sungai Liat memberi tahu bahwa kasus langka yang dicari Eryn ditemukan di
sana. Dokter itu juga mengatakan bahwa kasus itu banyak diincar para ilmuwan, termasuk beberapa
kandidat Ph.D. untuk diteliti, tapi Eryn diprioritaskan karena prestasi kuliahnya.
Eryn memintaku cuti untuk mengantarnya ke rumah sakit jiwa itu. Apa dayaku menolak, bukankah
semuanya memang untuk mendukung dirinya. Lagi pula Sungai Liat ada di Pulau Bangka, tetangga
Pulau Belitong. Kami akan sekalian pulang kampung setelah ia riset.
Rumah sakit jiwa Sungai Liat sudah sangat tua. Orang Belitong menyebutnya Zaal Batu.
Barangkali zaman dulu dinding ruang perawatannya adalah batu. Karena di Belitong tidak ada
rumah sakit jiwa bahkan sampai sekarang maka orang Belitong yang mentalnya sakit parah sering
dikirim melintasi laut ke rumah sakit jiwa ini. Karena itu Zaal Batu bagi orang Belitong selalu
memberi kesan sesuatu yang mendirikan bulu kuduk, kelam, sakit, dan putus asa.
Sore itu mendung ketika kami tiba di Zaal Batu. Suara azan ashar bersahut-sahutan lalu sepi pun
mencekam. Kami memasuki gedung tua berwarna serba putih dengan plafon tinggi dan pilar-pilar.
Lalu kami melewati sebuah selasar panjang berlantai ubin tua berwarna cokelat dan bermotif jajaran
genjang simetris.
Beberapa jambangan bunga model lama gaya Belanda bederet-deret di sepanjang selasar itu.
Pemandangan lainnya tak berbeda dengan rumah sakit jiwa lainnya. Pintu-pintu besi dengan
gembok besar, kamar obat berisi botol-botol pendek, bau karbol, meja beroda, para perawat yang
berpakaian serba putih, dan para pasien yang berbicara sendiri atau memandang aneh. Terdengar
lamat-lamat suara cekikikan dan teriakan beberapa kelompok pasien yang sedang bercanda dengan
para perawat di halaman rumah sakit yang luas.
Setelah melewati selasar kami berhadapan dengan sebuah pintu jeruji yang dikunci dengan lilitan
rantai dan digembok. Kami terhenti di situ. Seorang perawat pria tergopoh-gopoh menghampiri
kami. Ia tahu kami sedang ditunggu, ia membuka pintu. Kami masuk melintasi sebuah ruangan
panjang. Ruangan yang terkunci rapat ini menam-pung beberapa pasien. Mereka mengikuti gerakgerik
kami dengan teliti.
Eryn tak berani jauh-jauh dari perawat tadi. Aku tak takut tapi sedih melihat penderitaan jiwa
mereka. Suasana di sini mencekam. Banyak pasien berusia lanjut dan meskipun kelihatan sehat tapi
kita segera tahu bahwa orang-orang ini sangat terganggu kewarasannya. Pandangan matanya penuh
tekanan, kesedihan, dan beban. Beberapa di antaranya bersimpuh di lantai atau mengguncangguncang
jerejak besi di jendela.
Aku memerhatikan beberapa wajah para pasien di balik batangan jeruji besi. Perlahan-lahan
batangan jeruji itu bergerak sendiri berselang-seling. Wujudnya menjelma menjadi puluhan pasang
kaki manusia. Di sela-sela kaki itu kulihat wajah yang telah sangat lama kukenal. Kesedihan rumah
sakit jiwa ini membuka ruangan gelap di kepalaku, tempat Bodenga bersembunyi.
Kami kembali terhenti di depan sebuah pintu besi. Kali ini pintu besi dua lapis. Setelah rantai
dibuka kami memasuki ruangan berupa lorong yang panjang. Sisi kiri kanan lorong adalah kamarkamar
perawatan. Suasana di lorong ini sunyi senyap. Sebagian besar kamar kosong dengan pintu
terbuka. Kamar yang diisi pasien tertutup rapat. Lamat-lamat terdengar suara orang meratap dari
balik pintu-pintu tertutup itu.
Aku mendengar suara langkah sepatu yang bergema dalam kesepian ruangan. Seorang pria berusia
enam puluhan mendekati kami. Beliau tersenyum. Wajahnya tenang, bersih, dan bening, tipikal
wajah yang sering tersiram air wudu. Jemari tangannya menggulirkan biji-biji tasbih, beliau
mengucapkan asma-asma Allah, beliau membuatku sangat segan, seorang intelektual yang rendah
hati sekaligus yang taat beragama. Profesor ini memiliki dua kualitas agung tersebut. Dengan sangat
santun beliau menyatakan terima kasih atas kedatangan kami. Namanya Profesor Yan.
"Ini kasus mother complex yang sangat eks-trem ...," kata profesor itu dengan suara berat, itu
seakan ikut merasakan penderitaan pasiennya.
"Tiga puluh delapan tahun di bidang ini baru kali ini aku menjumpai hal semacam ini. Anak muda
ini sedikit pun tak bisa lepas dari ibunya. Jika bangun tidur tidak melihat ibunya ia menjerit-jerit
histeris. Ketergantungan yang kronis ini menyebabkan
ibunya sendiri sekarang hampir terganggu jiwanya. Mereka telah menghuni tempat ini hampir
selama enam tahun ...."
Aku tersentak miris mendengar penjelasan beliau.
Eryn sendiri terperanjat. Ia berusaha menguatkan
diri mendengar kenyataan yang menghan-curkan hati itu. Aku menatap wajah Profesor Yan.
Ia adalah dokter jiwa yang amat berpengalaman tapi jelas ia prihatin dan terpengaruh dengan kasus
ini. Di sisi lain aku kagum pada psikologi dan orang-orang yang mendedikasikan hidupnya pada
bidang ini.
Penjelasan Profesor Yan melekat dalam pikiran-ku. Aku merinding karena merasa getir pada nasib
anak beranak itu. Anak muda yang malang. Ibunya yang tadinya sehat terpaksa hidup tidak normal.
Orangtua mana yang mampu menolak kasih sayang anaknya, meskipun rasa sayang itu berlebihan?
Mungkin ia lebih rela gila daripada membiarkan anaknya berteriak-teriak memerlukannya
sepanjang waktu. Mereka berdua pasti amat menderita. Enam tahun terpuruk di sini, betapa
mengerikan. Kadang-kadang nasib bisa demikian kejam pada manusia. Siapakah anak beranak yang
malang itu?
Profesor Yan membimbing kami menyelusuri lorong tadi menuju sebuah pintu paling ujung. Di
sana ada ruangan terpencil dan menyendiri. Beliau membuka pintu pelan-pelanm. Aku gugup
memba-yangkan pemandangan yang akan kulihat. Akankah aku kuat menyaksikan penderitaan
seberat itu? Apa sebaiknya aku menunggu di luar saja? Tapi Profesor Yan telanjur membuka pintu.
Engsel pintu ber-decit panjang, menimbulkan rasa gamang.
Kami berdiri di ambang pintu. Ruangan itu luas, tak berjendela, dan dindingnya polos tinggi
berwarna putih. Tak ada lukisan atau jambangan bunga. Begitu sepi, tak ada suara satu pun.
Penerangan hanya berasal dari sebuah bohlam dengan kap rendah sehingga plafon menjadi gelap.
Ruangan ini suram, penuh nuansa kepedihan dan keputusasaan. Dalam sorot lampu tak tampak
perabot apa pun kecuali sebuah bangku panjang kecil nun jauh di sudut ruangan.
Dan di bangku panjang itu, kira-kira lima belas langkah dari kami, duduk berdua rapat-rapat kedua
makhluk malang itu, seorang ibu dan anaknya. Gerak-gerik mereka gelisah, seperti tempat itu
sangat asing dan mengancam mereka. Mereka seakan memelas, memohon agar diselamatkan.
Dalam cahaya lampu yang samar tampak sang anak berpostur tinggi dan sangat kurus, rambutnya
panjang dan menutupi sebagian wajahnya. Jam-bang, alis, dan kumisnya tebal tak teratur. Kulitnya
putih. Air mukanya menimbulkan perasaan iba yang memilukan. la berpakaian rapi, bajunya adalah
kemeja putih lengan panjang, celananya berwarna gelap, dan sepatu kulitnya bersih mengilap.
Usianya kurang lebih tiga puluhan. la ketakutan. Sorot matanya yang teduh melirik ke kiri dan ke
kanan. la gugup dan sering menarik napas panjang.
Ibunya kelihatan puluhan tahun lebih tua dari usia sesungguhnya. Pancaran matanya menyimpan
kesakitan yang parah dan caranya menatap menjalarkan rasa pedih yang dalam. Lingkaran di
sekeliling matanya berwarna hitam dan ia amatlah kurus. Daya hidup telah padam dalam dirinya. Ia
memakai sandal jepit yang kebesaran dan tampak menyedihkan. Wajahnya jelas memperlihatkan
kerisauan yang amat sangat dan tekanan jiwa yang tak tertahankan.
