Banyak yang beranggapan bahwa untuk "berpikir secara mendalam",
seseorang perlu memegang kepala dengan kedua telapak
tangannya, dan menyendiri di sebuah ruangan yang sunyi,
jauh dari keramaian dan segala urusan yang ada. Sungguh, mereka telah
menganggap "berpikir secara mendalam" sebagai sesuatu yang memberatkan
dan menyusahkan. Mereka berkesimpulan bahwa pekerjaan ini
hanyalah untuk kalangan "filosof".
Padahal, sebagaimana telah disebutkan dalam pendahuluan, Allah
mewajibkan manusia untuk berpikir secara mendalam atau merenung.
Allah berfirman bahwa Al-Qur'an diturunkan kepada manusia untuk dipikirkan
atau direnungkan:
"Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan
kepadamu, penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan
(merenungkan) ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran orangorang
yang mempunyai pikiran" (QS. Shaad, 38: 29).
Yang ditekankan di
sini adalah bahwa setiap orang hendaknya berusaha secara ikhlas sekuat
tenaga dalam meningkatkan kemampuan dan kedalaman berpikir.
Sebaliknya, orang-orang yang tidak mau berusaha untuk berpikir
mendalam akan terus-menerus hidup dalam kelalaian yang sangat. Kata
kelalaian mengandung arti "ketidakpedulian (tetapi bukan melupakan),
meninggalkan, dalam kekeliruan, tidak menghiraukan, dalam kecerobohan".
Kelalaian manusia yang tidak berpikir adalah akibat melupakan
atau secara sengaja tidak menghiraukan tujuan penciptaan diri mereka
serta kebenaran ajaran agama. Ini adalah jalan hidup yang sangat berbahaya
yang dapat menghantarkan seseorang ke neraka. Berkenaan dengan
hal tersebut, Allah memperingatkan manusia agar tidak termasuk dalam
golongan orang-orang yang lalai:
"Dan sebutlah (nama) Tuhanmu dalam hatimu dengan merendahkan diri
dan rasa takut, dan dengan tidak mengeraskan suara, di waktu pagi dan
petang, dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang lalai." (QS. Al-
AÕraaf, 7: 205)
"Dan berilah mereka peringatan tentang hari penyesalan, (yaitu) ketika
segala perkara telah diputus. Dan mereka dalam kelalaian dan mereka tidak
(pula) beriman." (QS. Maryam, 19: 39)
Dalam Al-Qur'an, Allah menyebutkan tentang mereka yang berpikir
secara sadar, kemudian merenung dan pada akhirnya sampai kepada kebenaran
yang menjadikan mereka takut kepada Allah. Sebaliknya, Allah
juga menyatakan bahwa orang-orang yang mengikuti para pendahulu
mereka secara taklid buta tanpa berpikir, ataupun hanya sekedar mengikuti
kebiasaan yang ada, berada dalam kekeliruan. Ketika ditanya, para
pengekor yang tidak mau berpikir tersebut akan menjawab bahwa mereka
adalah orang-orang yang menjalankan agama dan beriman kepada Allah.
Tetapi karena tidak berpikir, mereka sekedar melakukan ibadah dan
aktifitas hidup tanpa disertai rasa takut kepada Allah. Mentalitas golongan
ini sebagaimana digambarkan dalam Al-Qur'an:
Katakanlah: "Kepunyaan siapakah bumi ini, dan semua yang ada padanya,
jika kamu mengetahui?"
Mereka akan menjawab: "Kepunyaan Allah." Katakanlah: "Maka apakah
kamu tidak ingat?"
Katakanlah: "Siapakah Yang Empunya langit yang tujuh dan Yang Empunya
'Arsy yang besar?"
Mereka akan menjawab: "Kepunyaan Allah." Katakanlah: "Maka apakah
kamu tidak bertakwa?"
Katakanlah: "Siapakah yang di tangan-Nya berada kekuasaan atas segala
sesuatu sedang Dia melindungi, tetapi tidak ada yang dapat dilindungi
dari (adzab)-Nya, jika kamu mengetahui?"
Mereka akan menjawab: "Kepunyaan Allah." Katakanlah: "(Kalau demikian),
maka dari jalan manakah kamu ditipu (disihir)?"
"Sebenarnya Kami telah membawa kebenaran kepada mereka, dan sesungguhnya
mereka benar-benar orang-orang yang berdusta." (QS. Al-
MuÕminuun, 23: 84-90)
Berpikir dapat membebaskan seseorang daribelenggu sihir
Dalam ayat di atas, Allah bertanya kepada manusia, "Émaka dari jalan
manakah kamu ditipu (disihir)?. Kata disihir atau tersihir di sini
mempunyai makna kelumpuhan mental atau akal yang menguasai manusia
secara menyeluruh. Akal yang tidak digunakan untuk berpikir be-
rarti bahwa akal tersebut telah lumpuh, penglihatan menjadi kabur, berperilaku
sebagaimana seseorang yang tidak melihat kenyataan di depan
matanya, sarana yang dimiliki untuk membedakan yang benar dari yang
salah menjadi lemah. Ia tidak mampu memahami sebuah kebenaran yang
sederhana sekalipun. Ia tidak dapat membangkitkan kesadarannya untuk
memahami peristiwa-peristiwa luar biasa yang terjadi di sekitarnya. Ia tidak
mampu melihat bagian-bagian rumit dari peristiwa-peristiwa yang
ada. Apa yang menyebabkan masyarakat secara keseluruhan tenggelam
dalam kehidupan yang melalaikan selama ribuan tahun serta menjauhkan
diri dari berpikir sehingga seolah-olah telah menjadi sebuah tradisi
adalah kelumpuhan akal ini.
Pengaruh sihir yang bersifat kolektif tersebut dapat dikiaskan sebagaimana
berikut:
Dibawah permukaan bumi terdapat sebuah lapisan mendidih yang
dinamakan magma, padahal kerak bumi sangatlah tipis. Tebal lapisan kerak
bumi dibandingkan keseluruhan bumi adalah sebagaimana tebal kulit
apel dibandingkan buah apel itu sendiri. Ini berarti bahwa magma
yang membara tersebut demikian dekatnya dengan kita, dibawah telapak
kaki kita!
Setiap orang mengetahui bahwa di bawah permukaan bumi ada lapisan
yang mendidih dengan suhu yang sangat panas, tetapi manusia tidak
terlalu memikirkannya. Hal ini dikarenakan para orang tua, sanak saudara,
kerabat, teman, tetangga, penulis artikel di koran yang mereka baca,
produser acara-acara TV dan professor mereka di universitas tidak juga
memikirkannya.
Ijinkanlah kami mengajak anda berpikir sebentar tentang masalah
ini. Anggaplah seseorang yang telah kehilangan ingatan berusaha untuk
mengenal sekelilingnya dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan kepada
setiap orang di sekitarnya. Pertama-tama ia menanyakan tempat
dimana ia berada. Apakah kira-kira yang akan muncul di benaknya apabila
diberitahukan bahwa di bawah tempat dia berdiri terdapat sebuah
bola api mendidih yang dapat memancar dan berhamburan dari permukaan
bumi pada saat terjadi gempa yang hebat atau gunung meletus?
Mari kita berbicara lebih jauh dan anggaplah orang ini telah diberitahu
bahwa bumi tempat ia berada hanyalah sebuah planet kecil yang mengapung
dalam ruang yang sangat luas, gelap dan hampa yang disebut
ruang angkasa. Ruang angkasa ini memiliki
potensi bahaya yang lebih besar dibandingkan
materi bumi tersebut,
misalnya: meteor-meteor
dengan berat bertonton
yang bergerak dengan
leluasa di dalamnya. Bukan
tidak mungkin meteor-meteor
tersebut bergerak ke arah bumi dan kemudian menabraknya.
Mustahil orang ini mampu untuk tidak berpikir sedetikpun ketika
berada di tempat yang penuh dengan bahaya yang setiap saat mengancam
jiwanya. Ia pun akan berpikir pula bagaimana mungkin manusia
dapat hidup dalam sebuah planet yang sebenarnya senantiasa berada di
ujung tanduk, sangat rapuh dan membahayakan nyawanya. Ia lalu sadar
bahwa kondisi ini hanya terjadi karena adanya sebuah sistim yang sempurna
tanpa cacat sedikitpun. Kendatipun bumi, tempat ia tinggal, memiliki
bahaya yang luar biasa besarnya, namun padanya terdapat sistim
keseimbangan yang sangat akurat yang mampu mencegah bahaya tersebut
agar tidak menimpa manusia. Seseorang yang menyadari hal ini, memahami
bahwa bumi dan segala makhluk di atasnya dapat melangsungkan
kehidupan dengan selamat hanya dengan kehendak Allah, disebabkan
oleh adanya keseimbangan alam yang sempurna dan tanpa cacat
yang diciptakan-Nya.
Contoh di atas hanyalah satu diantara jutaan, atau bahkan trilyunan
contoh-contoh yang hendaknya direnungkan oleh manusia. Di bawah ini
satu lagi contoh yang mudah-mudahan membantu dalam memahami bagaimana
"kondisi lalai" dapat mempengaruhi sarana berpikir manusia
dan melumpuhkan kemampuan akalnya.
Manusia mengetahui bahwa kehidupan di dunia berlalu dan berakhir
sangat cepat. Anehnya, masih saja mereka bertingkah laku seolah-olah
mereka tidak akan pernah meninggalkan dunia. Mereka melakukan pekerjaan
seakan-akan di dunia tidak ada kematian. Sungguh, ini adalah sebuah
bentuk sihir atau mantra yang terwariskan secara turun-temurun.