Mereka berdua melihat kami sepintas-sepintas tapi kebanyakan menunduk. Sang anak mengapit
lengan ibu-nya. Ketika kami masuk, ia semakin merapatkan dirinya pada ibunya. Aku tak sanggup
menanggungkan pemandangan memilukan ini. Tanpa kusadari air mataku mengalir. Eryn pun ingin
menangis tapi ia berupaya keras menjaga sikap profesional sebagai seorang peneliti. Aku tak tahan
me-lihat anak beranak dengan cobaan hidup seberat ini. Mereka seperti dua makhluk yang terjerat,
cidera, dan tak berdaya. Aku minta diri keluar dari ruangan yang menyesakan dada itu.
Hampir selama satu setengah jam Eryn dibantu oleh profesor yang baik itu dalam melakukan
semacam wawancara pendahuluan dengan kedua pasien malang itu. Dari pintu yang terbuka aku
dapat melihat mereka berempat duduk di bangku tersebut. Kedua pasien itu masih terlihat gelisah.
Kemudian wawancara pun selesai dan Eryn memberi isyarat padaku untuk berpamitan pada ibu
dan anak itu. Aku masuk lagi ke ruangan, mencoba tersenyum seramah mungkin walaupun hatiku
hancur membayangkan penderitaan mereka. Aku
menyalami keduanya. Kali ini Eryn tak sanggup menahan air matanya. Lalu pelan-pelan kami
pamit keluar ruangan.
Profesor Yan dan Eryn berjalan di depanku. Mereka terlebih dahulu keluar ruangan, sementara aku
yang keluar terakhir meraih gagang pintu dan menutupnya. Tepat pada saat itu aku terperanjat
karena mendengar seseorang me-mang-gil namaku.
"Ikal ...," suara lirih itu berucap. Eryn dan Profesor Yan kaget. Mereka terhe-ran-heran, apa-lagi
aku. Kami saling berpandangan. Tak ada orang lain di ruangan itu kecuali kami bertiga dan kedua
makhluk malang tadi. Dan jelas suara itu berasal dari ruangan yang ba-ru saja kututup. Kami
berbalik, tapi ragu, maka aku tak segera membuka pintu.
"Ikal ...," panggilnya lagi.
"Mereka memanggil Cicik!" teriak Eryn mena-tapku takjub.
Salah seorang dari pasien itu jelas memanggil-ku.
Aku memutar gagang pintu dan menghambur ke dalam. Kuhampiri mereka dengan hati-hati.
Dalam jarak tiga meter aku berhenti. Mereka berdua bangkit. Aku mengamati mereka baik-baik,
berusaha keras mengenali kedua tubuh ringkih yang berdiri saling mencengkeram lengan masingmasing
dengan jari-jari yang kurus tak terawat. Rambut sang ibu yang kelabu terjuntai panjang
semrawut menutupi kedua matanya yang cekung dan berwarna abuabu.
Pipi anaknya basah karena air mata yang
mengalir pelan. Air matanya itu berjatuhan ke lantai. Bibirnya yang pucat bergetar mengucapkan
namaku berkali-kali, seakan ia telah bertahun-tahun menungguku, tangannya menjangkau-jangkau.
Ibunya terisak-isak dan menutup wajah de-ngan kedua tangannya. Aku tak mampu berkata apa pun
dan masih diliputi tanda tanya. Namun, tepat ketika aku maju selangkah untuk mengamati mereka
lebih dekat si anak menyibakkan rambut panjang yang menutupi wajahnya dan pada saat itu aku
tersentak tak alang kepalang. Aku terkejut luar biasa. Kurasakan seluruh tubuhku menggigil.
Rangka badanku seakan runtuh dan setiap persendian di tubuhku seakan terlepas. Aku tak percaya
dengan pemandangan di depan mataku. Aku merasa kalut dan amat pedih. Aku ingin berteriak dan
meledakkan tangis. Aku mengenal dengan baik kedua anak beranak yang malang ini. Mereka
adalah Trapani dan ibunya.
BAB XXXII
Agnostik
Satu titik dalam relativitas waktu: Saat inilah masa depan itu
TOKO Sinar Harapan tak banyak berubah, masih amburadul seperti dulu. Ketika bus reyot yang
membawaku pulang kampung melewati toko itu, di sebelahnya aku melihat toko yang bernama
Sinar Perkasa. Di situ ada seorang laki-laki yang menarik perhatianku. Pria itu agaknya seorang kuli
toko. Badannya tinggi besar dan rambutnya panjang sebahu diikat seperti samurai. Lengan bajunya
digulung tinggi-tinggi. la sengaja memperlihatkan otot-ototnya. Tapi wajahnya sangat ramah dan
tapaknya ia senang sekali menunaikan tugasnya. Belanjaan yang dipanggul kuli ini tak tanggungtanggung:
dua karung dedak di punggungnya, ban sepeda dikalungkan di lehernya, dan plastikplastik
kresek serta tas-tas belanjaan bergelantungan di lengan kiri kanannya. Ia seperti toko
kelontong berjalan. Di belakangnya berjalan terantuk-antuk seorang nyonya gemuk yang
memborong segala macam barang itu.
Setelah memuat belanjaan ke atas bak sebuah mobil pikap, pria bertulang besi tadi menerima
sejumlah uang. la mengucapkan terima kasih dengan menunduk sopan lalu kembali ke tokonya.
Toko berjudul Sinar Perkasa itu, sesuai sekali dengan penampilan kulinya. Pria itu menyerahkan
uang tadi kepada juragan toko yang kemudian mengibas-ngibaskan uang itu ke barang-barang
dagangannya lalu mereka berdua tertawa lepas layaknya dua sahabat baik. Wajah keduanya tak
lekang dimakan waktu.
Aku tersenyum mengenang nostalgia di Toko Sinar Harapan dan teringat bahwa dulu aku pernah
memiliki cinta yang ternyata tak hanya sedalam lubuk kaleng-kaleng cat yang sampai sekarang
masih berjejal-jejal di situ. Aku juga merasa ber-untung telah menjadi orang yang pernah mengungkapkan
cinta. Masih terasa indahnya sampai sekarang. Merasa beruntung karena kejadian itu
merupakan tonggak bagaimana secara emosional aku telah berevolusi. Dan agaknya cinta
pertamaku dulu amat berkesan karena ia telah melam-bungkanku ke puncak kebahagiaan sekaligus
membuatku menggelongsor karena patah hati di antara keranjang buah mengkudu busuk di toko itu.
Kita dapat menjadi orang yang skeptis, selalu
curiga, dan tak gampang percaya karena satu orang pernah menipu kita. Tapi ternyata dengan satu
kasih yang tulus lebih dari cukup untuk mengubah seluruh persepsi tentang cinta. Paling tidak itu
terjadi padaku. Meskipun kemudian setelah dewasa beberapa kali cinta memperlakukan aku dengan
amat buruk, aku tetap percaya pada cinta. Semua itu gara-gara wanita berparas kuku ajaib di Toko
Sinar Harapan itu. Kemanakah gerangan dia sekarang? Aku tak tahu dan tak mau tahu. Gambaran
cinta seindah lukisan taman bunga karya Monet itu biarlah seperti apa adanya. Kalau aku
menjumpai A Ling lagi bisa-bisa citra lukisan itu pudar karena mungkin saja A Ling sekarang
adalah A Ling dengan parises, selulit, pantat turun, susu kempes, gemuk, perut buncit, dan kantong
mata. Ia dulu adalah venus dari Laut Cina Selatan dan aku ingin tetap mengenangnya seperti itu.
Aku mengeluarkan dari tasku buku Seandainya Mereka Bisa Bicara yang dihadiahkan A Ling
padaku sebagai kenangan cinta pertama kami. Bus reyot yang terlonjak-lonjak karena jalan yang
berlubang-lubang membuat aku tak dapat membacanya. Ketika jarak antara bus dan Toko Sinar
Harapan perlahan mengembang aku merasa takjub bagaimana lingkaran hidup merupakan jalinan
aksi dan reaksi seperti postulat Isaac Newton atau hidup tak ubahnya se-kotak cokelat seperti kata
Forest Gump. Jika membuka kotak cokelat kita tak 'kan dapat menduga rasa apa yang akan kita
dapatkan dari bungkus-bungkus plastik lucu di dalamnya. Sebuah benda kecil yang tak
penting atau suatu kejadian yang sederhana pada masa yang amat lampau dapat saja menjadi
sesuatu yang kemudian sangat memengaruhi kehidupan kita.
Buku itu kugenggam erat di atas pangkuanku dan aku segera menyadari bahwa seluruh kehidupan
dewasaku telah terinspirasi oleh buku kumal yang selalu kubawa ke mana-mana itu. Dulu ketika
frustrasi karena berpisah dengan A Ling maka pesona Desa Edensor, Taman Daffodil dan jalan
pasar berlandaskan batu-batu bulat, serta hamparan sabana di bukit-bukit Derbyshire telah
menghiburku. Kemudian pada masa dewasa ini ketika kehidupanku di Bogor berada pada titik
terendah aku perlahan-lahan bangkit juga karena semangat yang dipancarkan oleh Herriot, sang
tokoh utama buku itu. Seperti ajaran Pak Harfan, Bu Mus, dan Kemuham-madiyahan, Herriot juga
mengajariku tentang optimisme dan bagaimana aku harus berjuang untuk meraih masa depanku.