Keadaan ini berpengaruh sedemikian besarnya sehingga ketika ada yang
berbicara tentang kematian, orang-orang dengan segera menghentikan
topik tersebut karena takut kehilangan sihir yang selama ini membelenggu
mereka dan tidak berani menghadapi kenyataan tersebut. Orang yang
mengabiskan seluruh hidupnya untuk membeli rumah yang bagus, penginapan
musim panas, mobil dan kemudian menyekolahkan anak-anak
mereka ke sekolah yang bagus, tidak ingin berpikir bahwa pada suatu hari
mereka akan mati dan tidak akan dapat membawa mobil, rumah, ata-
upun anak-anak beserta mereka. Akibatnya, daripada melakukan sesuatu
untuk kehidupan yang hakiki setelah mati, mereka memilih untuk tidak
berpikir tentang kematian.
Namun, cepat atau lambat setiap manusia pasti akan menemui
ajalnya. Setelah itu, percaya atau tidak, setiap orang akan memulai sebuah
kehidupan yang kekal. Apakah kehidupannya yang abadi tersebut
berlangsung di surga atau di neraka, tergantung dari amal perbuatan selama
hidupnya yang singkat di dunia. Karena hal ini adalah sebuah kebenaran
yang pasti akan terjadi, maka satu-satunya alasan mengapa manusia
bertingkah laku seolah-olah mati itu tidak ada adalah sihir yang telah
menutup atau membelenggu mereka akibat tidak berpikir dan merenung.
Orang-orang yang tidak dapat membebaskan diri mereka dari sihir
dengan cara berpikir, yang mengakibatkan mereka berada dalam kelalaian,
akan melihat kebenaran dengan mata kepala mereka sendiri setelah
mereka mati, sebagaimana yang diberitakan Allah kepada kita dalam Al-
Qur'an :
"Sesungguhnya kamu berada dalam keadaan lalai dari (hal) ini, maka Kami
singkapkan daripadamu tutup (yang menutupi) matamu, maka penglihatanmu
pada hari itu amat tajam." (QS. Qaaf, 50: 22)
Dalam ayat di atas penglihatan seseorang menjadi kabur akibat tidak
mau berpikir, akan tetapi penglihatannya menjadi tajam setelah ia dibangkitkan
dari alam kubur dan ketika mempertanggung jawabkan segala
amal perbuatannya di akhirat.
Perlu digaris bawahi bahwa manusia mungkin saja membiarkan dirinya
secara sengaja untuk dibelenggu oleh sihir tersebut. Mereka beranggapan
bahwa dengan melakukan hal ini mereka akan hidup dengan tentram.
Syukurlah bahwa ternyata sangat mudah bagi seseorang untuk merubah
kondisi yang demikian serta melenyapkan kelumpuhan mental
atau akalnya, sehingga ia dapat hidup dalam kesadaran untuk mengetahui
kenyataan. Allah telah memberikan jalan keluar kepada manusia; manusia
yang merenung dan berpikir akan mampu melepaskan diri dari belenggu
sihir pada saat mereka masih di dunia. Selanjutnya, ia akan me-
mahami tujuan dan makna yang hakiki dari segala peristiwa yang ada. Ia
pun akan mampu memahami kebijaksanaan dari apapun yang Allah ciptakan
setiap saat.
Seseorang dapat berpikir kapanpun dan dimanapun
Berpikir tidaklah memerlukan waktu, tempat ataupun kondisi khusus.
Seseorang dapat berpikir sambil berjalan di jalan raya, ketika pergi ke
kantor, mengemudi mobil, bekerja di depan komputer, menghadiri pertemuan
dengan rekan-rekan, melihat TV ataupun ketika sedang makan siang.
Misalnya: di saat sedang mengemudi mobil, seseorang melihat ratusan
orang berada di luar. Ketika menyaksikan mereka, ia terdorong untuk
berpikir tentang berbagai macam hal. Dalam benaknya tergambar penampilan
fisik dari ratusan orang yang sedang disaksikannya yang sama
sekali berbeda satu sama lain. Tak satupun diantara mereka yang mirip
dengan yang lain. Sungguh menakjubkan: kendatipun orang-orang ini
memiliki anggota tubuh yang sama, misalnya sama-sama mempunyai
mata, alis, bulu mata, tangan, lengan, kaki, mulut dan hidung; tetapi mereka
terlihat sangat berbeda satu sama lain. Ketika berpikir sedikit mendalam,
ia akan teringat bahwa:
Allah telah menciptakan bilyunan manusia selama ribuan tahun, semuanya
berbeda satu dengan yang lain. Ini adalah bukti nyata tentang ke
Maha Perkasaan dan ke Maha Besaran Allah.
Menyaksikan manusia yang sedang lalu lalang dan bergegas menuju
tempat tujuan mereka masing-masing, dapat memunculkan beragam
pikiran di benak seseorang. Ketika pertama kali memandang, muncul di
pikirannya: manusia yang jumlahnya banyak ini terdiri atas individu-individu
yang khas dan unik. Tiap individu memiliki dunia, keinginan,
rencana, cara hidup, hal-hal yang membuatnya bahagia atau sedih, serta
perasaannya sendiri. Secara umum, setiap manusia dilahirkan, tumbuh
besar dan dewasa, mendapatkan pendidikan, mencari pekerjaan, bekerja,
menikah, mempunyai anak, menyekolahkan dan menikahkan anak-
anaknya, menjadi tua, menjadi nenek atau kakek dan pada akhirnya meninggal
dunia. Dilihat dari sudut pandang ini, ternyata perjalanan hidup
semua manusia tidaklah jauh berbeda; tidak terlalu penting apakah ia hidup
di perkampungan di kota Istanbul atau di kota besar seperti Mexico,
tidak ada bedanya sedikitpun. Semua orang suatu saat pasti akan mati,
seratus tahun lagi mungkin tak satupun dari orang-orang tersebut
yang akan masih hidup. Menyadari kenyataan ini, seseorang akan berpikir
dan bertanya kepada dirinya sendiri: "Jika kita semua suatu hari akan
mati, lalu apakah gerangan yang menyebabkan manusia bertingkah laku
seakan-akan mereka tak akan pernah meninggalkan dunia ini? Seseorang
yang akan mati sudah sepatutnya beramal secara sungguh-sungguh
untuk kehidupannya setelah mati; tetapi mengapa hampir semua
manusia berkelakuan seolah-olah hidup mereka di dunia tak akan pernah
berakhir?"
Orang yang memikirkan halhal
semacam ini lah yang dinamakan
orang yang berpikir dan mencapai
kesimpulan yang sangat bermakna
dari apa yang ia pikirkan.
Sebagian besar manusia tidak
berpikir tentang masalah kematian
dan apa yang terjadi setelahnya. Ketika
mendadak ditanya,"Apakah
yang sedang anda pikirkan saat
ini?", maka akan terlihat bahwa mereka
sedang memikirkan segala sesuatu
yang sebenarnya tidak perlu
untuk dipikirkan, sehingga tidak
akan banyak manfaatnya bagi mereka.
Namun, seseorang bisa juga
"berpikir" hal-hal yang "bermakna",
"penuh hikmah" dan "penting" setiap
saat semenjak bangun tidur hingga
kembali ke tempat tidur, dan
mengambil pelajaran ataupun kesimpulan dari apa yang dipikirkannya.
Dalam Al-Qur'an, Allah menyatakan bahwa orang-orang yang beriman
memikirkan dan merenungkan secara mendalam segala kejadian
yang ada dan mengambil pelajaran yang berguna dari apa yang mereka
pikirkan.
"Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya
malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal,
(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau
dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit
dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan
ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari
siksa neraka." (QS. Aali ÔImraan, 3: 190-191).
Ayat di atas menyatakan bahwa oleh karena orang-orang yang beriman
adalah mereka yang berpikir, maka mereka mampu melihat hal-hal
yang menakjubkan dari ciptaan Allah dan mengagungkan Kebesaran, Ilmu
serta Kebijaksanaan Allah.
Berpikir dengan ikhlas sambil menghadapkan
diri kepada Allah
Agar sebuah perenungan menghasilkan manfaat dan seterusnya
menghantarkan kepada sebuah kesimpulan yang benar, maka seseorang
harus berpikir positif. Misalnya: seseorang melihat orang lain dengan penampilan
fisik yang lebih baik dari dirinya. Ia lalu merasa dirinya rendah
karena kekurangan yang ada pada fisiknya dibandingkan dengan orang
tersebut yang tampak lebih rupawan. Atau ia merasa iri terhadap orang
tersebut. Ini adalah pikiran yang tidak dikehendaki Allah. Jika ridha Allah
yang dicari, maka seharusnya ia menganggap bagusnya bentuk rupa
orang yang ia lihat sebagai wujud dari ciptaan Allah yang sempurna.
Dengan melihat orang yang rupawan sebagai sebuah keindahan yang Allah
ciptakan akan memberikannya kepuasan. Ia berdoa kepada Allah
agar menambah keindahan orang tersebut di akhirat. Sedang untuk dirinya
sendiri, ia juga meminta kepada Allah agar dikaruniai keindahan yang
hakiki dan abadi di akhirat kelak. Hal serupa seringkali dialami oleh seorang
hamba yang sedang diuji oleh Allah untuk mengetahui apakah da-
lam ujian tersebut ia menunjukkan perilaku serta pola pikir yang baik
yang diridhai Allah atau sebaliknya.
Keberhasilan dalam menempuh ujian tersebut, yakni dalam melakukan
perenungan ataupun proses berpikir yang mendatangkan kebahagiaan
di akhirat, masih ditentukan oleh kemauannya dalam mengambil pelajaran
atau peringatan dari apa yang ia renungkan. Karena itu, sangatlah
ditekankan disini bahwa seseorang hendaknya selalu berpikir secara ikhlas
sambil menghadapkan diri kepada Allah. Allah berfirman dalam Al-
Qur'an :
"Dia lah yang memperlihatkan kepadamu tanda-tanda (kekuasaan)-Nya
dan menurunkan untukmu rezki dari langit. Dan tiadalah mendapat pelajaran
kecuali orang-orang yang kembali (kepada Allah)." (QS. Ghaafir,
40: 13).
seseorang perlu memegang kepala dengan kedua telapak
tangannya, dan menyendiri di sebuah ruangan yang sunyi,
jauh dari keramaian dan segala urusan yang ada. Sungguh, mereka telah
menganggap "berpikir secara mendalam" sebagai sesuatu yang memberatkan
dan menyusahkan. Mereka berkesimpulan bahwa pekerjaan ini
hanyalah untuk kalangan "filosof".