Seminggu setelah kulemparkan naskah bulu tangkisku ke Kali Ciliwung aku membaca sebuah
pengumuman beasiswa pendidikan lanjutan dari sebuah negara asing. Aku segera menyusun
rencana C, yaitu aku ingin sekolah lagi! Kemudian setelah itu tak ada satu menit pun waktu kusiasiakan
selain untuk belajar. Aku membaca seba-nyak-banyaknya buku. Aku membaca buku sambil
menyortir surat, sambil makan, sambil minum, sambil tiduran mendengarkan wayang golek di radio
AM. Aku membaca buku di dalam angkutan umum, di dalam jamban, sambil mencuci pakaian,
sambil dimarahi pelanggan, sambil disindir ketua ekspedisi, sambil upacara Korpri, sambil
menimba air, atau sambil memperbaiki atap bocor. Bahkan aku membaca sambil membaca.
Dinding kamar kostku penuh dengan grafiti rumus-rumus kalkulus, GMAT, dan aturan-aturan
tenses. Aku adalah pengunjung perpustakaan LIPI yang paling rajin dan shift sortir subuh yang dulu
sangat kubenci sekarang malah kuminta karena dengan demikian aku dapat pulang lebih awal untuk
belajar di rumah. Jika beban pe-kerjaan demikian tinggi aku membuat resume bacaanku dalam
kertas-kertas kecil, inilah teknik jembatan keledai yang dulu diajarkan Lintang padaku. Kertaskertas
kecil itu kubaca sambil menunggu ketua pos menurunkan kantong-kantong surat dari truk.
Di rumah aku belajar sampai jauh malam dan penyakit insomnia ternyata malah mendukungku.
Aku adalah penderita insomnia yang paling produktif karena saat-saat tak bisa tidur kugunakan
untuk membaca. Jika kelelahan belajar aku melakukan penyegaran mental yaitu kembali membuka
buku Seandainya Mereka Bisa Bicara dan di sana kutemukan bagaimana Herriot menghadapi
kesulitan membuktikan dirinya di depan para petani Derbyshire yang sangat skeptis, keras kepala,
dan antiperubahan. Dari buku itu juga aku merasakan angin pagi lembah Edensor yang dingin
bertiup merasuki dadaku yang sesak setelah menyelusup di antara dedaunan
astuaria. Membaca semua itu
semangatku kembali terpompa dan hatiku semakin bening siap menerima pelajaran-pelajaran baru.
"Aku harus mendapatkan beasiswa itu!" demi-kian kataku dalam hati setiap berada di depan kaca.
Aku benar-benar bertekad mendapatkan beasiswa itu karena bagiku ia adalah tiket untuk
meninggalkan hidupku yang terpuruk. Lebih dari itu aku merasa berutang pada Lintang, A Ling,
Pak Harfan, Bu Mus, Laskar Pelangi, Sekolah Muhammadiyah, dan Herriot.
Kemudian tes demi tes yang mendebarkan berlang-sung selama berbulan-bulan, diawali dengan
sebuah tes pe-nyaringan pertama di sebuah stadion sepak bola yang dipenuhi peserta. Hampir tujuh
bulan kemudian aku berada pada tahap yang disebut penentuan terakhir. Penentuan terakhir
merupakan sebuah wawancara di sebuah lembaga yang hebat di Jakarta. Wawancara akhir ini
dilakukan oleh seorang mantan menteri yang berwajah tampan tapi senang bukan main pada rokok.
"Disgusting habit!"Sebuah kebiasaan yang menjijikkan, kata Morgan Freeman dalam sebuah film.
Aku mengenakan pakaian rapi dan untuk pertama
kalinya. Berdasi, memakai sedikit minyak
wangi, dan menyemir sepatu. Pulpen di saku dan kubawa map yang tak tahu berisi apa. Aku telah
menjadi tipikal orang muda yang spekulatif. Sebuah pemandangan yang menyedihkan
sesungguhnya.
Bapak perokok itu memanggilku, mempersilakanku duduk di depannya, dan mengamatiku dengan
teliti. Barangkali ia berpikir apakah anak kampung ini akan bikin malu tanah air di negeri orang.
Lalu ia membaca motivation ietterku yaitu suatu catatan alasan dari berbagai aspek yang dibuat
peserta mengapa ia merasa patut diberi beasiswa.
Mantan menteri itu mengisap rokoknya dalam-dalam, lalu ajaib sekali! Ia sama sekali tidak
mengeluarkan kembali asap rokok itu. Rupanya asap itu diendapkannya sebentar di dalam rongga
dadanya. Matanya terpejam ketika menikmati racun nikotin lalu disertai sebuah senyum puas yang
mengerikan ia mengembuskan asap rokok itu dekat sekali dengan wajahku. Mataku perih, aku
menahan batuk dan ingin muntah tapi apa dayaku, laki-laki di depan-ku ini memegang tiket masa
depanku dan tiket itu amat kuperlukan. Maka aku duduk bertahan sambil membalas senyumnya
dengan senyum basi ala pramugari sementara perutku mual.
"Saya tertarik dengan motivation ietter Anda, alasan dan cara Anda menyampaikannya dalam
kalimat Inggris sangat mengesankan," katanya.
Aku kembali tersenyum, kali ini senyum khas penjual asuransi.
"Belum tahu dia, orang Melayu lincah benar bersilat kata," kataku dalam hati.
Lalu sang mantan menteri membuka proposal penelitianku yang berisi bidang yang akan kutekuni,
materi riset, dan topik tesis dalam pendidikan beasiswa nanti.
"Ahhhh, ini juga menarik ...."
la ingin melanjutkan kata-katanya tapi agaknya rokok yang sangat dicintainya itu lebih penting
maka ia kembali memenuhi dadanya dengan asap. Aku berani bertaruh jika dirontgen maka rongga
dada dan seluruh isinya pasti telah berwarna hitam. Bapak ini terkenal sangat pintar bukan hanya di
dalam negeri tapi juga di luar negeri, sumbangannya tak kecil untuk bangsa ini, tapi bagaimana ia
bisa menjadi demikian bodoh dalam persoalan rokok ini?
"Hmmm ... hmmm ... sebuah topik yang me-mang patut dipelajah lebih jauh, menarik sekali, siapa
yang membimbing Anda menulis ini?" beliau tersenyum lebar dan asap masih mengepul di
mulutnya.
Aku tahu pertanyaan itu retoris, tak memerlu-kan jawaban, karena dia tahu seseorang tak mungkin
dibimbing untuk membuat proposal ter-sebut, maka aku hanya tersenyum.
"Bu Mus, Pak Harfan, Lintang, Sekolah Muham-madiyah, A Ling, dan Herriot!" Itulah jawaban
yang tak kuucapkan.
"Saya telah lama menunggu ada proposal riset semacam ini, ternyata datang dari seorang pegawai
kantor pos! Ke mana kau pergi selama ini anak muda?"
Kembali retoris dan aku kembali tersenyum. "Edensor!" Bisik hatiku.
Maka tak lama kemudian aku telah menjadi mahasiswa. Meskipun hanya langkah kecil aku merasa
telah membuat sebuah kemajuan dan sekarang aku dapat menilai hidupku dari perspektif
yang sama sekali berbeda. Aku lega terutama karena aku telah membayar utangku pada Sekolah
Muhammadiyah, Bu Mus, Pak Harfan, Lintang, Laskar Pelangi, A Ling, bahkan Herriot dan
Edensor. Setiap titik yang aku singgahi dalam hidupku selalu memberiku pelajaran berharga.
Sekolah Muhammadiyah
dan persahabatan Laskar Pelangi telah membentuk karakterku. A Ling,
Herriot, dan Edensor telah mengajariku optimisme dan menunjukkan bahwa jalinan nasib dapat
menjadi begitu menak-jubkan. Kemudian, meskipun aku tidak menyukai pekerjaan sortir, tapi
orang-orang hebat kawan sekerja di kantor pos Bogor telah mengajariku arti integritas bagi sebuah
badan usaha dan makna dedikasi pada pekerjaan pos yang mulia, yaitu mengemban amanah.
ADA orang-orang tertentu yang memendam cinta demikian rapi. Bahkan sampai mereka mati,
sekerling pun me-reka tak pernah memperlihatkan getar hatinya. Cinta mereka sesepi stambul lama
nan melankolis dengan pengarang yang tak pernah dikenal. Jika malam tiba mereka mendengusdengus
meratapi rindu, menampar muka sen-diri karena jengkel tak berani mendeklarasikan cinta
yang menggelitik perutnya. Cintanya tak pernah terungkap karena ngeri membayangkan risiko
ditolak. Lama-lama, seperti seorang narsis, mereka
menyukai mencintai seseorang di dalam hatinya sendiri. Cinta satu sisi, indah tapi merana tak
terperi. Mereka hidup dalam bayangan. Meng-ungkapkan cinta agaknya mengandung daya tarik
paling misterius dari cinta itu sendiri. Itulah yang dirasakan A Kiong selama belasan tahun.
Hampa karena cinta dan kecewa pada masa depan membuat A Kiong sempat menjalani hidup
sebagai seorang agnostik, yaitu orang yang percaya kepada Tuhan tapi tidak memeluk agama apa
pun, oleh karena itu ia tidak pernah beribadah. la mendaki puncak bukit keangkuhan di dalam
hatinya untuk berteriak lantang menentang segala bentuk penyembahan. Ia berkelana mengamati
agama demi agama, terombang ambing dalam kebingungan tentang keyakinan dan konsep keadilan
Tuhan. Hari demi hari ia semakin sesat. Ia kafir bagi agama mana pun.