Padahal, sebagaimana telah disebutkan dalam pendahuluan, Allah
mewajibkan manusia untuk berpikir secara mendalam atau merenung.
Allah berfirman bahwa Al-Qur'an diturunkan kepada manusia untuk dipikirkan
atau direnungkan:
"Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan
kepadamu, penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan
(merenungkan) ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran orangorang
yang mempunyai pikiran" (QS. Shaad, 38: 29).
Yang ditekankan di
sini adalah bahwa setiap orang hendaknya berusaha secara ikhlas sekuat
tenaga dalam meningkatkan kemampuan dan kedalaman berpikir.
Sebaliknya, orang-orang yang tidak mau berusaha untuk berpikir
mendalam akan terus-menerus hidup dalam kelalaian yang sangat. Kata
kelalaian mengandung arti "ketidakpedulian (tetapi bukan melupakan),
meninggalkan, dalam kekeliruan, tidak menghiraukan, dalam kecerobohan".
Kelalaian manusia yang tidak berpikir adalah akibat melupakan
atau secara sengaja tidak menghiraukan tujuan penciptaan diri mereka
serta kebenaran ajaran agama. Ini adalah jalan hidup yang sangat berbahaya
yang dapat menghantarkan seseorang ke neraka. Berkenaan dengan
hal tersebut, Allah memperingatkan manusia agar tidak termasuk dalam
golongan orang-orang yang lalai:
"Dan sebutlah (nama) Tuhanmu dalam hatimu dengan merendahkan diri
dan rasa takut, dan dengan tidak mengeraskan suara, di waktu pagi dan
petang, dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang lalai." (QS. Al-
AÕraaf, 7: 205)
"Dan berilah mereka peringatan tentang hari penyesalan, (yaitu) ketika
segala perkara telah diputus. Dan mereka dalam kelalaian dan mereka tidak
(pula) beriman." (QS. Maryam, 19: 39)
Dalam Al-Qur'an, Allah menyebutkan tentang mereka yang berpikir
secara sadar, kemudian merenung dan pada akhirnya sampai kepada kebenaran
yang menjadikan mereka takut kepada Allah. Sebaliknya, Allah
juga menyatakan bahwa orang-orang yang mengikuti para pendahulu
mereka secara taklid buta tanpa berpikir, ataupun hanya sekedar mengikuti
kebiasaan yang ada, berada dalam kekeliruan. Ketika ditanya, para
pengekor yang tidak mau berpikir tersebut akan menjawab bahwa mereka
adalah orang-orang yang menjalankan agama dan beriman kepada Allah.
Tetapi karena tidak berpikir, mereka sekedar melakukan ibadah dan
aktifitas hidup tanpa disertai rasa takut kepada Allah. Mentalitas golongan
ini sebagaimana digambarkan dalam Al-Qur'an:
Katakanlah: "Kepunyaan siapakah bumi ini, dan semua yang ada padanya,
jika kamu mengetahui?"
Mereka akan menjawab: "Kepunyaan Allah." Katakanlah: "Maka apakah
kamu tidak ingat?"
Katakanlah: "Siapakah Yang Empunya langit yang tujuh dan Yang Empunya
'Arsy yang besar?"
Mereka akan menjawab: "Kepunyaan Allah." Katakanlah: "Maka apakah
kamu tidak bertakwa?"
Katakanlah: "Siapakah yang di tangan-Nya berada kekuasaan atas segala
sesuatu sedang Dia melindungi, tetapi tidak ada yang dapat dilindungi
dari (adzab)-Nya, jika kamu mengetahui?"
Mereka akan menjawab: "Kepunyaan Allah." Katakanlah: "(Kalau demikian),
maka dari jalan manakah kamu ditipu (disihir)?"
"Sebenarnya Kami telah membawa kebenaran kepada mereka, dan sesungguhnya
mereka benar-benar orang-orang yang berdusta." (QS. Al-
MuÕminuun, 23: 84-90)
Berpikir dapat membebaskan seseorang daribelenggu sihir
Dalam ayat di atas, Allah bertanya kepada manusia, "Émaka dari jalan
manakah kamu ditipu (disihir)?. Kata disihir atau tersihir di sini
mempunyai makna kelumpuhan mental atau akal yang menguasai manusia
secara menyeluruh. Akal yang tidak digunakan untuk berpikir be-
rarti bahwa akal tersebut telah lumpuh, penglihatan menjadi kabur, berperilaku
sebagaimana seseorang yang tidak melihat kenyataan di depan
matanya, sarana yang dimiliki untuk membedakan yang benar dari yang
salah menjadi lemah. Ia tidak mampu memahami sebuah kebenaran yang
sederhana sekalipun. Ia tidak dapat membangkitkan kesadarannya untuk
memahami peristiwa-peristiwa luar biasa yang terjadi di sekitarnya. Ia tidak
mampu melihat bagian-bagian rumit dari peristiwa-peristiwa yang
ada. Apa yang menyebabkan masyarakat secara keseluruhan tenggelam
dalam kehidupan yang melalaikan selama ribuan tahun serta menjauhkan
diri dari berpikir sehingga seolah-olah telah menjadi sebuah tradisi
adalah kelumpuhan akal ini.