Namun, menjelang dewasa ia mengalami suatu masa di saat setiap mendengar suara azan ia sering
disergap perasaan sepi nan indah yang menyelusup ke dalam kalbunya, membuatnya terpaku, dan
melelehkan air matanya. Panggilan shalat itu mengembuskan rasa hampa yang menyuruhnya
merenung. Ia cemas serasa akan mati esok pagi. Ia merenung dan pada suatu hari dengungan azan
magrib membuatnya berputar seperti gasing, perutnya naik memuntahkan seluruh makanan dan
minuman haram dari lipatan-lipatan ususnya, ia terjerembap tak berdaya seakan tulang belulangnya
hancur dihantam palu godam. Air matanya berlinang tak terbendung. Ia merangkak-rangkak
memohon ampunan. Ia telah dipilih oleh Allah untuk diselamatkan. A Kiong, makhluk pendusta
agama ini, bagian dari sebagian kecil orang yang amat beruntung, mendapat magfirah*.
Ia memeluk Islam, disunat, dan mengucapkan kalimat syahadat disaksikan Pak Harfan dan Bu
Mus. Bu Mus menganugerahkan sebuah nama untuknya: Muhammad Jundullah Gufron Nur
Zaman. Nama yang sangat hebat. Artinya tentara Allah, orang yang mendapat ampunan dan cahaya.
A Kiong tinggal sejarah, bagian dari sebuah masa lalu yang gelap. Ia segera menjadi muslim yang
taat. Hidupnya tenang, namun kesepian sepanjang malam masih merisaukannya.
Penerima cahaya ini menceritakan dengan se-penuh jiwa kepadaku bahwa yang merisaukannya itu
adalah cinta yang telah disimpannya sangat lama. Cinta yang tak terungkap. Tak seorang pun tahu
kalau Nur Zaman selama ini telah menjadi seekor pungguk. Wanita itu, katanya, telah membuat
malam-malamnya gelisah.
"Aku lemas karena paru-paruku basah digena-ngi air mata rindu," demikian ungkapan perasaannya
padaku. Laki-laki berkepala kaleng kerupuk ini bisa juga puitis.
"Berhari-hari terperangkap dalam bingkai kaca seraut wa-jah yang sama, tak dapat lagi kupikirkan
lagi hal-hal lain. Setiap melihat cermin yang terpantul hanya wajahnya. Aku tak mau makan, tak
bisa tidur ...," kenangnya. Romantis laksana opera sabun, sekaligus lucu dan menyedihkan.
Lalu setelah belasan tahun mengumpulkan keberanian, pada suatu malam, dengan basmallah, ia
menjumpai wanita itu dan langsung, di depan orangtuanya, menyatakan keinginannya melamar. Ia
pasrahkan semua keputusan kepada Allah. Ia siap hijrah ke Kanton naik kapal barang jika ditolak.
Ternyata wanita itu juga telah lama diam-diam menaruh hati padanya. Terberkatilah mereka yang
berani berterus terang. Wanita itu adalah Sahara.
Sekarang mereka sudah punya anak lima dan membuka toko kelontong dengan judul Sinar Perkasa
tadi. Mereka mempekerjakan seorang kuli dan memperlakukannya sebagai sahabat. Kulinya adalah
pria raksasa berambut sebahu seperti samurai itu, tak lain adalah Samson.
Jika waktu luang mereka bertiga mengunjungi Harun. Harun bercerita tentang kucingnya yang
berbelang tiga, melahirkan anak tiga, semuanya berbelang tiga, dan kejadian itu terjadi pada tanggal
tiga. Sahara mendengarkan penuh perha-tian. Kalau dulu Harun adalah anak kecil yang
terperangkap dalam tubuh orang dewasa, sekarang ia adalah orang dewasa yang terperangkap dalam
alam pikiran anak kecil.
"Aku mendapatkan kebahagiaan terbesar yang mungkin didapatkan seorang pria," kata Nur Zaman
padaku.
Ingatkah akan kata-kata itu? Bukankah dulu kata-kata itu pernah kuucapkan? Klise! Tidak, sama
sekali tidak klise bagi Nur Zaman. Ia adalah pria
terhormat yang telah memanfaatkan dengan baik waktu yang diberikan Tuhan. Ia berhasil menemukan
kebenaran hakiki melalui penderitaan pergolakan batin. Tuhan mencintai orang-orang
seperti ini.
BUS reyot itu menurunkan aku di seberang ja-lan di depan rumah ibuku. Aku mendengar lagu
Rayuan Pulau Kelapa di RRI, yang berarti wart a berita pukul 12. Sebuah siang yang panas dan
sunyi. Dan kesunyian itu bubar oleh suara klakson panjang dari sebuah mobil tronton kapasitas
sepuluh ton, gardan ganda, bertenaga turbo, dengan delapan belas ban berdiameter satu meter.
Seorang pria kecil terlonjak-lonjak di jok sopir. Ia terlalu kecil bagi truk raksasa pengangkut pasir
gelas ini.
"Pulang kampung juga kau akhirnya, Ikal. Hari yang sibuk! Datanglah ke proyek," teriaknya.
Aku melepaskan empat tas yang membebaniku tapi hanya sempat melambaikan tangan. Ia pun
pergi meninggalkan debu.
Esoknya aku berkunjung ke bedeng proyek pasir
gelas sesuai undangan sopir kecil itu. Bedeng itu
memanjang di tepi pantai, tak berpintu, lebih seperti kandang ternak. Inilah tempat beristirahat
puluhan sopir truk pasir yang bekerja siang malam
bergiliran 24 jam untuk mengejar tenggat waktu mengisi tongkang. Tongkang-tongkang itu dimuati
ribuan ton kekayaan bumi Belitong, tak tahu dibawa ke mana, salah satu perbuatan kongkalikong
yang mengangkangi hak-hak warga pribumi.
Aku masuk ke dalam bedeng dan melihat ke sekeliling. Di tengah bedeng ada tungku besar tempat
berdiang melawan dingin angin laut. Di pojok bertumpuk-tumpuk kaleng minyak solar, bungkus
rokok Jambu Bol, dongkrak, beragam kunci, pompa minyak, tong, jerigen air minum, semuanya
serba kumal dan berkilat. Panci hitam, piring kaleng, kotak obat nyamuk, kopi, dan mi instan
berserakan di lantai tanah. Selembar sajadah usang terhampar lesu. Sebuah kalender bergambar
wanita berbikini tergantung miring. Walaupun sekarang sudah bulan Mei tak ada yang berminat
menyobek kalender bulan Maret, karena gambar wanita bulan Maret paling hot dibanding bulan
lainnya.
Pria yang kemarin menyapaku, yang menyetir tronton itu, salah satu dari puluhan sopir truk yang
tinggal di bedeng ini, duduk di atas dipan, dekat tungku, berhadap-hadapan denganku. la kotor,
miskin, hidup membujang, dan kurang gizi, ia adalah Lintang.
Aku tak berkata apa-apa. Terlihat jelas ia kelelahan melawan nasib. Lengannya kaku seperti besi
karena kerja rodi tapi tubuhnya kurus dan ringkih. Binar mata kepintaran dan senyum manis yang
jenaka itu tak pernah hilang walaupun sekarang kulitnya kering berkilat dimakan minyak.
Rambutnya semakin merah awut-awutan. Lin- tang dan keseluruhan bangunan ini menimbulkan
rasa iba, iba karena kecerdasan yang sia-sia terbuang.
Aku masih diam. Dadaku sesak. Bedeng ini ber-diri di atas tanah semacam semenanjung, daratan
yang menjorok ke laut. Aku mendengar suara ... Bum ...! Bum ...! Bum ...! Aku melihat ke luar
jendela sebelah kananku. Sebuah tug-boat* penarik tongkang meluncur pelan di samping bedeng.
Suara motor tempel yang nendang menggetarkan tiang-tiang bedeng dan asap hitam mengepul
tebal. Gelombang halus yang ditimbulkan tugboat tersebut memecah tepian yang berkilat seperti
permukaan kaca berwarna-warni karena digenangi minyak.
Kupandangi terus tugboat yang melaju dan sekejap aku merasa tugboat itu tak bergerak tapi justru
aku dan bedeng itu yang meluncur. Lintang yang dari tadi mengamatiku membaca pikiranku.
"Einstein's simultaneous relativity...," katanya memulai pembicaraan. Ia tersenyum getir.
Kerinduannya pada bangku sekolah tentu membuatnya perih.
Aku juga tersenyum. Aku mengerti ia tidak mengalami apa yang secara imajiner baru saja aku
alami. Dua orang melihat objek yang sama dari dua sudut pandang yang berbeda maka pasti mereka
memiliki persepsi yang berbeda. Oleh karena itu, Lintang menyebutnya simultan. Sebuah konteks
yang relevan dengan perspektifku melihat hidup kami berdua sekarang.
Tak lama kemudian aku mendengar lagi suara
bum! Bum! Bum! Kali ini sebuah tugboat yang lain meluncur pelan dari arah yang berlawanan
dengan arah tugboat yang pertama tadi. Buritan tugboat yang pertama belum habis melewatiku
maka aku menoleh ke kiri dan ke kanan membandingkan panjang ke dua tugboat yang melewatiku
secara berlawanan arah.