Pengaruh sihir yang bersifat kolektif tersebut dapat dikiaskan sebagaimana
berikut:
Dibawah permukaan bumi terdapat sebuah lapisan mendidih yang
dinamakan magma, padahal kerak bumi sangatlah tipis. Tebal lapisan kerak
bumi dibandingkan keseluruhan bumi adalah sebagaimana tebal kulit
apel dibandingkan buah apel itu sendiri. Ini berarti bahwa magma
yang membara tersebut demikian dekatnya dengan kita, dibawah telapak
kaki kita!
Setiap orang mengetahui bahwa di bawah permukaan bumi ada lapisan
yang mendidih dengan suhu yang sangat panas, tetapi manusia tidak
terlalu memikirkannya. Hal ini dikarenakan para orang tua, sanak saudara,
kerabat, teman, tetangga, penulis artikel di koran yang mereka baca,
produser acara-acara TV dan professor mereka di universitas tidak juga
memikirkannya.
Ijinkanlah kami mengajak anda berpikir sebentar tentang masalah
ini. Anggaplah seseorang yang telah kehilangan ingatan berusaha untuk
mengenal sekelilingnya dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan kepada
setiap orang di sekitarnya. Pertama-tama ia menanyakan tempat
dimana ia berada. Apakah kira-kira yang akan muncul di benaknya apabila
diberitahukan bahwa di bawah tempat dia berdiri terdapat sebuah
bola api mendidih yang dapat memancar dan berhamburan dari permukaan
bumi pada saat terjadi gempa yang hebat atau gunung meletus?
Mari kita berbicara lebih jauh dan anggaplah orang ini telah diberitahu
bahwa bumi tempat ia berada hanyalah sebuah planet kecil yang mengapung
dalam ruang yang sangat luas, gelap dan hampa yang disebut
ruang angkasa. Ruang angkasa ini memiliki
potensi bahaya yang lebih besar dibandingkan
materi bumi tersebut,
misalnya: meteor-meteor
dengan berat bertonton
yang bergerak dengan
leluasa di dalamnya. Bukan
tidak mungkin meteor-meteor
tersebut bergerak ke arah bumi dan kemudian menabraknya.
Mustahil orang ini mampu untuk tidak berpikir sedetikpun ketika
berada di tempat yang penuh dengan bahaya yang setiap saat mengancam
jiwanya. Ia pun akan berpikir pula bagaimana mungkin manusia
dapat hidup dalam sebuah planet yang sebenarnya senantiasa berada di
ujung tanduk, sangat rapuh dan membahayakan nyawanya. Ia lalu sadar
bahwa kondisi ini hanya terjadi karena adanya sebuah sistim yang sempurna
tanpa cacat sedikitpun. Kendatipun bumi, tempat ia tinggal, memiliki
bahaya yang luar biasa besarnya, namun padanya terdapat sistim
keseimbangan yang sangat akurat yang mampu mencegah bahaya tersebut
agar tidak menimpa manusia. Seseorang yang menyadari hal ini, memahami
bahwa bumi dan segala makhluk di atasnya dapat melangsungkan
kehidupan dengan selamat hanya dengan kehendak Allah, disebabkan
oleh adanya keseimbangan alam yang sempurna dan tanpa cacat
yang diciptakan-Nya.
Contoh di atas hanyalah satu diantara jutaan, atau bahkan trilyunan
contoh-contoh yang hendaknya direnungkan oleh manusia. Di bawah ini
satu lagi contoh yang mudah-mudahan membantu dalam memahami bagaimana
"kondisi lalai" dapat mempengaruhi sarana berpikir manusia
dan melumpuhkan kemampuan akalnya.
Manusia mengetahui bahwa kehidupan di dunia berlalu dan berakhir
sangat cepat. Anehnya, masih saja mereka bertingkah laku seolah-olah
mereka tidak akan pernah meninggalkan dunia. Mereka melakukan pekerjaan
seakan-akan di dunia tidak ada kematian. Sungguh, ini adalah sebuah
bentuk sihir atau mantra yang terwariskan secara turun-temurun.