Lintang mengobservasi perilakuku. Aku tahu ia kembali membaca isi kepalaku, keahliannya yang
selalu mem-buatku tercengang.
"Paradoks ...," kataku.
"Relatif...," kata Lintang tersenyum.
Aku menyebut paradoks karena ukuran yang kuper-kirakan sebagai subjek yang diam akan
berbeda dengan ukuran orang lain yang ada di tugboat meskipun untuk tugboat yang sama.
"Bukan, bukan paradoks, tapi relatif," sanggah Lintang.
"Ukuran objek bergerak dilihat oleh subjek yang diam dan bergerak membuktikan hipotesis bahwa
waktu dan jarak tidaklah mutlak tapi sebaliknya relatif. Einstein membantah Newton dengan pendapat
itu dan itulah aksi oma pertama teori relativitas yang melambungkan Einstein."
Ugghh, Lintang! Sejak kecil aku tak pernah punya kesempatan sedikit pun untuk berhenti
mengagumi tokoh di depanku ini. Man tan kawanku sebangku yang sekarang menjadi penghuni
sebuah bedeng kuli ternyata masih sharp1. Walaupun bola mata jenakanya telah menjadi kusam
seperti kelereng diamplas namun intuisi kecerdasannya
tetap tajam seperti alap-alap mengintai anak ayam. Aku beruntung sempat bertemu dengan
beberapa orang yang sangat genius tapi aku tahu Lintang memiliki bakat genius yang jauh melebihi
mereka.
Aku termenung lalu menatapnya dalam-dalam. Aku merasa amat sedih. Pikiranku melayang
membayangkan dia memakai celana panjang putih dan rompi pas badan dari bahan rajutan
poliester, melapisi kemeja lengan panjang berwarna biru laut, naik mimbar, membawakan sebuah
makalah di sebuah forum ilmiah yang terhormat. Makalah itu tentang terobosannya di bidang
biologi maritim, fisika nuklir, atau energi alternatif.
Mungkin ia lebih berhak hilir mudik keluar ne-geri, mendapat beasiswa bergengsi, dibanding
begitu banyak mereka yang mengaku dirinya intelektual tapi tak lebih dari ilmuwan tanggung tanpa
kontribusi apa pun selain tugas akhir dan nilai-nilai ujian untuk dirinya sendiri. Aku ingin membaca
namanya di bawah sebuah artikel dalam jurnal ilmiah. Aku ingin mengatakan pada setiap orang
bahwa Lintang, satu-satunya ahli genetika di Indonesia, orang yang telah menguasai operasi pohon
Pascal sejak kelas satu SMP, orang yang memahami filosofi diferensial dan integral sejak usia
demikian muda, adalah murid perguruan Muham-madiyah, temanku sebangku.
Namun, hari ini Lintang ternyata hanya seor-ang laki-laki kurus yang duduk bersimpuh menunggu
giliran kerja rodi. Aku teringat lima belas tahun yang
lalu ia memejamkan matanya tak lebih dari tujuh detik untuk menjawab soal matematika yang rumit
atau untuk meneriakkan Joan d'Arch! Merajai lomba kecerdasan, melejitkan kepercayaan diri kami.
Kini ia terpojok di bedeng ini, tampak tak yakin akan masa depannya sendiri. Aku sering beranganangan
ia mendapat kesempatan menjadi orang Melayu pertama yang menjadi matematikawan. Tapi
angan-angan itu menguap, karena di sini, di dalam bendeng tak berpintu inilah Isaac Newtonku
berakhir.
"Jangan sedih Ikal, paling tidak aku telah memenuhi harapan ayahku agar tak jadi nelayan ...."
Dan kata-kata itu semakin menghancurkan hatiku, maka sekarang aku marah, aku kecewa pada
kenyataan be-gitu banyak anak pintar yang harus berhenti sekolah karena alasan ekonomi. Aku
mengutuki orang-orang bodoh sok pintar yang menyombongkan diri, dan anak-anak orang kaya
yang menyia-nyiakan kesempatan pendidikan.
ALASAN orang menerima profesi tertentu kadang-kadang sangat luar biasa.Adaorang yang senang
menjadi kondektur karena hobinya jalan-jalan kelilingkota, ada yang gembira memandikan gajah di
kebun binatang karena hobinya main air, dan ada yang selalu meminta tugas ke luarkotaagar dapat
sekian lama meninggalkan istrinya. Tapi tak ada yang senang menyortirsuratuntuk alasan apa pun.
Oleh karena itu, ketika 10 karungsuratditumpahkan di depanku untuk disortir sedangkan tambahan
tenaga yang kuminta berulang-ulang tak terpenuhi, aku langsung hengkang meninggalkan meja
sortir itu, tak pernah kembali.
Sebagian orang menduduki profesinya sekarang sesuai cita-citanya, sebagian besar tak pernah
sama sekali menduga bahwa ia akan menjadi seperti apa adanya sekarang, dan sebagian kecil
memilih profesi karena pertemuan dengan seseorang.
Pertemuan dengan seseorang sering menjadi sebuah titik balik nasib. Jika tak percaya, tanyakan itu
pada Mahar, Flo, dan seluruh anggota Societeit de Limpai. Pertemuan dengan Tuk Bayan Tula dan
pesan beliau yang berbunyi: "Jika ingin lulus ujian, buka buku, belajar!" Ternyata menjadi kata-kata
keramat yang mampu memutar haluan hidup mereka.
Pada hari Sabtu, sehari sesudah Mahar mem-baca pesan Tuk, kami berdesak-desakkan di jendela
kelas menyaksikan Flo dan Mahar menemui Bu Mus di bawah pohon filicium. Ketiga orang itu
berdiri mematung dan tak banyak bicara. Lalu tampak kedua anak berandal itu bergantian mencium
tangan Bu Mus, guru kami yang bersahaja. Per-seteruan lama telah berakhir dengan damai.
Keesokan harinya Mahar membubarkan Societeit de Limpai, dan esoknya lagi, pada Senin pagi
yang biasa saja, kami menerima kejutan yang luar biasa, mengagetkan, dan
amat mengharukan, Flo datang ke sekolah mengenakan jilbab.
Mahar dan Flo berhasil lulus ujian caturwulan terakhir. Flo telah berubah total. la dulu seorang
wanita yang berusaha melawan kodratnya namun akhirnya ia menjadi wanita sejati. Momentum
dalam hidupnya jelas terjadi karena pertemuan dengan seseorang. Seseorang itu ada dua, yaitu
Mahar dan Tuk Bayan Tula. Kejadian itu telah memutarbalikkan hidupnya. Flo menempuh
perguruan tinggi di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan di Univer-sitas Sriwijaya. Setelah
lulus, ia menjadi guru TK di Tanjong Pandan dan bercita-cita membangun gerakan wanita
Muhammadiyah. Ia menikah dengan seorang petugas teller bank BRI mantan anggota Societeit, dan
keinginan lama Flo untuk menjadi laki-laki dibayar Allah dengan memberinya dua kali persalinan
yang melahirkan empat anak laki-laki yang tampan luar biasa dalam jarak hanya setahun. Dua kali
anak kembar!
Pesan Tuk Bayan Tula telah memberi pence-rahan bagi para anggota Societeit, bahwa tak ada yang
dapat dicapai di dunia ini tanpa usaha yang rasional. Sebuah pencerahan terang benderang yang
datang justru dari seorang tokoh dunia gelap, manusia separuh peri, bahkan banyak yang
menganggapnya manusia separuh iblis.
Paraanggota Societeit adalah orang-orang biasa, miskin, dan kebanyakan, namun mereka kaya raya
akan pengalaman batin dan petualangan penuh mara bahaya untuk mencari kebenaran hakiki.
Mereka memastikan setiap kesangsian, membuktikan prasangka dan mitos-mitos, serta menga-lami
sendiri apa yang hanya bisa diduga-duga orang. Mereka memuaskan sifat dasar keingin tahuan
manusia sampai batas akhir yang menguji keyakinan. Mereka adalah orang-orang yang menjemput
hidayah dan tidak duduk termangu-mangu menunggunya. Kini mereka menjadi orang-orang Islam
yang taat yang menjauhkan diri dari syirik. Di bawah pemimpin baru, pemain organ tunggal itu,
mereka mem-bentuk perkumpulan yang aktif melakukan dakwah dan mengislamkan komunitaskomunitas
terasing di pulau-pulau terpencil di perairan Bangka Belitong. Mereka laksana manusiamanusia
baru yang dilahirkan dari kegelapan dan kini berjalan tegak di ladang ijtihad di bawah
siraman air Danau Kautsar yang membersihkan hati.
Tuk Bayan Tula sendiri tak ada kabar berita-nya. Anggota Societeit adalah manusia terakhir yang
melihat beliau masih hidup. Dalam kaar (peta laut) terakhir perairan Belitong yang dipetakan oleh
TNI AL, Pulau Lanun sudah tak tampak. Di perairan ini sering sekali pulau-pulau kecil timbul dan
tenggelam karena badai atau ketidakstabilan permukaan air laut. Adapun pensiunan syah bandar
yang dulu mengumandangkan azan ketika anggota Societeit hampir tewas dilamun badai sekarang
menjadi muazin tetap di Masjid Al-Hikmah
Nasib, usaha, dan takdir bagaikan tiga bukit biru samar-samar yang memeluk manusia dalam lena.