Keadaan ini berpengaruh sedemikian besarnya sehingga ketika ada yang
berbicara tentang kematian, orang-orang dengan segera menghentikan
topik tersebut karena takut kehilangan sihir yang selama ini membelenggu
mereka dan tidak berani menghadapi kenyataan tersebut. Orang yang
mengabiskan seluruh hidupnya untuk membeli rumah yang bagus, penginapan
musim panas, mobil dan kemudian menyekolahkan anak-anak
mereka ke sekolah yang bagus, tidak ingin berpikir bahwa pada suatu hari
mereka akan mati dan tidak akan dapat membawa mobil, rumah, ata-
upun anak-anak beserta mereka. Akibatnya, daripada melakukan sesuatu
untuk kehidupan yang hakiki setelah mati, mereka memilih untuk tidak
berpikir tentang kematian.
Namun, cepat atau lambat setiap manusia pasti akan menemui
ajalnya. Setelah itu, percaya atau tidak, setiap orang akan memulai sebuah
kehidupan yang kekal. Apakah kehidupannya yang abadi tersebut
berlangsung di surga atau di neraka, tergantung dari amal perbuatan selama
hidupnya yang singkat di dunia. Karena hal ini adalah sebuah kebenaran
yang pasti akan terjadi, maka satu-satunya alasan mengapa manusia
bertingkah laku seolah-olah mati itu tidak ada adalah sihir yang telah
menutup atau membelenggu mereka akibat tidak berpikir dan merenung.
Orang-orang yang tidak dapat membebaskan diri mereka dari sihir
dengan cara berpikir, yang mengakibatkan mereka berada dalam kelalaian,
akan melihat kebenaran dengan mata kepala mereka sendiri setelah
mereka mati, sebagaimana yang diberitakan Allah kepada kita dalam Al-
Qur'an :
"Sesungguhnya kamu berada dalam keadaan lalai dari (hal) ini, maka Kami
singkapkan daripadamu tutup (yang menutupi) matamu, maka penglihatanmu
pada hari itu amat tajam." (QS. Qaaf, 50: 22)
Dalam ayat di atas penglihatan seseorang menjadi kabur akibat tidak
mau berpikir, akan tetapi penglihatannya menjadi tajam setelah ia dibangkitkan
dari alam kubur dan ketika mempertanggung jawabkan segala
amal perbuatannya di akhirat.
Perlu digaris bawahi bahwa manusia mungkin saja membiarkan dirinya
secara sengaja untuk dibelenggu oleh sihir tersebut. Mereka beranggapan
bahwa dengan melakukan hal ini mereka akan hidup dengan tentram.
Syukurlah bahwa ternyata sangat mudah bagi seseorang untuk merubah
kondisi yang demikian serta melenyapkan kelumpuhan mental
atau akalnya, sehingga ia dapat hidup dalam kesadaran untuk mengetahui
kenyataan. Allah telah memberikan jalan keluar kepada manusia; manusia
yang merenung dan berpikir akan mampu melepaskan diri dari belenggu
sihir pada saat mereka masih di dunia. Selanjutnya, ia akan me-
mahami tujuan dan makna yang hakiki dari segala peristiwa yang ada. Ia
pun akan mampu memahami kebijaksanaan dari apapun yang Allah ciptakan
setiap saat.
Seseorang dapat berpikir kapanpun dan dimanapun
Berpikir tidaklah memerlukan waktu, tempat ataupun kondisi khusus.
Seseorang dapat berpikir sambil berjalan di jalan raya, ketika pergi ke
kantor, mengemudi mobil, bekerja di depan komputer, menghadiri pertemuan
dengan rekan-rekan, melihat TV ataupun ketika sedang makan siang.
Misalnya: di saat sedang mengemudi mobil, seseorang melihat ratusan
orang berada di luar. Ketika menyaksikan mereka, ia terdorong untuk
berpikir tentang berbagai macam hal. Dalam benaknya tergambar penampilan
fisik dari ratusan orang yang sedang disaksikannya yang sama
sekali berbeda satu sama lain. Tak satupun diantara mereka yang mirip
dengan yang lain. Sungguh menakjubkan: kendatipun orang-orang ini
memiliki anggota tubuh yang sama, misalnya sama-sama mempunyai
mata, alis, bulu mata, tangan, lengan, kaki, mulut dan hidung; tetapi mereka
terlihat sangat berbeda satu sama lain. Ketika berpikir sedikit mendalam,
ia akan teringat bahwa:
Allah telah menciptakan bilyunan manusia selama ribuan tahun, semuanya
berbeda satu dengan yang lain. Ini adalah bukti nyata tentang ke
Maha Perkasaan dan ke Maha Besaran Allah.