Mereka yang gagal tak jarang menyalahkan aturan main Tuhan. Jika me-reka miskin mereka
mengatakan bahwa Tuhan, melalui takdir-Nya, memang mengharuskan mereka miskin.
Bukit-bukit itu membentuk konspirasi rahasia masa depan dan definisi yang sulit dipahami
sebagian orang. Seseorang yang lelah berusaha menunggu takdir akan mengubah nasibnya.
Sebaliknya, seseorang yang enggan mem-banting tulang menerima saja nasibnya yang menurutnya
tak 'kanberubah karena semua telah ditakdirkan. Inilah lingkaran iblis yang umumnya melanda para
pemalas. Tapi yang pasti pengalaman selalu menunjukkan bahwa hidup dengan usaha adalah mata
yang ditutup untuk memilih buah-buahan dalam keranjang. Buah apa pun yang didapat kita tetap
mendapat buah. Sedangkan hidup tanpa usaha ada-lah mata yang ditutup untuk mencari kucing
hitam di dakan kamar gelap dan kucingnya tidak ada. Mahar memiliki bukti untuk hipotesis ini.
la hanya berijazah SMA. Nasibnya seperti Lintang. Mereka adalah dua orang genius yang
kemampuannya dinisbikan secara paksa oleh tuntutan tanggung jawab pada keluarga. Mahar tak
bisa meninggalkan rumah untuk berkiprah di lingkungan yang lebih mendukung bakatnya sejak
ibunya sakit-sakitan karena tua. Sebagai anak tunggal ia harus merawat ibunya siang malam karena
ayahnya telah meninggal.
Mahar pernah menganggur dan setiap hari, tanpa berusaha, menunggu takdir menyapanya. Ia
mengharapkan su-rat panggilan dari Pemda untuk tenaga honorer. Ketika itu ia berpikir kalau takdir
menginginkannya menjadi se-orang guru kesenian maka ia tak perlu melamar. Ternyata cara
berpikir seperti itu tak berhasil.
Maka ia mulai berusaha menulis artikel-artikel kebudayaan Melayu. Artikelnya menarik bagi para
petinggi lalu ia dipercaya membuat dokumentasi permainan anak tradisional. Dokumentasi itu berkembang
ke bidang-bidang lain seperti kesenian dan bahasa yang membuka kesem-patan riset
kebudayaan
yang luas dan memungkinkannya menulis beberapa buku
Jika dulu ia tak menulis artikel maka ia tak 'kanpernah menulis buku. Melalui buku-buku itu ia
tertakdirkan menjadi seorang narasumber budaya. One thing leads to another. Dalam kasus Mahar
nasib adalah setiap deretan titik-titik yang dilalui sebagai akibat dari setiap gerakan-gerakan
konsisten usahanya dan takdir adalah ujung titik-titik itu. Sekarang Mahar sibuk mengajar dan
mengor-ganisasi berbagai kegiatan budaya.
Tentu saja pekerjaan-pekerjaan itu tak mampu menyokong nafkah ia dan ibunya maka honor kecil
tapi rutin juga Mahar peroleh dari orang pesisir yang
meminta bantuannya melatih beruk memetik buah kelapa. la sangat ahli dalam bidang ini. Dalam
tiga minggu seekor beruk sudah bisa mengguncang-guncang kelapa untuk membedakan mana
kelapa yang harus dipetik.
Lain pula cerita Syahdan. Syahdan yang kecil, santun, dan lemah lembut agaknya memang
ditakdirkan untuk menjadi pecundang yang selalu menerima perintah. Jika kami membentuk tim ia
pasti menjadi orang yang paling tak penting. Ia adalah seksi repot, tempat penitipan barang,
pengurus konsumsi, pembersih, tukang angkat-angkat, dan jika makan paling belakangan. Ia adalah
kambing hitam tempat tumpahan semua kesalahan, dia tak pernah sekalipun dimintai pertimbangan
jika Laskar Pelangi mengambil keputusan, lalu dalam lomba apa pun dia selalu kalah. Lebih dari itu
ia sangat menyebalkan karena sangat gagap teknologi. Ia sama sekali tak bisa diandalkan untuk halhal
berbau teknik, bahkan hanya untuk membetulkan rantai sepeda yang lepas saja ia sering tak
becus. Cita-citanya untuk menjadi aktor sangat tidak realistis, maka kami tak pernah berhenti
menyadarkannya dari mimpi itu, bahkan bertubi-tubi mencemoohnya. Namun tak disangka di balik
kelembutannya ternyata Syahdan adalah seorang pejuang. Semangat juangnya sekeras batu satam.
Setelah SMA ia berangkat keJakarta. Dengan map di ketiaknya ia melamar untuk menjadi aktor dari
satu rumah produksi ke rumah produksi lainnya, hanya bermodalkan satu hal: keinginan! Itu saja.
Aneh, setelah lebih dari setahun akhirnya ia benar-benar menjadi aktor!
Sayangnya sampai hampir tiga tahun berikut-nya ia masih saja seorang aktor figuran. Lalu ia bosan
berperan sebagai figuran makhluk-makhluk aneh: tuyul, setan, dan jin-jin kecil karena tubuhnya
yang mini dan berkulit gelap. Ia juga bosan menjadi pesuruh ini itu di sebuah grup sandiwara
tradisional kecil yang sering manggung di pinggiranJakarta. Tugas ini itu-nya itu antara lain
memikul genset dan mencuci layar panggung yang sangat besar. Lebih dari semua itu, menjadi
figuran dan pesuruh ternyata tak mampu menghidupinya. Di tengah kemelaratannya Syahdan
yangmalangiseng-iseng kursus komputer dan di tengah perjuangan mendapatkan kursus itu ia nyaris
menggelandang diJakarta.
Di luar dugaan, orang lain umumnya menge-tahui bakatnya ketika masih belia tapi Syahdan baru
tahu kalau ia berbakat mengutak-atik program komputer justru ketika sudah dewasa. Dengan cepat
ia menguasai berbagai bahasa pemrograman dan dalam waktu singkat ia sudah menjadi net-work
designer. Tahun berikutnya sangat mengejutkan. Ia mendapat beasiswa short course di bidang
computer net-work di Kyoto University, Jepang. Disanaia berhasil men-capai kualifikasi
keahliannya dan menjadi salah satu dari segelintir orangIndonesiayang memiliki sertifikat Sisco
Expert Network. Ia kembali ke Indonesia dan dua tahun kemudian Syahdan, pria liliput putra orang
Melayu, nelayan, jebolan sekolah gudang kopra Muhammadiyah telah menduduki posisi sebagai
Information Technology Manager di sebuah perusahaan multinasional terkemuka yang berkantor
pusat di Tangerang. Dari sudut pandang material Syahdan adalah anggota Laskar Pelangi yang
paling sukses. la yang dulu selalu menjadi penerima perintah, tukang angkat-angkat, dan tak becus
terhadap sesuatu yang berbau teknik, kini memimpin divisi inovasi teknologi dengan ratusan anak
buah.
Namun Syahdan tak pernah menyerah pada cita-citanya untuk menjadi aktor sungguhan. Suatu hari
ia meneleponku tanpa salam pembukaan dan tanpa basa-basi penutupan. Ia hanya mengatakan ini
dan tanpa sempat aku berkata apa-apa ia langsung menutup teleponnya.
"Kau dengar ini Ikal, aku ingin menjadi aktor!!11Syahdan tak pernah melepaskan mimpinya
karena
ia adalah seorang pejuang.
BAB XXXIII
Anakronisme
DAN inilah yang paling menyedihkan dari seluruh kisah ini. Karena tak selembar pun daun jatuh
tanpa sepengetahuan Tuhan maka tak absurd untuk menyamakan PN Timah dengan The Tower of
Babel di Babylonia. Sebuah analogi yang pas karena setelah membentuk provinsi baru kawasan itu
juga disebutBabel: Bangka Belitung.
Pada tahun 1987 harga timah dunia merosot dari 16.000 USD/metriks ton menjadi hanya 5.000
USD/metriks ton dan dalam sekejap PN Timah lumpuh. Seluruh fasilitas produksi tutup, puluhan
ribu karyawan terkena PHK.
Ketika berada di puncak komidi putar dulu, barangkali itu sebuah kemunafikan, seperti
halnyaBabylonia, sebab Tuhan menghukum keduanya dengan kehancuran berkeping-keping yang
meng-hinakan. Ternyata untuk musnah tak harus termaktub dalam Talmud. Tak ada firasat
sebelum-nya, Perusahaan Gulliver yang telah berjaya ratusan tahun itu mendadak lumpuh hanya
dalam hitungan malam. Maka Babel adalah inskripsi,
sebuah prasasti peringatan bahwa Tuhan telah menghancurkan dekadensi diBabyloniaseperti
Tuhan menghancurkan kecongkakan di Belitong. Segera setelah harga timah dunia turun, keadaan
diperparah oleh ditemukannya sumber suplai lain di beberapa negara, PN Timah pun megap-megap.
Orang Islam tidak diperbolehkan memercayai ramalan namun ingin rasanya mengenang mimpi
Mahar bertahun-tahun yang lalu di gua gambar tentang kehancuran sebuah kekuatan besar di
Belitong. Hari ini mimpi meracau itu terbukti.
Pemerintah pusat yang rutin menerima royalti dan deviden miliaran rupiah tiba-tiba seperti tak
pernah mengenal pulau kecil itu. Mereka mema-lingkan muka ketika rakyat Belitong menjerit
menuntut ketidakadilan kompensasi atas PHK massal. Habis manis sepah dibuang. Jargon persatuan
dan kesatuan menjadi sepi ketika ayam petelur telah menjadi mandul. Pulau Belitong yang dulu biru
berkilauan laksana jutaan ubur-ubur Ctenopore redup laksana kapal hantu yang terapung-apung tak
tentu arah, gelap, dan sendirian.
Dalam waktu singkat Gedong berada dalam status quo. Warga pribumi yang menahankan sakit hati
karena kesenjangan selama puluhan tahun, dan yang agak sedikit picik, menyerbu Gedong. Para
Polsus kocar-kacir ketika warga menjarah rumah-rumah Victoria mewah di kawasan prestisus tak
bertuan itu. Laksana kaum proletar membalas kesemena-menaan borjuis, mereka merubuhkan
dinding, menariki genteng, menangkapi angsa dan ayam kalkun, men-cabuti pagar, mencuri daun
pintu dan jendela, mencongkel kusen, memecahkan setiap kaca, mengungkit tegel, dan membawa
lari gorden.
Tanda-tanda peringatan "DILARANG MASUK BAGI YANG TIDAK MEMILIKI HAK"
diturunkan dan dibawa pulang untuk dijadikan koleksi seperti cinderamata pecahan batu
tembokBerlin. Sebagian penjarah yang marah duduk sebentar di sofa besar chesterfield dan makan
di meja terracotta yang mahal, berpura-pura menjadi orang staf sebelum mereka beramai-ramai
menjarahnya.
Rumah-rumahVictoriadi kawasan Gedong, negeri dongeng tempat puri dan Cinderella bersukaria
langsung berubah menjadi Bukit Carphatian tempat kastil keluarga Dracula. Jika malam kawasan
itu gelap gulita. Pohon-pohon beringin tak lagi imut tapi kini menunjukkan karakter asli-nya
sebagai pohon tempat kaum jin rajin beranak pinak. Daunnya yang rindang memayungi jalan raya
seakan siap memangsa siapa pun yang melintas di bawahnya. Danau-danau buatan berubah
menjadi habitat biawak dan tiang-tiang utama dari bangunan yang telah dijarah tampak seumpama
bangkai binatang besar atau tombak-tombak perang bangsa Troya yang panjang dan di puncak-nya
ditancapkan kepala-kepala manusia. Sekolah-sekolah PN bubar, berubah menjadi bangunan kosong
yang termangu-mangu sebagai jejak feodalisme. Kini sekolah-sekolah itu lebih cocok
menjadi lokasi shooting acava misteri. Ratusan siswa PN yang masih aktif dilungsurkan ke
sekolah-sekolah negeri atau sekolah kampung.
Rumah Kepala Wilayah Produksi PN yang berdiri amat megah seperti istana di Manggar, puncak
Bukit Samak dengan pemandangan spektakuler laut lepas dan sebuah generator listrik terbesar
seAsia Tenggara dijarah sehingga rata dengan tanah. Rumah Sakit PN yang hebat juga tak luput
dari anarkisme. Obat-obatan dihamburkan ke jalan, kursi dan meja roda dibawa pulang atau
dihancurkan. Sepintas aku masih mencium amis darah di atas brankar dan bau cairan kompres yang
tergenang dalam piring piala ginjal*, suatu bau busuk kekayaan yang dikumpulkan dalam pundipundi
ketidakadilan tanpa belas kasihan pada rakyat kecil.
Bentangan kawat telepon digulung. Kabel listrik
yang masih dialiri tegangan tinggi dikampak
sehingga menimbulkan bunga api seperti asteroid menabrak atmosfer. Kapal keruk digergaji
menjadi besi kiloan. Sebuah dinasti yang kukuh dan congkak hancur berantakan menjadi remahremah
hanya dalam hitungan malam, seiring dengan itu, reduplah seluruh metafora yang mewakili
kedigdayaan sebuah perusahaan yang telah membuat Belitong dijuluki Pulau Timah.
Yang terpukul knock out tentu saja orang-orang staf. Tidak hanya karena secara mendadak
kehilangan jabatan dan hancur citranya tapi sekian lama mapan dalam mentalitas feodalistik terorganisasi
yang inheren tiba-tiba menjadi miskin tanpa pelindungan sistem. Karakter terbunuh
secara besar-besaran. Verloop ke wisma-wisma timah yang mewah diJakartaatauBandungdua kali
setahun sekarang harus diganti dengan mencang-kul, memanjat, memancing, menjerat, menggali,
mendulang, atau menyelam untuk menghidupi keluarga. Anakronistis mungkin, sebab mereka
kembali hidup bersahaja seperti zaman antediluvium ketika orang Melayu masih menyembah bulan.
Karena tak terbiasa susah dan ditambah dengan
anak-anak yang tak mau berkompromi dalam
menurunkan standar hidup sementara mereka tengah kuliah di universitas-universitas swasta mahal
membuat orang-orang staf stres berke-panjangan. Tak jarang masalah mereka berakhir dengan
stroke, operasi jantung, mati mendadak, drop out massal, dan lilitan utang. Mereka seperti orang
tersedak sendok perak. Yang tak mampu menerima kenyataan dan hidup menipu diri sendiri didera
post power syndrome, biasanya tak bertahan lama dan segera check in di Zaal Batu. Komidi
berputar berbalik arah dalam kecepatan tinggi, penumpangnya pun terjungkal.
Kehancuran PN Timah adalah kehancuran agen kapitalis yang membawa berkah bagi kaum yang
selama ini terpinggirkan, yakni penduduk pribumi Belitong. Blessing in disguise, berkah tersamar.
Sekarang mereka bebas menggali timah di mana pun mereka suka di tanah nenek moyangnya dan
menjualnya seperti menjual ubi jalar.
Saat ini diperkirakan tak kurang dari 9.000 orang bekerja mendulang timah di Belitong. Mereka
menggali tanah dengan sekop dan mendulang tanah itu dengan kedua tangannya untuk memisahkan
bijih-bijih timah. Mereka bekerja dengan pakaian seperti tarzan namun menghasilkan 15.000 ton
timah per tahun. Jumlah itu lebih tinggi dari produksi PN Timah dengan 16 buah kapal keruk,
tambang-tambang besar, dan open pit mining, serta dukungan miliaran dolar aset. Satu lagi bukti
kegagalan metanarasi kapitalisme.
Ekonomi Belitong yang sempat lumpuh pelan-pelan menggeliat, berputar lagi karena aktivitas para
pendulang. Suatu profesi yang dulu dihukum sangat keras seperti pelaku subversi.
Tahun 1991 perguruan Muhammadiyah ditutup. Namun perintis jalan terang yang gagah berani ini
meninggalkan semangat pendidikan Islam yang tak pernah mati. Sekarang Belitong telah memiliki
dua buah pesantren. Pembangunan pesantren ini adalah harapan para tokoh Muhammadiyah sejak
lama. Generasi baru para legenda K.H. Achmad Dahlan, Zubair, K.A. Abdul Hamid, Ibrahim bin
Zaidin, dan K.A. Harfan Effendi Noor lahir silih berganti. Suatu hari nanti akan ada yang
mengisahkan hidup mereka laksana sebuah epik.
Tak dapat dikatakan bahwa seluruh alumni sekolah Muhammadiyah Belitong telah menjadi
orang yang suksesapalagi secara materialnamun para mantan pengajar sekolah itu patut bangga
bahwa mereka telah mewariskan semacam rasa bersalah bagi mantan muridnya jika mencoba-coba
berdekatan dengan khianat terhadap amanah, jika mempertimbangkan dirinya merupakan bagian
dari sebuah gerombolan atau rencana yang melawan hukum, dan jika membelakangi ayat-ayat
Allah. Itulah panggilan tak sadar yang membimbing lurus jalan kami sebagai keyakinan yang
dipegang teguh karena bekal dari pendidikan dasar Islam yang tangguh di sekolah miskin itu.
Perasaan beruntungku karena didaftarkan ayahku di 5D miskin itu puluhan tahun lalu terbukti dan
masih berlaku hingga saat ini.
Fondasi budi pekerti Islam dan kemuham-madiyahan yang telah diajarkan padaku menggema
hingga kini sehingga aku tak pernah berbelok jauh dari tuntunan Islam bagaimanapun ibadahku
sering berfluktuasi dalam kisaran yang lebar. Sepanjang pengetahuanku tak ada mantan warga
Muhammadiyah
yang menjadi bagian dari sebuah daftar para kriminal, khususnya koruptor. Pesan
Pak Harfan bahwa hiduplah dengan memberi sebanyak-banyaknya, bukan menerima sebanyakbanyaknya
terefleksi pada kehidupan puluh-an mantan siswa Muhammadiyah yang kukenal dekat
secara pribadi. Mereka adalah tipikal orang yang sederhana namun bahagia dalam kesederhanaan
itu.