Menyaksikan manusia yang sedang lalu lalang dan bergegas menuju
tempat tujuan mereka masing-masing, dapat memunculkan beragam
pikiran di benak seseorang. Ketika pertama kali memandang, muncul di
pikirannya: manusia yang jumlahnya banyak ini terdiri atas individu-individu
yang khas dan unik. Tiap individu memiliki dunia, keinginan,
rencana, cara hidup, hal-hal yang membuatnya bahagia atau sedih, serta
perasaannya sendiri. Secara umum, setiap manusia dilahirkan, tumbuh
besar dan dewasa, mendapatkan pendidikan, mencari pekerjaan, bekerja,
menikah, mempunyai anak, menyekolahkan dan menikahkan anak-
anaknya, menjadi tua, menjadi nenek atau kakek dan pada akhirnya meninggal
dunia. Dilihat dari sudut pandang ini, ternyata perjalanan hidup
semua manusia tidaklah jauh berbeda; tidak terlalu penting apakah ia hidup
di perkampungan di kota Istanbul atau di kota besar seperti Mexico,
tidak ada bedanya sedikitpun. Semua orang suatu saat pasti akan mati,
seratus tahun lagi mungkin tak satupun dari orang-orang tersebut
yang akan masih hidup. Menyadari kenyataan ini, seseorang akan berpikir
dan bertanya kepada dirinya sendiri: "Jika kita semua suatu hari akan
mati, lalu apakah gerangan yang menyebabkan manusia bertingkah laku
seakan-akan mereka tak akan pernah meninggalkan dunia ini? Seseorang
yang akan mati sudah sepatutnya beramal secara sungguh-sungguh
untuk kehidupannya setelah mati; tetapi mengapa hampir semua
manusia berkelakuan seolah-olah hidup mereka di dunia tak akan pernah
berakhir?"
Orang yang memikirkan halhal
semacam ini lah yang dinamakan
orang yang berpikir dan mencapai
kesimpulan yang sangat bermakna
dari apa yang ia pikirkan.
Sebagian besar manusia tidak
berpikir tentang masalah kematian
dan apa yang terjadi setelahnya. Ketika
mendadak ditanya,"Apakah
yang sedang anda pikirkan saat
ini?", maka akan terlihat bahwa mereka
sedang memikirkan segala sesuatu
yang sebenarnya tidak perlu
untuk dipikirkan, sehingga tidak
akan banyak manfaatnya bagi mereka.
Namun, seseorang bisa juga
"berpikir" hal-hal yang "bermakna",
"penuh hikmah" dan "penting" setiap
saat semenjak bangun tidur hingga
kembali ke tempat tidur, dan
mengambil pelajaran ataupun kesimpulan dari apa yang dipikirkannya.
Dalam Al-Qur'an, Allah menyatakan bahwa orang-orang yang beriman
memikirkan dan merenungkan secara mendalam segala kejadian
yang ada dan mengambil pelajaran yang berguna dari apa yang mereka
pikirkan.
"Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya
malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal,
(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau
dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit
dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan
ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari
siksa neraka." (QS. Aali ÔImraan, 3: 190-191).
Ayat di atas menyatakan bahwa oleh karena orang-orang yang beriman
adalah mereka yang berpikir, maka mereka mampu melihat hal-hal
yang menakjubkan dari ciptaan Allah dan mengagungkan Kebesaran, Ilmu
serta Kebijaksanaan Allah.
Berpikir dengan ikhlas sambil menghadapkan
diri kepada Allah
Agar sebuah perenungan menghasilkan manfaat dan seterusnya
menghantarkan kepada sebuah kesimpulan yang benar, maka seseorang
harus berpikir positif. Misalnya: seseorang melihat orang lain dengan penampilan
fisik yang lebih baik dari dirinya. Ia lalu merasa dirinya rendah
karena kekurangan yang ada pada fisiknya dibandingkan dengan orang
tersebut yang tampak lebih rupawan. Atau ia merasa iri terhadap orang
tersebut. Ini adalah pikiran yang tidak dikehendaki Allah. Jika ridha Allah
yang dicari, maka seharusnya ia menganggap bagusnya bentuk rupa
orang yang ia lihat sebagai wujud dari ciptaan Allah yang sempurna.
Dengan melihat orang yang rupawan sebagai sebuah keindahan yang Allah
ciptakan akan memberikannya kepuasan. Ia berdoa kepada Allah
agar menambah keindahan orang tersebut di akhirat. Sedang untuk dirinya
sendiri, ia juga meminta kepada Allah agar dikaruniai keindahan yang
hakiki dan abadi di akhirat kelak. Hal serupa seringkali dialami oleh seorang
hamba yang sedang diuji oleh Allah untuk mengetahui apakah da-
lam ujian tersebut ia menunjukkan perilaku serta pola pikir yang baik
yang diridhai Allah atau sebaliknya.
Keberhasilan dalam menempuh ujian tersebut, yakni dalam melakukan
perenungan ataupun proses berpikir yang mendatangkan kebahagiaan
di akhirat, masih ditentukan oleh kemauannya dalam mengambil pelajaran
atau peringatan dari apa yang ia renungkan. Karena itu, sangatlah
ditekankan disini bahwa seseorang hendaknya selalu berpikir secara ikhlas
sambil menghadapkan diri kepada Allah. Allah berfirman dalam Al-
Qur'an :
"Dia lah yang memperlihatkan kepadamu tanda-tanda (kekuasaan)-Nya
dan menurunkan untukmu rezki dari langit. Dan tiadalah mendapat pelajaran
kecuali orang-orang yang kembali (kepada Allah)." (QS. Ghaafir,
40: 13).
:(( :s ;;)
ReplyDelete