Pak Harfan dan mantan pengajar perguruan Muhammadiyah hingga kini tak pernah berhenti
mendengungkan syiar Islam. Mereka bangga memikul takdir sebagai pembela agama. Bu Mus dan
guru-guru muda Muhammadiyah mendapat kesem-patan dari Depdikbud untuk mengikuti kursus
Pendidikan Guru (KPG) lalu diangkat menjadi PNS. Bu Mus sekarang mengajar Matematika di SD
Negeri 6 Belitong Timur. Beliau telah menjadi guru selama 34 tahun dan mengaku tak pernah lagi
menemukan murid-murid spektakuler seperti Lintang, Flo, dan Mahar.
BAB XXXIV
Gotik
AKUbangga duduk di sini di antara para panelis, yaitu para budayawan Melayu yang selalu
menimbulkan rasa iri. Sebuah benda segitiga dari plastik di depanku menyatakan eksistensiku:
Syahdan Noor Aziz Bin
Syahari Noor Aziz
Panelis
Aku terutama bangga pada sahabat lamaku Mahar Ahlan bin Jumadi Ahlan bin Zubair bin Awam,
cicit langsung tokoh besar pendidikan Belitong, Zubair. la meluncurkan bukunya hari ini. Sebuah
novel tentang persahabatan yang sangat indah. Ketika ia memintaku menjadi panelis, aku langsung
setuju. Aku mengambil cuti di antara kesibukanku diBandungsekaligus pulang kampung ke
Belitong.
Di antara hadirin ada Nur Zaman dan guruku, Bu Mus serta Pak Harfan.Adapula Kucai, sekarang
ia adalah Drs. Mukharam Kucai Khairani, MBA dan selalu berpakaian safari. Dulu di kelas otaknya
paling lemah tapi sekarang gelar akademiknya termasuk paling tinggi di antara kami. Nasib
memang aneh.
Kucai selalu berpakaian safari karena cita-citanya untuk menjadi anggota dewan rupanya telah
tercapai. la telah menjadi politisi walaupun hanya kelas kampung. la menjadi seorang ketua salah
satu fraksi di DPRD Belitong. Kucai sangat progresif. la bertekad menurunkan peringkat korupsi
bangsa ini dan ia geram ingin membongkar perilaku eksekutif yang sengaja membuat struktur baru
guna melegalisasi skenario besar, yaitu merampoki uang rakyat. Bersama Mahar ia juga berniat
mengem-balikan nama-nama daerah di Belitong kepada nama asli berbahasa setempat. Nama-nama
itu selama masa orde baru dengan konyol dibahasaIndonesiakan. Proyek prestisius mereka lainnya
adalah mematenkan permainan perosotan dengan pelepah pinang.
Tapi lebih dari semua itu aku rindu pada Ikal. Kasihan pria keriting yang pernah jadi tukang sortir
itu. Kelelahan mencari identitas, insomnia, dan terobsesi dengan satu cinta telah membuatnya agak
senewen. Kabarnya ia hengkang dari kantor pos lalu mendapat beasiswa untuk melanjutkan
pendidikan. Barangkali untuk tujuan sebenarnya: membuang dirinya sendiri.
Setelah acara peluncuran buku, aku, Nur Za-man, Mahar, dan Kucai mengunjungi ibu Ikal untuk
bersilaturahmi sekalian menanyakan kabar anaknya di rantau orang. Ketika bus umum yang kami
tumpangi melewati pasar Tanjong Pandan, aku melihat seorang pria yang sangat gagah seperti
seorang petinggi bank atau seperti petugas asuransi dariJakartayang sedang mengincar asuransi aset
di provinsi baruBabel.
Pria itu bercelana panjang cokelat teduh se-nada dengan warna ikat pinggangnya. Kemejanya jatuh
menarik di tubuhnya yang kurus tinggi dengan bahu bidang. Postur yang disukai para perancang
mode. Sepatu pantofelnya jelas sering disemir. Rambutnya lurus pendek disisir ke belakang.
Kulitnya putih bersih. Tak berlebihan, ia seperti Adrien Brody!
Sayangnya barang bawaannya sama sekali tak sesuai dengan penampilan gagahnya. Ia menenteng
plastik kresek be-lanjaan, ikatan daun saledri, kangkung, kardus, dan alat-alat dapur. Ia berjalan
tercepuk-cepuk mengikuti seorang ibu di depannya. Meskipun sangat repot dan kepanasan ta-pi ia
berseri-seri. Aku kenal pria ganteng itu, iaTrapani. Tahun lalu aku mendengar cerita pertemuannya
dengan Ikal di Zaal Batu. Ia mengalami kemajuan dan diizinkan pulang. Aku tak memberi tahu Nur
Zaman, Mahar, dan Kucai. Aku memandang ibu dan anak itu berjalan beriringan sampai jauh. Air
mataku mengalir. Nur Zaman, Mahar, dan Kucai tak tahu.
Aku terkenanglimabelas tahun yang lalu. Setelah tamat SMA, aku, Ikal,Trapani, dan Kucai
memutuskan untuk merantau mengadu nasib ke Jawa. Hari itu kami berjanji berangkat dengan
kapal barang dari Dermaga Olivir. Tapi sampai
soreTrapani tak datang. Karena kapal barang hanya
berangkat sebulan sekali maka terpaksa kami berangkat tanpa dia. Pada saat itu
rupanyaTrapanitelah mengambil keputusan lain. la tak datang ke dermaga karena ia tak mampu
meninggalkan ibunya. Setelah itu kami tak pernah mendengar kabarTrapani.
Sekarang kami duduk di beranda sebuah rumah panggung kuno khas Melayu, rumah ibu Ikal.
"Bagaimana kabarnya si Ikal itu, Ibunda?" ta-nya Mahar kepada ibu Ikal.
Ibu tua berwajah keras itu awalnya tadi sa-ngat ramah. Beliau menyatakan rindu kepada kami,
namun demi mendengar pertanyaan itu beliau menatap Mahar dengan tajam.
Mahar tersenyum kecut. Wajah ibu Ikal keli-hatan kecewa berat. Beliau diam. Tangannya
memegang sebilah pisau antip, mencengkeramnya dengan geram sehingga dua butir pinang terbelah
dua tanpa ampun. Salah satu belahan pinang jatuh berguling dan terjerumus di antara celah lantai
papan lalu diserbu ayam-ayam di bawah rumah, beliau tak sedikit pun peduli.
Si pemimpi itu pasti sudah bikin ulah lagi. Mahar
sedikit menyesal mengungkapkan pertanyaan
itu.
Ibu Ikal meramu tembakau, pinang, kapur sirih, dan gambir yang bertumpuk-tumpuk di dalam
kotak tembaga yang disebut keminangan. Lalu dua lembar daun sirih dibalutkan pada ramuan tadi
sehingga menjadi bola kecil. Beliau menggigit bola kecil itu dengan geraham di sudut mulutnya
seperti orang ingin memutuskan kawat dengan gigi, bersungut-sungut, dan bersabda dengan tegas:
"Terakhir ia mengirimiku sepucuksuratdan diselipkannya selembar foto dalam suratnya itu."
Beliau meludahkan cairan merah yang terbang melalui jendela rumah panggung sambil melilitkan
jilbabnya dua kali menutupi dagunya sehingga seperti cadar. Beliau jelas sedang marah.
"Rupanya dia dan kawan-kawannya sedang mengikuti semacam festival seni mahasiswa.
Wajahnya di foto itu di-coreng-moreng tak keruan tapi dia sebut itu seni?!!11
Kami menunduk tak berani berkomentar.
"Menurutnya itu seni lukis wajah, ya seni lukis wajah, apa itu... gotik! Ya gotik! Dia sebut itu seni
lukis wajah gotik! Dan dia sangat bangga pada coreng-morengnya itu!"
Beliau menghampiri kami yang duduk tertunduk melingkari meja tua batu pualam. Kami pun ciut.
"Bukan main anak muda Melayu zaman sekarang!!!"
Ibu Ikal mengepalkan tinjunya, kami ketakut-an, beliau mengacung-acungkan pisau antip, kami tak
berkutik, suara beliau meninggi
"Dia sebut itu seni??? Ha! Seni!! Barangkali dia ingin tahu pendapatku tentang seninya itu!!!"
Beliau benar-benar muntab, murka tak terkira-kira. Untuk kedua kalinya beliau menyemburkan
cairan merah sirih melalui jendela seperti anak-anak panah yang melesat.
"Pendapatku adalah wajahnya itu persis benar dengan wajah orang yang sama sekali tidak pernah
shalat!"
Demi mendengar kata-kata itu Kucai yang te-ngah memamah biak sagon tak bisa menguasai diri.
Dia berusaha keras menahan tawa tapi tak berhasil sehingga serbuk kelapa sagon terhambur ke
wajah Mahar, membuat jambul pengarang berbakat itu kacau balau. Kucai berulang kali minta maaf
pada ibu Ikal, bukan pada Mahar, tapi wajahnya meng-angguk-angguk takzim menghadap ke Nur
Zaman.
Comments
Post a Comment
Bagi Yang Mau Memberi Komentar Tinggal Poskan Komentar di Kotak Komentar..
Yang tak punya url bisa dikosongkan..
tapi tolong di diisi oke Name-nya
Komentar anda saya tunggu :d